Anda di halaman 1dari 38

BLOK IMUNOLOGI DAN ALERGI SABTU, 7 OKTOBER 2023

LAPORAN PBL

BERCAK KEMERAHAN DI KULIT

Disusun Oleh :
KELOMPOK 7

Tutur Oleh:
dr. Is Asmaul Haq Hataul,Sp.PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2023
NAMA – NAMA ANGGOTA KELOMPOK
KETUA : Rahmat R Buton 202283146
SEKERTARIS 1: Jeane Elizabeth Tahapary 202283209
SEKERTARIS 2: Junet Corlina Anggriani Tiotor 202283204
ANGGOTA : Dhea Ananda Marahena 202083134
Christabella Leimine Leiwakabessy 202283012
Jerni Mustafa 202283025
Elina Sahara 202283089
Muhammad Fatih Artonugroho 202283097
Ega Istian 202283098
Fayra Sabrina 202283168
Siti Nurhalisa Hasan 202283169
Elninda Safutri Ahmad 202283178
Inriani Delinda Laurika 202283181
Ayu Widhyadari 202283193
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan laporan ini. Laporan ini merupakan hasil diskusi kami mengenai
skenario “BERCAK KEMERAHAN DI KULIT” yang telah dibahas pada PBL Skenario 1
tepatnya pada Tutorial 1 dan 2. Dalam penyelesaian laporan ini, terdapat pihak-pihak yang
membantu dalam kelancaran penyelesaian laporan ini, karena itu kami ingin berterima kasih
sebesar-besarnya untuk:

1. Tuhan yang Maha Esa, sebagai pembimbing kami dalam kegiatan PBL ini.
2. dr. Is Asmaul Haq Hataul,Sp.PD selaku tutor yang telah mendampingi kami selama
diskusi PBL berlangsung.
3. Semua pihak lainnya yang tak dapat kami sebut masing-masing.

Akhir kata, kami menyadari sungguh, bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami perlukan
demi perbaikan laporan kami ke depannnya.

Ambon, 7 Oktober 2023

Kelompok 7
DAFTAR ISI
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Skenario
1.2 Step I Indentifikasi kata sukar dan kalimat kunci
1.3 Step II Identifikasi masalah
1.4 Step III Hipotesis sementara
1.5 Step IV Klarifikasi dan Mind mapping
1.6 Step V Learning objective
1.7 Step VI Belajar mandiri
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mahasiswa/I mampu menjelaskan definisi dan klasifikasi dari reaksi hipersensitivitas

2.2 Mahasiswa/I mampu menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi pada infeksi dan alergi

2.3 Mahasiswa/ I mampu menjelaskan respon imun innate dan adaptive

2.4 Mahasiswa/I mampu menjelaskan patofisiologi hipersensitivitas

2.5 Mahasiswa/I mampu menjelaskan berbagai factor risiko penyakit pada scenario dikaitkan
dengan gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan
bercak merah.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario

BERCAK KEMERAHAN DI KULIT

Seorang ibu rumah tangga berumur 20 tahun dating ke Dokter Praktek Swasta dengan
keluhan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4 hari yang lalu.
Bercak tersebut agak hangat pada perabaan , terasa gatal dan tidak ada nyeri pada penekanan.
Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci. Lokasi kelainannya bisa disela-sela
jari tangan atau disela jari kaki.

1.2 Seven Jumps

1.2.1 Step 1: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci

a) Kata sukar :
1. Bercak : perubahan warna kulit menjadi merah dengan tekstur permukaan yang
halus.
2. Nyeri: perasaan tidak nyaman, menderita atau nyeri disebabkan oleh rangsangan
pada ujung saraf-saraf tertentu.
b) Kalimat kunci :
1. keluhan bercak kemerahan berbatas tegas di pergelangan tangan, muncul 4 hari
yang lalu.
2. Bercak tersebut agak hangat pada perabaan , terasa gatal dan tidak ada nyeri pada
penekanan.
3. Kelainan ini sifatnya kambuhan terutama setelah mencuci.
4. Lokasi kelainannya bisa disela-sela jari tangan atau disela jari kaki.
5. Seorang Ibu Rumah Tangga berumur 20 tahun.

1.2.2 Step 2: Identifikasi Masalah

1. apa kaitan antara kegiatan mencuci dan keluhan gatal yang dialami pasien?
2. Bagaimana respon tubuh terhadap gejala yang dialami pasien?
3. apakah munculnya gejala pada pasien selama 4 hari berturut-turut merupakan
respon yang lama atau terdapat penyebab lainnya?
4. dalam scenario reaksi yang dialami ibu rumah tangga tersebt termasuk
hipersensitivitas tipe berapa?
5. mengapa bercak kemerahan pada pasien hanya sampai pada pergelangan tangan?
6. apa yang menyebabkan bercak merah pada pasien dapat terasa hangat Ketika
diraba?
7. apakah jika kekambuhan terjadi terus-menerus dapat berakibat fatal?
8. apakah factor usia dapat mempengaruhi kelainan pada scenario?
9. apa factor yang menyebabkan rasa gatal berdasarkan scenario?
1.2.3 Step 3: Hipotesis Sementara
1. Detergen dapat menyebabkan reaksi alergi, mencuci tangan terlalu sering dapat
menyebabkan kulit menjadi kering.
2. respon imun yang dikeluarkan tubuh adalah respon inflamasi agar mencegah kita
terpapar dari mikroba. Adanya reaksi imun yang berlebihan dapat merusak tubuh kita.
3. Berdasarkan scenario termasuk respon imun secara adaptif, karena apabila masih
dalam hitungan jam antara 6-12 jam masih disebut imunitas bawaan tubuh kita dan
apabila sudah dalam hitungan hari dapat disebut respon imun adaptif.
4. pada scenario ini hipersensitivitas yang berkaitan adalah hipersensitivitas tipe 1
dimana pada hipersensitivitas tipe 1 terdapat IgE dimana nantinya IgE ini akan
merangsang sel mast untuk mengeluarkan sel histamin sebagai respon adanya senyawa
alergen yang menyerang tubuh, sehingga histamin ini akan menimbulkan reaksi alergi
seperti rasa gatal, bercak kemerahan, dan berbagai reaksi lainnya yg sesuai dengan
scenario.
5. karena tangan berkontak dengan pemicu yaitu detergen sehingga tidak terjadi reaksi
yang sama dengan bagian tubuh lainnya.
6. Dilatasi Pembuluh Darah: Saat terjadi peradangan, pembuluh darah di area tersebut
dapat melebar (vasodilatasi) sebagai respons terhadap peradangan. Ini meningkatkan
aliran darah ke area yang terkena, yang bisa menyebabkan rasa hangat.
Aktivasi Sistem Kekebalan: Peradangan seringkali melibatkan respons sistem
kekebalan tubuh yang aktif, seperti sel-sel kekebalan yang bergerak ke area yang
terkena. Aktivitas sel-sel kekebalan ini dapat meningkatkan suhu lokal dan
menyebabkan rasa hangat.
Pelepasan Mediator Inflamasi: Selama peradangan, mediator inflamasi seperti
prostaglandin dapat dilepaskan. Prostaglandin dapat merangsang pelebaran pembuluh
darah dan menyebabkan sensasi hangat.
Reaksi Alergi: Jika peradangan disebabkan oleh alergi, pelepasan histamin dan
mediator inflamasi lainnya dapat merangsang peradangan dan sensasi hangat.
7. Benar, karena respon imun terjadi terus menerus, sehingga histamin akan
dikeluarkan secara berlebihan dan hal ini akan berakibat fatal. bisa mengalami reaksi
alergi yang dapat menimbulkan berbagai gejala, misalnya: Kulit kemerahan, ruam, dan
gatal-gatal,bibir bengkak.
8. Tidak mempengaruhi, karena berdasarkan scenario ini disebabkan oleh detergen.
Umum dan terjadi di segala rentan usia, lebih disebabkan karena factor pekerjaan.
9. Penyebab gatal: zat-zat kimia yang terkandung dalam detergen, sehingga zat-zat ini
lebih rentan masuk ke dalam kulit.
1.2.4 Step 4:

a. Klarifikasi Masalah
b. Mind Mapping

Ibu 20 Tahun

Mencuci

Bercak kemerahan Teraba hangat, gatal Bersifat kekambuhan


dan batas tegas

Pergelangan tangan, jari – jari


tangan dan kaki

Respon inflamasi

Penyebab timbulnya respon


Mekanisme respon Hipersensitivitas inflamasi
infalamasi

Respon imun Hipersensitivitas tipe 1 Mikroba di air, detergen,


adaptive sensivitas tinggi
1.2.5 Step 5: Learning Objectives

1. menjelaskan definisi dan klasifikasi dari reaksi hipersensitivitas


2. menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi pada infeksi dan alergi
3. Menjelaskan respon imun innate dan adaptive
4. menjelaskan patofisiologi hipersensitivitas
5. Menjelaskan berbagai factor risiko penyakit pada scenario dikaitkan dengan
gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan
bercak merah.
1.2.6 Belajar Mandiri
1.2.7 Presentasi Hasil Belajar
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Mahasiswa/I mampu menjelaskan definisi dan klasifikasi dari reaksi


hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah reaksi dari sistem kekebalan tubuh yang terjadi ketika jaringan
tubuh yang normal mengalami cedera. Reaksi hipersensitivitas terjadi akibat aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme yang akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik.
Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi
hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi ini juga melibatkan antibodi,
limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam sistem imun yang berfungsi
sebagai pelindung yang normal pada sistem kekebalan.
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi pada dua situasi. Pertama, respons terhadap antigen
asing (mikroba dan antigen lingkungan non infeksius) yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan, khususnya bila reaksinya berulang dan tidak terkontrol. Kedua, respons imun dapat
bekerja langsung terhadap antigen diri sendiri (autolog) sebagai akibat kegagalan toleransi diri
(self-tolerance). Respons terhadap antigen diri sendiri disebut autoimunitas, dan kelainan yang
disebabkan oleh respons tersebut disebut penyakit autoimun.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi empat kelas (tipe I –
IV) berdasarkan mekanisme yang ikut serta dan lama waktu reaksi hipersensitif.
1. Hipersensitivitas tipe I atau Immediate hypersensitivity
Tipe I atau hipersensitivitas langsung dimediasi oleh IgE spesifik untuk alergen. Pada pajanan
ulang, alergen cross-link IgE spesifik pada sel-sel ini, yang menyebabkan pelepasan mediator
dalam dua fase utama. Fase awal terjadi dalam beberapa menit dan disebabkan oleh histamin,
protease (triptase dan chymase), enzim lisosom, dan mediator lain yang dibentuk sebelumnya
yang dilepaskan segera pada sel mast dan degranulasi basofil.
Alergen yang dihirup dapat memperburuk rinitis alergi atau asma dengan menyebabkan hidung
tersumbat, rinore, dan bronkospasme. Kontak topikal dengan alergen dapat menyebabkan
urtikaria. Urtikaria juga dapat disebabkan oleh aktivasi sel mast oleh berbagai rangsangan.
Beberapa gangguan disebabkan oleh aktivasi sel mast nonspesifik yang tidak bergantung pada
IgE, yang dapat dianggap sebagai bagian dari reaksi hipersensitivitas tipe I.

2. Hipersensitivitas tipe II atau Antibody-mediated


Antibodi IgG dan IgM adalah komponen kunci dari pertahanan inang, yang mengikat mikroba
dan membantu pembunuhan langsung mereka melalui berbagai mekanisme. Ketika antibodi ini
mengikat antigen diri, mereka dapat mengarahkan respons sitotoksik terhadap inang itu sendiri
dan menyebabkan kerusakan yang berpotensi luas. Ini adalah dasar untuk reaksi tipe II, yang
ditandai dengan penghancuran sitolitik sel yang ditargetkan.

3. Hipersensitivitas tipe III atau Immune complex-mediated


Pada respon tipe III, antibodi IgG dan IgM berikatan dengan antigen untuk membentuk
kompleks imun. Kompleks ini mengendap di jaringan dan mengaktifkan komplemen, yang
kemudian menyebabkan kerusakan organ. Situs umum dari deposisi kompleks termasuk arteri
kecil, glomerulus ginjal, dan kapsul sendi sinovial. Reaksi tipe III mirip dengan reaksi penyakit
serum yang disebabkan oleh berbagai obat.
4. Hipersensitivitas tipe IV atau T cell-mediate
Respon hipersensitivitas tipe IV secara kolektif disebut reaksi tertunda dan melibatkan sel T
sebagai sel efektor utama. Sel T yang tersensitisasi dapat menyebabkan kerusakan secara
langsung, seperti dalam kasus sel T sitotoksik, atau sel T penolong dapat mengaktifkan leukosit
lain, seperti makrofag, neutrofil, dan eosinofil. Reaksi klasik tipe IV seperti yang pertama kali
dijelaskan oleh Gell dan Coombs1 sekarang disebut tipe IVa dan dimediasi oleh sel Th1, yang
mengaktifkan makrofag untuk mensekresi sitokin seperti interferon dan TNF-α. Reaksi tipe Ivb
melibatkan produksi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel Th2 untuk menginduksi inflamasi dan
produksi IgE dari sel B.
2.2 Mahasiswa/I mampu menjelaskan perbedaan reaksi inflamasi pada infeksi dan
alergi

Inflamasi atau radang merupakan suatu respons perlindungan yang melibatkan sel tubuh,
pembuluh darah, serta protein dan mediator lain dengan tujuan mengeliminasi penyebab utama
jejas sel, demikian pula sel nekrotik dan jaringan sebagai akibat pengaruh awal, dan memulai
proses pemulihan jaringan. Upaya radang untuk melakukan proteksi adalah dengan
mengencerkan, merusak, atau menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba, toksin).
Kemudian akan terjadi mekanisme untuk penyembuhan dan pemulihan daerah yang terkena
jejas.
Perbedaan yang paling mencolok antara inflamasi infeksi dan inflamasi alergi adalah
penyebab inflamasi itu sendiri. Pada inflamasi infeksi disebabkan oleh invasi mikroba atau
kerusakan pada jaringan, sedangkan untuk inflamasi alergi disebkan oleh alergen. Berikut ini
perbedaan antara inflamasi infeksi dan inflamasi alergi.

1. Reaksi Inflamasi Pada Infeksi


Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen, dan bersifat sangat
dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga faktor yang saling
berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit (agent), faktor manusia atau pejamu (host), dan
faktor lingkungan. Infeksi sendiri terjadi secara progresif dan beratnya infeksi tergantung
dari tingkat infeksinya, patogenisitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu.14 Pada
inflamasi infeksi, Sistem imun alami memiliki 2 prinsip dalam mengeliminasi mikroba yaitu
dengan menginduksi respons inflamasi akut dan mekanisme pertahanan antiviral.
Sumber: Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology.10th ed. Elsevier.
Philadelphia; 2017. 58 p.
Proses inflamasi terdiri dari pengerahan sel dan kebocoran protein plasma melalui
pembuluh darah dan aktivasi sel dan protein tersebut pada jaringan ekstravaskuler.
Pelepasan awal histamine, substansi P dan mediator lainnya oleh sel mast dan makrofag
menyebabkan peningkatan aliran darah lokal, eksudasi protein plasma dan merangsang
ujung saraf. Perubahan tersebut menyebabkan gejala kemerahan, rasa hangat, bengkak dan
nyeri yang merupakan gambaran khas inflamasi. Hal ini sering disertai dengan akumulasi
local fagosit pada jaringan, terutama neutrofil, sebagai respons terhadap sitokin. Fagosit
yang teraktivasi menelan mikroba dan materi mati dan menghancurkan substansi yang
berpotensi membahayakan tersebut.
Migrasi Leukosit dari darah ke jaringan adalah proses dengan beberapa tahap yang
terdiri dari penempelan awal yang lemah dari leukosit pada sel endotel, diikuti dengan
adhesi kuat dan transmigrasi melalui endothelium. Bila mikroba yang menginfeksi melewati
epitel dan memasuki jaringan subepitel, makrofag, sel dendritik jaringan dan sel lain
mengenali mikroba dan memberi respons dengan memproduksi sitokin. Dua dari sitokin-
sitokin ini, disebut tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-I (IL-1), bekerja pada
endotel venul pada lokasi infeksi dan mengawali proses migrasi leukosit menuju jaringan.1
Setelah leukosit dikumpulkan pada tempat infeksi atau nekrosis jaringan, leukosit tersebut
harus diaktifkan agar melaksanakan fungsinya. leukosit menggunakan berbagai reseptor
untuk mendeteksi keberadaan mikroba, sel mati dan jaringan asing.

2. Reaksi Inflamasi Pada Alergi


Pada infeksi alergi disebabkan jika tubuh belum pernah terpapar dengan alergen
penyebab sebelumnya. Hal ini termasuk ke dalam Hipersensitivitas tipe I. Hipersensitivitas
segera adalah reaksi jaringan yang terjadi secara cepat (biasanya dalam beberapa menit)
setelah interaksi antara antigen dan antibodi IgE pada permukaan sel mast pada individu
yang tersensitisasi (terpapar antigen).

Sumber: Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Basic Immunology: Functions and
Disorders of the Immune System. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. 235 p.

Reaksi dimulai dengan masuknya antigen, yang disebut alergen karena memicu alergi.
Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel Th2 dan mengaktivasinya,
kemudian sel Th2 akan melepaskan sitokin, Dua dari beberapa sitokin yang disekresi oleh
sel Th2 atau sel Tfh yang diaktifkan oleh antigen yang sama adalah interleukin (IL)-4 dan
IL-13. Sitokin tersebut merangsang limfosit B berubah menjadi sel plasma yang
memproduksi IgE. Oleh karena itu, individu atopik menghasilkan banyak antibodi IgE. Ig E
kemudian melekat pada reseptor spesifik Ig E yaitu FcεRI yang berada pada permukaan sel
mast. Aktivasi sel mast ditimbulkan dari pengikatan alergen pada dua atau lebih antibodi
IgE pada sel. Ketika ini terjadi, molekul FcERI yang membawa IgE terkait silang, memicu
sinyal biokimia dari rantai transduksi sinyal FcERI. Sinyal tersebut memicu pelepasan
mediator-mediatornya dan menimbulkan tiga jenis respons sel mast: pelepasan cepat isi
granula (degranulasi), sintesis dan sekresi mediator lipid, dan sintesis dan sekresi
sitokin.1,15.
Mediator paling penting yang diproduksi oleh sel mast adalah amine vasoaktif dan
protease yang disimpan dan dilepaskan dari granula, dan produk yang baru dibentuk dan
disekresikan dari metabolisme asam arakidonat, dan sitokin. Mediator-mediator ini
memiliki efek yang berbeda. Amine utama, histamin, menyebabkan dilatasi pembuluh darah
kecil, meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan merangsang kontraksi sementara otot
polos. Protease dapat menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Metabolit asam arakidonat
termasuk prostaglandin, menyebabkan dilatasi vaskuler, dan leukotrien, yang merangsang
kontraksi berkepanjangan otot polos. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast merangsang
pengerahan leukosit, yang menyebabkan reaksi fase lambat.
2.3 Mahasiswa/ I mampu menjelaskan respon imun innate dan adaptive

Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh terhadap patogen atau mikroba yang akan masuk
pada tubuh kita. Apabila ada patogen atau mikroba yang akan terpapar pada tubuh kita, maka
tubuh kita akan meresponnya dengan membentuk respon imun dari sistem imun. Respon imun
timbul karena adanya reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul- molekul terhadap mikroba dan
bahan lainnya.

a. Respon imun innate (imunitas non-spesifik).

Respon imun innate disebut juga sebagai imunitas alami dan imunitas asli. Respon imun
innate ini selalu ada pada individu sehat, ada sejak lahir dan disiapkan untuk menghambat
masuknya mikroba dan secara cepat akan mengeleminasi mikroba yang berhasil
memasuki jaringan inang. Pertahanan lini pertama pada imunitas alami dilakukan oleh
epitel kulit dan mukosa serta oleh sel dan antibiotic alami yang berada di epitel, yang
dimana semuanya berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba. Bila mikroba
menghancurkan epitel dan masuk ke jaringan atau darah, beberapa komponen sistem
imunitas innate akan bertahan melawan mikroba atau patogen tersebut. Selain
memberikan pertahanan awal terhadap infeksi, respons imun alami diperlukan untuk
mengawali respons imun adaptif. Terdapat komponen-komponen yang berperan pada
respon imun innate sebagai berikut:
1. Barrier Epitelial

Epitel yang ada pada jalan masuk mikroba memberikan barier fisik yang dibentuk oleh
keratin (di kulit) atau mukus yang disekresikan (di sistem gastrointestinal,
bronkopulmonal dan genitourinaria) dan sambungan yang ketat di antara sel-sel epitel.
Epitel juga menghasilkan substansi antimikroba (misalnya defensin), dan menyimpan
limfosit yang membunuh mikroba dan sel terinfeksi.

2. Fagosit

Dua jenis fagosit dalam sirkulasi, neutrofil dan monosit, adalah sel darah yang direkrut ke
tempat infeksi, dimana tempat mereka mengenali dan menelan mikroba untuk dibunuh
secara intraseluler. Neutrofil adalah tipe sel pertama dan paling banyak yang merespons
sebagian besar infeksi, khususnya infeksi bakteri dan jamur, serta merupakan sel yang
dominan pada saat inflamasi akut.
Makrofag memegang beberapa peran penting dalam pertahanan inang: memakan dan
menghancurkan mikroba, membersihkan jaringan mati dan mengawali proses
penyembuhan jaringan, dan memproduksi sitokin yang menginduksi dan meregulasi
inflamasi.

3. Sel Dendritik

Sel dendritik berfungsi sebagai penjaga pada jaringan yang merespons mikroba dengan
memproduksi banyak sitokin, yang memiliki dua fungsi utama: sel mast mengandung
vasoaktif seperti histamine yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler, dan enzim proteolitik yang dapat membunuh bakteri atau
menetralkan toksin mikroba inaktif.
4. Natural Killer Cell

Sel natural killer (NK) mengenali sel yang terinfeksi dan mengalami stress dan memberi
respons dengan membunuh sel tersebut dan dengan mensekresi sitokin yang
mengaktifkan makrofag.

5. Sistem Komplemen

Sistem komplemen adalah kumpulan protein terkait membran (membrane-associated


proteins) dan protein dalam darah yang penting dalam pertahanan terhadap mikroba.
Banyak protein komplemen merupakan enzim proteolitik, dan aktivasi komplemen
melibatkan rangkaian aktivasi enzim ini.
Sistem komplemen terjadi melalui tiga jalur yaitu:
- Jalur alternative
Dipicu bila beberapa protein komplemen diaktivasi pada permukaan mikroba dan tidak dapat
dikontrol, karena protein regulatori komplemen tidak ada pada mikroba (namun ada pada sel
inang). Jalur ini adalah suatu komponen dari imunitas alami
- Jalur klasik
Paling sering dicetuskan oleh antibodi yang mengikat mikroba atau antigen lain sehingga
menjadi suatu komponen dari imunitas adaptif humoral.
- Jalur lektin
Diaktivasi saat suatu protein plasma pengikat karbohidrat, mannose-binding lectin (MBL),
terikat pada residu manose terminal pada permukaan glikoprotein mikroba. Lectin ini
mengaktivasi protein dari jalur klasik, tetapi karena hal ini diawali oleh produk mikroba tanpa
adanya antibodi, dia merupakan komponen imunitas alarni. Protein komplemen teraktivasi
berfungsi sebagai enzim proteolitik untuk memecah protein komplemen lainnya . Kaskade
enzimatik dapat diamplifikasi dengan cepat karena setiap tahap proteolitik menhasilkan banyak
molekul yang menjadi substrat untuk ensim lainnya dalam kaskade tersebut. Komponen pusat
dari komplemen adalah suatu protein plasma yang disebut C3, yang dipotong oleh enzim yang
dibangkitkan pada tahap awal. Fragmen proteolitik utama dari C3, disebut C3b, menempel
secara kovalen pada rnikroba dan mampu merekrut dan mengaktivasi protein komplemen
dibawahnya pada permukaan mikroba.
Sistem komplemen memberikan tiga fungsi dalam pertahanan inang:
• Opsonisasi dan fagositosis.
C3b menyelubungi rnikroba dan meningkatkan ikatan mikroba ini pada fagosit, dengan bantuan
reseptor untuk C3b yang diekspresikan pada fagosit. Oleh karena itu, mikroba yang diopsonisasi
dengan protein komplemen ditelan secara cepat dan dihancurkan oleh fagosit. Proses
penyelubungan suatu mikroba dengan molekul yang dikenali oleh reseptor pada fagosit ini
disebut sebagai opsonisasi.
• Inflamasi.
Beberapa fragmen proteolitik dari protein komplemen, khususnya C5a dan C3a, merupakan
chemoattractants untuk leukosit (terutama neutrophil dan monosit), sehingga mereka
mempromosikan pengerahan leukosit (inflamasi) pada lokasi aktivasi komplemen.
• Lisis sel.
Aktivasi komplemen memuncak pada pembentukan kompleks protein polimerik yang masuk
kedalam membrane untuk proses lisis terhadap mikroba.

b. Respon Imun Adaptif

Imunitas adaptif disebut juga imunitas spesifik atau imunitas didapat, respon imun ini
memerlukan proses yang lebih lama dibandingan respon imun innate karena memerlukan
proliferasi dan diferensiasi limfosit sebagai respons terhadap mikroba sebelum
memberikan pertahanan yang efektif artinya imunitas ini beradaptasi terhadap adanya
invasi mikroba. Sistem imun adaptif terdiri atas limfosit dengan reseptornya untuk
mikroba dan molekul asing yang sangat beragam, serta produk sel-sel tersebut, misalnya
antibody. Respon imun adaptif penting untuk pertahanan mikroba infeksius yang bersifat
patogenik terhadap tubuh yaitu yang dapat menyebabkan penyakit dan mampu mengatasi
imunitas alami. Yang berperan pada imunitas adaptif adalah limfosit B dan limfosit T,
Antigen-presenting cells (APC), sel efektor, dan antibodi. Imunitas adaptif terbagi
dua yaitu:

1) Imunitas Humoral

Imunitas humoral diperantarai oleh protein yang dinamakan antibodi, diproduksi


oleh sel limfosit B. Antibodi yang disekresi masuk ke dalam darah, cairan
jaringan ekstraseluler dan lumen organ- organ mukosa, seperti saluran pencernaan
dan saluran pernapasan. Antibodi merupakan pertahanan terhadap mikroba yang
berada pada lokasi-lokasi tersebut dengan mencegah mikroba menginvasi sel
jaringan serta dengan melakukan netralisasi toksin yang dihasilkan oleh mikroba.
Mikroba yang hidup dan membelah di luar sel tetapi langsung dibunuh begitu
dicerna oleh fagosit dinamakan mikroba ekstraselular. Terdapat banyak mikroba,
yang sering dinamakan mikroba intraselular, dapat hidup dan membelah di dalam
sel yang terinfeksi, termasuk fagosit. Meskipun antibodi mampu mencegah
mikroba tersebut menginfeksi sel jaringan, antibody tidak akan efektif bila
mikroba sudah berada di dalam sel.

2) Imunitas Seluler (cell-mediated immunity)

Pertahanan terhadap mikroba yang telah masuk ke dalam sel inang, dinamakan
imunitas seluler karena prosesnya diperantarai oleh sel-sel yang disebut sel
limfosit T. Imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immunity) terutama
penting dalam pertahanan terhadap organisme intraselular yang dapat bertahan
hidup dan bereplikasi di dalam sel. Beberapa limfosit T mengaktivasi fagosit
untuk menghancurkan mikroba yang telah dimakan dan hidup di dalam vesikel
intraseluler dari fagosit ini. Limfosit T lainnya membunuh berbagai sel inang
(termasuk sel nonfagositik) yang terinfeksi mikroba infeksius di dalam
sitoplasmanya. Dalam kedua kasus tersebut, sel T mengenali antigen yang
ditampilkan pada permukaan sel, yang menunjukkan adanya mikroba di dalam sel
tersebut. Sebagian limfosit T juga membantu pertahanan terhadap mikroba
ekstraselular dengan merekrut banyak sekali fagosit menuju ke lokasi infeksi,
yang akan memakan dan menghancurkan mikroba.
2.4 Mahasiswa/I mampu menjelaskan patofisiologi hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah semua bentuk jejas yang diperantarai sistem imun secara
kolektif. Hipersensitivitas menunjukkan sensitivitas terhadap suatu antigen yang abnormal atau
berlebihan. Reaksi hipersensitivitas dibagi menjadi tipe I-IV.

Sumber : Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology.10th ed. Elsevier.


Philadelphia; 2017

Radang diinduksi oleh mediator kimia yang dihasilkan oleh sel tubuh untuk merespons
stimulus yang merugikan. Ketika mikroba masuk ke dalam jaringan atau jaringan menjadi
cedera, infeksi atau kerusakan diketahui oleh sel tubuh, terutama makrofag, tapi juga sel dendrit,
sel mast, dan sel lainnya. Sel-sel tersebut mensekresi molekul (sitokin dan mediator lain) yang
menginduksi dan mengatur respons radang selanjutnya. Mediator radang juga diproduksi dari
protein plasma yang bereaksi dengan mikroba atau terhadap jaringan yang cedera. Beberapa
mediator akan menyebabkan aliran plasma dan pengumpulan leukosit yang beredar menuju
tempat di mana agen yang mengganggu berada. Leukosit akan diaktifkan dan akan
menghilangkan agen yang mengganggu melalui fagositosis. Efek samping yang merugikan
akibat pengaktifan leukosit adalah kerusakan pada jaringan normal.
Patofisiologi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs terbagi atas :
1. Hipersensitivitas tipe I (tipe cepat)

Hipersensitivitas cepat adalah reaksi yang diperantarai antibodi IgE dan sel mast, terhadap
antigen tertentu yang menyebabkan kebocoran vaskuler cepat dan sekresi mukosa, sering diikuti
dengan inflamasi. Kelainan di mana hipersensitivitas cepat diperantarai IgE menonjol disebut
juga alergi atau atopi, dan individu yang cenderung mengembangkan reaksi ini disebut atopik.
Hipersensitivitas cepat dapat mempengaruhi berbagai jaringan dengan berbagai tingkat
keparahan pada individu yang berbeda. Jenis alergi yang sering dijumpai termasuk hay fever,
alergi makanan, asma bronkial dan anafilaksis. Alergi adalah kelainan sistem imun yang paling
sering, diperkirakan mengenai sekitar 10% hingga 20% orang, dan angka kejadian penyakit
alergi meningkat pada masyarakat industri. Rangkaian kejadian dalam perkembangan reaksi
hipersensitivitas cepat dimulai dengan aktivasi Th2 dan sel T helper folikuler (Tfh) pensekresi
IL-4 yang merangsang produksi antibodi IgE sebagai respons terhadap antigen, pengikatan IgE
pada reseptor Fe spesifik sel mast, kemudian pada paparan antigen berikutnya pengkaitan silang
IgE yang terikat oleh antigen, dan pelepasan mediator sel mast. Beberapa mediator sel mast
menyebabkan peningkatan cepat permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos, menimbulkan
banyak gejala dalam reaksi ini. Reaksi vaskuler dan otot polos tersebut dapat terjadi dalam
beberapa menit sejak pengenalan kembali antigen pada individu yang telah tersensitisasi
sebelumnya, sehingga dinamai hipersensitivitas segera. Mediator sel mast lainnya adalah sitokin
yang mengerahkan neutrofil dan eosinofil ke lokasi reaksi setelah beberapa jam. Komponen
inflamasi ini disebut reaksi fase lambat, dan paling bertanggung jawab untuk terjadinya cedera
jaringan karena serangan berulang hipersensitivitas segera.

- Aktivasi Sel Th2 dan Produksi Antibodi lgE


Kebanyakan individu tidak mencetuskan respons kuat Th2 terhadap antigen lingkungan.
pada waktu beberapa individu bertemu antigen tertentu seperti protein dalam serbuk sari,
makanan tertentu, racun serangga, atau gigitan binatang, atau bila mereka terpapar obat-obatan
tertentu seperti penicillin, tercetus respons Th2 yang kuat. Hipersensitivitas cepat berkembang
sebagai konsekuensi dari aktivasi sel Th2 dalam respons terhadap antigen protein atau kimia
yang berikatan dengan protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas cepat
(alergik) seringkali disebut alergen. Setiap individu atopik mungkin alergi terhadap satu atau
lebih antigen tersebut. Masih belum dimengerti mengapa hanya sebagian kecil antigen
lingkungan umum dapat menimbulkan reaksi yang diperantarai Th2 dan produksi IgE, atau
karakteristik apa dari antigen tersebut yang membuatnya bersifat alergen. Dua dari beberapa
sitokin yang disekresi oleh sel Th2 atau sel Tfh yang diaktifkan oleh antigen yang sama adalah
interleukin (IL)-4 dan IL-13. Sitokin tersebut merangsang limfosit B berubah menjadi sel plasma
yang memproduksi IgE. Oleh karena itu, individu atopik menghasilkan banyak antibodi IgE
sebagai respons terhadap antigen yang tidak menimbulkan respons IgE pada orang lain.
Kecenderungan terhadap perkembangan sel T yang menghasilkan IL-4, produksi IgE, dan
hipersensitivitas cepat memiliki dasar genetik yang kuat; suatu risiko utama untuk berkembang
menjadi alergi adalah riwayat keluarga dengan penyakit atopik.

- Aktivasi Sel Mast dan Sekresi Mediator


pada individu atopik, sel mast diselubungi dengan antibodi IgE spesifik untuk antigen
yang menimbulkan alergi pada individu tersebut. Proses penyelubungan sel mast oleh IgE
disebut sensitisasi, karena penyelubungan dengan IgE spesifik antigen membuat sel mast sensitif
terhadap aktivasi oleh pertemuan berikutnya dengan antigen tersebut. Sebaliknya, pada individu
normal, sel mast membawa molekul IgE dengan banyak spesifisitas yang berbeda, karena banyak
antigen dapat menimbulkan sedikit respons IgE, dan jumlah IgE yang spesifik untuk setiap
antigen tidak cukup banyak untuk mencetuskan reaksi hipersensitivitas cepat setelah paparan
antigen tersebut berikutnya. Sel mast ada pada semua jaringan ikat, khususnya di bawah epitel,
dan biasanya terletak berdekatan dengan pembuluh darah. Sel mast mana yang diaktivasi oleh
pengkaitan silang IgE spesifik alergen seringkali tergantung pada jalur masuknya alergen.
Contohnya, alergen yang terhirup mengaktivasi sel mast di jaringan submukosa bronkus,
sedangkan alergen yang tertelan mengaktivasi sel mast di dinding usus. Reseptor afinitas tinggi
untuk IgE, disebut FcERI terdiri dari tiga rantai polipeptida, salah satunya mengikat bagian Fe
dari rantai berat £ dengan sangat kuat, dengan suatu Kd sekitar 10-11 M. (Konsentrasi IgE di
plasma sekitar 10-9 M, yang menjelaskan mengapa pada individu normal sekalipun, sel mast
selalu diselubungi oleh IgE yang terikat FcERI.) Dua rantai lain dari reseptor adalah protein
pemberi sinyal. FcERI yang sama juga ada di basofil, sel yang berada dalam darah dengan
banyak sifat sel mast.
Pada waktu sel mast yang tersensitisasi IgE terpapar alergen, sel diaktivasi mensekresi
mediator-mediatornya. Aktivasi sel mast ditimbulkan dari pengikatan alergen pada dua atau lebih
antibodi IgE pada sel. Ketika ini terjadi, molekul FcERI yang membawa IgE terkait silang,
memicu sinyal biokimia dari rantai transduksi sinyal FcERI. Sinyal tersebut memicu tiga jenis
respons sel mast: pelepasan cepat isi granula (degranulasi), sintesis dan sekresi mediator lipid,
dan sintesis dan sekresi sitokin.
Mediator paling penting yang diproduksi oleh sel mast adalah amine vasoaktif dan
protease yang disimpan dan dilepaskan dari granula, dan produk yang baru dibentuk dan
disekresikan dari metabolisme asam arakidonat, dan sitokin . Mediator-mediator ini memiliki
efek yang berbeda. Amine utama, histamin, menyebabkan dilatasi pembuluh darah,
meningkatkan permeabilitas vaskuler, dan merangsang kontraksi sementara otot polos. Protease
dapat menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Metabolit asam arakidonat termasuk
prostaglandin, menyebabkan dilatasi vaskuler, dan leukotrien, yang merangsang kontraksi
berkepanjangan otot polos. Sitokin mencetuskan inflamasi lokal (reaksi fase lambat,
dideskripsikan berikutnya). Dengan demikian, mediator sel mast bertanggung jawab pada reaksi
vaskuler dan otot polos akut dan inflamasi, tanda khas hipersensitivitas segera.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast merangsang pengerahan leukosit, yang
menyebabkan reaksi fase lambat. Leukosit utama yang terlibat dalam reaksi ini adalah eosinofil,
neutrofil, dan sel Th2. Tumor necrosis factor (TNF) dan IL-4 dari sel mast menyebabkan
inflamasi yang banyak neutrofil dan eosinofil. Kemokin yang diproduksi oleh sel mast dan sel
epitel di jaringan juga berperan pada pengerahan leukosit. Eosinofil dan neutrofil melepaskan
protease, yang menyebabkan kerusakan jaringan, dan sel Th2 dapat memperberat reaksi dengan
memproduksi lebih banyak sitokin. Eosinofil adalah komponen yang menonjol pada reaksi alergi
dan merupakan penyebab penting kerusakan jaringan pada reaksi ini. Sel tersebut diaktivasi oleh
sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel Th2, sel limfoid alami, dan sel mast.

- Reaksi hipersensitivitas cepat mempunyai gambaran klinis dan patologis yang berbeda
1. Beberapa reaksi ringan, seperti rinitis alergi dan sinusitis, yang banyak terlihat pada hay
fever, adalah reaksi terhadap alergen yang terhirup, seperti protein dari serbuk sari. Sel mast
di mukosa nasal menghasilkan histamin, dan sel Th2 menghasilkan IL13, dan dua mediator
ini menyebabkan peningkatan produksi mukus. Reaksi fase lambat dapat menyebabkan
inflamasi berkepanjangan.
2. Pada alergi makanan, alergen yang tertelan memicu degranulasi sel mast, dan pelepasan
histamin menyebabkan peningkatan peristalsis, dengan muntah dan diare.
3. Asma bronkial adalah bentuk dari alergi saluran napas di mana alergen yang terhirup
(seringkali tidak diketahui) merangsang sel mast bronkus melepaskan mediator, termasuk
leukotrien, yang me - nyebabkan serangan berulang konstriksi bronkial dan obstruksi jalan
napas. Pada asma kronik, terdapat banyak eosinofil terakumulasi di mukosa bronkus, sekresi
berlebihan mukus di saluran napas, dan otot polos bronkus menjadi hipertrofi dan hiperaktif
terhadap berbagai stimuli. Beberapa kasus asma tidak berkaitan dengan produksi IgE,
meskipun semua disebabkan oleh aktivasi sel mast. Pada beberapa orang yang terkena, asma
mungkin dipicu oleh dingin atau olahraga; di mana penyebab aktivasi sel mast masih belum
diketahui.
Bentuk yang paling berat hipersensitivitas tipe cepat adalah anafilaksis, reaksi sistemik
yang ditandai edema pada banyak jaringan, termasuk laring, disertai oleh penurunan tekanan
darah dan bronkokonstriksi. Pencetus anafilaksis paling sering adalah sengatan lebah, injeksi
atau konsumsi antibiotika golongan penisilin, konsumsi kacang atau kerang. Reaksi ini
disebabkan oleh degranulasi sel mast yang tersebar luas sebagai respons terhadap distribusi
sistemik antigen, dan keadaan ini mengancam nyawa ka rena penurunan mendadak tekanan
darah dan obstruksi jalan napas.
2. Hipersensitivitas tipe II atau Antibody-mediated

Disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R. Sel NK dapat berperan sebagai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui Antibody Dependent Cell (mediated) Cytotoxicity.
Karakteristik hipersensitivitas tipe II ialah pengerusakan sel dengan mengikat antibodi yang
spesifik pada permukaan sel. Kerusakan sel yang terjadi utamanya bukan merupakan hasil
pengikatan antibodi, ini tergantung pada bantuan limfosit lainnya atau makrofag atau pada sistem
komplemen. Manifestasi yang sering dari reaksi hipersensitivitas reaksi ini melibatkan sel-sel
darah, sel jaringan lainnya dapat juga 6 diikutsertakan.

Inflamasi : Antibodi terhadap antigen Jaringan dan kompleks imun yang terdeposit dalam
pembuluh darah mencetuskan inflamasi dengan menarik dan mengaktifkan leukosit. Antibodi
IgG subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktifk.an
leukosit ini, menghasilkan inflamasi. Antibodi yang sama, maupun IgM, mengaktivasi sistern
komplemen dengan jalur klasik, menghasilkan komplemen yang mengerahkan Ieukosit dan
mencetuskan inflamasi. Saat leukosit dfaktivasi pada tempat deposisi antibodi, sel-sel ini
melepaskan spesies oksigen reaktif dan enzim lisosomal yang merusak jaringan sekitar.

Opsonisasi dan fagositosis : Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel-sel
diopsonisasi, dapat ditelan dan dihancurkan oleh fagosit inang.

Respons seluler abnormal : Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa mecetuskan
langsung kerusakan jaringan. Misalnya, antibodi terhadap reseptor hormon dapat menghambat
fungsi reseptor; pada beberapa kasus miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin
menghambat transmisi neuromuskular, menyebabkan paralisis. Antibodi Iain dapat langsung
mengaktivakan reseptor, menyerupai ligan fisiologisnya. Dalam salah satu bentuk
hipertiroidisme yang d1sebut Graves' disease, antibodi terhadap reseptor untuk thyroid-
stimulating hormone (TSH) merangsang sel-sel tiroid bahkan saat tidak ada hormon tersebut.

3. Hipersensitivitas tipe III atau Immune complex-mediated

Antibodi dapat berikatan dengan antigen dalam darah membentuk kompleks imun atau kompleks
antigen-antibodi. Kompleks tersebut akan terdeposit di dalam pembuluh darah dan menyebabkan
terjadinya inflamasi, kompleks imun ini tidak saja mengaktifkan komplemen, tetapi juga
makrofag, granulosit, dan trombosit (melalui reseptor Fc). Pada dinding pembuluh darah dan
kerusakan jaringan karena gangguan aliran darah. Dimana antibodi IgG dan IgM biasanya
mengikat antigen di sirkulasi dan penyimpanan kompleks antigen- antibodi dalam jaringan). dan
merangsang inflamasi. Leukosit yang dipanggil (neutrofil dan monosit) menghasilkan kerusakan
jaringan dengan melepaskan enzim lisosomal dan generasi radikal- radikal bebas yang toksik.
4. Hipersensitivitas tipe IV ( Tipe lambat )

Penyebab utama reaksi hipersensitivitas seluler adalah autoimunitas dan respons yang
berlebihan atau berlangsung terus terhadap antigen lingkungan. Reaksi autoimun biasanya
langsung melawan antigen seluler pada jaringan tertentu. Oleh karena itu, penyakit autoimun
seluler cenderung terbatas pada beberapa organ dan biasanya tidak sistemik. Contoh reaksi
hipersensitivitas seluler terhadap antigen lingkungan termasuk sensitivitas kontak terhadap bahan
kimia (misalnya berbagai macam obat terapeutik dan bahan bahan yang ditemukan pada tanaman
seperti racun iry). Kerusakan jaringan juga menyertai respons sel T terhadap mikroba. Sebagai
contoh, pada tuberkulosis, respons imun seluler terhadap antigen protein Mycobacterium
tuberculosis, di mana respons menjadi kronis karena infeksi sulit dieradikasi. Inflamasi
granulomatosa yang dihasilkan menyebabkan kerusakan pada jaringan normal pada lokasi
infeksi. Aktivasi sel T poliklonal yang berlebihan oleh toksin mikroba tertentu yang diproduksi
oleh beberapa bakteri dan virus dapat memicu produksi banyak sitokin inflamasi, menimbulkan
sindrom yang serupa syok septik. Toksin-toksin tersebut disebut superantigen karena mereka
merangsang banyak sel-sel T. Superantigen terikat pada bagian invariant reseptor sel T pada
banyak klon sel T yang berbeda, terlepas dari spesifisitas antigen, sehingga mengaktivasi sel-sel
tersebut.
Pada penyakit yang diperantarai sel T yang lain, kerusakan jaringan disebabkan oleh inflamasi
yang dicetuskan oleh sitokin yang dihasilkan oleh sel T co4+ atau oleh pembunuhan sel inang
oleh CTLs cos+.
Sel T CD4+ dapat bereaksi melawan antigen sel atau jaringan dan mensekresi sitokin yang
mencetuskan inflamasi local dan mengaktifkan makrofag. Penyakit yang berbeda dapat berkaitan
dengan aktivasi selsel Thl dan Thl 7. Sel Thl adalah sumber IFNy, sitokin utama yang
mengaktivasi makrofag, dan sel Thl 7 yang dianggap bertanggung jawab untuk pengerahan
leukosit, termasuk neutrofil. Kerusakan jaringan pada penyakit ini disebabkan terutama oleh
makrofag dan neutrofil. Reaksi khas yang diperantarai oleh sitokin sel T adalah hipersensitivitas
tipe lambat (DTH), disebut demikian karena terjadi 24 sampai 48 jam setelah seseorang yang
sebelumnya telah terpapar antigen protein diberikan antigen terse but Uadi reaksi muncul
lambat). Keterlambatan ini terjadi karena membutuhkan waktu beberapa jam supaya limfosit T
efektor dalam darah dapat berada di tempat pemberian antigen, memberikan respons terhadap
antigen di tempat tersebut, dan menghasilkan sitokin yang menyebabkan reaksi yang terlihat.
Reaksi DTH ditandai oleh infiltrasi sel T dan monosit darah pada jaringan, edema dan deposisi
fibrin yang disebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler sebagai respons terhadap sitokin yang
dihasilkan oleh sel T CD4+, dan kerusakan jaringan yang disebabkan produk leukosit, terutama
dari makrofag yang diaktifkan oleh sel T (Gambar 11-12). Reaksi DTH sering digunakan untuk
menentukan jika seseorang sebelumnya telah terpapar dan memiliki respons terhadap suatu
antigen. Misalnya reaksi DTH terhadap suatu antigen mikobakterial, PPD (purified protein
derivative), adalah indikator respons sel T tehadap mikobakteria. Hal ini menjadi dasar tes kulit
untuk PPD, digunakan untuk mendeteksi infeksi mikobakteriaum aktif atau lampau.
Sel T CDS+ spesifik terhadap antigen pada sel inang dapat langsung membunuh selsel tersebut.
Sel T CDS+ juga menghasilkan sitokin yang mencetuskan inflamasi, namun biasanya bukan
merupakan sumber utama sitokin pada reaksi imun. Pada kebanyakan penyakit autoimun yang
diperantarai sel T, terdapat baik sel T CD4+ dan ens+ yang spesifik untuk antigen diri, dan
keduanya berperan dalam kerusakan jaringan.

2.5 Mahasiswa/I mampu menjelaskan berbagai factor risiko penyakit pada scenario
dikaitkan dengan gejala dan tanda yang ditemukan pada reaksi hipersensitivitas yang
menyebabkan bercak merah.

1. Kandungan dari detergen


Deterjen mengandung zat kimia seperti zat pengalkali, builders dan surfaktan. Surfaktan
merupakan komponen utama deterjen, memiliki tipe anionik berbentuk sulfat dan
sulfonat. Surfaktan tipe anionik berefek toksisitas sedang berupa efek akut seperti iritasi
kulit dan membran mukosa. Surfakan merusak merusak sel dermal secara langsung
dengan absorpsi langsung melewati membran sel kemudin merusak sistem sel.
Mekanisme selanjutnya, setelah adanya sel yang mengalami kerusakan maka akan
merangsang pelepasan mediator inflamasi ke daerah tersebut oleh sel T maupun sel mast
secara nonspesifik. Setelah kulit terpapar bahan kimia akan menembus ke dalam sel kulit
kemudian mengakibatkan kerusakan sel.
Kelainan kulit karena bahan iritan terjadi karena kerusakan sel secara kimiawi atau fisik.
Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan
tanduk dan mengubah daya ikat kulit terhadap air. Kerusakan yang terjadi mengakibatkan
peradangan klasik ditempatbterjadinya kontak dengan kelainan berupa eritema, edema,
panas, nyeri.

2. Lama Kontak
Lama kontak mempunyai peran penting dalam terjadinya Dermatitis Kontak Akibat Kerja
(DKAK). Semakin lama kontak dengan agen penyebab dapat menyebabkan kerusakan sel
Kulit bagian luar, sehingga semakin lama waktu yang digunakan untuk melakukan
kontak akan berakibat semakin buruk Kerusakan sel kulit yang terjadi.

3. Penggunaan pelembab
Personal hygiene dari ibu rumah Tangga dalam penelitian ini juga tidak diketahui,
memilih deterjen yang tidak berisiko iritan terhadap kulit dan menggunakan Produk
perawatan/pelembab setelah membersihkan tangan dari deterjen dapat meminimalkan
risiko dermatitis kontak.

4. Usia
merupakan faktor risiko pertama yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan atau
penyakit yang sesuai dengan skenario. Semakin bertambahnya usis menandakan sesorang
mulai mengalami proses penuaan. Proses penuaan ini akan berpengaruh pada tubuh
termasuk kulit. Pada kulit yang menua terjadi penipisan lapisan epidermis akibat
penurunan regenerasi dari stratum korneum sehingga mudah terjadi kerusakan pada
epidermis akibat kontak dengan bahan kimia maupun alergen. Selain itu, terjadi atrofi
pembuluh darah progresif disertai dengan pemendekan lengkung kapiler. Perubahan pada
tingkat mikrovaskular ini menyebabkan bersihan zat kimia pada orang yang sudah tua
menjadi lebih lambat.

5. Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin menjadi faktor yang kontroversial. Namun, reaksi hipersensitivitas
lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki. hal ini disebabkan perempuan
biasa mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, membersihkan
rumah dan pekerjaan rumah lainnya dimana dalam pekerjaan tersebut menggunakan
sabun maupun
bahan kimia. Kandungan yang terkandung dalam sabun maupun bahan kimia tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi hipersensitivitas sehingga perempuan memiliki risiko
lebih besar terkena gangguan tersebut daripada laki-laki.

6. Genetik
Terdapat satu hipotesis bahwa kemampuan individu untuk menetralisir radikal bebas,
menyesuaikan jumlah enzim antioksidan dan membentuk heat shockprotein (HSP)
dipengaruhi secara genetik. Faktor tersebut memengaruhi variabilitas respons individu
terhadap berbagai iritan. Pada dermatitis kontak alergi, untuk menginduksi reaksi imun
spesifik selain sensitisasi terhadap alergen kontak yang memadai dan pajanan ulang
terhadap bahan yang sama pada episode selanjutnya, individu harus memiliki kepekaan
secara genetik.

7. Kelainan Kulit yang Telah Ada Sebelumnya


Hal ini disebabkan adanya kontak terus menerus terhadap bahan kimia maupun alergen yang
menyebabkan kulit sering terpapar. Hal ini sesuai dengan skenario yang ada dimana
bercak kemerahan tersebut terjadi setelah mencuci dan terjadi secara berulang. Gangguan
yang berulang ini menyebabkan peningkatan risiko terjadinya reaksi hipersensitifitas
karena pertahanan kulit yang menurun.

BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Reaksi hipersensitivitas merupakan respon imun yang menyebabkan kerusakan jaringan


atau patologis terkadang dapat menyebabkan respons peradangan yang berlebihan. Dengan kata
lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan yang dianggap asing
atau berbahaya oleh organisme. Bahan yang dapat menyebabkan hipersensitivitas disebut
alergen. Reaksi alergi terjadi pada tubuh saat tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai
bahaya dan dapat disebabkan oleh reaksi terhadap antigen asing seperti agen infeksi dan bahan
kimia. Seperti skenarionya, deterjen diketahui mengandung bahan kimia yang menyebabkan
sang ibu mengalami kemerahan pada daerah tangan. Menurut Gell dan Coombs, reaksi
hipersensitivitas dibagi menjadi empat kategori (tipe I-IV) berdasarkan mekanisme dan durasi
hipersensitivitasnya: hipersensitivitas tipe I atau hipersensitivitas langsung, tipe II atau
hipersensitivitas yang dimediasi antibodi, tipe III atau kompleks imun. dan hipersensitivitas tipe
IV yang dimediasi oleh sel T. Mekanisme alergi disebabkan karena adanya induksi IgE yang
spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. sehingga
memicu terjadinya reaksi yang sesuai pada scenario.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Imunologi dasar abbas: fungsi dan kelainan sistem
imun. 5th ed. Singapore: Elsevier; 2016
2. Iasb. At a Glance Teachers’ Pension Plan Annual Report. 12 ed. 2020. 123–8 hal
3. Sembodo, “DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf12324 Lama Kontak Deterjen dan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Ibu Rumah Tangga Tjatur Sembodo,” vol. 12, no. 4,
pp. 326–328, 2021.
4. Hadi A, Pamudji R, Rachmadianty M. Hubungan faktor risiko kejadian dermatitis kontak
tangan pada pekerja bengkel motor di kecamatan plaju.Okupasi: Scientific Journal of
Occupational Safety & Health. 2021:1 (1).13-27p.
5. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Robbins buku ajar patologi. Edisi 9.Jakarta: EGC;
2014. 35-11p
6. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins Basic Pathology.10th ed. Elsevier. Philadelphia;
2017

Anda mungkin juga menyukai