Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep BBLR
2.1.1 Definisi BBLR
Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi baru lahir yang
saat dilahirkan memiliki berat badan senilai < 2500 gram tanpa menilai
masa gestasi. (Sholeh, 2014). Pada tahun 1961 oleh World Health
Organization (WHO) semua bayi yang telah lahir dengan berat badan
saat lahir kurang dari 2.500 gram disebut Low Birth Weight Infants atau
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
Banyak yang masih beranggapan apabila BBLR hanya terjadi pada
bayi prematur atau bayi tidak cukup bulan. Tapi, BBLR tidak hanya
bisa terjadi pada bayi prematur, bisa juga terjadi pada bayi cukup bulan
yang mengalami proses hambatan dalam pertumbuhannya selama
kehamilan (Profil Kesehatan Dasar Indonesia, 2014).
2.1.2 Etiologi BBLR
Etiologi dari BBLR dapat dilihat dari faktor maternal dan faktor fetus.
Etiologi dari maternal dapat dibagi menjadi dua yaitu prematur dan
IUGR (Intrauterine Growth Restriction). Yang termasuk prematur dari
faktor maternal yaitu Preeklamsia, penyakit kronis, infeksi,
penggunaan obat, KPD, polihidramnion, iatrogenic, disfungsi plasenta,
plasenta previa, solusio plasenta, inkompeten serviks, atau malformasi
uterin. Sedangkan yang termasuk IUGR (Intrauterine Growth
Restriction) dari faktor maternal yaitu Anemia, hipertensi, penyakit
ginjal, penyakit kronis, atau pecandu alcohol atau narkortika. Selain
etiologi dari faktor maternal juga ada etiologi dari faktor fetus. Yang
termasuk prematur dari faktor fetus yaitu Gestasi multipel atau
malformasi. Sedangkan, yang termasuk IUGR (Intrauterine Growth
Restriction) dari faktor fetus yaitu Gangguan kromosom, infeksi
intrauterin (TORCH), kongenital anomali, atau gestasi multipel
(Bansal, Agrawal, dan Sukumaran, 2013).
8

7
Selain itu ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan bayi dengan
berat badan lahir rendah atau biasa disebut BBLR (Proverawati dan
Ismawati, 2010) :
2.1.2.1 Faktor ibu :
a) Penyakit Penyakit kronik adalah penyakit yang sangat lama
terjadi dan biasanya kejadiannya bisa penyakit berat yang
dialami ibu pada saat ibu hamil ataupun pada saat
melahirkan. Penyakit kronik pada ibu yang dapat
menyebabkan terjadinya BBLR adalah hipertensi kronik,
Preeklampsia, diabetes melitus dan jantung (England,
2014).
1) Adanya komplkasi - komplikasi kehamilan, seperti
anemia, perdarahan antepartum, preekelamsi berat,
eklamsia, infeksi kandung kemih.
2) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular
seksual, hipertensi atau darah tinggi, HIV/AIDS,
TORCH, penyakit jantung.
3) Salah guna obat, merokok, konsumsi alkohol.
2.1.2.2 Ibu (geografis)
a) Usia ibu saat kehamilan tertinggi adalah kehamilan pada
usia < 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek dari anak
satu ke anak yang akan dilahirkan (kurang dari 1 tahun).
c) Paritas yang dapat menyebabkan BBLR pada ibu yang
paling sering terjadi yaitu paritas pertama dan paritas lebih
dari 4.
d) Mempunyai riwayat BBLR yang pernah diderita
sebelumnya.
2.1.2.3 Keadaan sosial ekonomi
a) Kejadian yang paling sering terjadi yaitu pada keadaan
sosial ekonomi yang kurang. Karena pengawasan dan
perawatan kehamilan yang sangat kurang.
b) Aktivitas fisik yang berlebihan dapat juga mempengaruhi
keadaan bayi. diusahakan apabila sedang hamil tidak
melakukan aktivitas yang ekstrim.
9

c) Perkawinan yang tidak sah juga dapat mempengaruhi fisik


serta mental.
2.1.2.4 Faktor janin
Faktor janin juga bisa menjadi salah satu faktor bayi BBLR
disebabkan oleh : kelainan kromosom, infeksi janin kronik
(inklusi sitomegali, rubella bawaan, gawat janin, dan
kehamilan kembar).
2.1.2.5 Faktor plasenta
Faktor plasenta yang dapat menyebabkan bayi BBLR juga
dapat menjadi salah satu faktor. Kelainan plasenta dapat disebabkan oeh
: hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta, sindrom tranfusi bayi
kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini. 2.1.2.6 Faktor
lingkungan
Banyak masyarakat yang menganggap remeh adanya faktor
lingkungan ini. Faktor lingku ngan yang dapat menyebabkan
BBLR, yaitu : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi,
serta terpapar zat beracun (England, 2014).
2.1.3 Manifetasi klinis BBLR
Manifestasi klinis atau biasa disebut gambaran klinis biasanya
digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian yang sedang terjadi.
Manifestasi klinis dari BBLR dapat dibagi berdasarkan prematuritas
dan dismaturitas. Manifestasi klinis dari premataturitas yaitu :
a) Berat lahir bernilai sekitar < 2.500 gram, panjang badan < 45 cm,
lingkaran dada < 30 cm, lingkar kepala < 33 cm.
b) Masa gestasi kurang dari 37 minggu.
c) Kulit tipis dan mengkilap dan lemak subkutan kurang.
d) Tulang rawan telinga yang sangat lunak.
e) Lanugo banyak terutama di daerah punggung.
f) Puting susu belum terbentuk dengan bentuk baik.
g) Pembuluh darah kulit masih banyak terlihat.
h) Labia minora belum bisa menutup pada labia mayora pada bayi
jenis kelamin perempuan, sedangkan pada bayi jenis kelamin laki –
laki belum turunnya testis.
i) Pergerakan kurang, lemah serta tonus otot yang mengalami
hipotonik.
j) Menangis dan lemah.
10

k) Pernapasan kurang teratur.


l) Sering terjadi serangan apnea.
m) Refleks tonik leher masih lemah.
n) Refleks mengisap serta menelan belum mencapai sempurna
(Saputra, 2014).
Selain prematuritas juga ada dismaturitas. Manifestasi klinis dari
dismaturitas sebagai berikut :
a) Kulit pucat ada seperti noda.
b) Mekonium atau feses kering, keriput, dan tipis
c) Verniks caseosa tipis atau bahkan tidak ada
d) Jaringan lemak dibawah kulit yang masih tipis
e) Bayi tampak gersk cepat, aktif, dan kuat
f) Tali pusat berwarna kuning agak kehijauan (Saputra, 2014).
2.1.4 Patofisologi dan pathway BBLR
Semakin kecil dan semakin premature bayi itu maka akan semakin
tinggi resiko gizinya. Beberapa faktor yang memberikan efek pada
masalah gizi.
a) Menurunnya simpanan zat gizi padahal cadangan makanan di
dalam tubuh sedikit, hamper semua lemak, glikogen dan mineral
seperti zat besi, kalsium, fosfor dan seng di deposit selama 8
minggu terakhir kehamilan. Dengan demikian bayi preterm
mempunyai potensi terhadap peningkatan hipoglikemia, anemia
dan lain-lain. Hipoglikemia menyebabkan bayi kejang terutama
pada bayi BBLR Prematur.
b) Kurangnya kemampuan untuk mencerna makanan. Bayi preterm
mempunyai lebih sedikit simpanan garam empedu, yang diperlukan
untuk mencerna dan mengabsorpsi lemak dibandingkan dengan
bayi aterm.
c) Belum matangnya fungsi mekanis dari saluran pencernaan,
koordinasi antara refleks hisap dan menelan belum berkembang
dengan baik sampai kehamilan 32-34 minggu, padahal bayi BBLR
kebutuhan nutrisinya lebih tinggi karena target pencapaian BB nya
lebih besar. Penundaan pengosongan lambung dan buruknya
motilitas usus terjadi pada bayi preterm.
d) Paru yang belum matang dengan peningkatan kerja napas dan
kebutuhan kalori yang meningkat. Potensial untuk kehilangan
panas akibat luas permukaan tubuh tidak sebanding dengan BB dan
sedikitnya lemak pada jaringan di bawah kulit. Kehilangan panas
ini akan meningkatkan kebutuhan kalori
11
12

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang BBLR


Menurut Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi (2015) pemeriksaan
penunjang bayi BLLR antara lain :
a) Periksa jumlah sel darah putih : 18.000/mm3, netrofil meningkat
sampai 23.000 – 24.000/mm3, hari pertama setelah lahir (menurun
bila ada sepsis).
b) Hematokrit (Ht) : 43% - 61% (peningkatan sampai 65% atau lebih
menandakan polisetmia, penurunan kadar menunjukkan anemia
atau hemoragic perinatal.
c) Hemoglobin (Hb): 15-20 gr/dl kadar lebih rendah berhubungan
dengan anemia atau hemolisis berlebih ).
d) Bilirubin total: 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2
hari, dan 12 mg/dl pada 3-5 hari.
e) Destrosix: tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah
kelahiran rata – rata 40-50 mg/dl meningkat 60-70 mg/dl pada hari
ketiga
f) Pemeriksaan analisa gas darah.
2.1.6 Penatalaksanaan Medis BBLR
Menurut (Syafrudin dan Hamidah, 2009) Bayi berat badan lahir rendah
(BBLR) menjadi perhatian yang cukup besar serta memerlukan
penanganan yang tepat dan cepat. Untuk mengatasi masalah-masalah
yang terjadi. Penanganan BBLR meliputi Hal – hal berikut :
a) Mempertahankan suhu dengan ketat. BBLR mudah mengalami
hipotermia. Maka, suhu sering diperhatikan dan dijaga ketat.
b) Mencegah infeksi dengan ketat. Dalam penanganan BBLR harus
memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi karena sangat
rentan. Bayi BBLR juga memiliki imunitas yang sangat kurang. Hal
sekecil apapun harus perlu diperhatikan untuk pencegahan bayi
BBLR. Salah satu cara pencegahan infeksi, yaitu dengan mencuci
tangan sebelum memegang bayi.
c) Pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada BBLR belum
sempurna dan lemahnya refleks otot juga terdapat pada bayi BBLR
Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus dilakukan dengan hati-hati.
d) Penimbangan ketat. Penimbangan berat badan harus perlu
dilakukan secara ketat karena peningkatan berat badan merupakan
13

salah satu status gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya
tahan tubuh .

Ada juga penatalaksanaan menurut (Proverawati, A. 2010) yaitu


Penatalaksanaan umum pada bayi dengan BBLR dapat dilakukan
beberapa hal sebagai berikut:
a) Mempertahankan Suhu Tubuh Bayi
Keadaan bayi BBLR akan mudah mengalami rasa kehilangan panas
badan dan menjadi hipotermi, karena pada pusat pengaturan panas
badan belum berfungsi secara baik dan optimal, metabolismenya
masih rendah, dan permukaan badannya yang sangat relatif luas.
Maka, bayi harus di rawat pasa suatu alat di dalam inkubator
sehingga mendapatkan kehangatan atau panas badan sesuai suhu
dalam rahim. Inkubator terlebih dahulu dihangatkan, sampai sekitar
29,40C untuk bayi dengan berat badan sebesar 1,7 kg dan suhu
sebesar 32,20C untuk bayi yang memiliki berat badan lebih kecil.
Bila tidak memiliki alat atau tidak terdapat inkubator, bayi dapat
dibungkus menggunakan kain dan pada sisi samping dapat
diletakkan botol ysng diisi dengan air hangat. Selain itu, terdapat
metode kanguru yang dapat dilakukan dengan cara menempatkan
atau menempelkan bayi secara langsung di atas dada ibu.
b) Pengaturan dan Pengawasan Intake Nutrisi
Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi yang dimaksud yaitu
menentukan pilihan susu yang sesuai, tata cara pemberian dan
pemberan jadwal yang cocok dengan kebutuhan bayi dengan
BBLR. ASI (Air Susu Ibu) merupakan pilihan utama apabila bayi
masih mampu mengisap. Tetapi, jika bayi tidak mampu untuk
mengisap maka dapat dilakukan dengan cara ASI dapat diperas
terlebih dahulu lalu diberikan kepada bayi dengan menggunakan
sendok atau dapat dengan cara memasang sonde ke lambung secara
langsung. Jika ASI tidak dapat mencukupi atau bahkan tidak ada,
khusus pada bayi dengan BBLR dapat digunakan susu formula
yang komposisinya mirip ASI atau biasanya dapat disebut susu
formula khusus untuk bayi BBLR (Hartini, 2017).
c) Pencegahan Infeksi Bayi
14

BBLR memiliki imun dan daya tahan tubuh yang relatif kecil
ataupun sedikit. Maka, sangat berisiko bayi BBLR akan sering
terkena infeksi. Pada bayi yang terkena infeksi dapat dilihat dari
tingkah laku, seperti memiliki rasa malas menetek, gelisah, letargi,
suhu tubuh yang relatif meningkat, frekuensi pernapasan cenderung
akan meningkat, terdapat muntah, diare, dan berat badan mendadak
akan semakin turun. Fungsi perawatan di sini adalah memberi
perlindungan terhadap bayi BBLR dari bahaya infeksi. Oleh karena
itu, bayi tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk
apapun. Digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan
bayi, perawatan luka tali pusat, perawatan mata, hidung, kulit,
tindakan asepsis dan antisepsis alatalat yang digunakan, rasio
perawat pasien ideal, menghindari perawatan yang terlalu lama,
mencegah timbulnya asfiksia dan pemberian antibotik yang tepat
(Kusparlina, 2016).
d) Hidrasi Pada bayi
BBLR tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya kekurangan
cairan dan elektrolit. Maka, perlu dilakukan tindakan hidrasi untuk
menambah asupan cairan serta elektrolit yang tidak cukup untuk
kebutuhan tubuh.
e) Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen dapat dilakukan apabila diperlukan pada bayi
BBLR. Pemberian oksigen ini dilakukan untuk mengurangi bahaya
hipoksia dan sirkulasi. Apabila kekurangan oksigen pada bayi BLR
dapat menimbulkan ekspansi paru akibat kurngnya surfaktan dan
oksigen pada alveoli. Konsentrasi oksigen yang dapt diberikan
pada bayi BBLR sekitar 30%-35% dengan menggunakan head box.
Konsentrasi oksigen yang cukup tinggi dalam waktu yang panjang
akan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan retina. Oksigen
dapat dilakukan melalui tudung kepala, dapat menimbulkan
kebutaan pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Sebisa
mungkin lakukan dengan bahaya yang sangat kecil mungkin dapat
dilakukan dengan pemberian alat CPAP (ContinousPositive Airway
Pressure) atau dengan pipa endotrakeal untuk pemberian
konsentrasi oksigen yang cukup aman dan relatif stabil.
15

f) Pengawasan Jalan Nafas


Salah satu bahaya yang paling besar dalam bayi BBLR yaitu
terhambatnya jalan nafas. Jalan nafas tersebut dapat menimbulkan
asfiksia, hipoksia, dan akhirnya kematian. Selain itu bayi BBLR
susah dalam beradaptasi apabila terjadi asfiksia selama proses
kelahiran sehingga menyebabkan kondisi pada saat lahir dengan
asfiksia perinatal. Bayi BBLR memiliki resiko mengalami serangan
apneu dan defisiensi surfaktan, sehingga tidak dapat memperoleh
oksigen yang cukup yang sebelumnya diperoleh dari plasenta.
Dalam kondisi seperti ini diperlukan tindakan pemberian jalan
nafas segera setelah lahir (aspirasi lendir), dibaringkan pada posisi
yang miring, merangsang pernapasan dengan cara menepuk atau
menjentik tumit. Bila tindakan ini dapat gagal, dilakukan ventilasi,
intubasi endotrakheal, pijatan jantung dan pemberian oksigen dan
selama pemberian intake dicegah untuk terjadinya aspirasi.
Tindakan ini dapat dicegah untuk mengatasi asfiksia sehingga
dapat memperkecil kejadian kematian bayi BBLR (Proverawati,
2010).

2.2 Sistem Pernapasan


2.2.1 Definisi Respiratori Distress Sindrom
Gangguan pernafasan pada bayi baru lahir merupakan gejala kompleks
yang timbul dari proses penyakit yang menyebabkan kegagalan
mempertahankan pertukaran gas. Respiratory Distress of Newborn
(RDN) atau gangguan pernafasan pada bayi baru lahir adalah salah satu
gangguan yang paling umum ditemui dalam 48-72 jam pertama
kehidupan RDN merupakan sekumpulan gejala gangguan nafas pada
bayi baru lahir dengan tandatanda takipnea (>60x/menit), grunting,
retraksi dada, nafas cuping hidung, dan sianosis yang biasanya
disebabkan oleh ketidakmaturan dari sel tipe II untuk menghasilkan
surfaktan yang memadai (Brahmaiah & Reddy, 2017).
2.2.2 Klasifikasi Kegawatan Pernafasan pada Bayi
Down score dapat digunakan untuk mendiagnosis cepat dari gawat nafas
yang dialami oleh bayi baru lahir dalam menilai tingkat keparahannya.
Down score dapat dijadikan sebagai pengakajian klinis awal dalam Tabel
2.1 Klasifikasi Kegawatan Pernafasan pada Bayi
16

Sumber: Mathai (2010)

memantau derajat gawat nafas pada bayi RDN tanpa melalui uji yang
kompleks di unit perawatan (Buch, Makwana, & Chudasama, 2013).
Berikut ini adalah penilaian evaluasi gawat nafas menurut skor Down.

2.2.3 Etiologi
Penyebab umum gangguan pernapasan pada bayi baru lahir adalah
takipnea transien pada bayi baru lahir (TTN), sindrom gangguan
pernapasan (RDS), sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis,
asfiksia lahir, CHD, ensefalopati iskemik hipoksia dan malformasi
kongenital.
2.2.3.1 Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Penyakit Membrane
Hialin (PMH)
Sindrom gangguan pernapasan bayi terjadi karena kekurangan
surfaktan yang merupakan konsekuensi dari produksi yang tidak
cukup oleh paru-paru yang belum matang atau mutasi genetik
pada salah satu protein surfaktan, SP-B. Surfaktan diperlukan
untuk alveoli paru-paru kecil untuk mengatasi ketegangan
permukaan dan tetap terbuka. Tanpa surfaktan yang adekuat,
tekanan yang diberikan untuk membuka alveoli ini dengan
pernapasan bayi yang sulit atau dengan ventilator mekanik
memecahkan alveoli, menghasilkan gambaran seperti emfisema,
atau pneumotoraks, jika udara keluar di luar paru-paru dan
terperangkap di dinding dada (Liu et al., 2014).
17

2.2.3.2 Transient Tachypnea of Newborn (TTN)


Takipnea Bayi Baru Lahir Sementara atau terkadang disebut
sindrom kegawat daruratan pernafasan tipe II, biasanya terjadi
pada bayi-bayi preterm atau bayi cukup bulan pascapersalinan per
vaginam atau operasi caesar.
2.2.3.3 Meconium Aspiration Syndrome (MAS)
Sindrom Aspirasi Mekonium biasanya terjadi pada bayi cukup
bulan atau lewat bulan. Di dalam uterus atau lebih sering pada
pernafasan pertama, meconium yang kental teraspirasi ke dalam
paru-paru yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas sehingga
menimbulkan gejala kegawatan pernafasan dalam beberapa jam
pertama dengan gejala takipnea, retraksi, mendengkur dan
sianosis pada bayi yang terkena gejala berat. Distensi dada yang
berlebihan dapat menonjol.
2.2.3.4 Asfiksia Neonatorum (Asfiksia Lahir)
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak mampu bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir (Caroline, Syuul, & Nancy, 2014).
2.2.3.5 Pneumonia
Pneumonia onset dini terjadi dalam tiga hari pertama kehidupan,
akibat penularan bakteri plasenta atau aspirasi cairan ketuban
yang terinfeksi. Infeksi pernapasan pada bayi baru lahir mungkin
berasal dari bakteri, virus, jamur, spirochetal, atau protozoa. Bayi
dapat memperoleh pneumonia secara transplasenta, melalui cairan
amniotik yang terinfeksi, melalui kolonisasi pada saat kelahiran,
atau secara nosokomial.
2.2.3.6 Malformasi Kongenital Congenital Heart Defect (CHD) atau
penyakit jantung bawaan (PJK) adalah kelompok malformasi
kongenital yang paling umum.
2.2.4 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa RDN dapat ditegakkan melalui pemeriksaan foto thoraks,
AGD, hitung darah lengkap, perubahan elektrolit dan biopsy paru
(Lowdermilk et al., 2014).
2.1.4.1 Foto Thoraks
18

a) Pemeriksaan radiologis, mula-mula tidak ada kelainan jelas


pada foto dada, setelah 12-24 jam akan tampak infiltrate
alveolar tanpa batas yang tegas diseluruh paru.
b) Pola retikulogranular difus bersama bronkhogram udara yang
saling tumpah tindih.
c) Tanda paru sentral, batas jantung sukar dilihat, inflasi paru
buruk.
2.1.4.2 AGD menunjukkan asidosis respiratory dan metabolik yaitu
adanya penurunan pH, penurunan PaO2, dan peningkatan paCO2,
penurunan HCO3.
2.1.4.3 Hitung darah lengkap
2.1.4.4 Perubahan elektrolit, cenderung terjadi penurunan kadar: kalsium,
natrium, kalium dan glukosa serum.
2.1.4.5 Biopsi paru, terdapat adanya pengumpulan granulosit secara
abnormal dalam parenkim paru.
2.2.5 Penatalaksanaan
Menurut Lowdermilk et al., (2014), penatalakasanaan pada bayi baru
lahir dengan gangguan pernafasan sebagai berikut :
a) Terapi Oksigen Tujuan terapi oksigen adalah untuk menyediakan
oksigen yang memadai bagi jaringan, mencegah akumulasi asam
laktat yang dihasilkan oleh hipoksiaserta pada waktu yang sama
menghindari efek negative yang potensial dari hiperoksia dan radikal
bebas.
b) Resusitasi Neonatal Pengkajian bayi yang cepat dapat
mengidentifikasi bayi yang tidak membutuhkan resusitasi : bayi lahir
cukup bulan tanpa ada bukti meconium atau infeksi pada pada cairan
amnion, bernafas atau menangis, dan memiliki tonus otot yang baik.
Keputusan untuk melanjutkan langkah tindakan berdasarkan
pengkajian pernafasan, denyut jantung dan warna. Jika salah satu
karakteristik tersebut tidak ada, maka bayi harus menerima tindakan
resusitasi jantung
c) Terapi Tambahan Terapi tambahan Nitrat hidup (inhaled nitric
oxcideINO), extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), dan
cairan ventilasi merupakan terapi tambahan yang digunakan pada
digunakan bagi bayi matur/cukup bulan dan prematur akhir dengan
19

kondisi seperti hipertensi pulmonal, sindrom aspirasi mekonium,


pneumonia, sepsis, dan hernia diafragmatika kongenital untuk
mengurangi atau membalikkan hipertensi pulmonal, vasokontstriksi
paru, asidosis, serta distres pernapasan dan gagal napas bayi baru lahir.
Terapi INO digunakan bersamaan dengan terapi penggantian
surfaktan, ventilasi frekuensi tinggi, atau ECMO.

2.3 Konsep Metode Posisi Pronasi


2.4.1 Definisi Posisi Pronasi
Definisi posisi pronasi (PP) adalah posisi dimana kepala diletakkan pada
posisi lateral dengan siku fleksi atau ekstensi. Tulang panggul diganjal
bantal kecil dan gulungan kain diletakkan di bawah dada supaya
abdomen tidak tertekan. Perlindungan terhadap tekanan pada abdomen
dipertimbangan sebagai faktor yang penting untuk keefektifan posisi
pronasi (Relvas, 2003).
Posisi prone adalah posisi bayi ketika lahir lutut fleksi di bawah abdomen
dan posisi badan telungkup (Wong, et al., 2003).Dengan meletakkan bayi
pada posisi prone, gravitasi dapat menarik lidah ke anterior sehingga
jalan nafas lebih baik, dengan demikian udara dapat masuk keparu-paru,
alveoli dan keseluruh jaringan tubuh. Posisi yang terbaik untuk bayi
adalah posisi fleksi, posisi tersebut hanya didapatkan pada posisi prone.
Tujuan memposisikan prone pada bayi dengan BBLR adalah untuk
meningkatkan oksigenasi, meningkatkan mekanika pernapasan,
homogenisasi gradient tekanan pleura, dan meningkatkan volume
paruparu dan memfasilitasi kelancaran sekresi (Putri, 2016).

Gambar 2.1 Posisi Pronasi


20

2.4.2 Fisiologi Pengembangan Paru pada Posisi Pronasi


Dampak fisiologis posisi pronasi dalam peningkatan status oksigenasi
pasien yang mengalami masalah pernafasan berat adalah pada status
oksigenasi dan mekanika pernafasan. PP menurunkan faktor mekanik
pernafasan yang berhubungan dengan pemakaian ventilator yaitu pada
masalah pernafasan berat meliputi adanya tekanan pleura yang tidak
homogen, inflasi alveolar dan ventilasi, peningkatan volume paru
sehingga akan terjadi penurunan area atelektasis dan meningkatkan
bersihan jalan nafas (Putri, 2016).
Dampak oksigenasi PP pada inflasi alveolar akan mengakibatkan
distribusi inflasi alveolar lebih homogen pada tekanan transpulmonal.
Terdapat pergerakan densitas paru dari ventral ke arah dorsal pada
pengembalian posisi dari PS ke PP. Ukuran berat paru akan
mempengaruhi distribusi ulang udara intrapulmonal. Distribusi ulang
udara intrapulmonal ini berhubungan dengan tekanan hidrostatik. PP
akan mengakibatkan kemungkinan area paru dependent yang merupakan
area ventral lebih minimal untuk menjadi kolap karena tekanan
hidrostatik (Putri, 2016). Massa jantung mempengaruhi oksigenasi
pasien ARDS. Hal ini dikarenakan lokasi kedua paru berada dibawah
jantung sehingga akan memberikan tekanan pada fraksi paru. Pada PP
hanya terdapat sebagian kecil fraksi paru yang terpengaruh adanya
tekanan jantung (Putri, 2016). Sebagian besar fraksi paru berada pada
bagian kiri dimana merupakan lokasi jantung. PP akan memperlihatkan
paru-paru dorsal terhindar dari tekanan langsung dari jantung dan hanya
sebagian kecil area ventral paru yang mendapatkan tekanan. PP akan
mengakibatkan tekanan jantung langsung mengenai sternum sehingga
tidak akan menekan paru-paru (Putri, 2016).
2.4.3 Prosedur Posisi Pronasi
Prosedur PP untuk oksigenasi dilakukan dengan tahapan persiapan pasien
dan penempatan pada posisi PP dengan memperhatikan kontraindikasi.
Tahap persiapan pasien dilakukan dengan (Relvas, et al. 2003):
a) Lakukan radiografi dan pastikan bahwa endotracheal tube terletak
dengan tepat pada trakea.
b) Pastikan keamanan pada endotrakheal tube, periksa pulse oksimetri,
dan kateter inweling.
21

c) Pindahkan elektrode EKG ke aspek lateral dibagian atas tangan dan


panggul.
d) Pertimbangkan untuk menutup pipa yang tidak penting pada kateter
vaskuler dan NGT.
e) Lakukan suction pada oropharynx.
f) Berikan bantalan atau balutan pada area tertekan (lutut).
g) Kaji adanya kebutuhan khusus di tempat tidur.
h) Berikan tanggungjawab pada masing-masing anggota team PP (jalan

nafas harus selalu dijaga pada anak di perawatan intensif). Posisi

Pronasi dilakukan dengan cara (Defi Efendi , et al. 2019):

a) Posisikan bayi pronasi


b) Saat membalik posisi dari supinasi ke pronasi, tetap pertahankan
posisi supinasi dengan cara memegang tangan dan kaki bayi selama
proses peralihan posisi
c) Hadapkan kepala pada salah satu sisi dan ubah posisi kepala secara
rutin untuk mencegah deformitas kepala
d) Pinggul dan lutut di fleksikan sehingga membentuk posisi kaki
katak.
e) Pastikan posisi pinggul lurus dengan sumbu tubuh dan tidak miring
kesalah satu posisi.
f) Posisikan tangan dan kaki dibawah tubuh bayi dengan posisi ujung
tangan menuju kemuka
g) Berikan bantalan lembut dan tipis dibawah sternum dan perut untuk
mensuport dada bayi bernafas dan mencegah retraksi bahu
h) Rapatkan nest sehingga dapat menopang dan mempertahankan
bentuk posisi yang dijelaskan di atas
i) Pemberian posisi ini harus diiringi dengan pemasangan monitor
kardio-respiratori untuk memantau status oksigenasi

2.4.4 Kontraindikasi literatur tentang posisi pronasi pada pasien ARDS


menyebutkan bahwa pasien harus dalam kondisi hemodinamik stabil dan
MAP ≥ 65 mmHg
pada saat implementasi posisi (Guerin et al, 2020). Terdapat
kontraindikasi mutlak dan relatif yang perlu dipertimbangkan dalam
mengimplementasikan posisi pronasi. Kontraindikasi mutlak yaitu distres
22

pernapasan (laju pernapasan ≥ 35, PaCO2 ≥ 65, dan/atau penggunaan


otot bantu napas), kebutuhan segera untuk intubasi, ketidakstabilan
hemodinamik (tekanan darah sistolik <90 mmHg) atau aritmia, agitasi
atau perubahan status mental, kondisi tulang belakang tidak stabil/cedera
toraks/pembedahan abdomen tidak lama ini. Sedangkan kontraindikasi
relatif termasuk cedera wajah, masalah neurologis, obesitas morbid,
kehamilan (trimester 2/3) dan luka tekan/ulkus (Bamford et al, 2020).
2.4.5 Analisis jurnal tentang metode Posisi Pronasi
Tabel 2.2 Analisis jurnal intervensi Posisi Pronasi
No Judul jurnal Validty Important Applicable
1 Pengaruh Desain: - Pemberian posisi Hasil
Posisi Pronasi Kuantitatif pronasi berdampak penelitian ini
Pada Bayi Quasi pada saturasi oksigen dapat
yang awalnya rerata dimanfaatkan
Prematur ksperimental
92.87 secara bertahap sebagai salah
Terhadap merupakan meningkat menjadi satu
Perubahan metode 96.46 pada 1 jam asuhan
Hemodinamik penelitian yang pertama dan 97.25 keperawatan
digunakan, pada 2 jam pertama pada bayi
dengan dengan deviasi yang prematur
pendekatan pre semakin kecil. yaitu dengan
- Hasil penelitian pemberian
post test
menunjukkan bahwa posisi
intervensi pada pemberian posisi pronasi.
design terhadap pronasi terhadap HR Semakin lama
responden sebelum dan sesudah durasi
tentang intervensi pemberian
perbedaan menunjukkan posisi
sebelum dan signifikasi (Pv 0.027 pronasi di
pada berikan
sesudah
1 jam pertama dan Pv semakin baik
pemberian 0.008 pada 2 jam status
Posisi Pronasi pertama. hemodinamik
terhadap status - Pemberian posisi pada bayi
hemodinamik pronasi terhadap prematur.
(Frekuensi frekuensi nafas
Nafas, sebelum dan
sesudah
Frekuensi intervensi
Denyut Jantung, menunjukkan
dan SpO2) pada signifikasi (Pv 0.748
bayi prematur. pada 1 jam pertama dan
Populasi: Pv 0.733 pada 2 jam
Populasi dalam pertama.
penelitian ini
23

adalah bayi
prematur yang
dirawat di ruang
neonatus.
Sampel:
Responden pada
penelitian ini
berjumlah 32
bayi prematur
yang
dilakukan pada
2 RS Swasta di
Jakarta dan 1
RS Swasta di
Bintaro.
Penelitian
dilaksanakan
pada bulan
Maret - Mei
2018
2 Studi Kasus: Jenis penelitian Hasil implementasi posisi Studi kasus
Pemberian yang digunakan pronasi pada By I selama ini dapat
Posisi Pronasi adalah studi 10 hari memberi
dalam kasus. didapatkan rata-rata SpO2 wawasan
Menjaga Sampel sebelum tentang
Stabilitas Studi kasus posisi pronasi adalah 96,2 bagaimana
Saturasi menggunakan 3 % dan ratarata SpO2 posisi
Oksigen, bayi sebagai setelah pemberian posisi pronasi
Frekuensi responden selama 60 menit adalah digunakan
Nadi, dengan kriteria 98,3%. Terjadi dalam
Pernafasan sebagai berikut peningkatan 2,1 % SpO2 intervensi
By I berusia antara
Dan Suhu untuk
2829 mg sebelum pemberian
pada Bayi memperbaiki
dengan berat posisi dan sesudah
Gawat Nafas masalah pola
badan saat ini pemberian posisi pronasi.
985 gr. By II Pada By II didapatkan pernapasan
berusia 35-36 rata-rata saturasi oksigen
mg dengan sebelum pemberian
berat badan saat posisi adalah 92% dan
ini 2060 gr dan sesudah pemberian
By posisi adalah 93,5%.
III berusia 29- Terjadi peningkatan
30 mg dengan 1,5% saturasi oksigen
berat badan saat pada By
ini 1035. II.
Sedangkan pada bayi III
rata-rata
saturasi oksigen sebelum
pemberian
posisi pronasi adalah
89,5% dan
setelah pemberian posisi
pronasi
didapatkan rata-rata
saturasi oksigen
24

pasien By III sebesar


97,5%. Terjadi
8% peningkatan saturasi
oksigen. Dari ketiga bayi
ditemukan rata-rata
peningkatan saturasi
oksigen sebelum
pemberian posisi dan
setelah
pemberian posisi pronasi
adalah 3,8%.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Gagal Napas


2.3.1 Pengkajian
Merupakan data dasar klien yang komprehensif mencakup riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan diagnostik dan
laboratorium serta informasi dari tim kesehatan serta keluarga klien yang
meliputi :
2.3.1.1 Identitas : Usia ibu saat hamil, usia kehamilan, kehamilan dengan
penyakit penyerta
2.3.1.2 Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama : PB < 45 cm, LD < 30 cm, LK < 33 cm.
Kesadaran apatis, daya hisap lemah atau bayi tak mau
minum, hipotonia letargi, dan mungkin terjadi kelumpuhan
otot ekstravaskuler.
b) Riwayat penyakit sekarang Bayi dengan ukuran fisik :
UK < 37 minggu, BB < 2500 gram, panjang badan < 45 cm.
Gambaran fisik : kepala lebih besar dari badan, kulit tipis
transparan, rambut lanugo banyak, lemak subkutan tipis, daya
hisap lemah atau bayi tak mau minum, tangis yang
melengking.
c) Riwayat penyakit dahulu Bayi beresiko mengalami BBLR,
jika ibu mempunyai riwayat penyakit seperti hipertensi,
plasenta pervia, kehamilan kembar, malnutrisi, kebiasaan ibu
merokok, minum alkohol, ibu yang memderita penyakit
malaria, dll.
d) Riwayat kehamilan dan melahirkan Adanya riwayat
melahirkan sebelumnya,dan pada saat partus siapakah yang
berperan dalam proses pertolongan partus tersebut. Riwayat
pemberian ANC terpadu termasuk didalamnya.
25

e) Riwayat imunisasi Pemberian vaksin tetanus diberikan 2 kali


pada ibu hamil, yaitu TT (tetanus) I diberikan setelah bulan
ke3 dan TT II diberikan dengan interval minimal 1 bulan,
serta tidak boleh < 1 bulan sebelum persalinan agar kadar anti
tetanus serum bayi mencapai kadar optimal. Bila ibu hamil
belum mendapatkan polio, berikan vaksin polio yang aman
untuk ibu hamil.
f) Riwayat nutrisi Masalah pemberian ASI pada BBLR terjadi
karena ukuran tubuh bayi dengan BBLR kecil, kurang energi,
lemah, lambungnya kecil dan tidak dapat menghisap. Bayi
dengan BBLR sering mendapatkan pemberian ASI dalam
jumlah yang lebih sedikit tetapi sering. Bayi BBLR dengan
kehamilan lebih dari 35 minggu dan berat lahir lebih dari
2000 gram umumnya bisa langsung menetek
(Proverawati.dkk, 2010).
2.3.1.3 Kebutuhan dasar
a) Pola Nutrisi : reflek sucking lemah, volume lambung kurang,
daya absorbsi kurang atau lemah sehingga kebutuhan nutrisi
terganggu
b) Pola Personal hygiene : Perawat dan keluarga pasien harus
menjaga kebersihan pasien, terutama saat BAB dan BAK,
saat BAB dan BAK harus diganti popok khusus bayi BBLR
yang kering dan halus.
c) Pola Aktivitas : gerakan kaki dan tangan lemah
d) Pola Eliminasi: BAB yang pertama kali keluar adalah
mekonium, produksi urin rendah, frekuensi BAB normal
pada neonatus adalah lebih dari 4x dalam sehari sedangkan
frekuensi BAK normal lebih 6x dalam sehari, volume urin
normal berkisar antara 1-2 ml/kg berat badan per jam, jadi
bila berat badan bayi 2,5 -5 kg urin yang dihasilkan berkisar
60- 240 ml dalam sehari.
e) Pola Tidur : Bayi cenderung lebih banyak tidur.
2.3.1.4 Pemeriksaan fisik
a) Keadaan Umum
26

1) Pada umumnya pasien dengan BBLR dalam keadaan


lemah, bayi terlihat kecil, pergerakan masih kurang dan
lemah, BB <2500 gram, dan tangisan masih lemah.
2) Nadi : 180 kali per menit, kemudian menurun sampai
120- 140x/menit
3) RR : 80 kali per menit, kemudian menurun sampai
40x/menit
4) Suhu : kurang dari 36,5 C
2.3.1.5 Pemeriksaan ABCD
a) Antropometri pada bayi dengan BBLR terutama berat badan
terbagi menjadi 3 yaitu : BBLR berat antara 1500- 2500
gram, BBLSR berat antara 1000-1500 gram, dan BBLER
berat kurang dari 1000 gram, lingkar dada < 33 cm
(Proverawati,2010)
b) Biokimia, pada bayi BBLR sering dijumpai adanya
peningkatan kadar hemogloblin, eritrosit karena imaturitas
dari sel dan belum sempurnanya enzim.
c) Clinical, pada BBLR berat badan bayi belum memenuhi
standar yakni 2500 gram dan pada kasus ini biasanya juga
terjadi kelemahan reflek atau fungsi menghisap.
d) Diet Makanan atau nutrisi yang diberikan biasanya hanya ASI
dan susu formula khusu BBLR jika disarankan oleh dokter
2.3.1.6 Pemeriksaan fisik head to toe
a) Kepala
1) Inspeksi : biasanya pada BBLR kepala lebih besar dari
badan, kulit tipis, ubun ubun besar dan kecil belum
menutup
2) Palpasi : pada BBLR rambut tipis dan halus, lingkar
kepala
b) Mata
1) Inspeksi : mata simetris, pupil isokor, terdapat banyak
lanugo pada area pelipis, konjungtiva anemis
(Manggiasih & Jaya, 2016).
c) Hidung
27

1) Inspeksi : terdapat pernafasan cuping hidung akibat


gangguan pola nafas, terpasang selang oksigen 1-2
liter/menit
2) Palpasi : pada BBLR tulang hidung masih lunak, karena
tulang rawan belum sempurna (Pantiawati, 2010, p. 48).
d) Mulut
1) Inspeksi : pucat, sianosis, mukosa bibir kering, terpasang
selang OGT (Sudarti & Fauziah, 2013).
e) Telinga
1) Inspeksi : pada BBLR terlihat banyak lanugo, daun
telinga imatur
2) Palpasi : daun telinga pada BBLR lunak (Maryanti &
Sujianti, 2011).
f) Wajah
1) Inspeksi : warna kulit merah karena hipertermia, bentuk
simetris, lanugo banyak, kriput seperti orang tua
(Manggiasih & Jaya, 2016).

g) Leher
1) Inspeksi : pada BBLR mudah terjadi gangguan
pernafasan akibat dari inadekuat jumlah surfaktan, jika
hal ini terjadi biasanya didapatkan retraksi suprasternal
(Proverawati & Ismawati, 2010).
h) Paru-paru
1) I : biasanya pada BBLR pernafasan tidak teratur, otot
bantu pernafasan, lingkar dada <30 cm, retraksi dada
ringan
2) P : dinding dada elastis, puting susu belum terbentuk.
3) P : terdapat suara sonor
4) A : jika bayi mengalami gangguan pernafasan biasanya
bayi mendengkur, jika terjadi aspirasi meconium maka
terdapat suara ronchi (Proverawati & Ismawati, 2010).
i) Jantung
1) I : biasanya ictus cordis Nampak di ICS mid klavikula
28

2) P : ictus cordis teraba ICS 4 mid klavikula sinistra 3) P


: area jantung redup (Ridha, 2014).
4) A : S1 S2 tunggal, normalnya heat rate120-160kali/menit
(Pantiawati, 2010).
j) Abdomen
Biasanya pada BBLR tidak terjadi distensi abdomen, kulit
perut tipis, pembuluh darah terlihat (Sukarni & Sudarti,
2014).
k) Punggung
Inspeksi : keadaan punggung simestris, terdapat lanugo
(Proverawati & Ismawati, 2010).
l) Genetalia
Pada bayi BBLR perempuan, labia minora belum tertutup
oleh labia mayora, klitoris menonjol. Pada bayi laki-laki
testis belum turun dan rague pada skrotum kurang (Maryanti
&
Sujianti).

m) Ekstremitas
Pada BBLR garis plantar sedikit, kadang terjadi oedem,
pergerakan otot terlihat lemah, terdapat lanugo pada lengan,
akral teraba dingin (Pantiawati, 2010).
n) Anus
Biasanya pada BBLR anus bisa berlubang atau tidak
(Proverawati & Ismawati, 2010).
o) Neurology atau reflek
1) Reflek Morrow
Reflek morrow adalah timbul oleh rangsangan
mendadak/mengejutkan. Bayi akan mengembangkan
tangannya ke samping dan melebarkan jari-jari kemudian
tangannya ditarik kembali dengan cepat. Reflek ini akan
mereda 1 atau 2 minggu dan hilang setelah 6 bulan.
2) Reflek Rooting (reflek mencari)
Kepala bayi akan berpaling memutar kea rah asupan dan
mencari puttng susu dengan bibirnya. Reflek ini
29

berlanjut sementara bayi masih menyusu dan menghilang


setelah 3-4 bulan.
3) Reflek Menghisap ( Sucking )
Ditimbulkan oleh rangsangan pada daerah mulut atau
pipi bayi dengan puting/jari tangan. Bibir bayi akan maju
ke depan dan lidah melingkar kedalam untuk menyedot.
Menghilang saat bayi berusia 2-3 bulan.
4) Reflek Menggenggam
Timbul bila kita menggoreskan jari melalui bagian dalam
atau meletakkan jari kita pada telapak tangan bayi.
Jarijari bayi akan melingkar ke dalam seolah memegangi
suatu benda dengan kuat. Reflek ini menghilang umur
3-4 bulan.

5) Tonic Neck Reflek


Tonic neck reflek merupakan reflek mempertahankan
posisi leher/kepala. Timbul bila kita membaringkan bayi
secara terlentang. Kepala bayi akan berpaling ke salah
satu sisi sementara ia berbaring terlentang. Lengan pada
sisi kemana kepalanya berpaling akan terlentang lurus
keluar, sedangkan tangan lainnya dilipat. Reflek ini
sangat nyata pada 2-3 bulan dan hilang sekitar 4 bulan.
6) Reflek Gallant
Reflek gallant ditimbulkan dengan menggosok satu sisi
punggung sepanjang garis paravertebratal 2-3 cm dari
garis tengah mulai dari bahu hingga bokong. Reflek ini
secara normal akan hilang setelah 2-3 bulan.
7) Stepping Reflek
Stepping reflek akan timbul ketika kita memegangi bayi
pada posisi berdiri dan sedikit menekan. Bayi akan
mengangkat kakinya secara bergantian seakan-akan
berjalan. Reflek ini terlihat setelah 1 minggu dan akan
menghilang setelah 2 bulan.
8) Swallowing Reflek
30

Swallowing reflek adalah reflek gerakan menelan


bendabenda yang didekatkan ke mulut, memungkinkan
bayi memasukkan makanan ada secara permainan tapi
berubah sesuai pengalaman. Terjadi mulai : usia 0-3
bulan, penyebab : ada benda yang masuk ke mulutnya,
maka akan segera dia hisap, lalu dia telan. Reflek ini
tidak akan hilang, namun leat usia 3 bulan bayi sudah
menghisap secara sadar. Waspada jika tidak ada reflek,
kemungkinan ada kelainan pada susunan ketika kita
memasukkan puting susu atau dot dan bayi mulai
menghisap kemudian menelan.

2.3.2 Diagnosis Keperawatan


Dalam ini artikel ini penulis mengangkat diagnosa Pola Napas Tidak
Efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan.
2.3.2.1 Definisi Pola Napas Tidak Efektif
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi
adekuat (SDKI, 2018)
2.3.2.2 Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas
efektif dengan kriteria hasil
1) Pernafasan dalam batas normal (40-60x/menit)
2) Pengenbangan dada simetris
3) Irama nafas teratur
4) Tidak ada retraksi dinding dada
5) Tidak ada suara nafas tambahan
6) Tidak takipneu
2.3.2.3 Intervensi keperawatan
a) Monitor pernafasan:
1) Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan upaya naik
2) Monitor pergerakan, kesimetrisan dada, retraksi dada,
dan alat bantu.
3) Monitor adanya pernafasan cuping hidung
4) Monitor pola nafas bardipnea, takipnea
5) Monitor adanya kelemahan otot diagfragama
31

6) Auskultasi suara nafas, catat area penurunan dan


ketidakadanya ventilasi dan bunyi nafas

Anda mungkin juga menyukai