Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

“FARINGITIS AKUT”
DIRUANG POLIKLINIK ANAK
RUMAH SAKIT MARDI WALUYO METRO

OLEH :

YULIANUS TRI SUTRISNO


NPM : 2111515108

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS MITRA INDONESIA

TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
“BBLR”

A. Latar Belakang
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) masih menjadi masalah di bidang kesehatan
terutama kesehatan perinatal. BBLR terdiri atas BBLR kurang bulan dan BBLR
cukup bulan/lebih bulan. BBLR kurang bulan/premature merupakan masalah
kesehatan yang memerlukan perawatan yang memadai. Kejadian BBLR di Indonesia
masih merupakan masalah yang harus kita perhatikan secara bersama, karena bayi
berat badan lahir rendah dapat mengalami dampak pada tumbuh kembang
selanjutnya. (Nurlaila, 2015).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat kurang
dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi (Wong, 2009). Berat badan lahir
merupakan prediktor yang baik untuk pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidupnya.
Seorang bayi yang cukup bulan pada umumnya lahir dengan berat badan 2500 gram
atau lebih. BBLR merupakan salah satu faktor resiko yang mempunyai kontribusi
terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Angka kematian BBLR
akibat ketidakmampuan mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal dan
menimbulkan komplikasi seperti asfiksia, hipotermia, hiperbilirubinemia masih tinggi
(Proverawati Atikah, 2010).
Menurut (World Health Organization, 2010) pravalensi BBLR dari seluruh
kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-3,8% dan lebih sering terjadi pada Negara-
negara yang sering berkembang atau sosial ekonomi rendah, prevalensi BBLR tahun
2013 menurut (WHO) adalah sebesar 10,2% di dunia.
Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar bilirubin. Ikterus
akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia
pada bayi baru lahir sering ditemukan pada minggu pertama setelah lahir terutama
pada bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram dan pada bayi <37 minggu
(Kosim, 2007).
Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang dihadapi
dalam jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen berasal ari studi
tentang toksisitas bilirubin pada dengan penyakit hemolitik. Rekomendasi yang lebih
baru mendukung penggunaan terapi yang kurang intensif dalam jangka bayi yang
sehat dengan sakit kuning.
Inkompatibilitas ABO adalah ketidak sesuaian golongan darah antara ibu dan
bayi yang merupakan salah satu penyebab hemolisis pada bayi baru lahir, dimana
hemolisis merupakan faktor resiko tersering hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
(Al-Swaf, 2009; Dharmayani, 2009). Pada beberapa penyakit seperti hemolitik,
kelainan metabolik dan endokrin, kelainan hati dan infeksi, kadar bilirubin yang lebih
dari 20 mg/dL akan menyebabkan bilirubin yang belum dikonjugasi di hati atau
unconjugated bilirubin dapat menembus sawar darah otak (blood brain barrier) dan
bersifat toksik terhadap sel otak (Kosim, 2007).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Khusus
Agar mahasiswa/i dapat mengetahui dan memahami mengenai Konsep
Asuhan Keperawatan Bayi Berat Lahir Rendah dan Hiperbilirubinemia
2. Tujuan Umum
a. Menjelaskan definisi dari Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
Hiperbilirubinemia
b. Menjelaskan etiologi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
Hiperbilirubinemia
c. Menjelaskan manisfestasi Hiperbilirubinemia dan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR)
d. Menjelaskan patofisiologi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
Hiperbilirubinemia
e. Menjelaskan klasifikasi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
Hiperbilirubunemia
f. Menjelaskan komplikasi Hiperbilirubinemia dan Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR)
g. Menjelaskan penatalaksanaan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
Hiperbilirubinemia
h. Menjelaskan Konsep Asuhan Keperawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
dan Hiperbilirubinemia
C. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan beberapa sumber yang
kami dapatkan mulai dari beberapa sumber buku dan mencari beberapa sumber di
internet seperti jurnal, ebook dan modul.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini, yang terdiri dari BAB I
yakni pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan. BAB II tinjauan teori yakni Konsep Dasar BBLR
dan Hiperbilirubunemia dan Konsep Asuhan Keperawatan BBLR dan
Hiperbilirubinemia. Dan BAB III penutup yakni simpulan dan saran, dan yang
terakhir daftar pustaka.

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
1. Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi (Wong, 2009).
BBLR adalah bayi baru lahir dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram
(Arief dan Weni, 2016)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) Acuan lain dalam pengukuran BBLR juga
terdapat pada pedoman Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)gizi. Dalam
pedoman tersebut bayi berat lahir rendah (BBLR) bayi yang lahir dengan berat
kurang dari 2500 gram diukur pada saat lahir atau sampai hari ke tujuh setelah
lahir (Putra,2012).
2. Etiologi
Penyebab BBLR terjadi karena beberapa faktor. Semakin muda usia
kehamilan, semakin besar resiko dapat terjadinya BBLR (Proverawati,
Sulistyorini, 2010). berikut ini adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan
BBLR secara umum :
a. Faktor Ibu :
1) Penyakit : hal yang berhubungan dengan kehamilan seperti toksemia,
gravidarum,pendarahan antepartum,trauma fisik dan psikologis,infeksi
akut,serta kelainan kardiovaskuler
2) Usia ibu: angka kejadian BBLR tertinggi ialah pada usia ibu dibawah
20 tahun dan diatas 35 tahun
3) Jarak antara kehamilan sebelumnya pendek yaitu kurang dari 1 tahun
4) Memiliki riwayat BBLR sebelumnya
5) Memiliki riwayat BBLR sebelumnya
6) Kondisi ibu saat hamil : peningkatan berat badan ibu yang tidak
adekuat dan ibu yang perokok
b. Faktor janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian bblr antara lain :
kehamilan ganda,ketuban pecah dini,cacat bawaan,kelainan
kromosom,infeksi (missal : Rubella dan Sifilis) dan
hidramnion/polihidramnion.
c. Faktor ekonomi
1) Kejadian tertinggi biasanya pada keadaan sosial ekonomi yang rendah
2) Gizi yang kurang
d. Faktor lingkungan
1) Terkena Radiasi
2) Terpapar Zat beracun
3. Manisfestasi Klinis
Menurut Poverawati,Sulistyorini (2010) manifestasi klinis yang dapat
ditemukan pada bayi degan berat badan lahir rendah adalah.
a. Berat Badan kurang dari 2500 gram
b. panjang Badan kurang dari 45 cm
c. lingkar dada kurang 30 cm dan linkar kepala kurang dari 33 cm
d. kepala lebih besar dari tubuh
e. Rambut lanugo masih banyak,jaringan lemak subkutan tipis atau sedikit
f. tulang rawan dan daun telinga belum cukup,sehingga elastisitas belum
sempurna
g. Tumit mengkilap dan telapak kaki halus
h. Genetalia belum sempurna,pada bayi perempuan labia minora belum
tertutup oleh labia mayora, kalau pada bayi laki-laki Testis belum turun
kedalam skrutom,pigmentasi dan rugue pada skorutom kurang
i. Pergerakan kurang dan lemah,tangis lemah,pernapasan belum teratur, dan
sering mendapatkan apne.
j. Bayi lebih banyak tidur dari pada bangun,sehingga refleks menghisap
dan menelan belum sempurna
k. Suhu tubuh mudah berubah menjadi hipotermi
4. Patofisiologi
Salah satu patofisiologi dari BBLR yaitu asupan gizi yang kurang pada
ibu,ibu hamil yang kemudian secara otomatis juga menyebabkan berat
badan lahir rendah.apabila dilihat dari faktor kehamilan,salah satu
etiologinya yaitu hamil ganda yang mana pada dasarnya janin berkembang
dan tumbuh lebih dari satu,maka nutrisi atau gizi yang mereka peroleh
dalam rahim tidak sama dengan janin tunggal,yang mana pada hamil
ganda gizi dan nutrisi yang didapat dari ibu harus terbagi sehingga kadang
salah satu dari janin pada hamil ganda juga mengalami BBLR. Kemudian
jika dikaji dari faktor janin,salah satu etiologinya yaitu infeksi dalam
rahim yang mana dapat menggangu atau menghambat pertumbuhan janin
dalam rahim yang bisa mengakibatkan BBLR pada bayi.(Manggiasih dan
Jaya.2016)
5. Klasifikasi
Menurut Proverawati dan Sulistyorini (2010), ada beberapa cara
mengelompokan bayi BBLR, yaitu:
a. Menurut harapan hidupnya
1) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), yaitu bayi yang lahir dengan
berat lahir 1.500-2.500 gram
2) Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), yaitu bayi yang lahir
dengan berat lahir <1.500 gram
3) Berat Badan Lahir Ekstrem Rendah (BBLER), yaitu bayi yang lahir
dengan berat lahir <1.000 gram
b. Menurut masa gestasinya
1) Prematur murni adalah masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan
berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasinya
berat atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa
kehamilan.
2) DismaturIntra Uterine Growth Restriction (IUGR) adalah bayi lahir
dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa
kehamilan di karenakan mengalami gangguan pertumbuhan dalam
kandungan.
3) Menurut Renfield dalam Maryunani(2013) IUGR dibedakan menjadi
dua yaitu:
(a) Proportionate IUGR merupakan janin yang menderita distres
yang lama dimana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-
minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga
berat, panjang dada lingkaran kepala dalam proporsi yang
seimbang akan tetapi keseluruhannya masih dibawah masa
gestasi yang sebenarnya.
(b) Disporpotionate IUGR merupakan janin yang terjadi karena
distres sub akut gangguan terjadi beberapa minggu sampai
beberapa hari sampai janin lahir.
6. Komplikasi
Menurut Mitayani (2013) Komplikasi yang dapat timbul pada bayi berat badan
lahir rendah adalah sebagai berikut :
a. Sindrom aspirasi mekonium (menyebabkan kesulitan bernapas pada bayi)
b. Hipoglikemi simptomatik,terutama pada laki-laki
c. Penyakit membrane hialin : disebabkan karena surfaktan paru belum
sempurna/cukup sehingga alveoli kolaps. Sesudah bayi mengadakan
inspirasi, tidak tertinggal udara residu dalam alveoli sehingga selalu
dibutuhkan tenaga negatif yang tinggi untuk pernapasan berikutnya.
d. Aspiksia neonatrum
e. Hiperbilirubinnemia : Bayi dismatur sering mendapatkan
hiperbilirubinemia,hal ini mungkin disebabkan karena ganguan
pertumbuhan hati
7. Penatalaksanaan
Perawatan pada bayi dengan berat badan lahir rendah menurut Nurafif &
Hardi (2016)
a. Pengaturan suhu
Untuk mencegah hipotermi,diperlukan lingkungan yang cukup hangat dan
istirahat kosumsi O2 yang cukup. Bila dirawat dalam inkubator maka
suhunya untuk bayi dengan BB 2 kg adalah 35 dan untuk bayi dengan BB
2-2,5 kg adalah 34. Bila tidak ada incubator, pemanasan dapat dilakukan
dengan membungkus bayi dan meletakkan botol-botol hangat yang
dibungkus dengan handuk atau lampu petromak didekat tidur bayi. Bayi
dalam incubator hanya dipakaikan popok untuk memudahkan pengawasan
mengenai keadaan umum,warna kulit,pernafasan,kejang dan sebagainya
sehingga penyakit dapat dikenali sedini mungkin.
b. Pengaturan makanan/nutrisi
Prinsip utama pemberian makanan pada bayi prematur adalah
sedikit demi sedikit secara perlahan-lahan dan hati-hati.pemberian
makanan dini berupa glukosa,ASI atau PASI mengurangi resiko
hipoglikemia,dehidrasi atau hiperbilirubinia.bayi yang daya isapnya baik
dan tanpa sakit berat dapat dicoba minum melalui mulut.umumnya bayi
dengan berat kurang dari 1500 gram memerlukan minum pertama dengan
pipa lambung karena belum adanya koordinasi antara gerakan menghisap
dengan menelan.
Dianjurkan untuk minum pertama sebanyak 1 ml larutan steril
untuk bayi dengan berat kurang dari 1000 gram,2-4 ml untuk bayi dengan
berat antara 1000-1500 gram dan 5-10 ml untuk bayi dengan berat lebih
dari 1500 gram. Apabila dengan pemberian makanan pertama bayi tidak
mengalami kesukaran,pemberian ASI/PASI dapat dilanjutkan dalam
waktu 12-48 jam.
c. Mencegah infeksi
Bayi premature mudah terserang infeksi.hal ini disebabkan karena daya
tubuh bayi terhadap infeks kurang antibody relatif belum terbentuk dan
day fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik.prosedur
pencegahan infeksi adalah sebagai berikut :
1. Mencuci tangan sampai ke siku dengan sabun dan air mengalir selama 2
menit sebelum masuk keruangan rawat bayi.
2. Mencuci tangan dengan zat anti septic/sabun sebelum dan sesudah
memegang seorang bayi
3. Mengurangi kontaminasi pada makanan bayi dan semua benda yang
berhubungan dengan bayi
4. Membatasi jumlah bayi dalam satu ruangan
5. Melarang petugas yang menderita infeksi masuk ke ruang bayi

B. Konsep Asuhan Keperawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, pendidikan, alamat,
nama ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, agama, alamat, suku bangsa.
b. Keluhan utama
Untuk mengetahui alasan utama mengapa klien mencari pertolongan pada
tenaga professional.
c. Riwayat penyakit sekarang
Untuk mengetahui lebih detail hal yang berhubungan dengan keluhan
utama.
1) Munculnya keluhan
Tanggal munculnya keluhan, waktu munculnya keluhan (gradual/tiba-
tiba), presipitasi/ predisposisi (perubahan emosional, kelelahan,
kehamilan, lingkungan, toksin/allergen, infeksi).
2) KarakteristikKarakter (kualitas, kuantitas, konsistensi), loksai dan
radiasi, timing (terus menerus/intermiten, durasi setiap kalinya), hal-
hal yang meningkatkan/menghilangkan/mengurangi keluhan, gejala-
gejala lain yang berhubungan.
3) Masalah sejak muncul keluhan Perkembangannya membaik,
memburuk, atau tidak berubah.
d. Riwayat masa lampau
1) Prenatal
Keluhan saat hamil, tempat ANC, kebutuhan nutrisi saat hamil, usia
kehamilan (preterm, aterm, post term), kesehatan saat hamil dan obat
yang diminum.
2) Natal
Tindakan persalinan (normal atau Caesar), tempat bersalin, obat-obatan
yang digunakan.
3) Post natal
Kondisi kesehatan, apgar score, Berat badan lahir, Panjang badan lahir,
anomaly kongenital.
4) Penyakit waktu kecil
5) Pernah dirawat di rumah sakit
Penyakit yang diderita, respon emosional
6) Obat-obat yang digunakan (pernah/sedang digunakan)
Nama obat dan dosis, schedule, durasi, alasan penggunaan obat.
7) AllergiReaksi yang tidak biasa terhadap makanan, binatang, obat,
tanaman, produk rumah tangga.
8) Imunisasi ( imunisasi yang pernah didapat, usia dan reaksi waktu
imunisasi)

e. Riwayat keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh keluarga (baik
berhubungan / tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita klien),
gambar genogram dengan ketentuan yang berlaku (symbol dan 3 generasi).
f. Riwayat sosial
1) Yang mengasuh anak dan alasannya
2) Pembawaan anak secara umum (periang, pemalu, pendiam, dan
kebiasaan menghisap jari, membawa gombal, ngompol)
3) Lingkungan rumah (kebersihan, keamanan, ancaman, keselamatan
anak, ventilasi, letak barang-barang)
g. Keadaan kesehatan saat ini
Diagnosis medis, tindakan operasi, obat-obatan, tindakan keperawatan,
hasil laboratorium, data tambahan.
h. Pengkajian pola fungsi Gordon
1) Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan Status kesehatan sejak
lahir, pemeriksaan kesehatan secara rutin, imunisasi, penyakit yang
menyebabkan anak absen dari sekolah, praktek pencegahan kecelakaan
(pakaian, menukar popok,dll), kebiasaan merokok orang tua, keamanan
tempat bermain anak dari kendaraan, praktek keamanan orang tua
(produk rumah tangga, menyimpan obat-obatan,ddl).
2) Nutrisi metabolikPemberian ASI / PASI, jumlah minum, kekuatan
menghisap, makanan yang disukai / tidak disukai, makanan dan
minuman selama 24 jam, adakah makanan tambahan/vitamin,
kebiasaan makan, BB lahir dan BB saat ini, masalah dikulit:rash,
lesi,dll.
3) Pola eliminasi
Pola defekasi (kesulitan, kebiasaan, ada darah/tidak), mengganti
pakaian dalam / diapers (bayi), pola eliminasi urin (frekuensi ganti
popok basah/hari,kekuatan keluarnya urin, bau, warna)
4) Aktivitas dan pola latihan Rutinitas mandi (kapan, bagaimana, dimana,
sabun yang digunakan), kebersihan sehari-hari, aktivitas sehari-hari
(jenis permainan, lama, teman bermain, penampilan anak saat bermain,
dll), tingkat aktivitas anak/bayi secara umum, tolerans, persepsi
terhadap kekuatan, kemampuan kemandirian anak (mandi, makan,
toileting, berpakaian, dll.)
5) Pola istirahat tidur
Pola istirahat/tidur anak (jumlahnya), perubahan pola istirahat, mimpi
buruk, nokturia, posisi tidur anak, gerakan tubuh anak.
6) Pola kognitif-persepsi
Responsive secara umum anak, respons anak untuk bicara, suara, objek
sentuhan, apakah anak mengikuti objek dengan matanya, respon untuk
meraih mainan, vocal suara, pola bicara kata-kata, kalimat,
menggunakan stimulasi/tidak, kemampuan untuk mengatakan nama,
waktu, alamat, nomor telepon, kemampuan anak untuk
mengidentifikasi kebutuhan; lapar, haus, nyeri, tidak nyaman.
7) Persepsi diri – pola konsep diriStatus mood bayi / anak (irritabilitas),
pemahaman anak terhadap identitas diri, kompetensi, banyak/tidaknya
teman.
8) Pola peran – hubungan
Struktur keluarga, masalah/stressor keluarga, interaksi antara anggota
keluarga dan anak, respon anak/bayi terhadap perpisahan,
ketergantungan anak dengan orang tua.
9) Sexualitas
Perasaan sebagai laki-laki / perempuan (gender), pertanyaan sekitar
sexuality bagaimana respon orang tua.
10) Koping – pola toleransi stress
Apa yang menyebabkan stress pada anak, tingkat stress, toleransi stress,
pola penanganan masalah, keyakinan agama.
11) Nilai – pola keyakinan
Perkembangan moral anak, pemilihan perilaku, komitmen, keyakinan
akan kesehatan, keyakinan agama.
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran, postur tubuh, fatigue
2) Tanda – tanda vital
Tekanan darah. Nadi, respirasi, suhu

3) Ukuran anthropometric
Berat badan, panjang badan, lingkar kepala
4) Mata
Konjungtiva, sclera, kelainan matae.
5) Hidung
Kebersihan, kelainan
6) Mulut
Kebersihan, bau, mukosa mulut, stomatitis
7) Telinga
Fungsi pendengaran, kelainan, kebersihan
8) Dada
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (jantung, paru-paru)
9) Abdomen
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
10) Punggung
Ada/tidak kelainan
11) Genetalia
Kebersihan, terpasang kateter/tidak, kelainan
12) Ekstremitas
Odema, infuse/transfuse, kontraktor, kelainan
13) Kulit
Kebersihan kulit, turgor kulit, lesi, kelainan
j. Pemeriksaan tumbuh kembang
1) Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
kejadian-kejadian penting; pertama kali mengangkat kepala, berguling,
duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata bermakna atau
kalimat, gangguan mental perilaku.
2) Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhana. Pengukuran Berat badan
a. Pengukuran Tinggi badan
b. Pengukuran lingkar lengan atas
c. Pengukuran lingkar kepala
d. Kecepatan tumbuh

3) Pelaksanaan DDST
Berdasarkan hasil pengkajian melalui DDST (Denver Development
Screening Test) untuk umur 0 – 6 tahun perkembangan anak di atur
dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan yang
meliputi:
a) Kemandirian dan bergaul Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri
dengan orang lain.
b) Motorik halus Kemampuan anak untuk menggunakan bagian tubuh
tertentu dan dilakukan oleh otot halus sehingga tidak perlu tenaga,
namun perlu koordinasi yang lebih kompleks.
c) Kognitif dan bahasa Kemampuan mengungkapkan perasaan, keinginan,
dan pendapat melalui pengucapan kata-kata, kemampuan mengerti dan
memahami perkataan orang lain serta berfikir.
d) Motorik kasarKemampuan anak untuk menggunakan dan melibatkan
sebagian besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga. Jika
usia> 6 tahun tanyakan tumbuh kembang secara umur sebagai berikut:
(1) Berat badan lahir, 1 tahun, dan saat ini
(2) Pertumbuhan gigi, usia gigi tumbuh, jumlah gigi, masalah
dengan pertumbuhan gigi
(3) Usia saat mulai menegakkan kepala, duduk, berjalan, kata-kata
pertama
(4) Perkembangan sekolah, lancer, masalah disekolah
(5) Interaksi dengan publik dan orang dewasa
Partisipasi dengan kegiatan organisasi (kesenian, olahraga,dsb)
2. Diagnosis Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah cara mengidentifikasi,memfokuskan dan


mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan
resiko tinggi.Diagnosa keperawatan dalam standar diagnose keperawatan
Indonesia (SDKI) yang mungkin muncul pada kasus Bayi dengan Berat Badan
Lahir Rendah yaitu :

a. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas otot-otot


pernafasan dan penurunan ekspansi paru atau kelelahan.
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan reflek menghisap dan menelan
yang belum sempurna
c. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan imunologis yang
kurang

3. Perencanaan Keperawatan

No DIAGNOSA TUJUAN NILAI INTERVENSI


KEPERWATAN

1 pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan  PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)


berhubungan dengan perawatan selama 2x
Observasi
imaturitas otot-otot 24jam
pernafasan dan 1. Monitor frekuensi,
Ekpektasi membaik
penurunan ekspansi irama, kedalaman, dan upaya
paru atau kelelahan. Kriteria hasil napas

2. Monitor pola napas


5 (seperti bradipnea, takipnea,
1. Ventilasi semenit
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyn
( meningkat)
e-Stokes, Biot,  ataksik0
2. Kapas tas vital
5
(membaik ) 3. Monitor
3. Diameter thoraks kemampuan batuk efektif
anterior
5 4. Monitor adanya
posterior(mening
produksi sputum
kat)
4. Tekanan ekspirasi 5. Monitor adanya
( meningkat ) sumbatan jalan napas
5. Tekanan inspirasi 5
6. Palpasi kesimetrisan
(meningkat)
ekspansi paru
6. Dispnea
( meningkat) 5 7. Auskultasi bunyi
7. Penggunaan otot napas
bantu
8. Monitor saturasi
napas( menurun) 5
oksigen
8. Pemanjangan
5
fase ekspirasi
( menurun ) 9. Monitor nilai AGD
9. Ortopnea
5 10. Monitor hasil x-
( menurun )
ray  toraks
10. Pernapasan
pursed-up
5
( menurun)
Terapeutik
11. Pemapasan
cuping hidung
5
( menurun)
1. Atur interval waktu
12. Frekuensi napas 5
pemantauan respirasi sesuai
( membaik )
kondisi pasien
13. Kedalaman napas
2. Dokumentasikan hasil
( membaik) 5
pemantauan
14. Ekskursi dada
( membaik)
5
Edukasi

5
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu

2 Defisit nutrisi Setelah dilakukan MANAJEMEN NUTRISI


berhubungan dengan perawatan selama 2x
reflek menghisap dan 24 jam
menelan yang belum Ekspektasi membaik Observasi
sempurna
Kriteria hasil

1. Porsi makanan 1. Identifikasi status nutrisi

yang 2. Identifikasi alergi dan intoleransi

dihabiskan(menin makanan

gkat) 3. Identifikasi makanan yang

2. Kekuatan otot disukai

pengunyah 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan

(meningkat) 5 jenis nutrient

3. Kekuatan otot 5. Identifikasi perlunya penggunaan

menelan Serum selang nasogastrik

albumin 6. Monitor asupan makanan

(meningkat ) 7. Monitor berat badan


5
4. Verbalisasi
keinginan untuk Terapeutik

meningkatkan 1. Lakukan oral hygiene sebelum

nutrisi makan, jika perlu

(meningkat) 5 2. Fasilitasi menentukan pedoman

5. Pengetahuan diet (mis. Piramida makanan)

tentang pilihan 3. Sajikan makanan secara menarik

Makanan yang dan suhu yang sesuai

sehat (meningkat ) 4. Berikan makan tinggi serat untuk

6. Pengetahuan mencegah konstipasi

tentang pilihan 5. Berikan makanan tinggi kalori

minuman yang dan tinggi protein

sehat (meningkat) 6. Berikan suplemen makanan, jika

7. Pengetahuan 5 perlu

tentang standar 7. Hentikan pemberian makan

asupan nutrisi melalui selang nasigastrik jika

yang tepat asupan oral dapat ditoleransi

(meningkat)
8. Penyiapan dan
5 Edukasi
penyimpanan
makanan yang 1. Anjurkan posisi duduk, jika
aman (meningkat) mampu
9. Penyiapan dan 2. Ajarkan diet yang diprogramkan
penyimpanan
Minuman yang
aman meningkat Kolaborasi
(meningkat) 5
1. Kolaborasi pemberian medikasi
10. Sikap terhadap
sebelum makan (mis. Pereda
makanan
nyeri, antiemetik), jika perlu
minuman sesuai
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
dengan tujuan
menentukan jumlah kalori dan
kesehatan
jenis nutrient yang dibutuhkan,
(meningkat)
jika perlu
11. Perasaan cepat
kenyang
(menurun )
12. Nyeri abdomen
5
(menurun )
13. Sariawan
(menurun)
14. Rambut rontok
(menurun)
15. Diare (menurun)
16. Berat badan
(membaik)
17. Indeks Massa
5
Tubuh (IMT)
(membaik)
18. Frekuensi makan
(membaik)
19. Nafsu makan
(membaik)
20. Bising usus
(membaik)
21. Tebal lipatan kulit
trisep (membaik)
5
22. Membran mukosa
(membaik)

5
5

4 Resiko infeksi Setelah dilakukan PENCEGAHAN INFEKSI


berhubungan dengan perawatan selama 2x
pertahanan imunologis 24 jam
yang kurang Observasi
Ekspektasi menurun
Kriteria hasil 1. Identifikasi riwayat
kesehatan dan riwayat alergi
2. Identifikasi kontraindikasi
1. Keber pemberian imunisasi
sihan tangan 3. Identifikasi status imunisasi
5
( membaik ) setiap kunjungan ke pelayanan
2. Keber kesehatan
sihan
5
badan( membaik)
3. Nafsu Terapeutik
makan (membaik )
5
4. Dema
m (menurun ) 5 1. Berikan suntikan pada pada
5. Keme bayi dibagian paha anterolateral
5
rahan ( menurun ) 2. Dokumentasikan informasi
6. Nyeri 5 vaksinasi
( menurun ) 3. Jadwalkan imunisasi pada
5
7. Bengk interval waktu yang tepat
ak( menurun) 5
8. Vesik
5
el (menurun ) Edukasi
9. Caira
1. Jelaskan tujuan, manfaat,
n berbau busuk
5 resiko yang terjadi, jadwal dan
(menurun )
efek samping
10. Sput
2. Informasikan imunisasi yang
um berwarna
5 diwajibkan pemerintah
hiiau( menurun)
3. Informasikan imunisasi yang
11. Drain
melindungiterhadap penyakit
ase purulent
5 namun saat ini tidak diwajibkan
( menurun )
pemerintah
12. Piuna 5
4. Informasikan vaksinasi
(menurun)
untuk kejadian khusus
13. Perio
5. Informasikan penundaan
de malaise 5
pemberian imunisasi tidak berarti
(menurun ) mengulang jadwal imunisasi
14. Perio kembali
5
de menggigil 6. Informasikan penyedia
( menurun) 5 layanan pekan imunisasi nasional
15. Lelarg yang menyediakan vaksin gratis
i( menurun)
16. Gang 5
guan kognitif
( menurun )
17. Kadar 5
sel darah
5
putih( membaik)
18. Kultur 5
darah( membaik)
19. Kultur
urine (membaik)
20. Kultur
sputum( membaik)
21. Kultur
area
luka(membaik)
22. Kultur
feses ( membaik)
23. Kadar
sel darah
putih(membaik )

4. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap terakhir proses keperawatan dengan cara menilai sejauh
mana dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.(Hidayat,2011) tujuan evaluasi
adalah untuk melihat kemapuan klien dalam mencapai tujuan.hal ini dapat
dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat mengambil
keputusan.
a. Berat badan kembali normal
b. Bising usus normal

C. Konsep Dasar Hiperbilirubinemia


1. Definisi Hiperbilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi
oksidasi-reduksi yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012). Bilirubin
diproduksi oleh kerusakan normal sel darah merah. Bilirubin dibentuk oleh hati
kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai empedu atau cairan yang befungsi untuk
membantu pencernaan (Mendri dan Prayogi, 2017).
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar serum bilirubin dalam darah
sehingga melebihi nilai normal. Pada bayi baru lahir biasanya dapat mengalami
hiperbilirubinemia pada minggu pertama setelah kelahiran. Keadaan
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh meningkatnya produksi
bilirubin atau mengalami hemolisis, kurangnya albumin sebagai alat pengangkut,
penurunan uptake oleh hati, penurunan konjugasi bilirubin oleh hati, penurunan
ekskresi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal. Hiperbilirubin adalah icterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus kearah terjadinya kern icterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008).
Hiperbilirubin adalah kondisi umum pada bayi baru lahir yang mengacu pada
warna kuning pada kulit dan bagian putih mata disebabkan terlalu banyaknya
bilirubin dalam darah.
2. Anatomi Fisiologi Hati

Gambar Anatomi Hepar


Sumber : https://images.app.goo.gl/g1urs5dbRXycSieG7
Hepar adalah organ tubuh terbesar, terdiri dari dua lobus utama (kanan dan
kiri) dan dua apendiks lobus kanan yang lebih kecil (kuadratus dan kaudalis). Hepar
memiliki pasokan darah ganda yang unik; vena porta menyalurkan darah dari usus
dan limpa, dan arteri hepatika mengalirkan darah arteri. Pembuluh darah masuk
melalui porta hepatis di permukaan inferior lobus kanan. Darah vena dialirkan keluar
oleh vena hepatika kiri dan kanan, yang bergabung dengan vena kava inferior
dibawah atrium kanan.
Duktus hepatikus kiri dan kanan menyatu di luar porta hepatis untuk
membentuk duktus hepatikus komunis. Kandung empedu berada di suatu alur
dibawah lobus kanan dan dihubungkan ke duktus hepatikus komunis oleh duktus
sistikus. Duktus biliaris komunis dibentuk oleh penyatuan duktus hepatikus komunis
dan duktus sistikus.
Duktus biliaris komunis berjalan di sepanjang tepi omentum minor, berakhir
di papila intramural vateri disisi kiri duodenum. Didalam papila, duktus biliaris
komunis menyatu dengan duktus pankreatikus untuk membentuk ampula vateri,
tempat empedu dan sekresi pankreas tercampur. Ampula vateri dikelilingi oleh
sfingter oddi, suatu serat otot polos kompleks yang mengatur aliran empedu kedalam
usus. Duktur biliaris komunis dan duktus pankreatikus kadang-kadang menyatu
sebelum masuk ke bagian intramural duadenum, suatu susunan yang mungkin
mempermudah terjadinya kista koledokal di tempat tersebut.
Kandung empedu adalah suatu kantong yang dapat diregang kan dan
terlektak diantara lobus hepar kanan dan kiri. Lipatan khas mukosa kandung
empedu, yang terbentuk hanya pada akhir gestasi, sangat memperluas permukaan
absortif.
Karna hepar ibu menyalurkan nutrien dan menyingkirkan produk sisa
melalui fetoplasenta, hepar janin relatife inaktif dalam kaitannya dengan glikolisis,
sintesis asam empedu, dan pengolahan produk sisa metabolisme. Proses enzimatik
spesifik dan jalur metabolik muncul dalam kelompok, yang masing-masing
berkorelasi dengan perubahan dinamik dalam kebutuhan fungsional. Sesuai
kebutuhan, metabolisme hepar janin diprioritaskan untuk menghasilkan protein
plasma untuk menunjang proliferasi sel. Pada akhir gestasi, kebutuhan primer
neonatus adalah produksi dan penyimpanan nutrien esensial, eksresi empedu, dan
pengembangan proses eliminasi. Induksi dan modulasi terhadat proses
perkembangan ini berlangsung karena input substrat dan hormon, baik endogen
maupun eksogen (melalui plasenta).
Hepar yang berdiferensiasi sempurna mempertahanan homeostatis dengan
mengubah nutrien yang di serap menjadi prekursor energi yang segera di gunakan
atau di simpan, sintesis protein darah untuk mempertahankan gradien osmotik dan
fungsi pembekuan darah, pembentukan asam empedu untuk penyerapan lemak di
usus, dan transformasi metabolik yang berpotensi membahayakan misalnya amonia
dan bilirubin menjadi turunan yang dapat di eksresi. Infulks langsung nutrien dari
usus neonatus ke hepar memicu sintesis asam empedu, sekresi empedu, dan evolusi
cepat enzim mikrosom yang aktif dalam biotransformasi toksin endogen dan
eksogen.
Hati merupakan organ gastrointestinal yang paling imatur. Penurunan
aktifitas enzim glukoronil transferase mempengaruhi konjugasi bilirubin dengan
asam glukoronat dan berkontribusi terhadap jaundis fisiologis pada bayi baru lahir.
Hati juga tidak adekuat dalam membentuk protein plasma. Kurangnya konsentrasi
protein plasma mungkin berperan pada edema yang biasanya terlihat pada saat lahir.
Protombin dan faktor pembekuan lain juga rendah. Cadangan glikogen kurang saat
lahir dibandingkan dengan kehidupan selanjutnya. Konsekuensinya, bayi baru lahir
rentan terhadap hipoglikemia, namun kondisi ini dapat dicegah dengan pemberian
makanan diri dan efektif, terutama ASI.

a. Siklus Enterohepatik

Pembentukan empedu sangat penting dalam pencernaan dan penyerapan


lemak, eksresi xenobiotik larut lemak dan racun dalam tubuh, dan keseimbangan
kadar kolesterol. Garam empedu secara alamiah bersifat amphipilik karena
memiliki gugus polar dan non polar. Gugus polar memiliki permukaan yang
bersifat hidrofilik yang mengandung gugus hidroksil dan gugus karbonil,
sedangkan gugus non polar bersifat hidropobik.

Cairan empedu merupakan gabungan antara asam empedu dan garam empedu.
Bilirubin tetrapyrrole (berwarna coklat), merupakan komponen pemberi warna
terbesar pada empedu dan merupakan produk akhir dari metabolisme heme.
Apabila bilirubin mengalami oksidasi akan berubah menjadi biliberdin (berwarna
hijau).

Garam empedu bersama pospolipid dan kolesterol merupakan cairan organik


terbesar dalam empedu dan merupakan kunci kekuatan dalam pembentukan
empedu pada saat di ekskresikan ke canalikuli empedu melewati membran apikal
hepatosit. Komponen utama asam empedu dalam empedu manusia yaitu asam
xenodeoksilat (45%) dan asam kolat (31%). Sebelum sebagian besar garam
empedu disekresikan ke lumen canalikuli, terlebih dulu terjadi konjugasi dengan
ikatan amida pada terminal gugus karboksil dengan asam amino glisin dan taurin.
Reaksi konjugasi ini menghasilkan glycoconjugates dan tauroconjugates.
Sebanyak 95% dari total garam empedu yang disintesa di hati diserap oleh usus
distal dan dikembalikan lagi ke hati. Proses sekresi dari hati ke gallbadder,
kemudian ke usus, dan akhirnya diserap kembali disebut enterohepatik. Jumlah
total garam empedu yang mengalami siklus berulang-ulang melalui siklus
enterohepatik sekitar 3,5 g. Jumlah tersebut bersikulasi dua kali per makan dan 6-
8 kali per hari. Apabila empedu tidak ada di usus, maka hampir 50% lemak yang
dimakan akan keluar melalui feses (tesis unud, 2005).

b. Metabolisme bilirubin
1) Produksi

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin


pada system retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini
pada neonates lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirect. Bilirubin indirect
yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi
Hymans van den Borgh) yang bersifat larut dalam lemak.

2) Transportasi

Bilirubin indirect kemudian diikat oleh albumin. Bilirubin di transfer


melalui membrane sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Di dalam
sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin dan sebagian kecil pada
glutation S transferase lain dan protein Z. proses ini merupakan proses 2 arah,
tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin
dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatisit dikonjugasi
dan dieksresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin
mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Perberian fenoarbital
mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan yang lebih
banyak untuk bilirubin.

3) Konjugasi

Dalam sel hepar, bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin


diglukoronide walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.
Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi
diglukoronide. Enzim yang terlibat dalam sintesis bilirubin diglukoronide.
Enzim tersebut adalah uridin difosfat glukoronidase transferase (UPGD:T)
yang mengkatalisa pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan
eksresi diglukoronide terjadi di membrane kanalikulus. Isomer bilirubin yang
dapat membentuk ikatan hydrogen seperti bilirubin natural IX dapat dieksresi
langsung ke empedu tanpa konjugasi misalnya isomer yang terjadi sesudah
terapi sinar (isomer foto)

4) Ekskresi

Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direct yang larut dalam air
dan dieksresi cepat ke system empedu kemudian ke usus. Dalam usus
bilirubin ini tidak diabsorbsi, sebagian kecil bilirubin direct dihidrolisis
menjadi bilirubin indirect dan reabsorbsi. Silus ini disebut siklus
enterohepatic.

Pada neonates karena aktivitas enzim B glukoronidase yang


meningkat, bilirubin direct banyak yang tidak diubah menjadi urobilin.
Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirect meningkat
dengan terabsorbsi sehingga sirkulasi enterohepatic pun meningkat.

Tabel Perbedaan bilirubin direct dan bilirubin indirect

No Bilirubin Indirect Bilirubin Direct

1 Tidak larut dalam air Larut

2 Terikat oleh albumin Tidak terikat oleh protein

3 Tidak terdapat dalam urine Dapat ditemukan dalam urine

4 Bilirubin yang belum dikonjugasi Bilirubin yang dikonjugasi

5 Tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus Dapat difiltrasi oleh glomerulus

3. Klasifikasi Neonatus Hiperbilirubin


a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24 jam
pertama setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia fisiologis
peningkatan kadar bilirubin total tidak lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup
bulan, hiperbilirubinemia fisiologis akan mencapai puncaknya pada 72 jam setelah
bayi dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 – 8 mg/dL. Selama 72 jam awal
kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 – 3 mg/dL kemudian pada
hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL (Hackel, 2004). Setelah
hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal
pada hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR)
atau bayi kurang bulan (premature) bilirubin mencapai puncak pada 120 jam pertama
dengan peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah
2 minggu (Mansjoer, 2013)
b. Hiperbilirubinemia Patologis

Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi baru
lahir akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada
hiperbilirubinemia patologis kadar serum bilirubin total akan meningkat lebih dari 5
mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan, kadar serum bilirubin akan meningkat
sebanyak 12 mg/dL sedangkan pada bayi kurang bulan (premature) kadar serum
bilirubin total akan meningkat hingga 15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung
kurang lebih satu minggu pada bayi cukup bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi
kurang bulan (Imron, 2015).

4. Etiologi Hiperbilirubin
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena
tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel
yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena
penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan
sirkulasi enterohepatik (IDAI, 2013).
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi
maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke
empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut
meyebabkan kadar bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada
bayi baru lahir (Anggraini, 2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau
hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk
mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase (sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi
protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke
sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
e. Manifestasi Klinis Neonatus Hiperbilirubin Bayi baru lahir dikatakan mengalami
hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir tersebut tampak berwarna kuning
dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih (Mansjoer, 2013).
Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada kulit sehingga
menimbulkan warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk bisanya
dapat menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah, 2012).

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera,
kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama
disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan
mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari
kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis (Suriadi dan
Yuliani 2010).

Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirek pada pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi (bilirubin
direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning
kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
Selain itu manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau
ikterus yaitu muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat
(Suriadi dan Yuliani 2010).

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia


apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :

a. Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat penumpukan
bilirubin.
b. Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c. Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d. Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e. Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f. Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiperkarbia.
5. Patofisiologi Hiperbilirubin
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui
traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum
terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi
bilirubin indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin
terus bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin
yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan
albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim, 2012)
Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan
hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi
non enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan hemoglobin,
bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati.
Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein.
Bilirubin tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin
disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi
bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk).
Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal.
Dengan konjugasi, bilirubin masuk dalam empedu melaui membran kanalikular.
Kemudian ke sistem gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi
urobilinogen dalam tinja dan urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi
sirkulasi enterohepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah diekskresikan
dalam jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan oleh
obstruksi saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL
maka bilirubin akan tertimbun di dalam darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke
dalam jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna,
2013).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut
lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan
hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya
glukoronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena
penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan darah hepatik (Suriadi dan
Yuliani 2010)
Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan
kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat
dalam ASI. Terjadi empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan
bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 – 30 mg/dL selama minggu kedua sampai
ketiga. Jika pemberian ASI dilanjutkan hiperbilirubinemia akan menurun
berangsurangsur dapat menetap selama tiga sampai sepuluh minggu pada kadar yang
lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun
dengan cepat, biasanya mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI
selama satu sampai dua hari dengan penggantian ASI dengan susu formula
mengakibatkan penurunan bilirubin serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010).
6. Penatalaksanaan Neonatus Hiperbilirubin
a. Penanganan Hiperbilirubin
Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai diantaranya :
1) Menyusui Bayi
Bilirubin juga dapat dipecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine.
Untuk itu bayi harus mendapat ASI yang cukup. Pemberian ASI akan
meningkatkan motilitas usus dan juga menyebabkan bakteri diintroduksi ke
usus. Bakteri dapat mengubah bilirubin direk menjadi urobilin yang tidak
dapat diarbsorbsi kembali. Dengan demikian, kadar bilirubin serum akan
turun.
2) Terapi Sinar Matahari
Meletakkan bayi di bawah sinar matahari selama 15 – 20 menit, ini dilakukan
setiap hari antara pukul 06.30 – 08.00. Biasanya dianjurkan setelah bayi
selesai dirawat di rumah sakit. Selama ikterus masih terlihat, perawat harus
memperhatikan pemberian minum. Hindari posisi yang membuat bayi melihat
langsung kea rah matahari karena dapat merusak matanya ( Suriadi, 2001)
3) Penatalaksanaan
a) Fototerapi
Fototerapi rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah
kadar total bilirubin serum meningkat. Terapi sinar atau fototerapi dilakukan
selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke
ambang batas normal. Dengan fototerapi bilirubin dalam tubuh bayi dapat
dipecah dan menjadi mudah larut dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh
organ hati dan dapat dikeluarkan melalui urine dan feses sehingga kadar
bilirubin menurun. Di samping itu, pada terapi sinar terapi ditemukan pola
peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus
sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin akan keluar bersama feses.
Penggunaan fototerapi sesuai anjuran dokter biasanya diberikan pada neonatus
dengan kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg%, sebelum transfusi tukar,
atau sesudah transfusi tukar. Terapi sinar tidak banyak bermanfaat untuk
njeonatus dengan gangguan motilitas usus, obstruksi usus atau saluran cerna,
neonatus yang tidak mendapat minum secara adekuat, karena penurunan
perilstaltik usus akan mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi enterohepatik
bilirubin sehingga seolah-olah terapi sinar tidak bekerja secara efektif.
Selama fototerapi, bayi yang tidak berpakaian diletakkan kira-kira 36 cm
sampai 40 cm dibawah cahaya selama beberapa jam atau beberapa hari sampai
kadar bilirubin serum menurun ke nilai yang bisa diterima. Setelah terapi
dihentikan, bayi harus periksa kembali beberapa jam kemudian untuk
memastikan apakah nilai bilirubin tidak meningkat lagi (Jensen, 2005).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah:
(1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk
menghindarkan turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
(2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
(3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan
kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada neonatus.
Pemantauan iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
(4) Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya
untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototerapi.
(5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi, untuk
mendapatkan energi yang optimal.
(6) Posisi bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh mendapat penyinaran seluas
mungkin
(7) Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
(8) Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses dan muntah
diukur, di catat dan dilakukan pemantaun tanda dehidrasi.
(9) Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan.
(10) Lamanya terapi sinar dicatat
b) Transfusi Tukar
Transfuse tukar adalah cara yang paling tepat untuk mengobati
hiperbilirubinemia pada neonatus. Transfuse tukar dilakukan pada keadaan
hiperbilirubinemia yang tidak dapat diatasi dengan tindakan lain misalnya
telah diberikan terapi sinar tetapi kadar bilirubin tetap tinggi. Indikasi untuk
melakukan transfuse tukar adalah kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%,
kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3-1 mg%/ jam (Surasmi, 2013)
7. Pemeriksaan Penunjang Neonatus Hiperbilirubin
a. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin mencapai puncak kira-kira 6
mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 10 mmg/dL
maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. Pada bayi
dengan kurang bulan, kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12
mg/dL, antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya diatas 14
mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis
(Suriadi & Yulliani, 2010).
b. Ultrasonograf (USG)
Pemeriksaan USG digunakan untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong
empedu (Suriadi & Yulliani, 2010).
c. Radioscope Scan
Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis atau atresia biliary (Suriadi & Yulliani, 2010).
8. Komplikasi Neonatus Hiperbilirubin

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal,
hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan
neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas, bicara
lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang melengking
(Suriadi dan Yuliani, 2010).

Menurut American Academy of Pediatrics (2004) manifestasi klinis kern ikterus pada
tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa
berupa bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward
gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak terutama di
ganglia basalis, pons, dan cerebellum.

9. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Neonatus Hiperbilirubin


a. Pengkajian
1) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut
Widagdo, 2012 meliputi:
a) Pemeriksaan umum
(1) Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi,
postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas yang prominen dari
organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi, dispneu, dehidrasi, dan lain-
lain.
(2) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas.
(3) Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, tebal lapisan
lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
b) Pemeriksaan organ
(1) Kulit: warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis, dan
angiektasis
(2) Kepala: bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk wajah
apakah simestris kanan atau kiri.
(3) Mata: ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia, silia,
esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis, midriasis, konjungtiva palpebra,
sclera kuning, reflek cahaya direk/indirek, dan pemeriksaan retina dngan
funduskopi.
(4) Hidung: bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
(5) Mulut dan tenggorokan: warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor berpeta,
tonsil membesar dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan pada
gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
(6) Telinga: posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan.
(7) Leher: tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku kuduk.
(8) Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri tekan.
(9) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama gallop, bising
gesek perikard (pericard friction rub)
(10) Paru-paru: Simetrsitas static dan dinamik, pekak, hipersonor, fremitus, batas
paru-hati, suara nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)
(11) Abdomen: bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus, distensi,
caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas, nyeri tekan, masa abdomen,
pembesaran hati dan limpa, bising/suara peristaltik usus, dan tanda-tanda
asites.
(12) Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema skrotum.
(13) Ekstremitas: tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri
otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin, capillary revill time, cacat
bawaan
c. Diagnosa keperawatan
1) Ikterik neonatus berhubungan dengan penurunan berat badan abnormal (7-
8% pada bayi baru lahir yang menyusu ASI > 15% pada bayi cukup
bulan), pola makan tidak ditetapkan dengan baik, kesulitan transisi ke
kehidupan ekstra uterin, usia kurang dari 7 hari, keterlambatan
pengeluaran feses (mekonium)
2) Resiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan
peningkatan IWL (insensible water loss) akibat fototerapi dan kelemahan
menyusui
3) Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan jaundice atau
radiasi

d. Perencanaan Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN NILAI INTERVENSI
KEPERAWATAN
1 Ikterik Neonatus Setelah di berikan Fototerapi neonatus
berhubungan asuhan keperawatan
Observasi
dengan penurunan selama 3x24 jam
berat badan diharapkan
1. Monitor ikterik pada
abnormal (7-8%
sklera dan kulit bayi
1. Kadar bilirubin dalam
pada bayi baru lahir
2. Monitor suhu tubuh dan
rentang normal
yang menyusu ASI >
tanda vital setiap 4 jam
(<10mg/dL)
15% pada bayi
sekali
2. Warna kulit tidak
cukup bulan), pola
3. Monitor efek samping
ikterik
makan tidak
fottoterapi (misalnya :
3. Refleks menghisap
ditetapkan dengan
hipertermi, diare, rush
normal
baik, kesulitan
pada kulit, penurunan
4. Mata bersih (tidak
transisi ke
berat badan lebih dari 8-
ikterik)
kehidupan ekstra
10%)
5. Berat badan tidak
uterin, usia kurang
dari 7 hari, menyimpang dari
Terapeutik
keterlambatan rentan normal
pengeluaran feses 6. Warna urin dan feses
1. Siapkan lampu
(mekonium) tidak pucat
fototerapi dan inkubator
atau kotak bayi
2. Lepaskan pakaian bayi
kecuali popok
3. Berikan penutup mata
(eye protectoe/biliband)
pada bayi
4. Biarkan tubuh bayi
terpapar sinar fototerapi
secara berkelanjutan
5. Ganti segera popok bayi
bila BAB/BAK
6. Gunakan linen berwarna
putih agar memantulkan
cahaya sebanyak
mungkin.

Edukasi

1. Anjurkan ibu untuk


menyusui sekitar 20-30
menit dan sesering
mungkin

Kolaborasi

Kolaborasi pemeriksaan
darah vena bilirubin direk
dan indirek
2 Resiko Setelah dilakukan MANAJEMEN CAIRAN
ketidakseimbangan perawatan selama 2x 24
Observasi
volume cairan tubuh jam
berhubungan
dengan peningkatan
Ekspektasi membaik 1. Monitor status hidrasi
IWL (insensible
( mis, frek nadi,
water loss) akibat
Kriteria hasil
kekuatan nadi, akral,
fototerapi dan
pengisian kapiler,
kelemahan 1. FISIOLOGIS 5
kelembapan mukosa,
menyusui. 2. PSI (meningkat)
5 turgor kulit, tekanan
3. Asupan cairan
darah)
(meningkat)
5 2. Monitor berat badan
4. Haluaran urin
harian
(meningkat)
3. Monitor hasil
5. Kelembaban
5 pemeriksaan
membrane
laboratorium (mis.
(meningkat)
5 Hematokrit, Na, K, Cl,
6. Mukosa (meningkat)
berat jenis urin , BUN)
7. Asupan makanan 5
4. Monitor status
(meningkat)
hemodinamik ( Mis.
8. Edema (menurun)
MAP, CVP, PCWP jika
9. Dehidrasi (menurun)
5 tersedia)
10. Asites (menurun)
11. Konfusi (menurun) 5 Terapeutik
12. Tekanan darah
(membaik) 5 1. Catat intake output dan
13. Denyut nadi radial hitung balans cairan
5
(membaik) dalam 24 jam
14. Tekanan arteri rata- 2. Berikan asupan cairan
5
rata (membaik) sesuai kebutuhan
15. Membran mukosa 5 3. Berikan cairan intravena
(membaik) bila perlu
5
16. Mata
Kolaborasi
cekung(membaik)
5
17. Turgor kulit
1. Kolaborasi pemberian
(membaik)
diuretik, jika perlu
18. Berat badan
(membaik) 5
5

3 Gangguan integritas Setelah dilakukan Perawatan integritas kulit


kulit/ jaringan perawatan selama 2x 24
Observasi
berhubungan jam
dengan jaundice
1. Monitor perubahan
Ekspektasi meningkat
atau radiasi
sirkulasi (dengan
Kriteria hasil mengukur tanda-tanda
vital)
1. Elastisitas
2. Monitor perubahan
(meningkat)
5 status nutrisi
2. Hidrasi (meningkat)
3. Monitor penurunan
3. Perfusi jaringan 5
kelembapan
(meningkat)
4. Kerusakan jaringan Terapeutik:
(menurun)
5 1. Gunakan produk
5. Kerusakan lapisan
berbahan petroleum
kulit (menurun) 5
atau minyak pada kulit
6. Nyeri (menurun)
5 kering
7. Perdarahan
(menurun)
Edukasi :
8. Kemerahan
(menurun) 5 1. Anjurkan mengguanakan
9. Hematoma pelembab (mis.
(menurun) 5 Lotion,serum)
19. Pigmentasi abnormal
5
(menurun)
20. Jaringan parut
(menurun)
21. Nekrosis (menurun)
22. Abrasi kornea
5
(menurun)
10. Suhu kulit (membaik) 5
11. Sensasi (membaik)
12. Tekstur (membaik) 5

13. Pertumbuhan
rambut (membaik)

e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap terakhir proses keperawatan dengan cara menilai
sejauh mana dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.(Hidayat,2011).
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemapuan klien dalam mencapai
tujuan.hal ini dapat dilaksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan
sehingga perawat dapat mengambil keputusan.
a. Sudah tidak mengigil
b. Suhu tubuh normal
c. Frekuensi nadi normal
d. Tekanan darah normal

BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR merupakan istilah untuk mengganti
bayi premaur karena terdapat dua bentuk penyebab kelahiran bayi dengan berat badan
kurang dari 2500 gram yaitu umur kehamilan kurang dari 37 minggu, berat badan
lebih rendah dari semestinya sekalipun cukup bulan atau karena kombinasi keduanya.

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum


setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubi-nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbillirubenemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut Normogram Bhutani. Penyebab dari
hyperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar penyebabnya adalah :
produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan dalam proses uptake dan konjungsi
hepar, gangguan trasnportasi, dan gangguan dalam ekskresi.

B. Saran
Setelah membaca makalah ini, kami berharap semua mahasiswa/i maupun
perawat dapat lebih memahami Konsep Asuhan Keperawatan Berat Bayi Lahir
Rendah (BBLR) dan Hiperblirubinemia dengan sebaik-baiknya dalam melakukan
asuhan keperawatan, sehingga proses dalam melakukan asuhan keperawatan yang
dilakukan memperoleh keberhasilan.
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Cetakan III. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan keperawatan.
Edisi 1. Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI.
https://www.academia.edu/28136550/MAKALAH_HIPERBILIRUBINEMIA (diakses pada
tanggal 12 April 2021)

Salas Auladi, 2010. Makalah Hiperbilirubin.


https://id.scribd.com/doc/34823122/MAKALAH-HIPERBILIRUBIN (diakses pada tanggal
12 April 2021)

https://www.academia.edu/18751316/ASKEP_HIPERBILIRUBINEMIA (diakses pada


tanggal 13 April 2021)

http://repository.pkr.ac.id/796/15/BAB%202.pdf (diakses pada tanggal 13 April 2021)

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2083/1/gabungan%20otw%20cd.pdf (diakses pada tanggal


2021)

Anda mungkin juga menyukai