1
bahkan terbelakang. Karena itulah, topik khutbah Jum’at yang akan
saya bawakan kali ini adalah Menjunjung Tinggi Harkat Kemanusian.
Dengan landasan QS. Al-Isra ayat 70:
Bila kita kaji, dalam ayat tersebut terdapat dua kalimat yang
mengisyaratkan tentang tingginya martabat manusia, yaitu, “Kami
telah memuliakan keturunan Adam atas makhluk-makhluk lainnya” dan
“Kami mengunggulkan mereka dari makhluk-makhluk yang Kami cipta
kan, termasuk golongan jin dan hewan.” Dengan demikian, manusia
adalah makhluk yang paling mulia dan bermartabat dibandingkan
makhluk Tuhan lainnya.
Namun sayangnya, betapa banyak manusia yang tidak me
nyadari keunggulan dirinya, sehingga tidak pandai memanfaat
kannya bahkan tidak jarang yang merelakan martabatnya sebagai
manusia runtuh tiada guna. Bukankah kita memiliki paras yang
ganteng dan cantik, sempurna, tidak kurang sesuatu apapun,
sedangkan makhluk yang lain tidak? Bukankah kita berakal dan
bisa berpikir sedangkan makhluk lain tidak? Bukankah kita punya
hati, rasa dan potensi-potensi lain sebagai simbol luhurnya harkat
manusia?
Jika kita menjunjung tinggi, menjaga dan melestarikannya,
dengan mengolah, membangun dan mengembangkan potensi-
potensi itu, maka akan sanggup mengantarkan kita menuju makhluk
terhormat, tertinggi, terhebat, terbaik, dan patut dibangga kan.
Sebaliknya, kalau kita mengabaikan, menyia-nyiakan, menyepele
kan, melecehkan apalagi menyalahgunakn potensi-potensi itu, kita
akan tersungkur menjadi makhluk terhina, terjelek, terendah, ter
jahat bahkan bisa lebih rendah dari binatang. Hal ini telah disindir
oleh Allah dalam surat At-Tin ayat 4-6 yang berbunyi: “Sungguh Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian
Kami kembalikan dia kepada kedudukan yang paling rendah, kecuali orang-
2
orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka pahala yang tidak
terhitung.”
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan
dalam bentuk dan raga yang begitu indah, namun kemudian Allah
menjatuhkan manusia pada martabat yang paling rendah. Kehinaan
ini akibat ulah manusia itu sendiri yang tidak pandai bersyukur
kepada Allah, karena tidak memanfaatkan karunia Allah, tidak mau
memfungsikan dan memberdayakan pemberian Allah. Sebaliknya
yang dilakukan hanyalah pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan
Allah, yang diikuti hanyalah selera nafsunya, yang dimunculkan
hanyalah sifat-sifat buruknya. Perilaku-perilaku ini yang akan
membawa kehancuran bagi manusia. Namun tidak semua manusia
akan mengalami kejatuhan martabat, sebab Allah memberikan
pengecualian, “yaitu orang-orang yang beriman dan bertakwa, yakni
mereka yang menselaraskan antara keimanan dan amal shaleh.”
Dengan demikian, orang yang akan mampu menjaga, me
lestarikan dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan adalah
yang memiliki iman dan amal shaleh. Fungsi dari keimanan
adalah sebagai landasan moral dan untuk mengimbangi otoritas
intelektual. Sebab, walupun kita berotak cerdas, berwawasan luas,
tapi jika tidak berhati emas, apalagi jika keimanan kita lepas, kita
hanya akan tumbuh menjadi manusia hina, biadab, brutal, tidak
bermoral, berakhlak bejat bahkan bisa lebih jahat dari binatang.
Murthada Muthahari pernah memberikan sindiran, “Iptek yang ada
pada orang yang tidak beriman bagaikan sebilah pisau di tangan orang gila,
dia bisa menebaskannya ke mana dia mau.”
Maka orang yang berilmu tapi tidak beriman, maka ia bisa
membunuh, menipu, merampok, membabat hutan, melakukan
korupsi, bahkan menghancurkan negeri ini. Sebaliknya, bila iptek
digenggam orang beriman, pekerjaan dilakukan orang beriman,
jabatan dipikul orang beriman, saya yakin akan membawa ke
mashlahatan bukan kemadharatan, membawa kesejahteraan bukan
kesengsaraan, membawa kemajuan bukan kehancuran, membawa
ketentraman bukan kekacauan.
3
Selain iman, manusia pun harus melakukan amal shaleh atau
dalam istilah kita adalah bekerja sebagai refleksi dari keimanan.
Sebab, hanya dengan bekerja kita bisa berguna, hanya dengan
bekerja kita bisa mengukir prestasi, hanya dengan berkarya kita
bisa terhormat, hanya dengan berkarya kita bisa menjadi manusia
unggul, prestatif dan patut dibanggakan, dan dengan berbuat kita
bisa menjunjung tinggi harkat kemanusiaan kita.
Karena itulah, kita tidak boleh bersikap santai, lemah, bersikap
tamanni dan menanti, menangguhkan langkah, menunggu cuaca
cerah. Namun kita harus memompa semangat untuk bekerja dan
berusaha, bermental optimis, kreatif, dan inovatif. Kita harus
menampilkan semboyan bahwa, “Hari ini harus lebih baik dari hari
kemarin, hari esok harus lebih cerah dari hari sekarang”. Inilah yang di
ajarkan rasul tentang watak umat Islam, yaitu:“Bila malam tak ubahnya
seperi rahib, dan kalau siang sungguh bagaikan singa.” Maksudnya, kita
umat Islam harus pandai memadukan dua kekuatan ikhtiar, tubuh
dan pikiran ini seratus persen, bersimbah peluh, berkuah keringat,
mengerahkan segala potensi untuk bekerja dan berkarya. Rasulullah
menegaskan: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kau kan hidup selamanya,
dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah kau akan mati esok hari”
Sabda Rasulullah itu memotivasi kita untuk bekerja me
negakkan kreatifisme, menghidupkan idealisme, mengembangkan
optimisme, dan menyebarkan antusiasme. Sikap hidup seperti ini
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Qashshas ayat 77:
Dalam ayat ini ada tiga sikap yang mesti kita miliki sebagai
insan beriman, yaitu hidup seimbang dalam mengejar dunia
dan akhirat, berkesinambungan dalam berbuat baik, dan tidak
melakukan kerusakan dalam kehidupan. Sikap-sikap inilah yang
4
akan sanggup menjaga, melestarikan dan menjunjung tinggi harkat
kemanusiaan kita.