Anda di halaman 1dari 3

Hermeneutika Ala Wilhelm Dilthey

Bagi Dilthey, pengalaman bukanlah hal yang statis; sebaliknya, dalam kesatuan maknanya
lah pengalaman dapat menjangkau dan meliputi rekoleksi masa lalu, serta dapat menjadi
sumber bagi antisipasi masa depan dalam konteks “makna” keseluruhan.
Norman Rockwell

Wilhelm Dilthey memulai teori hermeneutika-nya dengan distingsi ilmu, ialah ilmu alam
(naturwissenschaften) dan ilmu sosial humaniora (geisteswisschenschaften). Pengenalan akan
dua distingsi ini penting mengingat keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Ilmu alam
menjadikan alam sebagai objek penelitian sementara objek penelitian dalam ilmu sosial
adalah manusia. Bagi Dilthey, hal yang membedakan kedua disiplin ilmu ini bukan hanya
pada tataran objeknya saja, tetapi juga pada orientasi subjek yang berpengetahuan, atau
sikapnya terhadap objek (Edi Susanto, 2016:47). Lebih lanjut Dilthey mengatakan, “Ilmu-
ilmu alam mempunyai bentuk-bentuk yang muncul pada kesadaran sebagai sesuatu yang
berasal dari luar, sebagai gejala, dan secara khusus sebagai sesuatu yang diterima dengan
sendirinya. Sebaliknya humaniora objeknya muncul dari dalam, sebagai suatu realitas dan
sebagai suatu orisinalitas yang hidup.” (Roy J. Howard, 2000:37).

Gagasan Dilthey tentang hermeneutika disandingkan dengan ilmu-ilmu sosial. Itulah


mengapa ia membedakan ilmu-ilmu alam dengan sosial. Dalam menggagas teorinya ini,
Dilthey menaruh perhatian pada ilmu sejarah. Baginya, dalam merefleksikan ilmu humaniora
hal yang perlu dilakukan adalah mencari makna teks dalam kaitannya dengan konteks
sejarah. Dari sini dapat dicermati bahwa hermeneutika Dilthey bertujuan untuk memahami
teks sebagai ekspresi sejarah, dan bukan ekspresi mental penggagas. Hal yang perlu
direkonstruksi dari teks adalah makna atas suatu peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya
sebuah teks (Edi Susanto, 2016:47-48).

Lebih lanjut Dilthey menyatakan bahwa hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah.
Artinya, makna dari suatu teks tidak pernah berhenti pada suatu periode hidup manusia atau
tidak pernah berhenti pada suatu masa, tetapi selalu kontekstual dengan situasi mana pun.
Karenanya, interpretasi tidak bersifat statis melainkan bersifat dinamis. Dilthey juga
menekankan bahwa tidak ada kanon atau hukum untuk interpretasi. Baginya, historisitas
bukan soal rangkaian peristiwa yang dibatasi oleh ruang, waktu, dan peristiwa tertentu dalam
kurun waktu yang terbatas. Historisitas adalah serangkaian yang bersifat menyeluruh dari
bagian yang saling terkait satu sama lain.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, Mengapa Dilthey selalu menyandingkan sejarah
dalam refleksinya atas teks? Dilthey menyatakan bahwa metode ini dilakukan untuk
memperoleh interpretasi “objektivitas yang valid” dari “ekspresi kehidupan” (Richard E.
Palmer, 2003:113). Bagi Dilthey, manusia pada dasarnya hidup tidak dalam kategori-kategori
mekanis tetapi dalam kompleksitas pengalaman-pengalaman hidup langsung, sebagai sebuah
totalitas yang merupakan momen-momen makna hidup, serta dalam pemahaman partikular
yang harmonis (Richard E. Palmer: 113). Inilah mengapa metode ilmiah tidak dapat
digunakan untuk menafsir kehidupan yang dinamis. Sebab metode ilmiah berusaha
menampilkan rumusan-rumusan yang pasti, sementara hermeneutika menghormati dan
menjunjung tinggi dinamika kesejarahan hidup manusia.
Geisteswissenschaften sebagai Fondasi Hermeneutika
Penulis telah sedikit menyinggung soal gambaran singkat gagasan Dilthey tentang
humaniora. Dan kini muncul pertanyaan baru, mengapa Geisteswissenschaft menjadi fondasi
dalam hermeneutika Dilthey? Bagi Dilthey, Geisteswisschenschaften adalah dasar
permenungan hermeneutika yang berangkat dari kesadaran bahwa manusia sesungguhnya
hidup tidak dalam kategori-kategori mekanis, melainkan dalam kompleksitas pengalaman-
pengalaman hidup langsung sebagai sebuah totalitas. Ialah kesatuan momen-momen makna
hidup, serta hidup dalam pemahaman partikular yang harmonis (Richard E. Palmer:113).

Geisteswisschenschaften tidak menempatkan manusia sebagai objek statis bagi penelitian


ilmu alam. Kehidupan manusia senantiasa menyejarah, artinya, tidak pernah selesai. Karena
itu, diperlukan metode yang khas sehingga manusia dapat memahaminya secara berbeda.
Hermeneutika adalah metode yang tepat untuk mencapai pemahaman sedemikian rupa.
Hermeneutika tidak hanya menawarkan hasil-hasil yang pasti dan statis, melainkan juga
menyejarah.

Interpretasi Kehidupan Pribadi Manusia dalam Totalitas


Kesejarahannya
Bagi Dilthey, kehidupan individu dipengaruhi oleh dua faktor utama, ialah faktor eksternal
(lingkungan sosial) dan faktor internal (psikologis). Kedua unsur tersebut memainkan
peranan penting dalam memahami individu. Dilthey menegaskan bahwa lingkungan eksternal
maupun kejiwaan internal seseorang harus dilihat secara saksama dengan maksud untuk
memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi, kemudian
mengadakan interpretasi (E. Sumaryono, 1993:46).

Bagi Dilthey manusia adalah “makhluk historis “(ein geschichtliches wesen). Historisitas ini
dilihat dari dua hal ialah, pertama, manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi,
tetapi melalui objektifikasi hidup. Kedua, hakikat manusia bukanlah sebuah esensi yang
baku. Baginya, manusia adalah “makhluk yang belum pasti, makhluk yang belum ditemukan
apa sebenarnya ia.” (Palmer, 2003:131-132). Bagi Dilthey, secara eksistensial manusia yang
memaknai hidupnya berdasarkan kegiatan-kegiatan atau faktor-faktor eksternal, seperti
lingkungan, struktur kemasyarakatan, situasi sosial, agama, dan lain-lain. Manusia sungguh-
sungguh menempatkan hidupnya pada situasi konkret di mana pengalaman hidupnya
menyejarah. Inilah mengapa Dilthey mengatakan bahwa pemahaman dan interpretasi atas
kegiatan individu dengan sendirinya tersituasikan dalam sistem-sistem eksternal dari
organisasi-organisasi sosial, politik dan ekonomi, beserta dengan nilai-nilainya sendiri yang
sudah dianggap mapan (E. Sumaryono:46).

Historisitas individu menunjukkan kenyataan bahwa individu tidak pernah berada tetap pada
satu titik tertentu, di mana totalitas pemahaman terhadapnya mencapai titik selesai. Maka
untuk memahami seseorang, maka pasang surut kehidupannya juga harus dilibatkan. Inilah
alasan mengapa Dilthey berkesimpulan bahwa interpretasi adalah suatu seni memahami
manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital dan ditampakkan pada kebiasaan
yang tahan lama (E. Sumaryono:51). Hermeneutika tidak berada di luar sejarah. Dikatakan
demikian karena bagian-bagian makna hidup (totalitas) manusia membutuhkan konteks masa
lalu dan harapan-harapan horizon masa yang akan datang; di mana secara intrinsik bersifat
temporal dan terbatas, dan harus dipahami dalam terminologi historisitasnya (Palmer:113)
Kehidupan dilihat dalam terminologi “makna”; kehidupan adalah pengalaman manusia yang
dikenal dari dalam.

Pada akhirnya, manusia dilengkapi dengan pengalaman-pengalamanyang unik baik secara


individu maupun relasional. Bagi Dilthey, pengalaman bukanlah hal yang statis; sebaliknya,
dalam kesatuan maknanya lah pengalaman dapat menjangkau dan meliputi rekoleksi masa
lalu, serta dapat menjadi sumber bagi antisipasi masa depan dalam konteks “makna”
keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai