Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA EPULIS GRAVIDARUM


PADA PASIEN DI RSUD KOTA MADIUN

Pembimbing :
drg. Nina Agustina, Sp. Perio
NIP. 197608192003122007

Disusun oleh :
drg. Vena Fernanda

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER GIGI INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MADIUN
PROVINSI JAWA TIMUR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

TATALAKSANA EPULIS GRAVIDARUM


PADA PASIEN DI RSUD KOTA MADIUN

Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter gigi internship sekaligus
sebagai bagian dari persyaratan menyelesaikan Program Internship Dokter Gigi Indonesia di
RSUD Kota Madiun

Disusun Oleh:
drg. Vena Fernanda

Pada tanggal, 5 Oktober 2023

Mengetahui Pembimbing,

drg. Nina Agustina, Sp. Perio


LAPORAN KASUS
TATALAKSANA EPULIS GRAVIDARUM

A. Identitas Pasien
1. No.Rekam Medik : 248664
2. Nama pasien : Meta Merdiana
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Umur : 38 tahun
5. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
6. Alamat : Glonggong Dolopo Madiun
7. Tanggal Lahir : 05 Maret 1985
8. Status Perkawinan : Kawin

B. Kasus
Seorang perempuan berusia 38 tahun berdomisili di Glonggong Dolopo Madiun
datang ke RSUD Kota Madiun, dengan keluhan terdapat benjolan gusi di daerah gigi
rahang atas kiri yang membesar sampai ke daerah langit-langit, berwarna kemerahan,
mudah berdarah, dan tidak terasa sakit. Perdarahan tersebut terjadi secara spontan. Pasien
dalam keadaan hamil minggu ke-24 (6 bulan). Keluhan dirasakan pasien sejak 1 bulan
lalu. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Pasien tidak merasa nyaman
dengan keluhan yang dialaminya. Pasien ingin diberikan perawatan untuk dapat
menghilangkan keluhannya tersebut.

C. Riwayat Kesehatan Penderita Yang Perlu Diperhatikan :


1. Riwayat penyakit menular : t.a.k
2. Riwayat penyakit yang diidap penderita : t.a.k
3. Riwayat alergi obat-obatan : t.a.k
D. Kondisi Sistemik
Keluhan / gejala
Nama Penyakit Keterangan
Ya Tidak
Penyakit jantung √
Hiper/hipotensi √
Kelainan darah √
Haemophilia √
Diabetes mellitus √
Penyakit ginjal √
Hepatitis √
Penyakit pernapasan √
Kelainan pencernaan √
Epilepsi √
HIV/AIDS √
Alergi obat √
Alergi makanan √
Hamil/Menyusui √ Hamil
Lainnya √

Keadaan Umum : Pasien datang dengan keadaan baik, komunikatif dan kooperatif

E. Pemeriksaan Objektif
 Pemeriksaan Tanda Vital
1. Tekanan Darah : 117/70 mmHg
2. Nadi : 80 x/menit
3. Pernapasan : 18 x/menit
 Pemeriksaan Fisik
1. Berat Badan : 52 kg
2. Tinggi Badan : 147 cm
 Pemeriksaan Ekstra Oral
Fasial Neuromuscular K. Ludah K. Limfe Tl. Rahang TMJ
Deformitas t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k
Nyeri t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k
Tumor t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k
Gangguan Fungsi t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k t.a.k
Lainnya : Tidak ada kelainan
 Pemeriksaan Intra Oral
Jaringan Lunak Mulut Normal Kelainan Keterangan
Bibir 
Lidah 
Mukosa Bukal 
Kemerahan, mudah berdarah,
permukaan berdungkul, dan
Mukosa Palatinal 
pembengkakan sampai daerah rugae
palatina regio gigi 21 sampai 25
Kemerahan, mudah berdarah,
permukaan berdungkul, dan
Gingiva 
pembengkakan di regio gigi 22 ukuran
1,5 x 1,5 cm
Frenulum Labialis 
Frenulum Lingualis 
Frenulum Bukalis 
Lainnya : Tidak ada kelainan
 Jaringan Keras
1. Oklusi : Normal bite
2. Torus Palatinus : Tidak ada
3. Torus Mandibula : Tidak ada
4. Palatum : Sedang
5. Diastema : Tidak ada
 Pemeriksaan OHI-S : Tidak dilakukan
 Pemeriksaan Poket (Probing): Tidak dilakukan
F. Gambaran Klinis
Pengambilan foto intraoral Senin, 11 September 2023

Gambar 1. Gambaran Klinis

G. Pemeriksaan Penunjang
Telah dilakukan pemeriksaan ke bagian patologi anatomi pada Rabu, 13 September
2023.
1. Pemeriksaan : FNAB dan/atau scraping
2. Hasil :
a. Makroskopis : Dilakukan 1x puncture pada massa regio palatal anterior, ukuran
1,5 cm x 1,5 cm, padat lunak, permukaan berdungkul, saat puncture mudah
berdarah.
b. Mikroskopis : Hapusan hiposelular terdiri dari kelompok longgar sel mesenkimal,
inti spindle-oval, latar belakang eritrosit luas. Tidak ditemukan tanda-tanda
keganasan.
c. Kesimpulan : Massa regio palatal anterior,
FNAB: Benign Spindle Messenchymal Lesion
NB : konfirmasi histopatologi untuk diagnosa pasti
Gambar 2. Hasil Lab Patologi Anatomi

H. Diagnosis
1. Diagnosis Awal
Suspect Giant Cell Granuloma DD Epulis Gravidarum
2. Diagnosis Klinis
Epulis Gravidarum DD pyogenic granuloma, peripheral giant cell granuloma,
peripheral ossifying fibroma

I. Rencana Perawatan
1. Senin, 11 September 2023
a. Pro PA FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)
b. Pro Eksisi GA (pro konsul obstetri dan ginekologi)
2. Rabu, 13 September 2023
a. Pasien ke bagian PA untuk dilakukan FNAB
b. Konsul ke bagian obstetri dan ginekologi, dengan hasil konsul : bila tidak ada
kondisi mendesak, tunda operasi setelah melahirkan
c. KIE kepada pasien tentang risiko pembedahan dan risiko pembiusan

J. Prognosis
Baik, karena pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik, pasien kooperatif, dan
jaringan pendukung masih baik.

K. Alat dan Bahan serta Tahap Perawatan (disesuaikan dengan literatur)


Alat dan Bahan
1. Masker, handscoon, polibib
2. Diagnostic set (kaca mulut, sonde, ekskavator, pinset)
3. Nierbecken + dappen glass
4. Probe periodontal UNC-15
5. Pisau kirkland
6. Pisau orban
7. Scalpel (scalpel handle dan blade no. #15 dan #11)
8. Gunting bedah (jaringan)
9. Scaler manual (chisel dan hoe)
10. Kuret gracey : no. 1-2 dan 3-4
11. Glass lab
12. Tampon + Kapas + Alkohol 70%
13. Cotton roll dan cotton pellet
14. Periodontal pack atau metronidazole gel
15. Pehacaine
16. Syringe disposable 3 cc dan 10 cc
17. Povidone iodine
18. Larutan H2O2 3%
19. Aquades

Tahapan Perawatan
1. Fase I (Fase Pendahuluan/inisiasi)
(DHE, Kontrol plak, Scaling, dan root planning, serta aplikasi gel metronidazole)
Tindakan ini dilakukan untuk meredakan peradangan gingiva dan menghilangkan
mikroorganisme patologi yang terdapat pada daerah subgingiva tanpa melakukan
tindakan bedah periodontal. Pasien tidak boleh berkumur maupun meludah selama 1
jam.
2. Fase II (Fase bedah perio/korektif)
Pada fase ini akan dilakukan bedah perio yakni eksisi epulis. Sebelum dilakukan
tindakan pasien disarankan untuk menjaga kebersihan mulut serta menyikat gigi dua
kali sehari, pagi setelah makan dan malam sebelum tidur. Pada penatalaksanaanya
selalu diikuti dengan gingivoplasti untuk mendapatkan kontur dan bentuk ketajaman
tepi gingiva yang normal baik anatomis maupun fisiologisnya.
Adapun tahapan yang akan dilakukan pada kasus ini yakni:
a. Operator menggunakan masker, kemudian mencuci tangan dengan cara WHO,
lalu menggunakan handscoon.
b. Persiapan instrumen, operator mempersiapkan instrumen yang akan digunakan
dalam prosedur eksisi epulis.
c. Asepsis dan anastesi, sebelum dilakukan perawatan eksisi, area kerja di asepsis
menggunakan povidone iodine yang diteteskan pada cotton pellet kemudian
dioleskan pada daerah gingiva yang akan dieksisi. Kemudian lakukan anestesi
dengan teknik infiltrasi pada daerah mucobuccal fold menggunakan syringe 3cc
dengan pehacain.

Gambar 3a. Anestesi pada mucobuccal fold Gambar 3b. Anestesi tambahan pada
epulis

d. Membuat titik perdarahan dengan menggunakan pocket marker ditandai dengan


menusuk dinding luar jaringan gingiva. Apabila keseluruhan daerah operasi telah
diukur dan ditandai dengan lengkap, titik-titik perdarahan tersebut akan
membentuk ragangan (outline) insisi yang harus dilakukan.

Gambar 4. Bleeding Point

e. Pembuatan eksisi, eksisi dilalukan 1 mm di bawah titik perdarahan dengan arah


45º ke koronal dengan pisau kirkland.

Gambar 5. Eksisi primer dengan pisau kirkland


f. Mengeksisi jaringan di daerah interproksimal, eksisi di daerah interproksimal
dengan pisau orban.

Gambar 6. Eksisi sekunder dengan pisau orban

g. Penyingkiran jaringan yang tereksisi, jaringan yang telah tereksisi ataupun sisa-
sisa jaringan granulasi kemudian dibersihkan menggunakan teknik kuretase.
h. Pembersihan deposit yang tersisa, dilakukan pembersihan deposit yang menempel
pada permukaan akar dengan scalling dan root planning. Pada tahap ini,
pembuangan deposit berupa jaringan lunak yang masih tersisa dapat membantu
permukaan akar lebih mudah dicapai dan memperluas lapang pandang operator.
Pembersihan permukaan akar pada tahap ini menentukan keberhasilan seluruh
prosedur bedah
i. Irigasi daerah operasi, selanjutnya dilakukan irigasi menggunakan larutan H 2O2
3% kemudian dibilas dengan aquades untuk membersihkan partikel-partikel yang
tersisa.
j. Dilakukan cauterisasi untuk menghentikan perdarahan.

Gambar 7. Cauterisasi
k. Menyempurnakan kontur, pada tahap ini dilakukan penyempurnaan kontur
gingiva menggunakan blade sesuai dengan kontur yang diinginkan. Kemudian
merapikan sobekan-sobekan jaringan dengan gunting bedah.
l. Aplikasi gel metronidazole pada permukaan luka atau memasang dressing
periodontal. Pemasangan periodontal pack harus diawali dengan mengeringkan
daerah yang akan dipasangi pack periodontal, agar pack periodontal dapat
terpasang dengan baik. Mula-mula dibuat berukuran kecil kemudian direkatkan di
daerah interproksimal menggunakan instrumen plastik, selanjutnya pasang
gulungan-gulungan yang lebih panjang di bagian fasial dan lingual serta
hubungkan dengan dressing yang telah terpasang di daerah interproksimal.
Seluruh daerah operasi ditutup dengan dressing tanpa menggangu oklusi atau
daerah perlekatan otot di daerah mucco-bucalfold. Periodontal pack dibuka
setelah 1 minggu kemudian. Secara umum periodontal pack tidak memiliki fungsi
kuratif, namun hanya membantu penyembuhan dengan cara melindungi jaringan.
Periodontal pack memperkecil kemungkinan infeksi dan perdarahan paska
operasi, memudahkan penyembuhan dengan mencegah trauma selama
pengunyahan, serta melindungi dari nyeri yang disebabkan oleh kontak luka
dengan lidah.

Gambar 8. Aplikasi metronidazole gel

m. Instruksi post eksisi epulis :


1) Menghindari makanan yang dapat merangsang pendarahan seperti makanan
panas dan pedas.
2) Dianjurkan untuk tidak makan kurang lebih 1 jam.
3) Tidak berkumur terlalu keras
4) Menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan menyikat gigi secara teratur
kecuali daerah post eksisi.
5) Instruksi untuk mengunakkan obat kumur mengandung antiseptik 2x sehari
untuk mengontrol plak.
6) Kontrol 2 minggu post eksisi.
7) Pemberian medikasi

3. Fase IV (Pemeliharaan)
Fase ini bertujuan untuk mencegah terjadinya rekurensi pada penyakit periodontal.
Berikut ini merupakan beberapa prosedur yang dilakukan pada fase ini:
a. Kontrol pertama dilakukan 2 minggu setelah prosedur eksisi, dilakukan
pemeriksaan subjektif dengan menanyakan apakah ada keluhan yang dirasakan
pasien. Serta dilakukan pemeriksaan objektif untuk melihat tanda-tanda
peradangan. Selain itu pada tahap ini dilakukan pembukaan pack periodontal.
Selanjutnya daerah bekas operasi dibersihkan dengan irigasi larutan fisiologis
NaCl 0,9%. Setelah pack dilepas akan tampak pertumbuhan epitel baru pada
permukaan gingiva bekas operasi, jaringan ini tidak boleh dirusak. Mukosa
biasanya tertutup oleh lapisan yang berwarna kelabu kekuningan atau jaringan
granulasi yang berwarna putih disertai debris, lapisan ini mudah dibersihkan
dengan kapas basah.
b. Kontrol kedua dilakukan 4 minggu. Pada kontrol ke 2 dilakukan pemeriksaan
subjektif, objektif, dan DHE. Kontrol selanjutnya dilakukan 5 minggu kemudian.
c. Revaluasi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat skor plak, ada
tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket, dan mobilitas gigi.
d. Melakukan pemeriksaan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal
dan tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali.
e. Scalling dan polishing setiap 6 bulan sekali, tergantung dari efektivitas kontrol
plak pasien dan pada kecenderungan pembentukan kalkulus, serta aplikasi tablet
fluoride secara topikal untuk mencegah karies.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epulis Gravidarum


Epulis gravidarum atau pregnancy tumor merupakan pembesaran gingiva yang jarang
yang terjadi selama kehamilan. Hal ini dilaporkan 0,2-5% pada wanita hamil.1,2 Lesi ini
umumnya jinak, tidak sakit, merupakan suatu massa berwarna merah muda, merah atau
keunguan, dapat bertangkai atau tidak bertangkai yang kemudian menyebar ke margin
gingiva. Lesi dapat tumbuh dengan cepat umumnya pada bukal gingiva terjadi pada akhir
trimester pertama, dan meningkat dengan pertambahan usia kehamilan.3
Istilah Epulis gravidarum digunakan pertama kali oleh Poncet dan Dor, dua orang ahli
bedah dari Perancis pada tahun 1897. Sebelumnya dikenal sebagai pregnancy tumor yaitu
pyogenic granuloma yang terjadi pada gingiva selama kehamilan.1. Istilah pyogenic
granuloma sendiri agak membingungkan karena lesi ini tidak berhubungan dengan infeksi
dan tidak benar benar true granuloma. Keadaan ini muncul sebagai hasil variasi stimulus
seperti iritasi lokal kecil, trauma atau hormonal.4

B. Etiologi
Etiologi dari epulis gravidarum umumnya tidak diketahui, meskipun pengaruh dari
hormon seks cukup jelas. Hal ini umumnya terjadi selama kehamilan, tetapi dapat dikaitkan
dengan penggunaan pil kontraseptif. Sepertiga kasus mungkin terjadi karena trauma.1,3
Faktor etiologi penting lainnya adalah kesehatan mulut yang tidak baik yang mendorong
terjadinya gingivitis kronis.5

C. Perawatan
Perawatan epulis gravidarum meliputi pembuangan semua faktor iritasi. Peningkatan
kesehatan mulut dapat menghindari terjadinya gingivitis dan periodontitis.5 Semua gangguan
gingiva berhubungan dengan hormon seks, umumnya mereda setelah kelahiran, sehingga
intervensi bedah tidak diperlukan pada kebanyakan kasus.5 Rekurensi spontan dapat terjadi
75% dari kasus 1-4 bulan setelah melahirkan.6 Jika massa membesar dan menganggu
pengunyahan dan bicara maka tumor tersebut harus diambil.5
Progesteron merupakan hormon seks utama kehamilan. Level progesteron akan terus
meningkat sampai bulan ke-8 kehamilan dan setelah itu akan menjadi stabil sampai
melahirkan. Level estrogen meningkat secara perlahan sampai akhir kehamilan. Placenta
adalah organ berpengaruh terhadap produksi yang progesteron dan estrogen yang tinggi.
Hormon ini mengatur aliran darah, menstimulasi endometrium dan menyiapkan organ untuk
menyusui. Hormon ini juga meningkatkan proses metabolisme dan respon imunologik.
Setelah melahirkan, umumnya sampai 3 hari, level hormon dapat kembali ke level normal.7
Tingginya level hormon seks dalam darah dan saliva dapat menyebabkan reaksi
periodontal dan dapat menyebabkan kelainan periodontal.8 Receptor progesteron dan
estrogen berada di stratum basalis dan stratum spinosum pada epitel dan jaringan ikat. Sel ini
dipengaruhi oleh tingginya level hormon kehamilan.8
Hormon progesteron mendilatasi pembuluh darah, yang membuat pembuluh darah
menjadi permeable dan meningkatkan proliferasi pembuluh kapiler. Estrogen mengatur
proliferasi jaringan gingiva, dan mendiferensiasi dan keratinisasi. Hormon kehamilan ini
dapat meningkatkan perdarahan gingiva dan menyebabkab poket menjadi lebih dalam.9
Pemeriksaan secara histologis menunjukkan variasi kemungkinan, akan tetapi tipe
granulomatus yang paling banyak terjadi. Hal ini terdiri terutama pembuluh kapiler dan
proliferasi endotelium.1,5 Infiltrasi jaringan konektif lebih tinggi daripada limfosit.
Perubahan rongga mulut terjadi sekitar 30-100% pada wanita hamil, khususnya pada gingiva,
dimulai dari bulan kedua kehamilan, dan meningkat sampai akhir kehamilan, dan 8 terjadi
penurunan setelah melahirkan.10 Peneliti membedakan dua puncak dari intensitas
perubahan., yaitu pada bulan ke-3 dan ke-8 kehamilan. Setelah melahirkan akan diikuti
dengan penurunan dan pada bulan ke-3, mukosa oral sama dengan bulan ke-2 kehamilan.10
Plak bakteri dan peradangan gingiva dapat merubah hormon subklinis menjadi gingivitis.
Selama kehamilan banyak ditemukan pertumbuhan Prevotella intermedia, Porphyromonas
gingivalis, dan Tannerella yang ditemukan pada plak subgingiva. Spesies ini dapat
menggunakan hormon kehamilan seperti progesteron sebagai sumber nutrisi.10
Pembesaran gingiva kronis timbul akibat kontak yang lama pada plak. Faktor-faktor
yang dapat mendorong retensi dan akumulasi plak adalah kalkulus, kebersihan mulut yang
buruk, titik kontak yang tidak baik, tepi restorasi yang tidak baik, kontur restorasi yang tidak
baik, serta iritasi daerah gingiva karena pemakaian tusuk gigi.10
Menurut penelitian Suwandi (2003), aplikasi gel metronidasol sebagai terapi tambahan
skeling dan penghalusan akar memberikan hasil yang efektif.11 Untuk mempercepat proses
penyembuhan dan mencegah rekurensi dapat dicegah dengan melakukan kontrol plak dan
skeling penghalusan akar secara periodoik. Cara kerja metronidasol adalah setelah
metronidasol berada dalam poket, akan menembus membran sel, mengikat DNA Heliks,
menghancurkan DNA dan berakibat kematian sel yang sangat cepat. 11

D. Anestesi pada Pembedahan Non-Obstetri dalam Kehamilan


Manajemen anestesi perioperatif yang optimal pada operasi non-obstetri dalam
kehamilan memerlukan pemahaman menyeluruh tentang fisiologi ibu dan janin, perubahan
obat farmakodinamik dan farmakokinetik serta pendekatan psikologis terhadap pasien hamil
yang harus diberi konseling secara hati-hati mengenai risiko dan manfaat dari prosedur yang
akan dilakukan. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan anestesi yang aman untuk ibu
sekaligus meminimalkan risiko persalinan prematur atau kematian janin. Hubungan
multidisiplin antara dokter bedah, anestesi, dan kandungan sangat penting untuk memastikan
kondisi janin dan ibu selama periode perioperatif. Hasil akhir terhadap ibu dan janin
tergantung pada manajemen dari masing-masing proses perjalanan penyakit bedah dan
anestesi.2
Perubahan-perubahan yang terjadi pada ibu hamil menimbulkan banyak hal yang harus
diwaspadai mengenai keadaan ibu dan janin selama pembedahan. Risiko bagi janin meliputi
pengaruh terhadap proses penyakit tersebut maupun terapi terkait, teratogenitas obat anestesi,
gangguan dalam perfusi uteroplasenta atau gangguan oksigenasi janin dan resiko aborsi atau
kelahiran prematur. Pasien hamil yang membutuhkan tindakan pembedahan datang dengan
kecemasan yang tinggi. Kondisi tersebut mengharuskan dokter anestesi untuk dapat memberi
konseling yang baik serta menguasai tindakan anestesi pada ibu hamil.3
Semua gangguan pencernaan dapat terjadi selama kehamilan dan 0,5-1% diantaranya
memerlukan operasi. Secara umum, prinsip-prinsip dalam mendiagnosis dan memperlakukan
wanita hamil dengan tidak hamil adalah sama pada pembedahan dalam kasus kegawatan akut
abdomen. Namun, terdapat beberapa perbedaan penting antara pasien hamil dan tidak hamil
yang dapat menyebabkan beberapa kesulitan dalam pengelolaan pasien bagi dokter
kandungan ataupun dokter bedah.

Perubahan Fisiologis/Anatomis
Perubahan pada Kardiovaskular
Curah jantung pada wanita hamil meningkat sebesar 50% dan puncaknya pada akhir
trimester ke-2. Hal ini disebabkan oleh peningkatan denyut jantung (25%) dan isi sekuncup
(30%). Peningkatan denyut jantung merupakan respon refleks terhadap Systemic Vascular
Resistance (SVR) yang menurun disebabkan oleh sirkulasi estrogen dan progesteron.
Kompresi vena kava inferior menyebabkan penurunan aliran balik vena dan preload, yang
mengurangi curah jantung hingga 20% yang disebut sindrom supine hipotensi. Hal ini dapat
mengurangi aliran darah ke rahim, yang bisa menyebabkan gawat janin.5
Kompresi aortocaval semakin terlihat secara klinis sekitar umur 20 minggu kehamilan.
Hal ini dapat diatasi dengan kemiringan lateral kiri 15 derajat, yang penting pada semua
pasien hamil setelah 20 minggu. Hal ini sangat penting untuk diingat ketika pasien berada di
bawah pengaruh anestesi regional/analgesia dimana dapat terjadi hipotensi yang disebabkan
oleh blok simpatis.5
Terjadi peningkatan volume darah pada kehamilan antara 35-50% pada kondisi aterm.
Peningkatan terdiri dari volume plasma dan volume sel darah merah, tetapi peningkatan lebih
besar pada volume plasma yang mengarah ke anemia karena hemodilusi. Penurunan
viskositas darah membantu meningkatkan sirkulasi uteroplasenta dan peningkatan volume
berfungsi sebagai persediaan terhadap perdarahan saat persalinan.5
Kehamilan adalah sebuah kondisi terjadi hiperkoagulasi karena peningkatan sebagian
besar faktor pembekuan. Jumlah trombosit mungkin rendah tapi sebenarnya terjadi
peningkatan produksi dan konsumsi. Kehamilan merupakan faktor risiko yang signifikan
terjadinya tromboemboli dan karena itu tromboprofilaksis sangat penting pada periode pasca
operasi ketika risikonya meningkat karena imobilitas.5

Perubahan pada Respirasi


Perubahan respirasi pada kehamilan sangat penting bagi dokter anestesi untuk dipahami.
Terjadi peningkatan kebutuhan oksigen hingga 60% pada saat aterm. Minute Ventilation
(MV)
meningkat lebih awal karena peningkatan frekuensi pernapasan dan volume tidal dan naik
45% saat aterm. Peningkatan MV diperantarai progesterone yang bertindak sebagai
stimulator pernapasan. Peningkatan MV menyebabkan alkalosis respiratorik ringan (PaCO2
menurun 1 kPa). Peningkatan pH dibatasi oleh peningkatan ekskresi bikarbonat di ginjal.
Hipokapnia relatif harus dipertahankan ketika melakukan ventilasi kendali pada wanita
hamil. Functional Residual Capacity (FRC) akan menurun pada kehamilan karena rahim
yang membesar menekan diafragma ke atas, terlebih pada posisi terlentang dan meningkat
seiring berlanjutnya
kehamilan.5
Manajemen jalan nafas sangat penting selama kehamilan. Ventilasi bag-mask mungkin
lebih sulit karena bertambahnya jaringan lemak di leher. Laringoskopi dapat lebih sulit oleh
karena kenaikan berat badan dan pembesaran payudara. Peningkatan terjadinya edema pita
suara akibat peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyulitkan intubasi dan meningkatkan
risiko perdarahan. Hal ini dapat meningkatkan kejadian intubasi gagal. Peningkatan konsumsi
oksigen ibu dan berkurangnya FRC menyebabkan cepatnya terjadi desaturasi oksigen selama
upaya intubasi. Mungkin diperlukan diameter endotrakeal tube yang lebih kecil. Intubasi
nasal harus dihindari karena vaskularisasi yang meningkat dari selaput lendir. Mengingat
banyaknya
perubahan fisiologis pada ibu hamil, pra-oksigenasi menjadi sangat penting sebelum induksi
anestesi. Pra-oksigenasi dapat kurang efisien pada saat persalinan aterm dalam posisi
terlentang karena closing volume alveoli mungkin lebih besar daripada FRC. Pra-oksigenasi
dalam posisi kepala sedikit diangkat dapat membantu hal ini.5

Perubahan pada Gastrointestinal


Progesteron akan mengurangi tonus Lower Oesophageal Sphincter (LOS), yang akan
meningkatkan kejadian refluks esofagus. Hal ini semakin diperparah dengan perubahan
anatomi yang terjadi. Uterus akan bergeser ke atas dan ke kiri mendorong bagian esofagus
yang terdapat pada intraabdominal ke atas (rongga thoraks). Hal ini sering membuat tonus
LOS terganggu dan menurunkan tekanan barier. Faktor-faktor ini, ditambah menurunnya pH
lambung, akan meningkatkan risiko dan tingkat keparahan pneumonitis akibat aspirasi karena
anestesi umum.5
Direkomendasikan bahwa mulai 16 minggu usia kehamilan pasien yang akan menjalani
anestesi umum harus diberikan profilaksis terhadap pneumonitis aspirasi. Termasuk di sini
yaitu antasida non-partikulat seperti natrium sitrat 0,3M sebanyak 30 ml dan antagonis
reseptor H2 misalnya ranitidine 150 mg secara oral atau 50 mg intravena. Beberapa ahli
anastesi juga dapat memilih untuk memberikan obat bersifat prokinetik seperti
metoklopramide.5
Induksi anestesi harus dengan teknik rapid sequence induction dengan bantuan cricoid
pressure dan relaksan otot aksi cepat seperti suksametonium. Endotrakeal tube dengan cuff
harus digunakan. Pada akhir operasi pasien harus diekstubasi sadar penuh pada posisi
lateral.5

Perubahan pada Sistem Saraf Pusat dan Perifer


Pasien hamil menunjukkan penurunan konsentrasi alveolar minimum agen anestesi
volatile sebesar 30%. Dikarenakan peningkatan alveolar MV, menyebabkan induksi lebih
cepat jika digunakan teknik induksi dengan inhalasi. Demikian pula, jaringan saraf
menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap efek obat bius lokal. Dosis terapi dan kadar
toksik plasma berkurang sekitar 30% pada kehamilan.
Volume ruang epidural dan subarachnoid berkurang selama kehamilan dikarenakan
kompresi dari vena kava inferior menyebabkan pelebaran dari pleksus vena epidural. Hal ini
menyebabkan penyebaran yang lebih luas dari agen anestesi lokal pada blok neuraksial.2
Pada trimester pertama, ada pergeseran peningkatan tonus nervus vagus dan penurunan
aktivitas simpatis dalam hubungannya dengan peningkatan volume darah. Sebuah transisi
bertahap pada trimester kedua mengarah ke menurunnya tonus nervus vagus dan peningkatan
aktivitas simpatis pada trimester ketiga, yang menyokong untuk mengatasi efek dari kompresi
mekanik aortocaval dan menurunnya resistensi sirkulasi plasenta.2

Perubahan pada Sistem Renal


Vasodilatasi renal yang terjadi selama awal kehamilan akan meningkatkan aliran darah
ginjal, namun autoregulasi tetap dipertahankan. Peningkatan kadar renin dan aldosterone
meningkatkan retensi natrium. Aliran plasma ginjal dan Glomerular Filtration Rate (GFR)
meningkat sebesar 50% selama trimester pertama, GFR menurun kearah normal pada
trimester ketiga. Penurunan ambang batas tubular ginjal terhadap glukosa dan asam amino
biasa terjadi dan sering berakibat glukosuria ringan (1-10 gr/dl) atau proteinuria (< 300
mg/dl). Osmolaritas plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.6
Peningkatan aliran plasma ginjal dan GFR menghasilkan peningkatan kreatinin klirens,
dengan penurunan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan level kreatinin. Nilai BUN menurun 40%
menjadi 8-9 mg/dl dan nilai kreatinin menurun menjadi 0,4-0,5 mg/dl. Nilai BUN 15 mg/dl,
level serum kreatinin 1,0 mg/dl dan kreatinin klirens 100 ml/menit menandakan fungsi renal
yang abnormal pada wanita hamil yang mendekati aterm.7

TERATOGENITAS OBAT-OBAT ANESTESI


Nitrous oxide mempengaruhi sintesis DNA dan memiliki efek teratogenik pada hewan.
Studi kasus-kontrol pada tahun 1970 menyatakan adanya hubungan antara paparan nitrous
oxide pada awal kehamilan dengan keguguran dan kelainan kongenital. Studi ini tidak jelas
dan kuantitas eksposurnya tidak diketahui. Terdapat dua penelitian lain yang telah membuat
hubungan lebih meyakinkan antara paparan nitrous oxide unscavenged dan menurunnya
kesuburan pada tenaga medis. Analisis sekunder dari kumpulan data ini dianalisis oleh
Rowland dkk pada tahun 1992 juga mengidentifikasi peningkatan risiko aborsi spontan pada
paparan nitrous oxide unscavenged pada praktik dokter gigi. Teknik pembuangan modern
dapat mengurangi paparan nitrous oxide lebih dari 90%. Beberapa studi paparan nitrous
oxide di rumah sakit modern dengan sistem pembuangan yang baik telah gagal untuk
menunjukkan hubungan antara penggunaan nitrous oxide dan gangguan kehamilan.9
Penelitian kecil kasus-kontrol penggunaan benzodiazepine pada kehamilan menunjukkan
hubungan kejadian bibir sumbing dan kelainan jantung, namun penelitian lebih terkontrol
yang terbaru telah menolak anggapan ini. Obat-obat anestesi, termasuk propofol, barbiturat,
opioid, pelumpuh otot dan anestesi lokal memiliki catatan keamanan yang baik untuk
digunakan selama kehamilan. Namun, anggapan tersebut tidak dapat dikesampingkan.
Sebuah meta-analisis terbaru mengevaluasi 54 dari 4.052 publikasi yang memenuhi kriteria
inklusi mereka, termasuk disini 12.452 wanita yang menjalani operasi selama kehamilan.
Mereka menemukan bahwa angka kematian ibu adalah kurang dari 1/10.000, operasi non
obstetri tidak meningkatkan risiko kelainan kongenital, operasi, dan anestesi umum bukan
merupakan faktor risiko utama untuk aborsi spontan, sedangkan appendicitis akut dengan
peritonitis akan menimbulkan risiko kehilangan janin.9

ANESTESI DAN KEHAMILAN


Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan selama kehamilan dan hanya ligasi tuba yang
dapat dilakukan 6 minggu paska melahirkan untuk memungkinkan kembalinya perubahan
fisiologis selama kehamilan. Operasi darurat harus dilakukan terlepas dari berapapun usia
kehamilan dan tujuan utama adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu. Jika memungkinkan,
operasi dapat ditunda sampai trimester kedua untuk mengurangi risiko teratogenitas obat dan
keguguran, meskipun tidak ada bukti kuat untuk mendukung kebijakan ini.10

Anestesi pada Kehamilan Trimester Pertama


Teknik anestesi yang ideal seharusnya tidak mengganggu proses pembuahan atau awal
perkembangan embrio dan harus menghasilkan efek mual muntah yang minimal pasca
operasi ataupun nyeri, mengantuk, dan gangguan psikomotor. Kebanyakan prosedur dapat
dilakukan dengan dosis kecil midazolam dan opioid. Sedasi propofol terus menerus dan
kontrol pasien dengan sedasi popular dilakukan. Penggunaan propofol harus selalu diawasi
oleh seorang ahli anestesi. Penggunaan nitrous oxide sebaiknya dihindari karena penelitian
pada hewan memberikan bukti bahwa gas ini dapat menghambat sintase metionin. Walaupun
tidak ada bukti yang signifikan penelitian pada manusia yang menunjukkan hal ini. Setelah
umur kehamilan 6-8 minggu, jantung, hemodinamik, pernafasan, parameter metabolik, dan
farmakologis ibu hamil akan berubah. Dengan peningkatan ventilasi semenit, konsumsi
oksigen dan penurunan cadangan oksigen (penurunan kapasitas residu fungsional dan volume
residu), ibu hamil menjadi lebih cepat terjadi hipoksemia. Profilaksis aspirasi dianjurkan dari
awal trimester kedua. Kehamilan dikaitkan dengan kebutuhan obat anestesi yang lebih
rendah,
meskipun mekanisme ini belum diketahui. Minimum Alveolar Concentration (MAC) untuk
anestesi inhalasi berkurang sebesar 30% pada umur 8-12 minggu kehamilan. Obat-obatan
yang diberikan intravena untuk menginduksi anestesi umum juga harus diberikan dalam dosis
yang lebih rendah.10
Kondisi janin harus dinilai dengan USG atau Doppler sebelum dan setelah anestesi dan
pembedahan. Karena peningkatan risiko hipoksemia, kesulitan dengan intubasi, aspirasi, dan
risiko terhadap janin, anestesi regional harus dipilih dibandingkan anestesi umum jika
memungkinkan.10
Anestesi pada Kehamilan Trimester Kedua
Kompresi aortocaval adalah hal yang perlu diperhatikan sejak umur kehamilan 20
minggu dan seterusnya, perubahan aliran darah uterine ini menghasilkan sindrom supine
hypotension. Efek ini dapat diperberat oleh anestesi regional ataupun umum ketika
mekanisme kompensasi normal terhalang. Kompresi aortocaval dapat dihindari dengan posisi
lateral. Kompresi vena kava mengakibatkan distensi dari pleksus vena epidural serta
meningkatkan risiko injeksi intravaskular pada blok regional. Kapasitas ruang epidural
berkurang, menjadikan peningkatan penyebaran dari obat anestesi lokal saat kehamilan.
Kehamilan dikaitkan dengan keadaan hiperkoagulasi karena peningkatan faktor prokoagulan.
Insiden tromboemboli meningkat setidaknya lima kali lebih besar selama kehamilan.10

Anestesi pada Kehamilan Trimester Ketiga


Pada usia kehamilan ini, dianjurkan persalinan melalui operasi sesar sebelum dilakukan
operasi besar. Bila memungkinkan, operasi harus ditunda 48 jam untuk memberikan terapi
steroid untuk membantu pematangan paru janin. Pilihan yang tepat adalah melahirkan dengan
anestesi regional dan kemudian dikonversi ke anestesi umum untuk operasi definitif. Anestesi
paska persalinan harus disesuaikan dengan kebutuhan bedah, dengan tindakan pencegahan
agen inhalasi tidak digunakan atau hanya digunakan dalam dosis kecil (<0,5 MAC) bersama
dengan oksitosin untuk meminimalkan risiko atonia uterina dan perdarahan.10
Pembedahan, stres, dan mungkin anestesi dapat menekan laktasi, setidaknya untuk
sementara. Kebanyakan obat yang diekskresikan ke dalam ASI, namun hanya sedikit yang
benar-benar kontraindikasi selama menyusui (misalnya zat radioaktif, ergotamin, lithium,
agen psikotropika). Susu mungkin perlu dikeluarkan untuk mempertahankan laktasi
sementara bayi untuk sementara diberikan susu formula.10

MANAJEMEN ANESTESI
Teknik anestesi baik regional maupun umum telah berhasil digunakan untuk operasi non
obstetric pada pasien hamil. Tidak ada penelitian sampai saat ini yang menunjukkan
superioritas satu teknik di atas yang lain dalam hal keselamatan bagi janin. Anestesi regional
dapat menghindari potensi risiko intubasi gagal dan aspirasi selain untuk mengurangi paparan
janin dengan obat-obat yang bersifat teratogenik. Selama anestesi dan pembedahan, kondisi
janin dipastikan dengan pengawasan yang cermat dari parameter hemodinamik ibu yang
stabil
dan oksigenasi. Pemantauan ketat dari respon janin terhadap tanda-tanda distress.2
Pada penilaian preoperatif, premedikasi untuk menghilangkan kecemasan dapat
dipertimbangkan. Profilaksis terhadap pneumonitis aspirasi dengan antagonis reseptor H2 dan
antasida non-partikulat harus diberikan dari usia kehamilan 16 minggu. Sejak saat itu, pasien
harus dianggap berisiko untuk kompresi aortocaval dan pneumonitis karena aspirasi. Posisi
harus dipastikan miring 15° ke arah lateral kiri untuk memfasilitasi perpindahan rahim.
Perubahan posisi ibu dapat membuat efek hemodinamik, karena itu posisi trendelenburg atau
anti-trendelenburg selama anestesi harus dilakukan secara perlahan-lahan.2
Teknik anestesi umum secara Rapid Sequence Induction intravena harus didahului
dengan oksigen 100% selama 5 menit dan penerapan tekanan krikoid yang efektif. Meskipun
intubasi endotrakeal adalah wajib, pada kasus gagal intubasi pada pasien hamil, Laryngeal
Mask Airway (LMA) dapat digunakan untuk ventilasi dengan aman bahkan dalam posisi anti-
trendelenburg untuk operasi periode singkat.2
Pemeliharaan anestesi umum paling sering dengan agen anestesi inhalasi baik dalam
campuran udara/oksigen atau N2O/ O2. Penelitian sampai saat ini tidak mendukung mengenai
kekhawatiran efek teratogenitas N2O dalam praktik klinis. Efek anestesi umum yang dangkal
dan berhubungan dengan meningkatnya katekolamin akan terkait dengan gangguan perfusi
uteroplasenta yang berbahaya bagi janin. Ventilasi tekanan positif harus digunakan dengan
hati-hati dan tingkat karbondioksida endtidal harus dipertahankan dalam batas-batas yang
normal pada kehamilan. Ada hubungan linier antara PaCO2 ibu dan PaCO2 janin. Hiperkarbia
pada ibu akan membatasi difusi CO2 dari janin ke darah ibu dan dapat menyebabkan asidosis
janin, meningkatkan risiko kematian janin. Untuk alasan ini, analisis gas darah arteri rutin
dianjurkan pada operasi laparoskopi dimana CO2 digunakan untuk membuat kondisi
pneumoperitoneum. Penerapan tekanan positif akhir ekspirasi harus mempertimbangkan
perubahan hemodinamik yang dapat membahayakan perfusi plasenta. Pasien harus
diekstubasi pada kondisi benar-benar sadar dalam posisi lateral setelah pengisapan orogastrik
karena risiko aspirasi tetap ada sampai refleks jalan nafas telah pulih.2
Perencanaan Preoperatif dan Konseling
Pembedahan elektif sebaiknya ditunda hingga melahirkan. Pada kasus semi elektif, yang
terbaik adalah jika pembedahan dapat ditunda hingga setelah trimester pertama. Pada kasus
emergensi, tindakan anestesi tergantung pada tempat yang akan dioperasi dan lamanya
prosedur. Jika memungkinkan, anestesi regional disarankan. Namun general anestesi dapat
diberikan jika diperlukan.11
Pemberian medikasi preoperatif untuk meredakan kecemasan maupun nyeri diperlukan,
karena peningkatan katekolamin maternal dapat menurunkan aliran darah uterina.
Pertimbangkan profilkasis aspirasi dengan menggunakan kombinasi antasida,
metoklopramid, dan atau antagonis reseptor H2. Diskusikan penggunaan tokolitik
periooperatif dengan dokter kandungan pasien. Indometasin (oral atau supositoria) dan
magnesium sulfat (intravena) merupakan yang paling umum digunakan sebagai tokolitik
perioperatif. Indometasin memiliki implikasi anestetik yang kecil, namun magnesium sulfat
mempotensiasi relaksan otot non depolarisasi dan menurunkan kemampuan responsif
vaskular, sehingga membuat hipotensi sulit untuk diterapi selama kehilangan darah akut atau
pergeseran cairan.3
KESIMPULAN

1. Epulis gravidarum adalah pembesaran gingiva yang terjadi selama kehamilan, dapat
dijumpai pada daerah interdental, umumnya bertangkai, walaupun ada juga yang tidak
bertangkai. Epulis ditemukan pada akhir trimester 1 dan makin membesar pada trimester
kedua. Etiologi selain disebakan peningkatan hormon kehamilan, umumnya ditambah
dengan iritasi lokal seperti plak dan kalkulus, restorasi yang tidak memadai, impaksi
makanan, kebersihan mulut yang tidak baik.
2. Perawatan meliputi kontrol plak, scaling dan penghalusan akar, serta pemberian gel
metronidazol, eksisi, serta dilakukan pemeliharaan kebersihan mulut yang baik untuk
mencegah rekurensi.
3. Untuk menjaga keselamatan ibu, teknik anestesi dan pemberian obat-obatan harus
mempertimbangkan dan menyesuaikan perubahan fisiologis dan anatomi dikarenakan
kehamilan.
4. Pembedahan elektif sebaiknya ditunda hingga melahirkan. Pada kasus semi elektif, yang
terbaik adalah jika pembedahan dapat ditunda hingga setelah trimester pertama.
5. Disarankan untuk menghindari operasi elektif pada periode 6 minggu pasca partum awal
untuk memungkinkan tubuh untuk kembali ke fungsi normal fisiologis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Takei HH, Carranza FA, Shin K, Gingival Surgical Technique. In Newman MG, Takei
HH, Klokkevold PR, Carranza FA, editors. Carranza’s clinical periodontology 12th ed.
St. Louis: Elsevier, 2015; p. 576 – 81.

2. Jafarzadeh H, Sanatkhani M, Mohtasham N. Oral pyogenic granuloma : A review. J.


Oral Sci 2006; 48: 167–175.

3. Guzman LMD, Suarez JLC. Pregnancy and periodontal disease. Med Oral Patol. Oral
Cir. Bucal 2004; 9: 430 – 437.

4. Jones JE, Nquyen A, Tabaee A. Pyogenic granuloma (pregnancy tumor) of the nasal
cavity. A case report. J.Reprod Med 2000; 45: 749 – 753.

5. Sooriyamoorthy M, Gower DB. Hormonal influences on gingival tissue; Relationship to


periodontal disease. J. Clin Periodontal 2005; 16: 201–8.

6. Rabinerson D, Kaplan B, Dicker D, Dekel A. Epulis during pregnancy. Harefuah 2002;


141: 828–826.

7. Orosz M, Szende B, Gabris K. The clinical and pathological symptom of pregnancy


epulis. Forgorv Sz 2007; 100” 237 – 241.

8. Supradnyawati NM, Suarjaya IPP, Sinardja IK. Penatalaksanaan Anestesi pada


Kehamilan dengan Tumor Medula Spinalis. JNI 2014;3 (2): 103–11.

9. Apsari RKF, Uyun Y, Suryasaputra W. Anestesi pada Pembedahan Non-Obstetri dalam


Kehamilan. Jurnal Komplikasi Anestesi 2019; 7 (1): 67–77.

Anda mungkin juga menyukai