Sejarah singkat Freeport sendiri menarik untuk diteliti dari segi politik. Awal mula penambangan
diawali dengan penemuan gunung emas oleh seorang peneliti dari Belanda bernama Jean Jacques
Dozy (1963) menemukan tambang tembaga di Papua, bukan emas pada awalnya, akhirnya
dilakukan eksplorasi lebih lanjut dan ditemukanlah ada gunung emas di sana. Sisi politiknya adalah
ketika konteks agresi Belanda pasca kemerdekaan di mana terjadi perebutan Papua. Amerika waktu
itu mendukung agar Papua dimiliki Indonesia dan mengancam Belanda agar menyerahkan Irian
Barat. Barangkali ini bisa dicurigai sebagai motif Amerika karena adanya temuan gunung emas tadi
agar ke depannya Amerika lebih gampang berkoordinasi dengan Indonesia ke depannya. Namun,
Amerika kecewa karena Bung Karno menolak Amerika mengolah tambang emas di Papua. Bung
Karno sadar betul eksploitasi dan kolonialisasi bentuk baru akan terjadi dengan pengolahan
diserahkan ke Amerika dan itu terbukti sekarang. Selanjutnya, jangan-jangan pelengseran Soekarno
juga akibat dari kekecewaan Amerika tsb. Ada beberapa bukti dan beberapa buku yang membahas
bagaimana peran CIA terhadap penembakan Bung Karno dan menaikkan Soeharto.
Selepas Bung Karno lengser ada yang aneh dalam hubungan antara Indonesia dan Amerika. 11 Maret
1966 Supersemar ditandatangani, 20 Maret MoU balas budi Indonesia ke Amerika ditandatangani,
Oktober 1966 sudah ada rancangan kontrak karya (KK), dan untuk memudahkan Kontrak Karya (KK)
di Papua itu, maka dibentuklah UU Penanaman Modal Asing dan 10 Januari 1967 sudah terbit UU
No.1/1967 tentang modal Asing disahkan, isinya melegalkan Amerika untuk mengelola tambang
Papua dan 12 Maret 1967 MPRS menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Sejak itu banyak terjadi
keanehan yang sebenarnya menabrak norma-norma perdagangan internasional. Misalnya, KK
pertama ditentukan lama konsesi 30 tahun, di situ tidak ada bagian saham untuk Indonesia dan
berlangsung selama bertahun-tahun. Baru tahun 1976, Indonesia mendapat saham 8,5% padahal itu
tambangnya Indonesia. Dan selama 50 tahun sampai sekarang hanya 9,36% persen.
Mengapa hal itu terjadi? Hal ini karena adanya skandal-skandal. Skandal Jilid I, beberapa tahun lalu
ada skandal Papa Minta Saham (yang sekarang sudah ditangani KPK), skandal itu sebenarnya persis
yang terjadi tahun 1997 di mana KK pertama selesai lalu diperpanjang, 6 tahun sebelumnya sudah
diadakan perundingan. Di perundingan tersebut harusnya Indonesia dapat saham 20% tapi karena
ada skandal (waktu itu menterinya Ginanjar) di mana terdapat pengusaha dan penjual pabrik juga
ikut berunding akhirnya disepakati KK sampai 2021 dan saham jatah pemerintah 20% itu dibagi-bagi
dengan beberapa pengusaha, dibeli dengan murah sekali, saat harganya naik oleh mereka
(pengusaha) dijual lagi ke Freeport. Jadi, sahamnya negara itu dibagi-bagi ke perusahaan yang ikut
negosiasi perpanjangan itu tadi, sehingga pada perpanjangan kedua pun Indonesia hanya dapat
sisanya, 9,36%. Ini menabrak norma-norma internasional dalam melakukan joint venture, Royaltinya
pun kecil 1% – 3,5%, pajak juga kecil itu pun ada manipulasi juga, jadi, selama 50 tahun Indonesia
tidak dapat apa-apa. Hanya royalti 1% dan saham 9,36% pun dividennya tidak pernah dibagi untuk
rakyat, katanya untuk pendapatan negara dan investasi. Dan yang paling berat, kita pun tak pernah
bisa menghitung berapa tambang yang telah dieksploitasi, karena yang diekspor adalah bentuk
konsentrat yang itu nilainya berlipat-lipat jika telah dihilirisasi, nah masalahnya smelterisasi itu pun
di luar (bukan di Indonesia), jadi kita tidak pernah dapat mengontrol. Maka, tawaran Jonan tadi,
smelterisasi harus di Indonesia. Skandal
Skandal jilid I terulang pada di 2004, disebut skandal jilid II, waktu itu dibongkar oleh Sudirman Said.
Modusnya sama persis, saham 20% yang dijanjikan diberikan ke Jokowi dan JK tapi dibagi-bagi tapi
karena dibongkar itu gagal. Skandal Freeport Jilid III pun sama ya, modus meminta saham 20% PTFI
dengan mencatut nama presiden dan meminta saham PLTA yang akan dibangun di Papua,
melibatkan eksekutif PTFI, ketua DPR dan pengusaha Muhammad Reza Chalid. Freeport setiap
memilih direktur selalu dari kalangan militer atau Intel, mereka tidak membutuhkan kalangan
profesional, semua manajemen dan tambang dikendalikan di New York, mereka hanya butuh
keamanan. Jadi, kalau kita dengar ada penyanderaan seperti kemarin, tidak bisa disalahkan juga,
karena memang rakyat Papua tertindas. Mereka (rakyat Papua) tahu Freeport itu kaya tapi
penduduknya miskin. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang menimpa banyak rakyat Papua itu karena
ada warga di sana yang mengambil emas di sungai meskipun sungai itu jauh dari PT. Freeport
namun mereka ditembaki oleh tentara kita yang dibayar oleh Freeport. Di sisi lain, PTFI sebenarnya
banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran, seperti:
Pelanggaran selanjutnya adalah pelanggaran UU 4/2009 yang berbunyi: tidak boleh mengekspor
dalam bentuk konsentrat tanpa dimurnikan (harus dihilirkan di dalam negeri) dan itu diberikan
tenggang waktu 5 tahun, tapi PTFI menentang dan selalu mengancam akan menghentikan produksi,
PHK karyawan dan melaporkan ke arbitrase internasional.
Sudirman Said dan Jero Wacik akhirnya melakukan relaksasi kebijakan dengan selalu memberikan
izin ekspor konsentrat karena ancaman tsb. Padahal itu menentang UU. Nah, berbeda dengan
periode Jonan yang berani menentang. RI satu sebelumnya lebih lunak, tetapi Jokowi melalui Jonan
mulai keras, itulah yang mengawali perundingan yang lebih intensif tadi. Jonan menawarkan
alternatif lain untuk mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dr. Fahmy pada
awalnya sempat protes: mengapa kita tidak ambil saja tahun 2021 pas selesai kontrak? Mengapa
harus menggunakan IUPK yang akan diperpanjang 20 tahun lagi? Jonan menjelaskan: kita tidak bisa
ambil begitu saja 2021 karena dalam KK 1997 ada satu pasal bahwa untuk mengakhiri atau
mengambil alih Freeport harus persetujuan dari kedua belah pihak, kalau Freeport tidak setuju maka
tidak bisa diambil dan dan bisa di laporkan ke mahkamah internasional. Jadi, perubahan ke IUPK itu
sebenarnya strategi transisi, dengan mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi,
antara lain:
Sistem fiskal prevailling (besaran pajak yang berubah seiring dengna perubahan peraturan pajak di
Indonesia)
Saat awal ditawarkan CEO Freeport McMoran lagi-lagi mengancam akan mengadukan ke arbitrase,
tapi dengan mengamati harga saham McMorran, Dr. Fahmy mengatakan bahwa itu hanya gertak
sambal. Asumsinya, kalau dia melakukan itu dan produksinya berhenti pasti harga saham McMorran
akan jatuh, tidak ada perpanjangan saja sudah jatuh, jadi itu berpotensi akan membangkrutkan
saham McMoran. Dan berdasarkan data saham, itu terbukti.
Ketika Pemerintahan Jokowi berkelas, McMoran akhirnya mulai melemah, waktu itu dia berunding
dengan Jonan dan Sri Mulyani, Richard pun menyetujui mengubah KK menjadi IUPK dan menyetujui
prasyarat tadi. Mengapa ia berubah? Jonan bilang karena Jokowi berkelas. Hanya masalahnya
sampai sekarang meskipun kesepakatan dasar telah disetujui tapi metode penetapan harga saham
belum disepakati, tadi di depan Dr. Fahmy mengatakan bahwa PT FI menghendaki memasukkan aset
perhitungan sampai 2041, tapi Indonesia minta sampai 2021. Kalau mengikuti metode PTFI maka
tidak bisa dibeli, kalau dari hitungan Indonesia itu bisa dibeli. Maka, kita mencoba jalan tengah
dengan cara market valuation, kita menilai harga saham Mc Morran di New York, di situ dihitung
berapa kontribusi PTFI ke McMorran yang waktu itu ada 8%. Artinya kita mengasumsikan
pergerakan saham di McMorran mencerminkan nilai perusahaan yang ada di Indonesia, karena di
perusahaan lain yang ada di Brazil dan Afrika itu kecil sekali. Akan ada internasional consultant
independen yang ditunjuk oleh PTFI dan pemerintah Indonesia untuk menghitung konsep tsb. Nah
ini yang di media Dr. Fahmy katakan Jonan’s scenario. Berhasil tidaknya, ini kita masih menunggu.
Terakhir, kaitannya dengan siapa yang akan membeli sahamnya? Indonesia dengan APBN jelas tidak
akan sanggup. Jadi siapa? Satu-satunya adalah konsorsium perusahaan tambang. Akhir-akhir ini Rini
Soemarno telah membuat holding gabungan perusahaan tambang, sudah ada tiga perusahaan
tambang di Indonesia (PT. Aneka Tambang Tbk, PT Bukti Asam Tbk, PT Timah Tbk) yang disatukan
dan dari gabungan ketiga perusahaan tambang itu asetnya memenuhi untuk membeli. Kalaupun
tidak ada yang membeli, dari ketiga aset yang begitu besar itu memungkinkan untuk memperoleh
pinjaman dari lembaga keuangan internasional maupun dari luar negeri, dan itu mereka akan
mengantre malahan. Nah, PTFI ini ternyata FDI, harusnya dapat uang, tapi dia tidak, di menggunakan
KK dan melampirkan hasil penelitian tentang cadangan, itu yang untuk membiayai investasi
underground dan seluruh operasionalisasi di Papua, jadi diperkirakan yang di underground mining
itu luar biasa besarnya bahkan ada uranium, yang selama 50 tahun itu dirampok oleh Amerika.
Alternatifnya adalah nasionalisasi sesuai pasal 33, namun sekarang sangat berisiko, berbeda dengan
jaman Soekarno dulu. Sekarang jika dilakukan nasionalisasi akan diadukan arbitrase internasional,
efeknya akan dikucilkan dan bahkan diserang tentara AS, akan memerdekakan Papua. Maka, melalui
strategi IUPK itu sudah yang paling tepat, pada saatnya kita divestasi 51% setiap pengambilan
keputusan kita bisa mengambil alih operasional. Apakah mampu Indonesia mengelola? Mampu,
karena 95% pegawai PTFI itu saja Indonesia.
(Dr. Fahmy Radhi, M.B.A, 2017, Pusat studi perdagangan dunia, UGM,
https://cwts.ugm.ac.id/en/2017/12/07/analisis-ekonomi-politik-pt-freeport-dalam-perdagangan-
dunia/ )
Latar belakang
Freeport merupakan perusahaan asal Amerika Serikat yang kehadirannya cukup kontroversial di
Indonesia. Perusahaan Freeport yang melakukan penambangan di Indonesia, PT Freeport Indonesia,
merupakan afiliasi langsung dari Freeport yang berasal dari Amerika Serikat, yaitu Freeport-
McMoran. Praktik yang dilakukan Freeport di Indonesia adalah praktik penambangan dari berbagai
sumber daya alam, seperti tembaga, emas, dan perak. Operasi Freeport di Indonesia ini dilakukan di
Mimika, Papua, Indonesia.
Sejarah awal Freeport masuk ke Indonesia bermula dari adanya UU Nomor 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Soeharto. Pada bulan April 1967, berbekal UU yang baru
disahkan tersebut, Freeport berhasil masuk ke Indonesia. Penandatangan kontrak karya selama 30
tahun antara pemerintah Indonesia dan Freeport menjadi awal dari sejarah panjang Freeport di
Indonesia.
Setelah ditandatangani, baru terlihat ada beberapa hal yang kurang beres dalam kontrak “generasi
pertama” antara Freeport dengan Indonesia ini. Dalam kontrak tersebut, Freeport mendapatkan
keistimewaan bebas pajak selama tiga tahun, pemotongan pajak sebesar 35 persen untuk 7 tahun
setelahnya, dan bebas dari pajak atau royalti selain 5 persen pajak penjualan.
Selain tentang perluasan wilayah, kontrak karya II ini pun mengisyaratkan satu hal penting, yaitu
adanya divestasi saham dari Freeport ke Indonesia. 10 tahun pertama, yaitu tepatnya hingga tahun
2001, Freeport sudah harus memberikan sahamnya ke pemerintah Indonesia sebesar 10 persen.
Sedangkan di tahun 2011, Freeport sudah harus melakukan divestasi saham ke Pemerintah
Indonesia sebesar 51 persen. Meskipun perjanjiannya seperti itu, divestasi saham 51 persen tersebut
baru terjadi di tahun 2018 ini.
Freeport Indonesia diketahui telah melakukan pelanggaran hukum dengan merusak lingkungan di
sekitar tambang Grasberg. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menemukan
setidaknya 47 pelanggaran. Ekosistem mulai dari sungai, kawasan hutan mangrove, hingga lautan
pun terkena dampak akibat limbah pertambangan. Pencemaran ini berasal dari kolam penampungan
limbah pasir sisa tambang atau yang sering dikenal dengan istilah Modified Ajkwa Deposition Area
(ModADA). Metode ini dianggap buruk karena tidak ramah lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun memberikan sanksi administratif pada Freeport.
Sanksi tersebut berupa kewajiban bagi Freeport untuk merehabilitasi lingkungan dan memantau
limbah hasil tambang. Jika tidak, kementerian mengancam pembekuan operasi Freeport sampai
kerusakan lingkungan tersebut ditangani.
Selain lingkungan, pelanggaran lain yang dilakukan oleh Freeport Indonesia adalah dengan
melakukan pelanggaran HAM. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling terkenal dilakukan
oleh Freeport Indonesia adalah ketika runtuhnya terowongan Big Gossan di tahun 2013. Kecelakaan
tambang yang menewaskan 28 pekerja Freeport ini dianggap sebagai tindakan pelanggaran HAM
karena Freeport Indonesia tidak memerhatikan kondisi tempat pekerjanya sebagai bagian dari hak
hidup pekerja. Pelanggaran ini tentu saja perlu ditindaklanjuti dengan tegas agar kedepannya tidak
ada lagi kelalaian-kelalaian yang dapat merenggut nyawa pekerja.
Hadirnya Freeport di Indonesia, 51 tahun setelah kontrak karya I ditandatangani, masih menjadi
polemik yang berkelanjutan. Rezim demi rezim berganti, masih saja Freeport seolah berada di atas
angin dan mengendalikan Pemerintah Indonesia. Sudah saatnya Pemerintah Indonesia dapat
mengambil tindakan tegas agar pelanggaran dan kecurangan operasional tidak lagi terjadi di
Indonesia. Divestasi saham 51 persen yang sedang diperjuangkan hari ini dapat menjadi satu
momentum yang baik untuk perjanjian yang lebih adil antara Indonesia dan Freeport ke depannya.
(Hafizh Mulia — Asumsi.co, Sejarah Freeport di Indonesia dan Mengapa Keberadaannya Begitu
Kontroversial, 2021, https://asumsi.co/post/56402/inilah-sejarah-dan-pelanggaran-pelanggaran-
yang-dilakukan-freeport-selama-di-indonesia/ )
Analisis
Salah satu kasus bisnis dan ekonomi internasional yang signifikan yang melibatkan Indonesia adalah
kasus Freeport-McMoRan, perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat yang memiliki operasi di
Indonesia, terutama di Papua. Kasus ini melibatkan berbagai aspek seperti regulasi bisnis, kontribusi
terhadap perekonomian Indonesia, dampak sosial dan lingkungan, serta negosiasi kontrak kerja
sama antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan tersebut.
Pada tahun 2017, pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan untuk mengakuisisi
mayoritas saham Freeport Indonesia dari Freeport-McMoRan, sebagai bagian dari upaya untuk
meningkatkan kontrol negara terhadap sumber daya alam. Kesepakatan ini merupakan langkah
penting dalam upaya pemerintah untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari sektor
pertambangan bagi kepentingan nasional.
Kasus ini menggambarkan pentingnya kerjasama antara sektor swasta dan pemerintah dalam
mengelola investasi asing, serta perlunya transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan nasional yang
diutamakan dalam setiap perjanjian kerja sama bisnis internasional.
Referensi:
1. “Indonesia Reaches Agreement with Freeport on New Mining Permit.” Reuters, 2018.
2. Hadiz, Vedi R. (ed.). “Resource Governance and Developmental States in the Global Economy:
Critical Perspectives on China and Southeast Asia.” Palgrave Macmillan, 2013.
Kasus Freeport-McMoRan di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan melibatkan berbagai
perspektif, termasuk ekonomi, budaya, politik, hukum, serta dampak sosial dan lingkungan. Berikut
adalah penjelasan detail mengenai setiap perspektif tersebut:
A. Perspektif Ekonomi:
Dari segi ekonomi, kasus Freeport-McMoRan melibatkan pemanfaatan sumber daya alam yang
menjadi aset penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perusahaan ini memiliki kontribusi
signifikan terhadap pendapatan negara melalui pembayaran pajak, royalti, dan dividen. Namun,
seiring dengan itu juga muncul isu terkait kesenjangan ekonomi antara daerah penghasil sumber
daya dan daerah sekitarnya yang belum merasakan manfaat yang sama.
Sebagian dari manfaat ekonomi yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan tersebut cenderung
terpusat di wilayah operasi perusahaan dan tidak merata ke daerah sekitarnya. Hal ini menimbulkan
ketidakadilan sosial dan ekonomi antara masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dengan
masyarakat yang lebih jauh. Ketimpangan pendapatan, akses terhadap lapangan pekerjaan, dan
kesempatan ekonomi dapat menjadi pemicu ketegangan sosial di area tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan perusahaan tambang untuk memastikan bahwa
manfaat ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam didistribusikan secara adil dan merata ke
seluruh masyarakat terutama yang berada di sekitar wilayah operasi. Upaya-upaya seperti program
pengembangan ekonomi lokal, pelatihan keterampilan, investasi infrastruktur, dan mekanisme
transparansi dalam alokasi pendapatan tambang dapat membantu mengurangi kesenjangan
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang.
Dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan secara holistik,
penyelesaian kasus Freeport-McMoRan di Indonesia dapat menjadi contoh bagaimana aktivitas
industri ekstraktif dapat memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal
serta menjaga harmoni dengan nilai-nilai sosial dan lingkungan yang ada.Dari perspektif ekonomi,
kasus Freeport-McMoRan di Indonesia mencakup berbagai aspek yang penting untuk dipahami.
Berikut adalah penjelasan detail mengenai perspektif ekonomi dari kasus tersebut:
Freeport-McMoRan merupakan salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia dan memiliki
kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara melalui pembayaran pajak, royalti, dan dividen.
Hal ini memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional dan pendapatan daerah
tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Referensi:
1. Buku “Sumber Daya Alam Indonesia: Strategi Pemanfaatan, Pengelolaan, dan Pelestariannya” oleh
Surya Darma, Erlangga, 2019.
2. Jurnal “Analisis Dampak Pembayaran Royalti Pertambangan dan Pajak Pertambahan Nilai
terhadap Penerimaan Negara di Indonesia” oleh Della Yosefianny, Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Volume 19, Nomor 1, 2021.
3. Skripsi “Pengaruh Investasi dan Kinerja Perusahaan Tambang Terhadap Kemiskinan dan
Pengangguran di Kabupaten Mimika” oleh Rifki Ahmad Marzuki, Universitas Indonesia, 2018.
B. Perspektif Budaya:
Dari segi budaya, kasus ini memperlihatkan benturan antara nilai-nilai lokal Papua dengan
kepentingan perusahaan multinasional. Masyarakat adat dan suku-suku di Papua memiliki hubungan
kuat dengan tanah dan lingkungan sekitarnya, sehingga aktivitas pertambangan dapat memicu
konflik terkait hak ulayat dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Dari perspektif budaya, kasus Freeport-McMoRan di Indonesia juga memiliki dampak yang signifikan
terhadap budaya lokal, terutama di daerah sekitar wilayah operasinya. Tradisi-tradisi, nilai-nilai, dan
kebiasaan masyarakat adat Papua turut terancam oleh eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan
oleh perusahaan tambang tersebut. Kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual masyarakat adat juga
dapat terganggu akibat perubahan lingkungan yang drastis akibat aktivitas pertambangan yang
intensif.
Pentingnya penghormatan terhadap budaya lokal dan keterlibatan masyarakat adat dalam proses
pengambilan keputusan menjadi pokok penekanan dalam menangani kasus seperti ini. Perlindungan
terhadap keberagaman budaya dan kearifan lokal merupakan bagian integral dari pembangunan
berkelanjutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan warisan
budaya yang melekat pada suatu daerah.
Upaya untuk memperkuat partisipasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan terkait
pengelolaan sumber daya alam, melibatkan mereka dalam perencanaan pembangunan, serta
menghormati hak-hak ulayat menjadi langkah-langkah penting dalam menjaga harmoni antara
perkembangan industri dan keberlangsungan budaya lokal, terutama di daerah yang memiliki nilai-
nilai budaya yang kaya seperti Papua.Berikut adalah penjelasan detail mengenai perspektif budaya
dari kasus tersebut:
1. Dampak terhadap Masyarakat Lokal:
Kasus Freeport-McMoRan juga kerap dikaitkan dengan konflik sosial antara masyarakat lokal,
pemerintah, dan perusahaan. Konflik ini dapat melibatkan isu-isu hak tanah, hak-hak masyarakat
adat, dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini menciptakan ketegangan
yang dapat memengaruhi keharmonisan antara berbagai kelompok budaya di daerah tersebut.
Perubahan dalam pola hidup dan mata pencaharian masyarakat lokal akibat aktivitas tambang juga
dapat memengaruhi identitas budaya mereka. Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal bisa
tersisihkan atau terpinggirkan oleh dominasi budaya korporat yang dibawa oleh perusahaan
tambang asing seperti Freeport-McMoRan.
Di sisi lain, kasus Freeport-McMoRan juga mendorong masyarakat lokal, LSM, dan pemerintah untuk
lebih peduli terhadap pelestarian budaya dan lingkungan. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga
warisan budaya dan alam di sekitar wilayah tambang, seperti pengembangan pariwisata budaya dan
program konservasi lingkungan.
Referensi:
2. Jurnal “Konflik Sosial Akibat Penambangan Emas di Kabupaten Mimika” oleh Andriyani Rahayu,
Jurnal Antropologi Indonesia, Volume 39, Nomor 2, 2018.
C. Perspektif Politik:
Pemahaman akan pentingnya tata kelola yang baik dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi
kunci dalam menjaga harmoni antara kepentingan ekonomi, politik, dan sosial. Pemerintah sebagai
regulator memiliki tanggung jawab untuk menerapkan kebijakan yang transparan, berkeadilan, dan
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kehadiran Freeport-McMoRan di Indonesia telah menjadi sorotan dalam hal kebijakan regulasi
pertambangan. Berbagai isu terkait perpajakan, kontrak kerja sama, persyaratan lingkungan hidup,
dan perizinan tambang menjadi perdebatan politik yang hangat. Pemerintah Indonesia harus
memastikan bahwa keberadaan perusahaan asing seperti Freeport-McMoRan sesuai dengan regulasi
yang berlaku dan memberikan manfaat maksimal bagi negara dan masyarakat.
Dalam kasus ini, hubungan antara pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan juga merupakan
titik sentral dalam perspektif politik. Negosiasi kontrak kerja sama, pembagian keuntungan,
tanggung jawab sosial perusahaan, dan kontrol terhadap operasional tambang menjadi fokus utama
dalam dinamika politik antara kedua pihak. Isu korupsi, transparansi, dan tata kelola yang baik juga
menjadi sorotan dalam hubungan ini.
Pemanfaatan sumber daya alam oleh perusahaan asing sering kali menimbulkan isu kedaulatan
negara. Dalam kasus Freeport-McMoRan, banyak pihak menyoroti apakah negara Indonesia telah
mampu menjaga kedaulatannya dalam mengelola tambang emas terbesar di dunia tersebut. Isu-isu
terkait negosiasi kontrak, pemenuhan kewajiban perpajakan, dan kontrol terhadap produksi
tambang menjadi perdebatan politik yang sensitif.
4. Implikasi Politik Lokal dan Nasional:
Kasus Freeport-McMoRan juga memiliki implikasi politik yang signifikan baik di tingkat lokal maupun
nasional. Dinamika politik di Provinsi Papua, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, serta
peran aktor politik seperti DPR dan KPK dalam mengawasi aktivitas perusahaan tambang menjadi
faktor penting yang turut memengaruhi perkembangan kasus ini.
Referensi:
2. Laporan “Kedaulatan Negara dalam Pengelolaan Tambang Emas: Studi Kasus Freeport-McMoRan
di Indonesia” oleh Pusat Analisis Kebijakan Publik, 2019.
D. Perspektif Hukum:
Dari segi hukum, kasus Freeport-McMoRan menyoroti pentingnya regulasi yang jelas dan penegakan
hukum yang kuat dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat terdampak.
Terdapat kritik terhadap kerentanan sistem hukum Indonesia terhadap intervensi politik dan
kepentingan bisnis tertentu yang dapat mengorbankan keadilan bagi masyarakat. Dalam konteks ini,
kasus Freeport-McMoRan di Indonesia mengungkap kompleksitas yang tinggi terutama terkait
dengan aspek regulasi hukum pertambangan. Perusahaan ini beroperasi di bawah kontrak karya
dengan pemerintah Indonesia, yang memberikan kewenangan yang luas kepada perusahaan
tambang asing untuk mengeksploitasi sumber daya mineral di Indonesia. Namun, seringkali
ketentuan dalam kontrak tersebut dinilai tidak seimbang dan merugikan masyarakat lokal serta
lingkungan hidup. Implementasi undang-undang lingkungan hidup juga menjadi sorotan dalam
kasus ini, karena aktivitas pertambangan Freeport-McMoRan telah memberikan dampak negatif
yang signifikan terhadap lingkungan hidup di sekitar tambang. Pencemaran lingkungan, deforestasi,
dan degradasi ekosistem menjadi masalah serius yang memerlukan penegakan hukum yang tegas.
Upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang juga
menjadi tantangan tersendiri. Penegakan hukum yang lemah, intervensi politik, dan kepentingan
bisnis dapat menghambat proses keadilan bagi masyarakat yang terdampak oleh aktivitas tambang
Freeport-McMoRan. Secara keseluruhan, kasus Freeport-McMoRan di Indonesia menggarisbawahi
pentingnya perlindungan lingkungan hidup, hak-hak masyarakat, serta penegakan hukum yang adil
dan tegas dalam industri pertambangan. Diperlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan
tambang, masyarakat lokal, dan lembaga penegak hukum untuk menciptakan lingkungan yang
berkelanjutan dan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat. Berikut penjelasan detail
mengenai perspektif hukum dari kasus Freeport-McMoRan:
Kontrak kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan menjadi dokumen penting
dalam kasus ini. Isu-isu terkait klausul kontrak, pembagian keuntungan, tanggung jawab sosial
perusahaan, dan sengketa hukum antara kedua belah pihak menjadi bagian utama dalam analisis
hukum kasus ini. Implementasi kontrak kerja sama juga mencakup aspek perlindungan hak-hak
masyarakat lokal dan pemenuhan kewajiban perusahaan.
Dalam kasus Freeport-McMoRan, terdapat berbagai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
perusahaan. Penegakan hukum terhadap kasus-kasus seperti korupsi, pencucian uang, pelanggaran
lingkungan, atau pelanggaran hak asasi manusia menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum.
Proses penyelidikan, penuntutan, dan putusan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
perusahaan menjadi bagian penting dalam menegakkan keadilan hukum.
Referensi:
1. Buku “Hukum Pertambangan di Indonesia: Perspektif Regulasi dan Implementasi” oleh Agus
Santoso, Penerbit Andi Offset, 2019.
2. Laporan “Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dalam Kasus Freeport-McMoRan” oleh Yayasan
Lingkungan Hidup Indonesia, 2020.
Dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas pertambangan Freeport-McMoRan telah menimbulkan
kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan, degradasi tanah, serta konflik sosial di sekitar wilayah
operasinya. Selain itu, isu-isu terkait kesehatan masyarakat dan pemenuhan hak-hak sosial ekonomi
juga perlu ditangani secara holistik.
Dampak sosial dan lingkungan dari kasus Freeport-McMoRan di Indonesia sangat kompleks dan
memiliki konsekuensi yang luas terhadap masyarakat lokal, lingkungan hidup, serta keberlanjutan
ekonomi dan sosial di daerah sekitar tambang. Berikut adalah penjelasan detail mengenai dampak
sosial dan lingkungan dari kasus Freeport-McMoRan:
1. Dampak Sosial:
b. Konflik dan Ketegangan Sosial: Eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh perusahaan
dapat memicu konflik antara masyarakat lokal, pemerintah, dan perusahaan tambang. Perselisihan
terkait hak tanah, distribusi keuntungan, dan hak-hak masyarakat sering kali menimbulkan
ketegangan sosial di sekitar tambang.
2. Dampak Lingkungan:
b. Peningkatan Emisi Gas Rumah Kaca: Proses ekstraksi dan pengolahan mineral oleh Freeport-
McMoRan juga menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca, yang berkontribusi terhadap
perubahan iklim global dan pemanasan global.
a. Pencemaran Lingkungan: Limbah dan polutan yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan dapat
mencemari air minum, udara, dan tanah di sekitar tambang, berpotensi menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat seperti penyakit pernafasan, keracunan logam berat, dan gangguan
kesehatan lainnya.
b. Gangguan psikologis: Ketegangan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan dampak lingkungan yang
merugikan juga berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan mental dan psikologis pada
masyarakat lokal.
Referensi:
1. Laporan “Dampak Sosial dan Lingkungan dari Aktivitas Pertambangan Freeport di Papua” oleh
Aliansi Tambang Jatuhkan Papua, 2019.
2. Artikel “Dampak Lingkungan dan Sosial Pertambangan Emas Freeport di Papua” oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2020.
3. Jurnal “Dampak Sosial dan Lingkungan Pertambangan di Daerah Tambang Freeport” oleh
Bambang Susantono, Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Volume 5, Nomor 2, 2018.
Referensi:
Saran
Sesuai dengan hasil pemaparan di atas mengenai dampak buruk aktivitas pertambangan
PT. Freeport pada lingkungan, pemerintah diharapkan dapat melakukan tindakan tegas untuk
Menanggulangi kasus ini. Selain itu, masyarakat hendaknya mendukung pemerintah dalam
Menghadirkan solusi nyata dalam penanggulangan dampak buruk terhadap lingkungan akibat