Anda di halaman 1dari 2

TAJUK RENCANA

Papa Minta Saham, Benarkah Istana Cawe-cawe Saham


Freeport?
Persidangan kode etik terhadap ketua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI), Setya Novanto telah dilakukan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) pada tanggal 7 Desember lalu. Kasus ini bermula dari laporan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada tanggal 16 November 2015 dengan
tuduhan pencatutan nama presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh ketua DPR RI
dalam upaya perpanjangan kontrak kerja PT. Freeport Indonesia.
PT. Freeport Indonesia terkenal sebagai perusahaan pengeksplor emas terbesar di
Indonesia yang berlokasi di Papua dengan induk perusahaan berada di Amerika. Perusahaan
ini telah beroprasi di Indonesia sejak Kontrak Karya I pada tahun 1967 dan sekarang
berlanjut dengan Kontrak Karya II dari tahun 1991-2021. Dengan kata lain, perusahaan
Amerika tersebut masih memiliki hak eksplorasi hingga beberapa tahun kedepan dan
kemungkinan akan terjadi perpanjangan kontrak 2x10 tahun yaitu hingga tahun 2041.
Sebagai sebuah perusahaan asing, PT. Freeport Indonesia telah memberikan banyak
kontribusi bagi negara ini, khususnya dalam pembangunan wilayah Papua secara langsung.
Pembangunan tersebut berupa pengembangan sarana prasarana seperti jalan, bandara, rumah
sakit, dan sekolah. Fasilitas tersebut selain digunakan untuk menunjang kegiatan internal
perusahaan, namun juga diperuntukkan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, hingga saat ini PT.Freeport Indonesia telah
mewakili 1,59% dari semua kegiatan ekonomi di Indonesia dengan lebih dari 300.000
karyawan yang dipekerjakan.
Namun, dengan munculnya kasus ini sepertinya akan mempersulit proses
perpanjangan kontrak kerja PT. Freeport di Indonesia. Jumlah saham yang mencapai 700 juta
dolar pada perusahaan tersebut terlihat seperti gunungan emas yang menyilaukan mata
beberapa oknum pejabat dan pengusaha-pengusaha nakal. Tak ketinggalan ketua DPR RI
yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat, rupanya juga ikut gatal ingin menjadi
bagian dari perusahaan ini.
Seperti mengahalalkan segala cara, tak ayalnya fenomena mama minta pulsa yang
sedang marak di masyarakat, dalam kasus ini dia berulah dengan papa minta saham. Papa
yang dimaksud di sini adalah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta
bagian 11% dan 9% dari investasi Freeport di Indonesia. Hal itu seperti yang dikutip dari
transkrip pembicaraan Setya Novanto dengan Muhammad Riza Chalid (seorang pengusaha
minyak) dan Maroef Sjamsuddin (presiden PT. Freeport) tanggal 8 Juni di Hotel Ritz-Carlton.
Begitu dengar adanya istana cawe-cawe, presiden nggak suka, Pak Luhut ganti dikerjain.
Kan begitu. Sekarang kita tahu kuncinya. Kuncinya kan begitu lho hahahaha. Kita kan ingin
beliau berhasil. Di sana juga senang, kan gitu. Strateginya gitu lho.. Hahahaa. kata Setya
Novanto.

Karena pencatutan namanya ini, Presiden Jokowi pun marah dan meminta agar kasus
ini segera diselesaikan, lain halnya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang justru tertawa
ketika mendengar namanya disebut dalam diskusi bagi-bagi investasi PT. Freeport Indonesia.
Di sisi lain, MKD masih menunggu kesaksian Muhammad Riza Chalid sebagai salah satu
pengusaha minyak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, karena yang bersangkutan
masih berada di luar negeri sejak pergi beberapa hari lalu. Begitu juga dengan Menko
Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan yang namanya sering disebut dalam transkrip akan
dipanggil oleh MKD.
Sebagai masyarakat yang cerdas, marilah kita awasi penuntasan kasus ini hingga
selesai dan awasi juga proses perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia yang akan
dilakukan beberapa tahun kedepan. Tak ada salahnya jika masyarakat membentuk badan
independen sendiri sebagai pengawas dari kasus ini. Jangan sampai ada lagi oknum-oknum
serakah yang mencoba menguasai harta kekayaan Indonesia untuk kepentingan pribadi.

Anda mungkin juga menyukai