Anda di halaman 1dari 14

SOSIOLOGI DAN POLITIK

“MOTIVASI MANAJEMEN”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 10

NAMA ANGGOTA:

1. AISYAH (2303010437)
2. AN’NISSA SHALAWATI (2303010096)
3. AISYA RAHMA (2303010471)

DOSEN PENGAMPU: YUDI PERMANA SE, MM, M.sn

PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD


ARRSYAD AL BANJARI BANJARMASIN 202
A. Pengertian Motivasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi terdiri dari dua kata,
yaitu motif dan aksi. Motif sendiri memiliki arti sebab-sebab yang menjadi
dorongan tindakan seseorang; dasar pikiran atau pendapat; sesuatu yang jadi
pokok. Sedangkan aksi memiliki arti gerakan; perkumpulan politik; tindakan;
sikap (gerak-gerik, tingkah laku) yang dibuat-buat.

Menurut Lilik Reza (Motivator Training), motivasi terdiri dari dua kata,
yaitu motive (alasan) dan action (beraksi). Jika digabungkan, maka akan diperoleh
pengertian: alasan untuk beraksi atau mengerjakan sesuatu.

Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang


untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari
dalam dan didalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi
mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern
(kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan
sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-
saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat
dirasakan/mendesak. (Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Sardiman A.M.)

Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energy dalam diri


seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan
tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari pengertian yang dikemukakan Mc.
Donald ini mengandung tiga elemen penting:

1. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energy pada diri


setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa
perubahan energy didalam system “neurophysiological” yang ada pada
organisme manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri
manusia), penampakkannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.
2. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa/feeling, afeksi (rasa kasih
sayang; perasaan-perasaan dan emosi yang lunak) seseorang. Dalam hal
ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan
emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
3. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal
ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi
memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena
terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan.
Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

Dengan ketiga elemen diatas, maka dapat dikatakan bahwa motivasi itu
sebagai sesuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya suatu
perubahan energy yang ada pada diri manusia, sehingga akan bergayut pada
persoalan gejala kejiwaan, perasaan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak
atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong karena adanya tujuan kebutuhan,
kebutuhan atau keinginan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu alasan atau dorongan
yang bisa berupa kata-kata, motivation training, keyakinan dari dalam diri sendiri,
pengaturan mindset, dan atau keadaan yang mendesak untuk dapat melakukan
atau menghasilkan sesuatu, dan untuk memperoleh semangat untuk tetap terus
bekerja.

Dalam mewujudkan alasan untuk beraksi (motivasi), maka diperlukan


stimulus (pendorong). Stimulus (pendorong) itu sendiri ada dua macam, yaitu:

1. High Class yang berupa tarikan (pull).


2. Low Class yang berupa dorongan (push).

Jika kedua-duanya digabungkan, maka akan diperoleh suatu energy yang


besar dan akan membangkitkan rasa semangat dalam diri seseorang. Sebagai
contoh: sebuah mobil yang mogok, jika didorong saja hanya akan bergerak
lambat. Lain halnya jika ditambah dengan tarikan. Mobil itu akan terasa lebih
ringan dan bergeraknya akan lebih cepat. Begitu juga dengan diri manusia.
Manusia akan memiliki semangat juang yang tinggi jika mendapat dorongan dan
kesadaran dari dalam dirinya sendiri. Tetapi semangat juang itu akan bertambah
tinggi jika mendapat tarikan dari luar, seperti dorongan semangat dari keluarga,
teman, atau yang lainnya.

Ada beberapa level (tingkatan) dalam motivasi, yaitu:


1. Level paling rendah, level Spirit. Yaitu menghadiri AMT (Achievement
Motivation Training). Kenapa level ini dikatakan paling rendah, karena
pembakaran semangat dan motivasi di level ini hanya akan mempengaruhi
peserta saat duduk dan menyimak motivasi yang diberikan oleh trainer
(pemberi motivasi), setelah itu pengaruhnya tidak akan sekuat dan
seberpengaruh saat disampaikan oleh trainer.
2. Level Mindset. Pengaturan pada pikiran. Ini dilakukan oleh diri sendiri
untuk menciptakan semangat dan motivasi untuk diri sendiri. Level ini
lebih tinggi daripada sebelumnya, karena pada level ini kita sudah mampu
mengatur apa-apa saja yang menjadi bahan bakar semangat dan alasan
untuk melakukan sesuatu.
3. Level Skill dan Job. Kemampuan dan pekerjaan. Saat kita sudah
mengetahui apa yang mampu kita lakukan dan pengaplikasiannya dalam
pekerjaan, maka kita akan secara otomatis mendapat semangat dan alasan
untuk menghasilkan yang terbaik dalam sasaran kita (job).
4. Dan level yang tertinggi adalah Level Power (Energi). Kenapa disebut
level tertinggi, karena pada level ini, seseorang yang telah mengatur
mindset-nya, mampu melaksanakan job (pekerjaan)nya dengan baik, ia
akan menjadi energy untuk yang lainnya. Artinya, disaat energinya habis,
ia tahu kapan dan bagaimana seharusnya ia mengisi ulang energinya.
Sedangkan disaat energinya sudah terisi penuh, ia mampu menyalurkan
energy untuk orang lain.

B. Berbagai Pandangan Tentang Motivasi Dalam Organisasi


1. Model Tradisional

Model tradisional dari motivasi berhubungan dengan Frederick Taylor dan


aliran manajemen ilmiah. Model ini mengisyaratkan bahwa manajer menentukan
bagaimana pekerjaan-pekerjaan harus dilakukan dan digunakannya system
pengupahan intensif untuk memotivasi para pekerja – lebih banyak berproduksi,
lebih banyak menerima penghasilan.
Pandangan tradisional menganggap bahwa para pekerja pada dasarnya
malas, dan hanya dapa dimotivasi dengan penghargaan berwujud uang. Dalam
banyak situasi pendekatan ini cukup efektif. Sejalan dengan meningkatnya
efisiensi, karyawan yang dibutuhkan untuk tugas tertentu dapat dikurangi. Lebih
lanjut, manajer mengurang besarnya upah intensif. Pemutusan hubungan kerja
menjadi biasa dan pekerja akan mencari keamanan/jaminan kerja daripada hanya
kenaikan upah kecil dan sementara.

2. Model Hubungan Manusiawi

Banyak praktek manajemen merasakan bahwa pendekatan tradisional tidak


memadai. Elton Mayo dan para peneliti hubungan manusiawi lainnya menemukan
bahwa kontak-kontak sosial karyawan pada pekerjaannya adalah juga penting dan
bahwa kebosanan dan tugas-tugas yang bersifat pengulangan adalah factor-faktor
pengurang motivasi. Mayo dan lain-lainnya juga percaya bahwa manajer dapat
memotivasi bawahan melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial mereka dan
membuat mereka merasa berguna dan penting.

Sebagai hasilnya, para karyawan diberi berbagai kebebasan untuk


membuat keputusan sendiri dalam pekerjaannya. Perhatian yang lebih besar
diarahkan pada kelompok-kelompok kerja organisasi informal. Lebih banyak
informasi disediakan untuk karyawan tentang perhatian manajer dan operasi
organisasi.

3. Model Sumber Daya Manusia

Kemudian para teoritis seperti McGregor dan Maslow, dan para peneliti
seperti Argyris dan Likert, melontarkan kritik kepada model hubungan
manusiawi, dan mengemukakan pendekatan yang lebih “sophisticated” untuk
memanfaatkan para karyawan. Model ini menyatakan bahwa para karyawan
dimotivasi oleh banyak factor – tidak hanya uang atau keinginan untuk mencapai
kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi dan memperoleh pekerjaan
yang berarti. Mereka beralasan bahwa kebanyakan orang telah dimotivasi untuk
melakukan pekerjaan secara baik dan bahwa mereka tidak secara otomatis melihat
pekerjaan sebagai sesuatu yang tidak dapat menyenangkan. Mereka
mengemukakan bahwa para karyawan lebih menyukai pemenuhan kepuasan dari
suatu prestasi kerja yang baik. Jadi, para karyawan dapat diberi tanggung jawab
yang lebih besar untuk pembuatan keputusan-keputusan dan pelaksanaan tugas-
tugas.

Para manajer dapat menggunakan model motivasi hubungan manusiawi


dan sumber daya manusia secara bersama. Dengan bawahannya, manajer
cenderung menerapkan model manusiawi: Mereka mencoba untuk mengurangi
penolakan bawahan dengan perbaikan moral dan kepuasan. Bagi dirinya sendiri,
manajer akan lebih menyukai model sumber daya manusia: mereka merasa
kemampuannya tidak digunakan secara penuh oleh sebab itu mereka mencari
tanggung jawab yang lebih besar dari atasan-atasan mereka.

C. Motivasi Di Lingkungan Kerja

Walaupun kepuasan kerja dan semangat kerja merupakan hal yang


penting, motivasi karyawan merupakan faktor yang bahkan lebih penting bagi
keberhasilan perusahaan. Motivasi merupakan salah satu bagian dari fungsi
manajerial pengarahan (directing). Secara umum, motivasi (motivation)
didefinisikan sebagai serangkaian kekuatan yang meyebabkan orang berperilaku
dalam cara tertentu. Seorang pekerja mungkin termotivasi untuk bekerja keras
berproduksi sebanyak mungkin, yang lainnya mungkin termotivasi untuk
berproduksi secukupnya saja. Para manajer, tentunya, harus memahami
perbedaan-perbedaan perilaku itu dan alasan-alasannya.

Selama bertahun-tahun, banyak bermunculan teori dan penelitian yang


berusaha membahas masalah-masalah itu. Dalam bagian ini, kita akan menelusuri
penelitian dan teori utama mengenai motivasi karyawan. Khususnya, kita akan
berfokus pada tiga pendekatan hubungan antar manusia di lingkungan kerja yang
mencerminkan kronologi pemikiran dasar dalam bidang itu: (1) teori klasik dan
manajemen ilmiah, (2) teori perilaku, (3) teori motivasi kontemporer.

1. Teori Klasik

Menurut yang disebut sebagai teori motivasi klasik (classical theory of


motivation), para pekerja termotivasi semata-mata oleh uang. Dalam buku yang
menjadi rujukan banyak pakar lain The Principles of Scientific Management
(1911) (dalam BISNIS-nya Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert), seorang
insinyur industry Frederick Taylor mengusulkan cara perusahaan dan para pekerja
memanfaatkan cara pandang kehidupan di lingkungan kerja yang telah diterima
oleh masyarakat luas. Apabila para pekerja termotivasi oleh uang, menurut
Taylor, maka membayar mereka lebih banyak akan mendorong mereka
berproduksi lebih banyak. Sementara itu, perusahaan yang menganalisis pekerjaan
dan menemukan cara yang lebih baik untuk mengerjakannya dapat memproduksi
barang-barang dengan lebih murah, memperoleh laba yang lebih banyak, dan
karenanya perusahaan membayar dan memotivasi para pekerja lebih baik daripada
para pesaingnya.

Pendekatan Taylor dikenal sebagai manajemen ilmiah (scientific


management). Ide-idenya menangkap khayalan banyak manajer diawal abad
kedua puluh. Dengan segera, pabrik-pabrik di seluruh pelosok Amerika Serikat
mempekerjakan ahli-ahli untuk melakukan penelitian waktu dan gerakan (time
and motion studies); teknik-teknik rekayasa industry yang diaplikasikan pada tiap-
tiap aspek atau bagian pekerjaan agar dapat menentukan cara melakukan
pekerjaan tersebut secara lebih efisien. Penelitian-penelitian itu merupakan usaha-
usaha ilmiah pertama yang berusaha merinci pekerjaan menjadi komponen-
komponen yang mudah diulang serta mencari alat dan mesin yang efisien untuk
melakukannya.

2. Teori Perilaku (Behaviour Theory): Penelitian Hawthorne

Pada tahun 1925, sekelompok peneliti dari Harvard memulai penelitian di


Hawthorne Works of Western Electric di luar kota Chicago. Dengan tujuan
meningkatkan produktivitas, mereka ingin mengamati hubungan antara perubahan
lingkungan fisik dan keluaran (output) para pekerja.

Hasil eksperimen tersebut tidak terduga, bahkan membingungkan.


Contohnya, meningkatnya penerangan dapat memperbaiki produktivitas. Akan
tetapi, karena sejumlah alas an, menurunnya penerangan juga memperbaiki
produktivitas. Labih jauh lagi, berlawanan dengan semua perkiraan, kenaikan
upah gagal meningkatkan produktivitas. Perlahan-lahan, para peneliti tersebut
memecahkan teka-teki tersebut. Penjelasannya terletak pada reaksi para pekerja
terhadap perhatian yang mereka terima. Para peneliti menyimpulkan bahwa
produktivitas akan meningkat sebagai tanggapan atas tindakan manajemen apapun
yang dinilai oleh para pekerja sebagai perhatian khusus. Penemuan itu, yang
sekarang dikenal luas sebagai dampak Hawthorne (Hawthorne effect), mempunyai
pengaruh besar pada teori hubungan manusia, walaupun dalam banyak kasus itu
hanya bertujuan meyakinkan para manajer bahwa mereka harus lebih banyak
memeperhatikan para karyawannya.

3. Teori Motivasi Kontemporer

Mengikuti penelitian Hawthorne, para manajer dan peneliti lebih berfokus


pada pentingnya hubungan manusia dalam memotivasi kinerja karyawan.
Menekankan pada factor-faktor yang dapat menyebabkan, memusnahkan, dan
mempertahankan perilaku pekerja, hampir semua pembuat teori motivasi
membahas cara manajemen menganggap dan memperlakukan para karyawannya.
Teori motivasi utama mencakup model sumber daya manusia, hierarki kebutuhan,
teori dua factor, teori pengharapan, dan teori kesetaraan.

a. Model Sumber Daya Manusia: Teori X dan Y

Dalam suatu penelitian yang penting, ilmuwan perilaku Douglas


McGregor menyimpulkan bahwa para manajer mempunyai kepercayaan yang
sangat berbeda mengenai cara terbaik menggunakan sumber daya manusia suatu
perusahaan. Ia mengklasifikasikan keyakinan itu ke dalam serangkaian asumsi
yang ia beri label ”Teori X” dan “Teori Y”. perbedaan dasar kedua teori itu dapat
dilihat pada table dibawah ini:

Para manajer yang menganut Teori X cenderung percaya bahwa bisa


ditebak orang-orang itu malas dan tidak mau bekerja sama dan oleh karenanya
harus dihukum atau diberi imbalan (rewards) agar mereka menjadi produktif. Para
manajer yang menganut Teori Y cenderung percaya bahwa orang-orang
sesungguhnya energik, berorientasi ke perkembangan, memotivasi diri sendiri,
dan tertarik untuk menjadi produktif.

McGregor umumnya lebih menyukai keyakinan Teori Y. Karenanya ia


menyatakan bahwa manajer yang menganut Teori Y kemungkinan besar
mempunyai karyawan yang puas dan termotivasi. Tentunya, perbedaan Teori X
dan Y terlalu sederhana dan hanya memberikan sedikit dasar konkrit untuk
bertindak. Nilai teori itu terletak pada kemampuan teori tersebut mengungkap dan
mengklasifikasikan perilaku para manajer berdasarkan sikap mereka terhadap para
karyawan.

b. Model Hierarki Kebutuhan Maslow

Model Hierarki Kebutuhan (hierarchy of needs model) dari seorang


psikolog Abraham yang mereka coba penuhi dari pekerjaan mereka. Ia
mengklasifikasikan kebutuhan-kebutuhan itu menjadi lima tipe dasar dan
menyarankan supaya kebutuhan itu disusun menurut hierarki prioritas seperti
yang terlihat pada tabel dibawah ini.

Menurut Maslow, kebutuhan merupakan hal yang bertingkat-tingkat


karena kebutuhan tingkatan rendah harus sudah dipenuhi sebelum seseorang
mencoba memuaskan kebutuhan yang tingkatannya lebih tinggi.

Setelah serangkaian kebutuhan telah dipenuhi, kebutuhan itu berhenti


memotivasi perilaku. Itulah arti dari kebutuhan yang bersifat hierarkis dari
tingkatan yang rendah ke yang lebih tinggi itu mempengaruhi motivasi dan
kebutuhan karyawan. Contohnya, jika Anda merasa aman dalam pekerjaan Anda,
rencana pensiun yang baru mungkin tidak terlalu penting bagi Anda jika
dibandingkan kesempatan mencari kawan-kawan baru dan memasuki jaringan
informal diantara rekan kerja Anda.

Akan tetapi, jika kebutuhan tingkatan rendah mendadak tidak terpenuhi,


hampir semua orang segera berfokus kembali ke tingkatan rendah tersebut.
Contohnya, misalkan saja Anda mencari cara untuk memenuhi kebutuhan harga
diri Anda dengan bekerja sebagai manajer divisi di suatu perusahaan besar. Jika
Anda mengetahui bahwa divisi Anda dan akibatnya pekerjaan Anda mungkin
akan dihapuskan, Anda mungkin melikhat kepastian keamanan kerja di
perusahaan baru itu memotivasi Anda sekuat promosi yang terjadi sebelumnya di
perusahaan lama Anda.

Teori Maslow memahami bahwa karena orang yang berbeda mempunyai


kebutuhan yang berbeda, mereka termotivasi oleh hal-hal yang berbeda.
Sayangnya, teori itu hanya memberikan sedikit panduan tindakan di lingkungan
kerja. Selain itu, riset telah menemukan bahwa hierarki tersebut sangat bervariasi,
tidak hanya diantara orang-orang yang berbeda, tetapi juga diantara kebudayaan
yang berbeda.

c. Teori Dua Faktor

Setelah mengamati sekelompok akuntan dan insinyur, psikolog bernama


Frederick Herzberg menyimpulkan bahwa kepuasan dan ketidak-puasan kerja
bergantung pada dua factor: factor-faktor higienis, seperti kondisi tempat kerja,
dan factor-faktor motivasi, seperti pengakuan atas pekerjaan yang telah
diselesaikan dengan baik.

Menurut Teori Dua Faktor (two-factors theory), factor-faktor higienis


mempengaruhi motivasi dan kepuasan hanya jika factor itu tidak dapat atau gagal
memenuhi harapan-harapan. Contohnya, para pekerja akan menjadi tidak puas
bila mereka percaya bahwa mereka berada didalam kondisi tempat kerja yang
menyedihkan. Akan tetapi, bila kondisi tempat kerjanya membaik, mereka tidak
harus menjadi puas, mereka hanya merasa tidak puas. Sebaliknya, apabila para
pekerja tidak menerima pengakuan atas pekerjaan yang sukses, mereka
mengalami ketidak-puasan. Bila mereka diberi pengakuan, mereka kemungkinan
besar menjadi lebih puas.
d. Teori Pengharapan

Teori Pengharapan (expectancy theory) menyatakan bahwa orang-orang


termotivasi bekerja karena ingin mendapatkan imbalan yang mereka inginkan dan
bahwa mereka percaya mereka mempunyai peluang—atau harapan—yang masuk
akal untuk meraihnya. Contohnya, imbalan yang sepertinya berada diluar
jangkauan mungkin tidak diinginkan bahkan jika imbalan itu pada hakikatnya
positif. Pada gambar yang akan ditampilkan dibawah mengilustrasikan teori
pengharapan yang berkaitan dengan persoalan yang kemungkinan akan
dipertimbangkan oleh seorang karyawan tertentu. Pertimbangkan seorang kasus
asisten manajer departemen yang mengetahui manajer divisi telah pensiun dan
perusahaan sedang mencari penggantinya. Walaupun wanita itu menginginkan
pekerjaan tersebut, ia tidak melamar karena ia ragu dirinya akan dapat terpilih.
Dalam kasus itu, ia mengangkat persoalan kinerja-imbalan (performance-reward
issue): untuk beberapa alasan, ia yakin bahwa kinerjanya tidak akan menyebabkan
ia mendapatkan posisi tersebut. Catat bahwa ia juga mungkin berpikir bahwa
kinerjanya pantas mendapatkan pekerjaan baru tersebut tetapi semata-mata kinerja
tidak akan mencukupi; barangkali ia sadar imbalannya pantas diberikan kepada
seseorang yang mempunyai tingkatan senioritas yang lebih tinggi.

` Asumsikan bahwa karyawan tersebut juga mengetahui bahwa perusahaan


juga mencari seorang manajer produksi untuk giliran kerja (shift) berikutnya. Ia
berpikir bahwa ia dapat mendapatkan pekerjaan itu tetapi tidak mengajukan
lamaran karena ia tidak mau berganti giliran kerja. Dalam contoh itu, ia
mengangkat persoalan imbalan-sasaran pribadi (rewards-personal goals).
Akhirnya, ia mengetahui bahwa ada lowongan satu tingkatan lebih tinggi—
manajer departemen—dalam divisinya sendiri. Ia mungkin melamar pekerjaan itu
karena ia menginginkannya dan berpikir bahwa ia mempunyai peluang besar
untuk meraihnya. Dalam kasus itu, pertimbangannya megenai seluruh persoalan
telah menghasilkan pengharapan bahwa ia dapat meraih sasaran tertentu.

Teori pengharapan juga membantu menjelaskan dengan beberapa orang


tidak bekerja sekeras mungkin ketika gaji mereka semata-mata didasarkan pada
senioritas. Karena mereka memperoleh bayaran yang sama, tanpa melihat apakah
mereka bekerja keras atau hanya sedang-sedang saja, tidak ada insentif keuangan
bagi mereka untuk bekerja lebih keras. Dengan kata lain, mereka bertanya kepada
diri mereka sendiri: “Apabila saya bekerja lebih keras, apakah saya akan diberi
kenaikan upah?” dan menyimpulkan bahwa jawabannya tidak. Serupa halnya,
apabila kerja keras akan megakibatkan satu atau lebih hasil yang tidak diinginkan,
transfer ke lokasi lain atau kenaikan jabatan ke pekerjaan yang memerlukan
banyak bapergian—para karyawan tidak termotivasi untuk bekerja lebih keras.

e. Teori Kesetaraan

Teori Kesetaraan (equity theory) berfokus pada perbandingan sosial—


orang-orang mengevaluasi perlakuan organisasi terhadap mereka dibandingkan
dengan perlakuan organisasi terhadap orang-orang lain. Pendekatan itu
beranggapan bahwa orang-orang memulai dengan menganalisis masukan atau
input (apa yang mereka sumbangkan ke pekerjaan mereka berupa waktu, usaha,
pendidikan, pengalaman, dan sebagainya) dibandingkan dengan keluaran atau
output (apa yang mereka dapatkan: gaji, fasilitas, pengakuan, keamanan).
Hasilnya adalah nisbah sumbangan (contribution)terhadap perolehan (return).
Kemudian mereka membandingkan nisbah mereka sendiri dengan nisbah
karyawan-karyawan lainnya.

Ketika orang-orang merasa bahwa mereka tidak diperlakukan secara


setara, mereka mungkin akan melakukan berbagai hal untuk mewujudkan kembali
keadilan. Contohnya, mereka mungkin akan meminta kenaikan gaji, mengurangi
usaha mereka, bekerja dengan waktu kerja yang lebih pendek, atau hanya
mengeluh kepada bos mereka. Mereka mungkin mencari-cari alasan, mencari
orang-orang lain yang bisa dijadikan perbandingan, atau meninggalkan pekerjaan
mereka.
Contoh yang hampir sempurna mengenai teori kesetaraan di pekerjaan
dapat ditemukan dalam bidang olahraga professional. Contohnya, tiap tahun,
pemain-pemain baru, kadang-kadang baru keluar dari bangku kuliah, seringkali
menandatangani kontrak-kontra yang menguntungkan. Belum apa-apa, para
pemain veteran sudah mulai mengomel soal kenaikan gaji atau kontrak yang perlu
diperbaharui
DAFTAR PUSTAKA

 Amin. Motivasi dalam Manajemen. Mei 2013. http://al-


ami.blogspot.com/2013/05/makalah-tentang-motivasi-dalam-
manajemen.html (diakses tanggal 18 Januari 2019)
 Dwi Cahyani. Motivasi dalam Manajemen. 2015.
http://makalahtugasmu.blogspot.com/2015/09/makalah-motivasi-dalam-
manajemen.html (diakses tanggal 18 Januari 2019)

Anda mungkin juga menyukai