Anda di halaman 1dari 77

HUBUNGAN GULA DARAH SEWAKTU DENGAN KUALITAS TIDUR

PADA LANSIA DIABETES MELLITUS TIPE II DI WILAYAH KERJA


UPTD PUSKESMAS CIPAKU TAHUN 2024

PROPOSAL SKRIPSI

Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan


Pada Program Studi Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Galuh

Oleh :
INTAN SUCI LESTARI
NIM. 1420120028

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN (S-1)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan

judul “Hubungan Kualitas Tidur dengan Gula Darah Sewaktu pada Lansia

Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cipaku Tahun

2024”.

Proposal skripsi ini diajukan untuk melakukan penelitian sebagai salah

satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan S1 Keperawatan di Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Galuh Ciamis. Untuk itu kepada semua pihak yang terkait,

penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dan akan

dijadikan bahan koreksi untuk penyempurnaan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun

proposal skripsi ini yaitu kepada yang terhormat :

1. Tita Rohita, S.Kep., Ners., M.M., M.Kep., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Galuh Ciamis sekaligus pembimbing I yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan

dalam penyusunan proposal skripsi ini.

2. Asri Aprilia Rohman, S.Kep., Ners., M.Kes., selaku Wakil Dekan I

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Galuh Ciamis.

ii
3. Hj. Tika Sastraprawira, dr., M.Kes., selaku Wakil Dekan II Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Galuh Ciamis.

4. Dini Nurbaeti Zen, S.Kep., Ners., M.Kep, selaku Wakil Dekan III dan

dosen wali yang telah membantu memberikan arahan dan semangat untuk

peneliti dan seluruh mahasiswa/i tingkat IV B Program Studi S1 Ilmu

Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Galuh Ciamis.

5. Daniel Akbar Wibowo, S.Kep., Ners., M.M., M.Kep, selaku Ketua

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Galuh Ciamis.

6. Nina Rodiana, S.Kep., Ners., M.Kep., selaku pembimbing II yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan

dalam penyusunan proposal skripsi ini.

7. Seluruh staff dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Galuh Ciamis yang telah memberikan partisipasi dan bantuannya dalam

memberikan informasi yang berhubungan dengan penelitian.

8. Kepala UPTD Puskesmas Wilayah Cipaku yang telah memberikan izin

kepada peneliti untuk melakukan studi pendahuluan. Staff dan karyawan

UPTD Puskesmas Cipaku yang telah memberikan partisipasi dan

bantuannya dalam memberikan informasi yang berhubungan dengan

penelitian.

9. Kedua orang tua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan

moril dan material sehingga dapat terselesaikan proposal skripsi ini.

iii
10. Mukhamad Yusron S.Pd terimakasih telah berkontribusi banyak dalam

penulisa skripsi ini. Yang menemani,meluangkan waktu,tenaga,pikiran

ataupun materi kepada peneliti,dan memberi semangat untuk terus maju

tanpa kenal lelah dan menyerah dalam meraih apa yang menjadi impian

peneliti. Terima kasih telah menjadi sosok rumah yang selau ada untuk

peneliti dan menjadi bagian dari perjalanan hidup peneliti.

11. Rekan-rekan semua yang memberikan motivasi selama penyusunan

proposal skripsi ini, terimakasih atas kerjasamanya.

Peneliti berharap proposal skripsi ini tidak hanya menambah pengetahuan

mahasiswa, tetapi dapat menjadikan inspirasi dan merangsang kreativitas dalam

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu Keperawatan.

Terima kasih, semoga apa yang dicita-citakan kita bersama dikabulkan oleh

Allah SWT aamiin.

Ciamis, Januari 2024

Penulis,

Intan Suci Lestari

DAFTAR ISI

iv
HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penelitian 2

D. Kegunaan Penelitian 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Tinjauan Teori4

1. Konsep Tidur Lansia 4

2. Konsep Lansia 14

3. Konsep Diabetes Melitus 16

B. Kerangka Konsep Penelitian 25

C. Hipotesis 26

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian 27

B. Populasi dan Sampel 27

C. Variabel Penelitian 29

D. Definisi Operasional 29

v
E. Instrument Penelitian 29

F. Tekhnik Pengumpulan Data 31

G. Uji Validasi dan reliabilitas 33

H. Analisa Data 34

I. Etika Penelitian 36

J. Tempat dan Waktu Penelitian 37

DAFTAR PUSTAKA

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penuaan merupakan tahap akhir dari kehidupan seseorang. Orang yang

mengalami penuaan biasanya disebut dengan lanjut usia (lansia), ditandai

dengan perubahan fungsi tubuh yang cenderung menurun secara bertahap

dalam waktu ke waktu. (Fatimah, 2010) dalam Yuliadarwati et al., 2021. Salah

satu yang berkaitan dengan lansia adalah kualitas tidur. Lansia membutuhkan

waktu tidur 5-8 jam untuk menjaga kondisi fisiknya, karena semakin tua

anggota tubuh lansia tidak berfungsi dengan optimal untuk mencegah

penurunan, lansia membutuhkan pola tidur yang cukup (Lumbantobing, 2018)

dalam Sholehah, L., (2022).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular (PTM) kronis

yang diakibatkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi hormon

insulin ataupun disebabkan pemakaian yang tidak efisien dari produksi insulin.

Hal ini mengacu pada sekelompok penyakit metabolik yang temuan umumnya

adalah peningkatan kadar glukosa darah, yaitu hiperglikemia (Kemenkes,

2020). Kadar gula darah sewaktu melebihi normal jika ≥ 200 mg/dl dan kadar

gula darah puasa ≥126 mg/dl (Perkeni, 2019). Diabetes merupakan prioritas

pemerintah untuk meningkatkan kesehatan padamasyarakat karena dalam

tahun-tahun terakhir ini mengalami peningkatan (Kemenkes RI, 2020).

1
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa adanya

peningkatan jumlah penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman

Kesehatan global. Pada tahun 2022 sebanyak 300 juta orang berusia 60-79

tahun hidup dengan Diabetes Mellitus (WHO,2022).

Menurut Organisasi International Diabetes Federation (IDF)

memperkirakanjumlah penyadang diabetes melitus (DM) didunia saat ini

berkisar 463 juta, dan diperkirakan meningkat menjadi sekitar 700 juta ditahun

2045. Peningkatan angka kejadian diperkirakan terus meningkatan pada tahun

2030 sebesar 578 juta jiwa dan pada tahun 2045 diperkirakan sebesar 700 juta

jiwa penduduk di dunia mengalami penyakit diabetes melitus

(Kemenkes,2021). Untuk wilayah Asia tenggara angka kejadian diabetes

melitus sebesar 10.7 juta jiwa (Kementerian Kesehatan RI., 2020) hal ini

membawa Indonesia sebagai negara anggota Asia tenggara berada pada posisi

ke7 di tahun 2020 dengan angka kejadian sebesar 10. 7 juta jiwa (Kementerian

Kesehatan RI., 2020).

Prevalensi DM di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter sebesar 2% pada

umur ≥15 tahun pada tahun 2018 mengalami peningkatan dibandingkan

sebelumnya di tahun 2013 yang hanya sebesar 1.5%, sedangkan prevalensi

yang didasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah meningkat dari 6,9% pada

tahun 2013 menjadi 8,5% di tahun 2018. Provinsi dengan prevalensi tertinggi

yaitu DKI Jakarta dan prevalensi terendah ditempati Nusa Tenggara Timur.

Provinsi Nusa Tenggara Barat berada pada peringkat 21 dari 34 provinsi di

Indonesia (RISKESDAS).

2
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018,

prevalensi DM di Jawa Barat mencapai 1,74% (diperkirakan 570.611 penderita

diabetes). Pada tahun 2021, Dinas Kesehatan Jawa Barat menemukan sejumlah

46.837 orang dengan Diabetes dan 17.379 atau 37,1% di antaranya tidak

mendapatkan perawatan kesehatan yang layak sesuai standar pemerintah.

Berdasarkan dari 5 penyakit PTM terbanyak dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Ciamis Tahun 2023 menunjukan penyakit tertinggi untuk semua

golongan umur di Kabupaten Ciamis yaitu Diabetes mellitus menduduki urutan

kedua setelah Hipertensi dengan jumlah kasus 3.211 jiwa. Kasus Diabetes

Mellitus tertinggi dari 30 Puskemas di Kabupaten Ciamis yaitu berada di

Wilayah kerja UPTD Puskesmas Cipaku menempati urutan pertama. Di lihat

dari jenis kelaminnya, kasus Diabetes Mellitus lebih banyak perempuan yaitu

2.206 jiwa dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 1.005 jiwa dengan

jumlah keseluruhan 3.211 jiwa (profil Dinkes Ciamis,2023).

Penyebab diabetes melitus tipe II adalah stres berat, konsumsi

karbohidrat berlebih, aktivitas fisik (kurang bergerak), infeksi, penyakit,

dan operasi, obat-obatan, kontrol insulin, dan kualitas tidur (pola hidup).

Tanda dan gejala khas penderita diabetes melitus tipe II yaitu :

poliuria (sering kencing), poliphagia (sering lapar), polidipsia (sering

haus), berat badan menurun, dan lemas (Bustan, 2015).

Dampak dari diabetes melitus tipe II yaitu : penyakit jantung

koroner, gangguan mata, gangguan ginjal, gangguan saraf, infeksi, dan

kaki diabetik (Helmawati, 2014). Salah satu dampak yang sering

3
ditemui pada penderita diabetes melitus tipe II yaitu kerusakan saraf yang

dapat ditandai dengan mati rasa hingga nyeri di kaki, serta terjadinya

gangguan penglihatan. Penderita diabetes melitus tipe II memiliki

gangguan sulit tidur dikarenakan sering kencing di malam hari, sehingga

lebih beresiko terkena insomnia dan berdampak sering terbangun serta

sulit untuk tidur kembali. Jika seseorang merasa tidak adanya kepuasan

tidur, maka akan mengakibatkan penurunan kualitas tidur. Tidur adalah

kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk mempertahankan status

kesehatan pada tingkat yang optimal. Selain itu, tidur dapat

memperbaiki kerusakan sel, dan mengontrol kadar glukosa darah dalam

tubuh (Hidayat & Uliyah, 2015).

Efek dari kadar gula darah yang tinggi dapat mempengaruhi kualitas tidur.

Kualitas tidur yang buruk biasanya terjadi pada usia lanjut, hal ini dikarenakan

terjadinya proses degeneratif pada lansia sehingga menyebabkan penurunan

fungsi fisiologis (Yuliadarwati et al., 2021). Kualitas tidur yang buruk

menyebabkan gangguan toleransi glukosa atau Impaired Glucose Tolerance

(IGT) (Sitti Hartina, 2017).Menurut (Zhang et al., 2012) apabila aktifitas fisik

dan durasi tidur seseorang rendah maka resistensi insulin akan meningkat.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi respon sel beta pankreas dan

sensitivitas insulin, salah satunya adalah tidur (Haq, 2017). Tidur adalah salah

satu aspek yang mempengaruhi respon sel β pankreas dan sensitivitas insulin

(Sumah, 2019).

4
Tidur merupakan suatu kebutuhan, bukan suatu keadaan yang tidak

bermanfaat. Pada saat tidur, terjadi pembentukan sel-sel tubuh yang baru,

perbaikan sel-sel tubuh yang rusak serta memberikan waktu pada organ tubuh

untuk berisitirahat maupun menjaga keseimbangan biokimiawi dan

metabolisme tubuh (Putri, 2017).

Kualitas tidur yang baik merupakan kepuasan seorang individu akan

tidurnya yang dapat dilihat ketika terbangun dari tidurnya akan tampak segar

dan bugar, tidak akan tampak lemah, lesu,tidak tampak kehitaman di bawah

mata, tidak sering menguap dan fokus. Kualitas tidur terdiri dari aspek

kuantitatif dan aspek subjektif (Setianingsih,et.,al 2022).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kapur et al., (2020) pada 300 orang

pasien DM tipe 2 di India kualitas tidur yang buruk pada pasien DM tipe 2

memberikan dampak negatif pada kualitas hidup mereka. Namun penelitian

yang dilakukan oleh Zehni Moghaddam et al., (2016) mengatakan hubungan

antara kadar glukosa darah dan jam tidur disertai durasi penyakit menunjukkan

bahwa durasi tidur pada hari kerja dan hari libur tidak memiliki hubungan yang

signifikan terhadap kadar glukosa darah pasien DM tipe 2.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harianto et al., (2021)

menyimpulkan terdapat hubungan kadar glukosa darah sewaktu dengan

kualitas tidur pada lansia yang beresiko diabetes melitus di Desa Kincang

Wetan Kota Madiun. Dengan arah hubungan yang positif yang berarti semakin

tinggi kadar glukosa darah sewaktu (GDS) akan diikuti dengan kualitas tidur

yang buruk. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mahartie (2019) di

5
Kabupaten Sleman Yogyakarta disebutkan tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara kualitas tidur maupun komponennya dengan kadar glukosa

darah puasa, kecuali komponen efisiensi tidur. Penelitian lain yang dilakukan

oleh Demur (2018) di RSUD Dr. Achmad Mocthar Bukittinggi juga

menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa

darah puasa pada pasien DM tipe 2.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 April

2024 terhadap 5 lansia penderita Diabetes Mellitus tipe II di Wilayah Kerja

UPTD Puskesmas Cipaku melalui metode wawancara di temukan 3 lansia

mengalami gangguan tidur akibat sering buang air kecil pada malam hari

dengan frekuensi 3-4 kali dan merasakn haus yang luar biasa sehingga

terbangun untuk buang air kecil dan minum namun sulit untuk tertidur kembali,

sehingga mempengaruhi kualitas tidurnya. Sedangkan 2 orang lainnya

mengalami kualitas tidur yang baik, mereka mengatakan tidak ada gangguan

tidur.

Solusi berdasarkan Penilitian Rusdiana mengenai kualitas tidur yang baik

maka perlunya menciptakan lingkungan tidur yang aman dan nyaman

(Rusdiana, dkk., 2019). Cara mengontrol gula darah juga bisa dilakukan

dengan terapi diet yang teratur,berolahraga dan menjaga kualitas tidur yang

baik. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengontrol kadar glukosa

seperti menjaga pola istirahat tidur dengan waktu tidur sampai 7 jam dan cara

menjaga agar kualitas tidur tidak terganggu pada pasien diabetes mellitus yaitu

6
dengan ciptakan lingkungan yang nyaman seperti cahaya penerangan,suhu

ruangan (Wahdi etal., 2022).

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dan perbedaan hasil penelitian,

maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan kualitas tidur dengan

kadar gula darah sewaktu pada pasien Diabetes Millitus tipe II.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah

“Apakah Terdapat Hubungan Gula Darah Sewaktu Dengan Kualitas Tidur Pada

Penderita DM Tipe 2 Di Wilayah Kerja Puskemas Cipaku”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tuijuian Uimuim

Tuijuian peineilitian ini uintuik meingideintifikasi huibuingan Gula Darah

Sewaktu deingan Kualitas Tidur pada penyakit Diabetes Mellitus tipe II di

Wilayah Keirja UiPTD Puiskeismas Cipaku Tahuin 2024.

2. Tuijuian Khuisuis

a. Uintuik meingideintifikasi Gula Darah Sewaktu Pada Lansia Diabetes

Melitus tipe II di wilayah keirja UiPTD Puiskeismas Cipaku.

b. Uintuik meingideintifikasi Kualitas Tidur Pada Lansia di Wilayah Keirja

UiPTD Puiskeismas Cipaku.

c. Uintuik meingideintifikasi Huibuingan Gula Darah Sewaktu Deingan

Kualitas Tidur Pada Lansia Diabetes Melitus tipe II di Wilayah Keirja

UiPTD Puiskeismas Cipaku.

7
D. Kegunaan Penelitian

1. Manfaat Teioritis

Diharapkan bahwa penilitian ini dapat memberikan penjelaan

lebihlanjut mengenai variabel – variabel yang mempengaruhi Diabete

Mellitus serta untuk pengembangan ilmu yang diperoleh selama

perkuliahan.

2. Manfaat Praktis

a. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan

informasi untuk bahan ajar dan menjadi literatur mengenai

Hubungan Gula Darah Sewaktu Dengan Kualitas Tidur Pada

Lansia Diabetes Melitus tipe II.

b. Bagi peineliti lain

Diharapkan peneilitian ini dapat menjadi acuan untuk

pengembangan penelitian selanjutnya mengenai Hubungan

Gula Darah Sewaktu Dengan Kualitas Tidur Pada Lansia

Diabetes Melitus tipe II.

c. Bagi puiskeismas

Diharapkan dapat meinjadi bahan peirtimbangan dalam

meimbeirikan motivasi keipada masyarakat ataui meimbeirikan

peinyuiluihan keiseihatan meingeinai peinceigahan peiningkatan GDS

meilaluii kuialitas tiduir yang baik.

d. Bagi keiluiarga dan masyarakat

8
Meimbeirikan motivasi keipada keiluiarga dan masyarakat

uintuik meineirapkan kuialitas tiduir yang baik dalam uipaya uintuik

peinceigahan peiningkatan GDS pada penderita Diabetes Mellitus

tipe II.

e. Bagi Profeisi Keipeirawatan

Diharapkan dapat meinjadi suimbeir informasi meingeinai

huibuingan kuilitas tiduir deingan GDS pada lansia Diabetes

Mellitus tipe II.

9
10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Teori

1. Konsep Tidur Lansia

1) Pengertian Tidur

Tidur merupakan kejadian alami yang terjadi karena perubahan status

kesadaran, dalam hal mana terdapat persepsi dan reaksi individu

terhadap lingkungan di sekitarnya yang mengalami penurunan. Tidur

yang cukup membantu individu beristirahat sesuai dengan tahap

perkembangan, sehingga lebih berkonsentrasi dalam membuat

keputusan dan menjalani aktifitas (Kozieir, 2019).

Tidur merupakan kebutuhan fisiologis yang memiliki pengaruh

terhadap kualitas dan keseimbangan hidup individu yang mengalami

gangguan tidur, maka fungsi fisiologis tubuh lainnya dapat terganggui.

Kegagalan dalam mempertahankan tidur-bangun yang normal dapat

mempengaruhi kesehatan (Potteir & Peirry, 2020).

Kualitas tidur merupakan kepuasan tidur yang dialami. Gejala yang

biasa dialami oleih lansia adalah menjaga tidur, memuilai tidur,

bangun dini hari dan mengatuk ketika siang (Ari, dkk., 2020).

Perubahan pola tidur akan mempengaruhi kualitas tidur terutama pada

lansia, karena adanya perubahan sistem neurologis yang secara

11
fisiologis akan mengalami penurunan jumlah dan ukuran neuron pada

sistem saraf pusat, sehingga membuat fungsi neurotransmiteir pada

sistem neorologi menurun, pada akhirnya distribusi neropinefrin yang

merupakan zat untuk merangsang tidur akan ikut menurun. Kualitas

tidur buruk pada lansia berhubungan dengan gangguan aterosklerosis

terhadap otak dalam hal mana lansia terbangun tujuh kali dalam satu

jam sama halnya dengan kurangnya pasokan oksigen pada otak

kareina keduanya dapat menyebabkan peningkatan risiko Stroke

(American Heart Association (AHA), 2018).

2) Fisiologi Tidur

Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah

Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing

Regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2005

dalam Ratih, 2017). RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh

tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan

tidur. RAS ini terletak dalam meiseinseifalon dan bagian atas pons.

Selain itui RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri

dan perabaan serta dapat menerima stimulasi dari korteks serebri

termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar,

neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepinefrin.

Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum

12
serotonin dari sel khusuis yang berada di pons dan batang otak tengah,

yaitu BSR (Potter & Perry, 2005 dalam Ratih, 2017).

Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistem

Ascending Reticuilary Activity System (ARAS). Bila aktivitas ARAS

ini meningkat, orang tersebut dalam keadaan sadar. Aktivitas ARAS

menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS

ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmiter seperti sistem

serotoninergik, noradrenergik dan kolinergik (Angkat, 2010 dalam

Maghfiroh, 2016).

c. Tahapan Tidur

Terdapat dua jenis tidur, yakni tidur gelombang lambat atau NREM

dan tidur paradoksal atau REM. Tidur dimulai dari fase NREM yang

terdiri dari empat tahap yaitu, tidur tahap I, tidur tahap II, tidur tahap

III dan tidur tahap IV, lalu dikuti oleh fase REM. Fase NREM dan

REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus dalam semalam

(Potter & Perry, 2010 dalam Umamul, 2016).

1) Tidur NREM (Non Rapid Eiyei Moveimeint)

Tidur NREM meimiliki tidur gelombang lambat, dikarenakan

gelombang otak lebih lambat dibandingkan dengan gelombang

alfa dan beta pada orang yang bangun. Tidur NREM adalah tidur

nyenyak dan tenang serta dapat menurunkan fungsi fisiologis.

Tiduir NREM memiliki 4 tahap :

a) Tahap I (Tahap tidur paling ringan)

13
Pada tahap I ini individu merasa ngantuk dan rileks, bola

matanya bergerak dari satu sisi kei sisi lainnya, denyut dan

frekuensi pernafasan sedikit menurun, pada tahapan ini

individu lebih mudah untuk dibangunkan

b) Tahap II (Tahap tidur ringan)

Pada tahap II ini individu merasakan tubuh mengalami

penuiruinan terus-menerus, mata tetap bergerak dari satu sisi

kei sisi lainnya. Denyut jantung dan frekuensi pernafasan

sedikit menurun begituipun dengan suhu tubuh menurun, pada

tahapan ini hanya beirlangsung 10-15 menit.

c) Tahap III

Pada tahap III ini denyut jantung, frekuensi pernafasan dan

proses tubuh yang lainnya terus mengalami penurunan akibat

dominasi sisteim saraf parasimpatik, sehingga individu yang

sedang tidur susah untuk dibangunkan, otot rangka menjadi

semakin rileks dan padat teirjadi dengkuran.

d) Tahap IV

Pada tahap IV ini individu merasakan tidur yang amat dalam

seiring disebut dengan tidur delta, denyut jantung dan frekuensi

pernafasan menurun sebesar 20%-30% dibandingkan dengan

individu yang terjaga, tertidur sangat rileks dan biasanya mata

berputar hingga terjadi mimpi.

2) Tidur REM (Rapid Eiye Moveimeint)

14
REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan tiba-

tiba, peningkatan aktivitas saraf otonom dan mimpi. Pada tidur

REM terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan

frekuensi nafas. Keadaan ini diseirta dengan penurunan tonus otot

dan peningkatan aktivitas otot involuinteir. REM disebut juga

aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur

paradoks.

REM tidak berdiri sendiri, selalu disuperimposisikan pada

tidur gelombang lambat. Pada tidur yang normal, masa tidur REM

berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90 menit dengan

periode peirtama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur.

Tidur REM menghasilkan pola EEG (Eileictro Einceiphalo

Graphy) yang menyerupai tidur NREM tahap I dengan gelombang

beta, disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi

jantung dan nafas tidak teratur (ciri dalam keadaan mimpi), terjadi

gerakan otot yang tidak teratur (pada mata menyebabkan gerakan

bola mata yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit

dibangunkan dari pada tidur gelombang lambat.

d. Manfaat Tidur bagi Tubuh

Adapun beberapa manfaat tidur bagi tubuh antara lain (Potter &

Perry, 2010 dalam Ratih, 2017)

1) Memelihara fungsi jantung

15
Tidur dipercaya mengkontribusi pemuilihan fisilogis dan

psikologis. Menurut teori, tidur adalah waktu perbaikan dan

persiapan untuk periode terjaga berikutnya. Selama tidur NREM,

fungsi biologis menurun. Laju dinyut jantung normal pada orang

dewasa sehat sepanjang hari rata-rata 70 hingga 80 denyut

permenit atau lebih rendah jika individui berada pada denyut

jantung kondisi fisik yang sempurna.

Namun selama tidur, laju denyut jantung turun sampai 60

denyut permenit atau lebih rendah. Hal ini berarti bahwa denyut

jantung 10 hingga 20 kali lebih sedikit dalam setiap menit selama

tidur atau 60 hingga 120 kali lebih sedikit dalam setiap jam. Oleh

karena itu tidur yang nyenyak bermanfaat dalam memelihara

fungsi jantung.

2) Pembaruan sel

Tidur diperlukan untuk memperbaiki proses biologis

seicara rutin. Selama tidur gelombang rendah dalam NREM tahap

IV, tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk

mempeirbaiki dan memperbarui sel epitel dan khusus seperti otak.

Peran hormon pertumbuhan yang umum sebagai suatu promotor

sintesis protein adalah terbatas dikarenakan pelepasannya tidak

berhubungan dengan kadar glukosa darah dan asam amino.

Penelitian lain menunjukkan bahwa sistensis protein dan

pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit,

16
sumsung tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama

istirahat dan tidur.

3) Penyimpanan energi

Teori lain tentang kegunaan tidur adalah tubuh menyimpan

energi selama tidur. Otot skelet berelaksasi secara progresif dan

tidak adanya kontraksi otot menyimpan eneirgi kimia untuik proses

seluiler. Penurunan laju metabolic basal lebih jauh menyimpan

persediaan energi tubuh. Tidur REM penting untuk pemuilihan

kognitif.

Tidur REiM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran

darah serebral, peningkatan aktivitas kortisol, peningkatan

konsumsi oksigen dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat

membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur,

otak menyaring informasi yang disimpan tentang aktivitas hari

tersebut.

e. Kebutuhan Tidur pada Lansia

Semakin bertambah usia pada seseorang akan

menyebabkan berkurangnya durasi untuk tidur, terutama pada

lansia mereka akan memiliki durasi tidur yang sangat sedikit,

durasi tidur normal yang baik adalah 8-9 jam per hari seiring

bertambah usia tidur menjadi berkurang terutama pada lansia yang

hanya memliki durasi tidur 7-9 jam per hari yang biasanya dimiliki

oleh lansia umur 60 tahun. Hal ini terjadi karena dipengaruih oleh

17
hormon melatonin yang berperan dalam mengatur siklus bangun

dan tidur. Jika hormon ini berkirang atau terganggu maka siklus

tidur yang dialami seseorang akan terganggu atau berubah

(Kemenkes, 2018).

f. Gangguan Tidur pada Lansia

Menurut Rafknowledge, 2004 dalam Sholehah, L.A.M

(2022) pada usia lansia sering kali mengalami gangguan tidur,

gangguan tidur pada lansia diantaranya sebagai berikut:

1) Sering terjaga

Hal ini sering terjadi karena kondisi fisik (ingin kencing,

sakit dan lain sebagainya) dan telah kita ketahui bahwa tidur

pada lansia menjadi lebih terpenggal-penggal.

2) Perubahan jam biologis

Jam biologis pada bagian otak yang mengatur tidur, suhu

dan hormon tertentu menggeser waktu tidur dan bangun.

3) Perubahan kadar tidur

Pada kondisi lansa mereka lebih sedikit merasakan tidur

yang lelap atau disebut delta tidur gelombang lambat atau juga

sering disebut tidur kucing.

4) Perubahan hormonal

Ketika telah berada di fase tua maka hormon-hormon yang

berhubungan dengan tidur akan berubah, Melatonin berperan

dalam tidur kontroversial, apabila hormon melatonin

18
tergangagu atau berubah maka durasi tidur juga akan

terganggu atau berkurang, semakin tua kadar melatonin juiga

akan menurun.

g. Komponen Kualitas Tidur

Kualitas tidur dapat dilihat dari beberapa komponen atau

aspek, yaitu latensi tidur, durasi tidur, kualitas tidur subjektif,

efisiensi tidur sehari-hari, gangguan tidur, penggunaan obat tidur

dan disfungsi di siang hari. Kualitas tidur dapat dilihat dari 7

komponen menurut Asmadi dalam Ratih, (2017).

1) Latensi tidur

Latensi tidur merupakan periode waktu antara persiapan untuk

tidur dan awal tidur yang sebenarnya. Latensi tidur merupakan

indikator utama untuk menentukan kualitas tidur seseorang.

Semakin lama latensi tidur yang diperlukan seseorang untuk

tertidur maka kualitas tidur seseorang tersebut juga semakin

rendah. Semakin singkat waktu latensi tidur yang dibutuhkan,

maka kualitas tidur seseorang dikatakan baik. Beberapa faktor

yang mempengaruhi latensi tidur adalah faktor fisiologis tubuih,

faktor psiklogis seperti kecemasan dan ketegangan serta faktor

lingkungan.

2) Durasi tidur

19
Durasi tidur adalah lamanya tidur yang didapat pada malam

hari. Durasi tidur tersebut akan dipengaruhi oleh masa

perkembangan seseorang.

3) Kualitas tidur subjektif

Kualitas tidur subjektif merupakan penilaian subjektif diri

seindiri terhadap kualitas tidur yang dimiliki, adanya perasaan

terganggu dan tidak nyaman pada diri seindiri terhadap

penilaian kualitas tidur.

4) Efisiensi tidur sehari-hari

Efisiensi tidur yaitu rasio antara waktu sebenarnya yang

digunakan untuk tidur dengan waktu yang dihabiskan ditempat

tidur.

5) Gangguan tidur

Gangguan tidur yaitu seiperti adanya mengorok, gangguan

pergerakan sering terbangun dan mimpi buruk dapat

mempengaruhi proses tidur seseorang.

6) Penggunaan obat tidur

Penggunaan obat tidur berfungsi untuk membantu seseorang

agar mudah untuk tertidur. Namun efek samping yang

ditimbulkan dari obat tidur dapat mempengaruhi kesehatan

kronis, depresi, hingga kematian. Obat tidur akan menekan

sistem pernapasan yang akan memperburuk pernapasan

seseorang saat tidur.

20
7) Disfungsi disiang hari

Disfungsi di siang hari merupakan sebagian masalah yang

ditimbulkan akibat tidur yang kurang maupun yang tidak baik.

h. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

Banyak faktor yang mempengaruhi pola tidur, baik kualitas

maupun kuantitas. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

siklus tidur seseorang (Anies, 2021).

1) Penyakit

Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distres fisik yang dapat

mengakibatkan gangguan tidur. Individu yang sakit

membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak dibandingkan

saat sehat.

2) Lingkungan

Lingkungan tempat seseorang tidur berpengaruh terhadap

kemampuan seseorang untuk tidur dan tetap tidur. Faktor

lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat proses

tidur. Lingkungan yang tidak nyaman seperti temperatur yang

tidak nyaman atau veintilasi yang buruk dapat mempengaruhi

tidur seseorang.

3) Kelelahan

Kondisi tubuh yang lelah karena aktivitas berat yang dilakukan

seseorang dapat mempengaruhi pola tidur. Semakin lelah

21
seseorang, maka semakin pendek siklus tidur REM yang

dilaluinya.

4) Gaya hidup

Gaya hidup merupakan bagian dari kebutuhan sekunder

manusia yang bisa berubah tergantung jaman atau keinginan

seseorang untuk mengubah gaya hidupnya. Perubahan gaya

hidup tersebut merupakan salah satu penyebab munculnya

berbagai masalah dalam kesehatan. seseorang yang memiliki

rutinitas yang sangat padat dapat mempengaruhi kualitas tidur.

5) Stres Emosional

Ansietas dan depresi seringkali mengganggu tidur seseorang.

Kodisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinefrin darah

melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi tersebut

menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan

tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.

6) Stimulan dan alcohol

Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat

merangsang susunan saraf pusat, sehingga dapat mengganggu

pola tidur. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat

menganggu siklus tidur REM.

7) Diet

Penurunan berat badan seseorang dikaitkan dengan penurunan

waktu tidur dan seiringnya terjaga di malam hari. Sebaliknya,

22
penambahan berat badan justru meningkatkan waktu tidur dan

sedikitnya periode terjaga di malam hari.

8) Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi

pada tubuh. Akibatnya perokok sering kali kesulitan untuk

tidur dan mudah teirbanguin di malam hari.

9) Medikasi

Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur

seseorang. Beberapa obat-obatan yang dapat mempengaruhi

tidur seseorang seperti hipnotik. Hipnotik dapat mengganggu

tahap III dan IV tidur NREM. Metabloker dapat menyebabkan

insomnia dan mimpi buruk. Narkotik (Meperidin hidroklorida

dan morfin) dapat menekan tidur REM dan menyebabkan

seiringnya terjaga di malam hari.

10) Motivasi

Keinginan untuk tetap terjaga di malam hari dapat menutup

perasaan lelah seseorang. Sebaliknya perasaan bosan atau tidak

adanya motivasi untuk terjaga sering kali dapat mendatangkan

kantuk.

i. Macam-macam Kualitas Tidur

1) Kualitas tidur baik

Dikatakan kualitas tidur baik apabila siklus NREM dan REM

terjadi selang seling empat sampai enam kali (Rasyad,2009

23
dalam Ratih 2017). Tidak kekurangan tidur dan masalah tidur

merupakan kualitas tidur baik (Hidayat, 2015).

2) Kualitas tidur buruk

Seseorang dikatakan memiliki kualitas tidur yang buruk

ketika NREM dan REM nya tidak seimbang sehingga

mengakibatkan peningakatan aktivitas simpatis dan

peningkatan rata-rata tekanan darah dan heart rate 24 jam

(Gangwisch, 2015)

j. Pengukuran Kualitas Tidur

Buyssei eit al. dalam Hasanah, S.N (2022) mengemukakan

alat ukur kualitas tidur adalah Pittsbuirgh Sleeip Quiality Indeix

(PSQI). PSQI adalah instrument efektif yang digunakan untuk

mengukur kualitas tidur dan pola tidur orang dewasa. PSQI

dikembangkan untuk mengukur dan membedakan individu dengan

kualitas tidur yang baik dan kualitas tidur yang buruk. Kualitas

tidur merupakan fenomena yang kompleks dan melibatkan

beberapa dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI.

PSQI dikembangkan dengan beberapa tujuan, yaitu untuk

memberikan ukuran yang valid, reliabel, dan standarisasi kualitas

tidur, untuk membedakan antara tidur yang baik dan buruk, untuk

memberikan indeks yang mudah digunakan dan untuk memberikan

penilaian singkat yang berguna secara klinis dari berbagai

gangguan tidur yang mempengaruhi kualitas tidur.

24
Alat ukur tersebut sudah dibakukan oleh University of

Pittsbuirgh. Dimensi kualitas tidur antara lain : sleep latensi, durasi

tidur, gangguan tidur, efesiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat

tidur dan disfungsi tidur pada siang hari. Dimensi tersebut dinilai

dalam bentuk pertanyaan dan memiliki bobot penialaian masing-

masing sesuia dengan standar baku. Validitas peneilitian PSQI

sudah teruiji. Instrumen ini menghasilkan 7 skor yang sesuai

dengan doman atau area yang disebutkan sebelumnya. Tiap doman

nilainya berkisar antara 0 (tidak ada masalah) sampai 3 (masalah

berat).

Nilai setiap komponen kemudian dijumlahkan menjadi skor

global antara 0-21. Skor global ˃ 5 dianggap memiliki gangguan

tidur yang signifikan. PSQI memiliki konsistensi internal dan

koefisien reliabilitas (Cronbach’s Alpha) 0,83 untuk 7 komponen

tersebut (Magfiroh, 2016). Skor dari 7 komponen tersebut

dijumlahkan menjadi satu dengan kriteria penilaian : Baik = 0,

Cukup = 1-7, Buruk = 8- 14, dan Sangat buruk = 15-21. Adapun

cara skoring kuiesioner PSQI per item sebagai berikut :

1) Latensi tidur

Komponen dari kualitas tidur ini merujuk pada pertanyaan

nomor 2 dalam PSQI, yang berbunyi: “Berapa lama (dalam menit)

anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?”, dan pertanyaan

nomor 5a, yang berbunyi: “Selama sebulan terakhir, seberapa

25
sering anda mengalami kesulitan tidur karena anda tidak dapat

tertidur dalam waktu 30 menit sejak berbaring?”. Jumlah skor

tersebut disesuaikan dengan kriteria penilaian sebagai berikut :

Pertanyaan nomor 2 :

≤ 15 menit =0

16-30 menit =1

31-60 menit =2

> 60 menit =3

Pertanyaan nomor 5a :

Tidak pernah =0

Sekali seminggu =1

2 kali seminggu =2

3 kali seiminggu =3

Jumlahkan skor pertanyaan nomor 1a dan 1b, lalu akan

diperoleh skor latensi tidur sebagai berikut :

Skor 0 =0

Skor 1-2 =1

Skor 3-4 =2

Skor 5-6 =3

2) Durasi tidur

Komponen dari kualitas tidur ini merujuk pada pertanyaan

nomor 4 dalam PSQI, yang berbunyi: “Berapa lama anda tidur di

26
malam hari?” Jawaban responden dikelompokkan dalam 4 kategori

dengan kriteria penilaian sebagai berikut :

Durasi tidur >7 jam =0

Durasi tidur 6-7 jam = 1

Durasi tidur 5-6 jam = 2

Durasi tidur <5 jam =3

3) Efisiensi tidur sehari-hari

Komponen dari kualitas tidur ini merujuk pada pertanyaan

nomor 1,3 dan 4 pada PSQI Pertanyaan nomor 1 berbunyi “Pukul

berapa anda biasanya mulai tidur malam?”. Pertanyaan nomor 3

“Pukul berapa biasanya anda bangun pagi?”. Pertanyaan nomor 4

“Berapa lama anda tidur dimalam hari?”. Penghitungan efisiensi

tidur adalah sebagai berikuit:

Durasi tidur (4)


¿¿

Jika didapat hasil sebagai berikut, maka skor efisiensi tidur :

Efisiensi tidur >85% = 0

Efisiensi tidur 75-84% =1

Efisiensi tidur 65-74% =2

Efisiensi tidur <65% = 3

4) Gangguan tidur

Komponen dari kualitas tidur ini merujuk pada pertanyaan

nomor 5b-5j dalam PSQI, yang terdiri dari hal-hal yang dapat

menyebabkan gangguan tidur.

27
2. Konsep Lansia

a. Pengertian Lansia

Menua merupakan keadaan yang wajar yang sudah pasti

terjadi dalam kehidupan manusia yang dimulai dari sejak

dilahirkan, yakni dimulai dari menjadi anak, dewasa dan tua, cepat

lambat proses penuaan tergantung pada setiap individu dan

prosesnya akan terjadi selama masih hidup namun bukan berarti

dianggap sebagai suatu penyakit. Menua ialah lansia yang

menginjak usia 45 tahun dan akan meyebabkan masalah pada umur

60 tahun ke atas (Nugroho, W., 2017).

Lansia adalah populasi atau sekelompok beresiko, yang

akan selalu meningkat setiap tahunnya, dalam segi kesehatan lansia

adalah golongan yang rentan dalam penurunan derajat kesehatan

(Kik et al., 2018). Menua adalah hal alamiyah yang terjadi pada

seseorang dengan bertambahnya usia akan menurunkan fungsi

fisiologis akibat degeneratif (Mubarok, 2020).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 67 Tahun 2015 tentang Penyelenggaran Pelayanan

Kesehatan Lanjut Usia di Pusat Kesehatan Masyarakat pasal 1 ayat

1 mengatakan bahwasanya lanjut usia adalah seseorang yang telah

mencapai 60 (enam puluh) tahun ke atas (Kemenkes RI, 2015).

3) Klasifikasi lansia

28
Menurut WHO, 2013 klasifikasi lansia dapat dibedakan menjadi

beberapa klasifikasi diantaranya:

1) Usia pertengahan (middle age: 45-54 tahun).

2) Lansia (elderly: 55-65 tahun).

3) Lansia muida (young old: 66-74 tahun).

4) Lansia tuia (old: 75-90 tahun).

5) Lansia sangat tuia (very old: lebih dari 90 tahun).

Sedangkan menurut Bunside dalam Nugroho (2015) klasifikasi

dapat dibedakan menjadi beberapa bagian diantaranya:

1) Young old (usia 60-69 tahun)

2) Middle age old (usia 70-79 tahun)

3) Old-old (usia 80-89 tahun)

4) Very old-old (usia 90 tahun ke atas)

c. Ciri-Ciri Lansia

Setelah terjadi penuaan pada lansia, maka banyak

mengalami perubahan-perubahan dan salah satunya yaitu ciri-ciri

lansia, berikut ciri-ciri yang terjadi pada lansia menurut (Burhanto,

2019).

1) Lansia merupakan periode kemunduran

Sebagian besar lansia mengalami kemunduran karena faktor

fisik dan psikologis, salah satunya motivasi, lansia dianggap

lekas mengalami kemunduran ketika memiliki motivasi yang

29
kecil atau rendah, begitupun sebaliknya lansia yang memiliki

motivasi yang tinggi maka angka kemunduran pada lansia juga

melambat.

2) Lansia memiliki status kelompok minoritas

Hal ini terjadi dikarenakan lansia memliki sikap sosial yang

buruk terhadap masyarakat sekitar sehingga lansia memiliki

keakraban yang sedikit pada masyarakat dan jarang melakukan

interaksi kepada masyarakat.

3) Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan biasanya banyak dilakukan karena lansia telah

banyak mengalami penurunan dalam segala hal. Perubahan

peran sebaknya dilakukan atas keinginan pada lansia sendiri

jangan kerena paksaan atau karena sudah menginjak masa

lansia.

4) Penyesuaan yang buruk pada lansia

Perlakuan yang tidak baik terhadap lansia akan membuat lansia

merasakan kesedihan bahkan juga akan menunjukkan perilaku

buruk pada sekitar, lansia juga akan mudah tersinggung dan

menarik diri dari lingkungan.

4) Penyakit Menular dan Tidak Menular pada Lansia

Menurut Riskesdas Kementrian Kesehatan RI, 2020 terdapat

dua penyakit tidak menular dan menular pada lansia, penyakit tidak

menilar pada lansia diantaranya Hipertensi, Stroke, Rematik,

30
Diabetes Millitus, Asam Urat dan radang sendi sedangkan penyakit

menular pada lansia yaitu Diare, Hepatitis, Tuberkolosis, dan

Pneumonia (Riskesdas RI, 2020).

e. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Menurut Azizah, L. M., (2017) lansia merupakan tahap

lanjut pada kehidupan yang ditandai dengan perubahan yang

dialami lansia yaitu :

1) Perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia diantaranya adalah

sistem kardiovaskuler, pernafasan, persyarafan, endokrin,

gastrointestinal, indera, urinaria, integumen, musculosketal dan

perubahan sistem reproduksi.

2) Perubahan kognitif ialah perubahan struktur dan fungsional otak

yang biasanya di hubungkan dengan gangguan kognitif (perubahan

pada kadar neurotransmiter dan penurunan jumlah pada sel).

3) Perubahan spiritual agama atau kepercayaan semakin bermigrasi

pada kehidupan, lansia semakin teratur dalam kegiatan ibadah.

4) Perubahan pola tidur atau istirahat penurunan aliran darah dan

perubahan pada mekanisme neurotransmiter dan sinapsis

merupakan peranan penting dalam perubahan tidur dan terbangun

yang beirkaitan dengan penuaan, keadaan psikososial dan sosial

terkait dengan faktor predisposisi terjadinya depreisi pada lansia

mempengaruhi pola tidur lansia.

3. Konsep Diabetes Melitus

31
a) Definisi

Menurut (Kemenkes, 2020) Penderita dengan diabetes mellitus memiliki

ketidakstabilan kadar glukosa darah. Diabetes mellitus diakibatkan dari

adanya kenaikan gula darah kerena sekresi insulin yang mengalami

penurunan di kelenjar pankreas. Sedangkan menurut (PERKENI, 2021)

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau keduanya. Diabetes mellitus adalah penyakit gangguan

metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan

kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi

insulin yang bersifat kronis dengan ciri khas

hiperglikemia/peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal

(Ropika Ningsih, 2018).

Sedangka menurut (Pangestika et al .2022) Diabetes mellitus adalah

kondisi kronis yang terjadi ketika ada peningkatan kadar glukosa dalam

darah karena tubuh tidak dapat menghasilkan atau cukup hormon insulin

atau menggunakan insulin secara efektif (International Diabetes

Federation, 2019). Sedangkan menurut (American Diabetes Association,

2019) diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang

membutuhkan perawatan medis berkelanjutan dengan strategi

pengurangan risiko multifaktorial di luar kontrol glikemik.

b) Etiologi

32
Etiologi dari penyakit diabetes yaitu gabungan antara faktor genetik dan

faktor lingkungan. Etiologi lain dari diabetes yaitu sekresi atau kerja

insulin, abnormalitas metabolik yang menganggu sekresi insulin,

abnormalitas mitokondria, dan sekelompok kondisi lain yang menganggu

toleransi glukosa (Lestari, Zulkarnain, 2021). Diabetes tipe 1 atau yang

disebut Diabetes Insulin-Dependent merupakan penyakit autoimun yang

disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem imun atau kekebalan tubuh

yang mengakibatkan rusaknya pankreas. Kerusakan pada pankreas pada

diabetes tipe I dapat disebabkan karena genetika (keturunan) Pengidap

Diabetes Mellitus tipe 1 tidak banyak namun, jumlahnya terus meningkat

3% setiap tahun. Diabetes tipe 2 atau yang sering disebut Diabetes Non

Insulin-Dependent merupakan Diabetes yang resistensi terhadap insulin.

Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal

sehingga menyebabkan kadar glukosa darah tinggi di dalam tubuh.

Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada kasus diabetes

mellitus tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin

absolut. Pengidap Diabetes tipe 2 lebih banyak dijumpai (Denggos, 2023).

Dikutip dari (Aliyah & Utami, 2022) Menurut American Diabetes

Association tahun 2014 terdapat empat klasifikasi diabetes mellitus

berdasarkan etiologi nya yaitu diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus

tipe 2, diabetes mellitus tipe lain, dan diabetes mellitus tipe gestasional.

2.1.3. Klasifikasi

33
Diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam kategori umum berikut:

1) Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel b autoimun, biasanya

menyebabkan defisiensi insulin zat terlarut, termasuk diabetes

autoimun laten dewasa)

2) Diabetes tipe 2 (karena hilangnya sekresi insulin sel b yang adekuat,

seringkali pada latar belakang resistensi insulin dan sindrom

metabolik)

3) Jenis diabetes tertentu karena penyebab lain, misalnya, syndrome

diabetes monogenik (seperti diabetes neonatal dan diabetes onset jatuh

tempo pada anak muda), penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic

fibrosis dan pankreatitis), dan diabetes yang diinduksi obat atau kimia

(seperti dengan penggunaan glukokortikoid, dalam pengobatan HIV /

AIDS, atau setelah transplantasi organ)

4) Gestational diabetes mellitus (diabetes didiagnosis pada trimester

kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas diabetes terbuka sebelum

kehamilan) (Brown et al., 2023).

Dikutip dari buku karya (Meneghini, 2023) berdasarkan

klasifikasinya :

Diabetes tipe 1 menyumbang 5% -10% dari semua diabetes dan hasil dari

penghancuran sel B pankreas yang dimediasi sel, yang menyebabkan

defisiensi insulin absolut. Orang-orang ini cenderung mengembangkan

ketoasidosis. Formulir ini mencakup kasus yang dihasilkan dari proses

autoimun (tipe 1A) dan yang etiologinya tidak diketahui (tipe 1B,

34
idiopatik). Penderita dengan diabetes yang dimediasi kekebalan tipe I

rentan terhadap gangguan autoimun lainnya, termasuk penyakit tiroid

autoimun, penyakit celiac, penyakit Addison. gastritis autoimun, dan

vitiligo.

Diabetes tipe 2 menyumbang 90% -95% dari semua diabetes yang

didiagnosis pada orang dewasa dan ditandai oleh gangguan sekresi insulin

dan defek kerja insulin. Meskipun penderita dengan diabetes tipe ini

mungkin memiliki kadar insulin yang tampak normal atau meningkat,

kadar insulin relatif rendah terhadap hiperglikemia sekitar. Dengan

demikian, sekresi insulin rusak pada penderita ini dan tidak cukup untuk

mengkompensasi derajat resistensi insulin. Meskipun etiologi spesifik dari

diabetes tipe 2 tidak diketahui, penghancuran sel B secara autoimun tidak

terjadi. Diabetes tipe 2 sering dikaitkan dengan predisposisi genetik yang

kuat; Namun, genetika bentuk diabetes ini kompleks dan tidak jelas.

Risiko diabetes tipe 2 meningkat seiring bertambahnya usia, obesitas, dan

kurangnya aktivitas fisik. Meskipun diabetes tipe 1 tetap menjadi jenis

diabetes yang paling umum pada anak-anak dan remaja. diabetes tipe 2

sekarang menyumbang seperempat hingga sepertiga dari diabetes pada

remaja, terutama pada populasi ras dan etnis minoritas. Penderita dengan

diabetes tipe 2 yang tidak obesitas dengan kriteria berat badan tradisional

(misalnya populasi Asia) mungkin mengalami peningkatan persentase

lemak tubuh yang terdistribusi terutama di daerah intra-abdomen, Diabetes

tipe 2 terjadi lebih sering pada wanita dengan diabetes gestasional

35
sebelumnya dan pada individu dengan hipertensi dan dislipidemia.

Frekuensinya bervariasi dalam kelompok ras dan etnis yang berbeda,

ketoasidosis diabetik jarang terjadi secara spontan pada diabetes tipe 2,

tetapi dapat dilihat dalam kaitannya dengan stres penyakit lain seperti

infeksi atau penggunaan obat tertentu lainnya.

Diabetes jenis lainnya dalam skema klasifikasi saat ini, kelas tipe diabetes

spesifik lainnya mencakup kategori berikut: 1) cacat genetik fungsi sel-B;

2) cacat genetik dalam aksi insulin; 3) penyakit pankreas eksokrin; 4)

endokrinopati; 5) diabetes akibat obat atau bahan kimia; 6) infeksi; 7)

bentuk diabetes yang dimediasi kekebalan yang tidak biasa; dan 8)

sindrom genetik lain yang terkadang dikaitkan dengan diabetes. Kategori

ini mungkin mewakili <5% dari semua penderita diabetes. Namun

demikian, identifikasi yang tepat dari penderita ini penting karena

pengobatan dan prognosis mereka mungkin berbeda. Pengakuan penderita

dengan diabetes tipe spesifik lainnya memerlukan kewaspadaan klinis

untuk mengidentifikasi riwayat atau gambaran fisik yang mengarah pada

diagnosis yang benar.

GDM didefinisikan sebagai diabetes yang didiagnosis pada trimester

kedua atau ketiga kehamilan yang tidak ada sebelum kehamilan; 1 di masa

lalu, GDM telah didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang pertama

kali dikenali selama kehamilan, terlepas dari apakah kondisi tersebut

mungkin telah terjadi sebelumnya. kehamilan. Sekitar 6% wanita hamil di

AS menderita GDM, sementara perkiraan global GDM bervariasi dari

36
10% hingga 25% tergantung pada wilayah, populasi, dan metode diagnosis

yang berbeda. GDM membawa risiko bagi ibu dan neonatus. Ukuran bayi

dan kebutuhan untuk kelahiran sesar pertama berhubungan dengan derajat

hiperglikemia ibu. Studi HAPO menunjukkan bahwa risiko hasil ibu,

janin, dan neonatal yang merugikan terus meningkat sebagai fungsi dari

glikemia ibu pada usia kehamilan 24-28 minggu, bahkan dalam rentang

yang sebelumnya didefinisikan sebagai normal. Hasil ini menekankan

pentingnya pengenalan dan pengobatan GDM, dengan fokus pada kontrol

glikemik karena mengurangi risiko hasil yang merugikan pada ibu dan

janin.

Dikutip dari (PERKENI 2018) Tipe 2 terbagi menjadi dua, yaitu pertama

faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat genetik, umur ≥45

tahun, jenis kelamin, ras dan etnik, riwayat melahirkan dengan berat badan

lahir bayi >4000 gram atau riwayat menderita diabetes mellitus gestasional

dan riwayat lahir dengan berat badan rendah yaitu <2500 gram. Kedua,

faktor yang dapat diubah yaitu obesitas, kurangnya aktivitas fisik, gaya

hidup atau pola makan, hipertensi, dislipidemia, diet tidak sehat, merokok

dan konsumsi alkohol (Pangestika et al., 2022).

c) Patofisiologi

Insulin pada keadaan normal berfungsi untuk memasukkan glukosa

didalam sel agar dapat menghasilkan energi (Tombokan et al., 2020).

Diabetes melitus tipe 1 terjadi dikarenakan rusaknya sel β pankreas dan

hanya dapat diobati dengan terapi insulin sepanjang hidup, sedangkan

37
pada diabetes melitus tipe 2 terjadi karena resistensi terhadap insulin

atau dapat berkurangnya sensitivitas terhadap insulin (Sorli, 2014; Faida

and Santik, 2019 et al., 2020). Patofisiologi diabetes melitus tipe 1 yaitu

karena proses autoimun yang yang menyerang sel β pankreas

danmengakibatkan berkurangnya jumlah produksi hormon insulin.

Patofisiologi pada diabetes melitus tipe 2 yaitu adanya kegagalan sel

βpankreas

sehingga glukosa tidak dapat dimetabolisme dan mengakibatkan

resistensi insulin yang mengakibatkan produksi glukosadidalam hati

meningkat dalam keadaan basal

(Cersosimo et al., 2014; Agustira et al., 2019). (Shafira Aisyah, 2022).

Proses patofisiologi dalam diabetes mellitus tipe 2 adalah resistansi

terhadap aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun jaringan perifer.

Keadaan ini disebut sebagai resistansi insulin. Orang dengan diabetes

mellitus tipe 2 memiliki penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar

glukosa, yang mengakibatkan produksi glukosa hepatik berlanjut, bahkan

sampai dengan kadar glukosa darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan

ketidakmampuan otot dan jaringan lemak untuk meningkatkan ambilan

glukosa. Mekanisme penyebab resistansi insulin perifer tidak jelas, namun.

ini tampak terjadi setelah insulin berikatan terhadap reseptor pada

permukaan sel. Insulin adalah hormon pembangun (anabolik). Tanpa

insulin, tiga masalah metabolik mayor terjadi: (1) penurunan pemanfaatan

38
glukosa, (2) peningkatan mobilisasi lemak, dan (3) peningkatan

pemanfaatan protein (Maria, 2021).

d) Faktor Risiko

Berdasarkan laporan penelitian yang sudah didapat dalam 10 tahun

terakhir, ditemukan berbagai faktor yang dapat meninggikan risiko terkena

diabetes mellitus tipe 2. Faktor risiko tersebut secara garis besar terbagi

dua diantaranya faktor risiko yang tidak dapat kita ubah dan faktor risiko

yang dapat diubah dengan melakukan pola hidup sehat. Factor resiko yang

tidak bias dirubah diantaranya; riwayat keluarga dengan diabetes mellitus,

Umur. Factor risiko yang dapat diubah antara lain; obesitas, kurang

aktivitas fisik, hipertensi, kebiasaan merokok (Utomo et al., 2020).

Menurut (Zahra, 2018) dikutip dari Smeltzer dan Bare 2008 Faktor risiko

terjadinya penyakit diabetes mellitus dapat dibagi menjadi faktor yang

dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Adapun faktor risiko

yang tidak dapat diubah adalah sebagai berikut :

a. Faktor genetic

Seseorang memiliki saudara sedarah yang merupakan penderita

diabetes mellitus tipe 2 memiliki risiko 3 kali mengalami diabetes

mellitus dibandingkan dengan yang tidak.

b. Usia

Berbagai studi memperlihatkan peningkatan prevalensi diabetes

mellitus seiring pertambahan usia.

c. Jenis kelamin

39
Studi yang dilakukan Center for Disease Control and Prevention tahun

2008 menunjukkan peningkatan kejadian diabetes mellitus pada wanita

sebesar 4,8% dibandingkan pria yang sebesar 3,2%. Hal ini dikaitkan

dengan pola makan yang tidak seimbang dan aktivitas fisik yang

kurang.

Adapun faktor risiko diabetes mellitus yang dapat dimodifikasi adalah

sebagai berikut:

a. Obesitas

Obesitas adalah kondisi yang menggambarkan penumpukan lemak

dalam tubuh akibat asupan makanan melebihi kebutuhan tubuh.

b. Latihan fisik yang kurang

Latihan fisik akan mengubah senyawa glukosa dan lemak menjadi

energi di jaringan dan pembuluh darah.

c. Asupan makan yang tidak seimbang

Asupan kalori yang berlebihan akan menyebabkan ketidakseimbangan

kalori yang diterima dengan yang digunakan oleh tubuh, sehingga

terjadi peningkatan berat badan akibat penimbunan kalori.

d. Stress

Reaksi dari respon stress adalah terjadinya sekresi pada sistem saraf

simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatisadrenal-medular. Apabila

stress menetap, maka sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan.

Hipotalamus mensekresi corticotropine releasing factor yang

menstimulasi pituitari anterior untuk memproduksi adenocorticotropic

40
factor yang akan menstimulasi produksi kortisol yang akan

memengaruhi peningkatan kadar glukosa darah

e) Gejala klinis

Gejala klinis pada penderita diabetes mellitus dan dapat berkembang

menjadi penyakit kronis, dan memiliki kejadian yang berbeda pada

komplikasinya. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak ada gejala

yang dirasakan untuk pertama kalinya. Gejala yang umumnya terjadi

seperti, rasa haus yang meningkat dikarenakan berkurangnya jumlah

elektrolit didalam tubuh atau polidipsia, rasa lapar yang meningkat akibat

kadar glukosa yang berkurang di dalam jaringan tubuh atau polifagia, urin

yang mengandung glukosa jika kadar glukosa 180 mg/dl atau glikosuria,

meningkatnya volume urin akibat meningkatnya osmolaritas filtrat di

ginjal serta terhambatnya air pada proses reabsorpsi di tubulus ginjal atau

poliuria, kadar glukosa yang tinggi dapat mengakibatkan dehidrasi

dikarenakan keluarnya cairan ekstraseluler hipertonik serta air yang berada

didalam sel, rasa lelah akibat terganggunya pemanfaatan CHO serta

jaringan didalam tubuh menghilang meskipun jumlah makanan meningkat,

berat badan yang menurun akibat dari hilangnya cairan dan jaringan otot

maupun lemak diubah menjadi energi, dan gejala lainnya sepertinya

berkurangnya penglihatan, rasa keram, sembelit, serta timbul penyakit

infeksi candidiasis (Shafira Aisyah, 2022). Menurut (PERKENI, 2021)

Adapun keluhan lain yang dirasakan penderita diabetes yakni stress karena

41
pengobatan, gangguan emosional dan kognitif, lemah badan, kesemutan,

gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada

wanita.

f) Kadar Gula Dalam Darah

World Health Organization (WHO), menyatakan prevalensi glukosa darah

sewaktu (GDS) yang normal 2 jam setelah makan berkisar antara 80-180

mg/dl. kondisi yang ideal yaitu 80-144 mg/dl. Glukosa darah sewaktu

(GDS) pada kondisi cukup 145-179 mg/dl. Glukosa darah sewaktu ( GDS)

pada kondisi buruk angka 180 mg/dl (masih dalam katagori aman) (Fahmi

et al., 2020). Kadar gula darah yang melebihi batas normal yaitu ≥200

mg/dL 2 jam PP 80-140 mg/dL dan apabila gula darah puasa ≥126 mg/dL

(Hidayah, 2019).

Rendah Normal Tinggi

Puasa <70 mg/dl 70-126 mg/dl >127 mg/dl

Sewaktu <99 mg/dl 100-199 mg/dl >200 mg/dl

HbA1c ≥ 6,5%

2Jam PP 80-140 mg/dl

Sumber : (PERKENI, 2021).

(PERKENI, 2021) Menjelaskan bahwa kadar gula darah puasa yang

berkisaran 100-199 mg/dl dinyatakan normal. Seseorang dinyatakan

menderita diabetes mellitus jika memiliki kadar glukosa darah >200 mg/dl.

g) Metode Pemeriksaan

42
Beberapa jenis pemeriksaan yang berhubungan dengan glukosa darah

yaitu:

a. Glukosa darah puasa (GDP ) Pada pemeriksaan ini penderita harus

puasa 10-12 jam sebelum pemeriksaan serta pemeriksaan dilakukan

sebelum melakukan aktifitas berat, yaitu antara jam 07.00- 09.00.

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendekteksi adanya diabetes atau

reaksi hipoglikemia dengan standar pemeriksaan yang dilakukan

minimal 3 bulan sekali. Batas normal kadar gula darah puasa adalah

60-110 mg/dL. Spesimen dalam pemeriksaan ini dapat berupa serum,

plasma, atau darah kapiler.

Pemeriksaan glukosa darah puasa plasma dapat digunakan untuk

pemeriksaan penyaring, memastikan diagnosis dan memantau

pengendalian, sedangkan yang berasal dari darah kapiler hanya untuk

pemeriksaan penyaring dan memantau pengendalian (SUNITA, 2021).

b. Glukosa darah sewaktu (GDS) Pemeriksaan ini dapat dilakukan

setiap waktu pada pasi dalam keadaan tanpa puasa. Pemeriksaan ini

dilakukan sebanyak 4 kali sehari pada saat sebelum makan dan

sebelum tidur. Spesimen dapat berupa serum, plasma atau darah

kapiler. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu plasma dapat digunakan

sebagai pemeriksaan penyaring (screening) glukosa darah atau

diabetes, bertujuan untuk memantau kadar glukosa dalam darah

sebagai pengendalian diabetes mellitus jangka panjang. Batas normal

43
kadar gula darah sewaktu adalah 80144 mg/dL (Suci M. J. Amir,

2018).

c. Glukosa darah 2 jam post prandial (GD2PP) Pemeriksaan glukosa

2 jam post prandial (PP) dilakukan 2 jam setelah makan. Pemeriksaan

ini digunakan untuk mengukur respon penderita terhadap asupan tinggi

karbohidrat 2 jam setelah makan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

mendeteksi adanya diabetes atau reaksi hipoglikemia dan bermanfaat

untuk memantau pengendalian diagnosa diabetes mellitus terutama

pada penderita dengan hasil pemeriksaan GDP normal tinggi. Batas

nilai normal kadar gula darah 2 jam (PP) adalah kurang dari 140

mg/dL/2 jam (Nugraha & Badrawi, 2018).

d. Glukosa jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) adalah pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa dan 1⁄2jam, 1 jam sertakadar glukosa darah 2 jam sesudah

pemberian glukosa 75 gram dalam segelas air 100 mL. Pemeriksaan

ini dilakukan pada penderita yang telah menunjukkan gejala klinis

khas diabetes mellitus dengan konsentrasi glukosa dalam darah

sewaktu yang tinggi melampaui nilai batas karena sudah memenuhi

kriteria diagnosis Diabetes Mellitus. Pemeriksaan dapat dilakukan

dengan cara pemberian karbohidrat kepada penderita, namun ada

beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti keadaan status gizi yang

normal, tidak mengonsumsi salisilat, anti kejang steroid, atau

kontrasepsi oral, tidak merokok, dan tidak makan dan minum selama

44
12 jam selain air sebelum dilakukannya pemeriksaan. Batas nilai

normal kadar TTGO adalah 70-11- mg/dL pada saat puasa dan kurang

125-160 mg/dL setelah pemberian glukosa 75 gram (Setia et al., 2021).

e. HbA1C (Hemoglobin Glikolisi) Pemeriksaan HbA1C

(Hemoglobin Glikolisi) menggunakan bahan darah untuk memperoleh

informasi glukosa darah yang sesungguhnya, karena penderita tidak

dapat mengontrol hasil tes dalam kurun 2-3 bulan. Glikosilasi adalah

masuknya gula ke dalam sel darah merah terikat. Maka tes ini berguna

untuk mengukur tingkat ikatan gula pada hemoglobin A (A1C).

Sepanjang umur sel darah merah (120 hari). Batas nilai normal pada

pemeriksaan ini ialah < 6,5% (Wulandari & Adelina, 2020).

45
B. Kerangka Konsep Penelitian

Keirangka peineilitian adalah huibuingan antara variabeil yang akan

diamati ataui diuikuir meilaluii peineilitian (Hardani, dkk., 2020).

Faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi


Gula Darah: Kualitas Tidur:
1. Usia 1. Penyakit
2. Jenis kelamin 2. Lingkungan
3. Obesitas 3. Kelelahan
4. Latihan fisik 4. Gaya hidup
5. Asupan makanan 5. Stres emosional
6. Stimulan dan alkohol
7. Diet
8. Merokok
9. Medikasi
10. Motivasi
Gula Darah Sewaktu

(Variabel Independen)
(Variabel Dependen)

Indikator :
Indikator : Latensi tidur
Kadar Gula Darah
2. Durasi tidur

Gula Darah
Hasil ukur Kualitas Tidur

Hasil ukur Gula Darah a. Baik


Sewaktu 46 b. Cukup
c. Buruk
a. Rendah <99mg/dl d. Sangat buruk
b. Normal 100-200
Keiteirangan :

= Diteiliti

= Tidak diteiliti

= Diteiliti

= Tidak diteiliti

Gambar 2.1 Kerangka Penelitian (Anies, 2021 , Lita, dkk., 2020 &

American Heart Association, 2014).

47
C. Hipotesis

Menurut Sugiyono (2017) hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah. Karena sifatnya masih sementara, maka perlui

dibuktikan kebenarannya melalui data empirik yang terkumpul. Dari

kerangka konseptual diatas maka hipotesis penelitian ini adalah:

” ada hubungan antara Gula Darah Sewaktu dengan Kualitas Tidur pada

lansia Diabetes Melitus Tipe II”.

48
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian adalah cara ilmiah yang digunakan untuk

mendapatkan data yang valid dengan tujuan yang dapat ditemukan,

dikembangkan dan dibuktikan. Suatu pengetahuan yang dapat digunakan

untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah (Sugiyono,

2017).

Penelitian yang akan dilaksanakan merupakan penelitian deskriptif

analitik dengan menggunakan pendekatan desain cross sectional yaitu

mengkaji apakah ada hubungan kualitas tidur (independen) dengan tekanan

darah pada lansia Hipertensi (dependen). Deskriptif analitik adalah statistik

yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa

bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi

(Sugiyono, 2017).

Sedangkan cross sectional ialah jenis penelitian yang menekankan

waktu pengukuran/observasi data variabel independent dan variabel dependen

hanya satu kali dalam satu waktu (Nursalam, 2017).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

49
Populasi merupakan suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari subjek atau

objek yang memiliki kualitas serta karakteristik tertentu yang ditetapkan

peneliti untuk dipelajari kemudian di ambil suatu kesimpulan (Sugiyono,

2017). Populasi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah pasien

lanjut usia penderita Hipertensi di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas

Kabupaten Ciamis

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut, sehingga sampel merupakan bagian dari populasi yang ada (Sugiyono,

2017).

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lansia yang menderita

Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas wilayah Ciamisyang

digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah menggunakan Rumus

Slovin (Telles et al., 2019)

n=1+E ( e) 2

50
Keterangan :

n : Jumlah sampel minimal

N : Jumlah populasi

e : Error Margin (tingkat kesalahan) 10% (0,1).

Kriteria pemilihan sampel dibagi menjadi dua yaitu kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi, dimana kriteria inklusi merupakan kriteria sampel yang

diinginkan oleh peneliti sesuai dengan tujuan penelitiannya, sedangkan kriteria

eksklusi merupakan kriteria khusus yang menyebabkan calon responden yang

memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan dari kelompok penelitian.

Misalnya calon responden memiliki penyakit penyerta atau gangguan

psikologis yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Dalam penelitian ini

akan digunakan kriteria sampel, yaitu inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dan suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2016).

1) Lansia yang terdiagnosa Hipertensi berdasarkan data

di Puskesmas.

2) Penderita Hipertensi yang berumur ≥ 60 tahun.

3) Bersedia menjadi responden.

b. Kriteria eksklusi

51
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab yang bisa

mengganggu pengukuran maupun interpretasi hasil (Nursalam, 2016).

1) Penderita yang saat pemeriksaan tekanan darah normal.

2) Penderita yang memiliki penyakit penyerta

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang dipilih oleh peneliti untuk dijadikan objek

penelitiannya, kemudian obyek tersebut dipelajari dan di simpulkan

(Sugiyono, 2015). Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel

independen dan variabel dependen.

1. Variabel Independen Variabel independen adalah variabel yang

mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel

dependen (Sugiyono, 2017). Variabel independen pada penelitian ini adalah

kualitas tidur (X).

2. Variabel Dependen Variabel dependen merupakan variabel yang

dipengaruhi karena adanya variable bebas (Sugiyono, 2017).

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Gula Darah S e w a k t u

pada lansia Diabetes Melitus Tipe II (Y).

D. Definisi Operasional

52
Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati

dari suatu yang didefinisikan tersebut. Karakteristik yang dapat diamati

(diukur) itulah yang merupakan kunci definisi operasional. Dapat diamati

artinya memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran

sceara cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian

dapat diulangi lagi oleh orang lain (Nursalam, 2017).

E. Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2017) instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan

mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini adalah instrumen yang telah tersedia dan Teknik

pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan

pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter serta stetoskop.

1. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner. Intrumen yang

digunakan untuk mengukur kualitas tidur adalah Pittsburgh Sleep Quality

Index (PSQI) oleh Buysse et al. dalam Hasanah, S.N (2022). PSQI adalah

instrument efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan

pola tidur orang dewasa. PSQI dikembangkan untuk mengukur dan

membedakan individu dengan kualitas tidur yang baik dan kualitas tidur

yang buruk. Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan

53
melibatkan beberapa dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam

PSQI. Alat ukur tersebut sudah dibakukan oleh University of Pittsburgh.

Adapun kisi-kisi PSQI sebagai berikut:

Tabel 3.3 Kisi-kisi Kuesioner Kualitas Tidur

N0 Komponen No Item Sistem Penilaian

Jawaban Nilai skor

1. Kualitas 9 Sangat baik 0

tidur 1
Baik
2
subjektif
2x seminggu >3x 2

Skor latensi 2+5a Sangat kurang


0seminggu 0

tidur
1
3. Durasi tidur 4 >7 jam 0
2. Latensi tidur 2 <15 menit 16-30 0

menit 1
1
4. Efisiensi 1,3,4 >85% 0
31-60 menit >60 menit
tidur 2
75-84% 65-74% 1

5. rumus :
Gangguan 5b, 5c, <65%
0 03

tidur 5d, 5e, Tidak pernah


5a 10
6. Penggunaa 6 Tidak pernah 1x 0
1x seminggu 1
n obat seminggu
1
7 Disfungsi di 7 Tidak pernah 0

siang
1x seminggu 1
8 Tidak54antusias 0
hari

1
Sumber : Buysse et al. dalam Hasanah, S.N (2022)

2. Pengukuran Kadar Gula

Pengukuran GDS memakai Lembar observasi peneliti berdasarkan sesuai

nilai GDS yang diukur dengan memakai glucometer. Hasil dari pengukuran ini

berupa angka dengan nilai tertentu dan satuannya mg/dl. Intepretasi dari nilai

kadar glukosa darah sewaktu berdasarkan nilai satuan internasional sebagai

berikut :

1) GDS normal, jika < 180 mg/dl

2) GDS tinggi, jika > 280 mg/dl

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Sampel whole blood (darah kapiler)

2. Lancet (lancing device) 42

3. Alat glucometer

4. Jarum lancet

5. Strip

6. Kapas alcohol

7. Handscoon

8. Wadah limbah infeksius

9. Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

55
F. Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan adalah primer dan sekunder. Data

primer merupakan jenis data yang berasaldari orang pertama atau data yang

didapat bersumber dari responden secara langsung sedangkan data sekunder

merupakan kebalikan dari data primer atau data yang didpat berasal dari

orang kedua atau ketiga sering disebut juga data yang diperoleh oleh

responden langsung (Tohari, 2019).

Data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.

Data primer didapatkan dari melakukan observasi, studi pendahuluan.

Sedangkan data sekunder didapatkan dari melihat makalah, buku-buku, artikel,

data dari instansi kesehatan setempat dan jurnal hasil

penelitian orang lain.

2. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu denganmenggunakan

kuesioner atau angket. Tahapan pengumpulan data yang dilakukan peneliti

adalah :

a. Setelah proposal disetujui oleh para penguji, peneliti mengajukan surat

penelitian ke Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Galuh.

b. Peneliti menyerahkan surat permohonan izin penelitian kepada kepala

Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Ciamis. Setelah

mendapatkan surat izin dari kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

56
Kabupaten Ciamis surat permohonan izin penelitian di serahkan kepada

Puskesmas wilayah kerja Ciamis.

c. Tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas dikarenakan alat ukur PSQI

sudah dibakukan oleh University of Pittsburgh

d. Setelah itu, peneliti melakukan penarikan sampel yaitu teknik

purposive sampling.

e. Setelah mendapatkan ijin dari wilayah kerja UPTD Puskesmas Ciamis ,

peneliti melakukan informed consent terhadap calon responden. Jika

bersedia menjadi responden, mereka dapat membaca lembar persetujuan

kemudian menandatanginya.

f. Peneliti memberikan penjelasan mengenai cara pengisian kuesioner dan

responden diberikan kesempatan bertanya apabila ada pertanyaan

ataupun pernyataan yang kurang jelas.

g. Peneliti memberikan kuesioner penelitian kepada responden dan

mempersilahkan untuk menjawab sesuai petunjuk.

h. Responden harus menjawab seluruh pertanyaan pada lembar

kuesioner, setelah selesai lembar kuesioner dikembalikan kepada peneliti.

Kuesioner yang telah diisi akan diolah dengan menggunakan aplikasi program

komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution) dan kemudian

dianalisa oleh peneliti. Kuesioner yang dilakukan dalam penelitian ini

berbentuk tertutup atau terstruktur, yaitu kuisioner yang berisi pertanyaan dan

dilengkapi dengan jawaban. Pada tahap ini lansia akan dilakukan pengisian

57
kuesioner dan pengukuran tekanan darah dengan alat ukur Syphgmomanometer

dan Stetoskop.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji validitas dapat menunjukan tingkatan-tingkatan kevalidan suatu

instrumen (Arikunto, 2013). Uji validitas dapat dikatakan valid apabila

setiap item pertanyaan pada kuisioner dapat digunakan untuk mengungkap

sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Kuesioner dapat dinyatakan

valid apabila nilai r hitung lebih bedar dari pada r tabel. Jika jawaban yang

didapatkan ketika memberikan pertanyaan nilai lebih besar dari 0,3 , maka

pertanyaan tersebut dapat dikatakan valid (Sugiyono, 2016).

Teknik pengukuran validitas dalam penelitian ini yaitu menggunakan rumus

korelasi Product Moment dengan rumus :

Keterangan :

r = Koefisien korelasi

x = Skor pada item pertanyaan nomor ganjil

y = Skor pada item pertanyaan nomor genap

Jika r hitung > r tabel pada tingkat signifikansi tertentu, maka

item pertanyaan tersebut dapat dikatakan valid. Pada penelitian ini tidak

58
dilakukan uji validitas dikarenakan kuesioner atau alat ukur yang

digunakan sudah dibakukan

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas pada suatu penelitian merupakan sebuah uji yang

digunakan untuk diketahuinya suatu kuesioner dalam pengumpulan data

dapat dikatakan reliabel atau tidak. Alat ukur dikaitkan reliabel jika alat

ukur tersebut memiliki sifat konsisten. Pengujian reliabilitas digunakan

untuk mengetahui konsistensi alat ukur apakah dapat diandalkan dan

konsisten jika dilakukan pengukuran berulang dengan instrumen tersebut.

Pada penelitian ini, uji reliabilitas akan dilakukan dengan metode

pengukuran menggunakan rumus Alpha Cronbach. Dimana nilai Alpha

Cronbach menunjukan >0,60 maka dapat disimpulkan bahwa variabel

dapat dikatakan reliabel atau konsisten dalam mengukur (Putri, 2015).

Rumus uji reliabilitas menggunakan rumus Alpha Cronbach

Keterangan :

r11 = Reliabilitas instrumen

K = Banykanya item pertanyaan atau pernyataan

∑αb 2= Variabei
αt total

Pada penelitian ini tidak dilakukan uji reliabilitas dikarenakan

kuesioner atau alat ukur yang digunakan sudah dibakukan


2
= Jumlah varian butir

59
H. Analisis Data

1. Pengolahan data

Pengelolaan data merupakan proses penataan data, dimana data

hasilpengumpulan yaitu data kasar. Pengelolaan data digunakan supaya data

kasardapat diorganisir untuk disajikan dan dianalisi sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa proses pengolaan data sebagai berikut

(Sugiyono 2017).

a. Editing (memeriksa data)

Editing atau memeriksa data adalah proses meneliti dimana hasil pengisian

kuisioner dikumpulkan untuk diperiksa kelengkapan apakah ada respon yang

tidak lengkap, tidak komplit dan membingungkan. Jika pada tahap

pemeriksaan ditemukan ketidaklengkapan maka peneliti harus

melakukanpengumpulan data kembali.

b. Coding (memberi kode)

Coding merupakan kegiatan merubah data yang berbentuk huruf menjadi

data yang berbentuk angka/bilangan. Kode adalah simbol yang berbentuk

huruf maupun angka yang bertujuan untuk memberikan identitas data, kode

yang diberikan biasanya memiliki sebuah arti sebagai data kuantitatif yang

berbentuk skor. Pada penelitian ini peneliti memilih kode dengan berbentuk

angka yang bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan pengolahan

data.

c. Processing (proses)

60
Processing adalah proses dimana semua hasil kuesioner terisi penuh dan benar

serta telah di kode jawaban responden pada hasil kuesioner ke dalam aplikasi

pengelolaan data di dalam komputer. Pada penelitian ini peneliti akan mengolah

data dengan SPSS.

d. Cleaning data

Cleaning data adalah pengecekan kembali data yang sudah diteliti apakah

sudah benar atau ada kesalahan pada saat memasukan data.

2. Analisi data

a. Analisis Univariate

Analisis Univariate digunakan untuk mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul dengan tanpa adanya

maksud untuk membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum

(Sugiyono, 2017). Berikut adalah langkah-langkah analisis univariate dalam

penelitian ini :

Distribusi frekuensi

Keterangan :

P = Populasi

F = Frekuensi kategori

61
N = Jumlah sampel

Setelah ditafsirkan kedalam kriteria, kemudian data di

interpretasikan ke dalam kata-kata menggunakan kategori dari

Arikunto (2013) yaitu :

1) 0% : Tidak ada yang menjawab

2) 1%-25% : Sebagian kecil responden

3) 26%-49% : Hampir sebagian responden

4) 50 % : Setengah dari responden

5) 51%-75% : Sebagian besar responden

6) 76%-99% : Hampir seluruh responden

7) 100% : Seluruh responden

Klasifikasi kualitas tidur berdasarkan hasil kuesioner PSQI

sebagai berikut :

0 = Baik

1-7 = Cukup

8-14 = Buruk

15-21 = Sangat buruk

b. Analisis Bivariate

Analisis bivariat adalah uji hipotesis yang mempunyai tujuan untuk

menganlisis hubungan (Norfai, 2019). Analisis ini digunakan untuk

62
mengidentifikasi hubungan kualitas tidur dengan GDS pada lansia Diabetes

Melitus tipe II dengan menggunakan uji statistik korelasi Spearman Rank

atau Non Parametrik. Secara umum persamaan yang digunakn untuk

menghitung korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut :

Keterangan :

rs : Koefisien korelasi rank spearman

bi : Selisih mutlak antara rangking data variabel X dan Variabel Y

n : Banyaknya responden

Untuk mengetahui kuat lemahnya tingkat derajat keeratan hubungan

antara variabel-variabel yang diteliti digunakan tabel kriteria pedoman untuk

koefisien korelasi sesuai dengan pendapat Sugiyono, (2017).

Tabel Pedoman Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat hubungan


0,00-0,199 Sangat rendah
0,20-0,399 Rendah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,00 Sangat kuat

Sumber : Sugiyono, 2017

63
I. Etika Penelitian

Subjek penelitian melibatkan manusia maka tidak diperkenankan apabila

bertentangan dengan etika agar hak sampel dapat terlindungi dan sebagai

berikut cara menggunakan etika dalam penelitian (Sugiyono, 2017).

1. Informed Consent (Lembar Pernyataan)

Lembar penyataan adalah lembar persetujuan menjadi responden yang

dibuktikan dengan penandatanganan lembar persetujuan agar mengetahui

informasi tentang maksud dan tujuan peneliti. Segala bentuk keputusan dan hak

responden, peneliti harus menghormati (Sugiyono, 2017)

2. Confidentiality (Rahasia)

Confidentiality adalah jaminan menjaga kenyamanan responden selama

penelitian dengan bentuk menjaga kerahasiaan segala bentuk penelitian data

responden yang disimpan sebagai hasil dokumen penelitian (informasi

atau masalah terkait penelitian) oleh peneliti (Sugiyono, 2017).

3. Anonimity (Tanpa Nama)

Anonimity adalah suatu upaya dalam menjaga kerahasiaan identitas responden

dan informasi yang telah dikumpulkan oleh peneliti agar tidak diperkenankan

melakukan publikasi pada lembar pengumpulan data, hal ini dilakukan hanya

dengan memberikan kode pada setiap responden (Sugiyono, 2017).

J. Tempat dan Waktu Penelitian

64
1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah kerja UPTD Puskesmas

Kabupaten Ciamis pada tahun 2024.

2. Waktu Penelitian

Tabel Jadwal Penelitian

Ta hun 2023
Kegiatan
Jan Febru Mar Apr Me Jun
Pengajuan
Penyusunan uar ari et il i i
Seminar

Pelaksanaan
Usulan

Perumusan
Penelitian

Sidang
Laporan

65
DAFTAR PUSTAKA

AHA (American Heart Association). 2014. Heart Disease and Stroke

Statistics.

AHA Statistic Update. 205.

Alfi, W. N., & Yuliwar, R. 2018. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan

Darah pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Mojolangu Kota

Malang. Jurnal Berkala Epidemiologi. 6. 25-36.

Amanda, H. 2017. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tingkat

Kekambuhan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan Tlogomas Kota

Malang. Nursing News. 2. 437-447.

Anies. 2021. Waspada Susah Tidur : Seluk Beluk Gangguan Tidur di Segala

Usia.

Ar Razz Media.

Arikunto, J. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (rev.ed).

Jakarta:

PT RINEKA CIPTA.

66
Azizah, L. M. 2017. Keperawatan Lanjut Usia (Cetakan ke 1 ed.).

Yogyakarta:

Graha Ilmu 2011.

Dinkes Ciamis. 2021. Profil Kesehatan Kabupaten Ciamis 2021. Ciamis.

Dinkes Jabar. 2021. Profil Kesehatan Jawa Barat Tahun 2021. Bandung.

Hardani, dkk. 2020. Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif.

Yogyakarta:

Harsismanto, dkk. 2020. Kualitas Tidur Berhubungan dengan Perubahan

Tekanan

Darah Pada Lansia. Jurnal Kesmas Asclepius. 2(1).

Hasanah, S. N. 2022. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah

pada

Penderita Hipertensi di Kecamatan Kalisat. Skripsi. Jember

Herawati, E., & Sofiatin, Y. 2021. Penyuluhan Penyakit Tidak Menular (PTM)

untuk Menumbuhkan Kesadaran Pencegahan pada Masyarakat di Desa

Cipacing, Jawa Barat. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 5. 431-

439.

Harsismanto,J., dkk. 2020. Kualitas Tidur Berhubungan dengan Perubahan

Tekanan

Darah pada Lansia. Jurnal Kesmas Asdepius. 2. 1-11.

Hidayat. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dna Teknis Analisis Data.

Jakarta:

Salemba Medika.

67
Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta.

Kiik, dkk. 2018. Peningkatan Kualitas Hidup Lnajut Usia (Lansia) di Kota

Depok dengan Latihan Keseimbangan. Jurnal Keperawatan Indonesia.

21 (2). 109- 116.

Kurniadi , K. 2022. Hubungan Kualitas Tidur dengan Peningkatan Tekanan

Darah

pada Lansia. Jurnal Surya Medika. 7. 67-71.

Maulidah , K., dkk. 2022. Hubungan Pengetahuan Sikap dan Dukungan

Keluarga dengan Upaya Pengendalian Hipertensi pada Lansia di

Wilayah Kerja Puskesmas Cikampek Kabupaten Karawang. Jurnal

Kesehatan Komunitas. 18. 484-494.

Moleong, J.Lexy. 2014.Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:

PT

Remaja Rosdakarya.

Nair, M & Peate, I. 2015. Dasar-dasar Patofisiologi Terapan. Jakarta: Bumi

Medika

Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan..Jakarta: Salemba

Medika.

Nursalam.2017. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan (4th ed).

Jakarta:

Salemba Medika.

Puskesmas Cikoneng. 2023. Data Penyakit Hipertensi Tahun 2023. Ciamis:

Puskesmas Cikoneng.

68
P2PTM Kemenkes RI. 2018. Hipertensi, The Silent Killer.

https://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/hipertensi-penyakit-jantung- dan-

pembuluh-darah/hipertensi-the-silent-killer diakses pada tanggal 5 maret

2023.

Rahmadhani, M. 2021. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya

Hipertensi pada Masyarakat di Kampung Bedagai Kota Pinang.

Jurnal Kesokteran STM. 4. 52-62

Rusdiana, R., dkk. 2019. Hubungan Kualitas Tidur dengan Peningkatan

Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi di Wilayah Kerja

Puskesmas Guntung Payung. Jurnal Keperawatan Suaka Insan. 4. 78-85.

Sari, I. K. 2017. Perbedaan Kualitas Tidur Pasien Gagal Ginjal Kronik

yang Menjalani Terapi Hemodialisa 2 kali dan 3 kali di Rumah

Sakit PKUMuhammadiyah .Skripsi.Yogyakarta.

Sholehah, L. A. 2022. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah

pada

Lansia. Literature Review Skripsi.Jember.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:

Alfabeta.

Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Bandung:

Alfabeta.

69
Susilo, R. D. 2017. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah

pada Mahasiswa Semester VIII Program Studi Keperawatan. Madiun:

STIKES BHM Madiun.

Ultawiningrum, S. 2018. Pengaruh Senam Yoga Hatha terhadap

Penurunan Tekanan Darah Diastolik pada Lanjut Usia dengan

Riwayat Hipertensi. Naskah Publikasi, 10-43.

Umamul, F. 2016. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah

pada Mahasiswa Program Studui Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Skripsi. Jember.

Wardani, R. K. 2021. Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah

pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Padang

Selasa Palembang. Skripsi. Palembang

Zuhdi, M., dkk. 2020. Keunggulan Pengukuran Tekanan Darah

Menggunakan Tensimeter Digital Dibandingkan dengan Tensimeter Spring

dan Tensimeter Raksa. Jurnal Penelitian dan Pembelajaran Fisika

Indonesia. 2. 28-31.

Yuliadarwati et al., 2021 Hubungan Kadar Gula Darah Sewaktu Dengan Kualitas

Tidur Pada Lansia Beresiko Diabetes Melitus Di Posyandu Desa Kincang

Wetan Kota Madiun. Jurnal Penelitian FISIO MU: Physiotherapy

Evidences . 2. 77-84.

70
71

Anda mungkin juga menyukai