Anda di halaman 1dari 37

Laporan Resmi Praktikum Fisiologi Hewan

DARAH 3

Disusun Oleh:
Partner 9

Nama NIM
Nadia Fadillah Hasibuan 210805009
Fadhilah Khairani Nainggolan 220805012
Salsabila 220805030
Amalia Mulya Pratiwi 220805049
Desriwani N. Turnip 220805061
Rumondang Rotua Mauliate Br Manurung 220805066
Johannes Suryanto Ritonga 220805088

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN


PROGRAM STUDI SARJANA BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2024
Lembar Pengesahan

DARAH 3

Disusun Oleh:
Partner 9

Nama NIM
Nadia Fadillah Hasibuan 210805009
Fadhilah Khairani Nainggolan 220805012
Salsabila 220805030
Amalia Mulya Pratiwi 220805049
Desriwani N. Turnip 220805061
Rumondang Rotua Mauliate Br Manurung 220805066
Johannes Suryanto Ritonga 220805088

Medan, Maret 2024


Asisten,

(Elsa Izza Sabila)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Darah merupakan pengangkut jarak jauh, transportasi massal bahan-bahan
antara sel dan lingkungan eksternal atau diantara sel itu sendiri. Transportasi ini
penting untuk mempertahankan homeostasis. Darah terdiri dari cairan kompleks
plasma tempat elemen-elemen seluler yaitu eritrosit, leukosit, dan trombosit berada.
Eritrosit atau sel darah merah secara esensial merupakan membran plasma kantong
tertutup hemoglobin yang mengangkut O2 di dalam darah. Eritrosit pada dasarnya
memiliki jumlah paling banyak dibandingkan sel-sel darah lainnya. Dalam satu
milimeter darah, terdapat kira-kira 4,5 - 6 juta eritrosit, itu sebabnya darah berwarna
merah. Parameter untuk mengukur eritrosit biasanya dilakukan dengan mengukur
kadar hemoglobin di dalam darah dengan satuan gram per desiliter (g/dL) sedangkan
untuk mengukur perbandingan volume eritrosit dengan melihat volume darah
(hematokrit) dan menghitung jumlah eritrosit (Arviananta et al., 2020).
Peran utama darah secara umum adalah mengintegrasikan fungsi tubuh dan
memenuhi kebutuhan jaringan khusus. Peran ini dilakukan oleh darah melalui
transportasi, regulasi, dan mekanisme perlindungan. Darah mengirimkan oksigen,
nutrien, produk sisa, dan hormon dari suatu tempat ke tempat lain. Regulasi dilakukan
melalui bufer dalam darah, protein plasma, dan transpor panas. Fungsi perlindungan
dari darah mencakup antibodi dan fagosit untuk melindungi terhadap penyakit serta
faktor yang berpartisipasi dalam hemostasis. Darah terdiri dari cairan kuning jernih
yang disebut plasma, di mana sel dan banyak zat lain tergantung. Protein adalah
larutan utama yang ada didalam plasma dan terutama terdiri dari albumin, globulin,
dan fibrinogen. Ikatan protein plasma seperti zat suatu lipid dan logam seperti besi,
berperan untuk viskositas darah, dan berpartisipasi dalam koagulasi darah. Protein
juga berperan penting dalam pengaturan keseimbangan asam-basa. Volume darah
dapat dihitung baik dari volume plasma atau volume sel, dimana pada pria sehat rata-
ratanya yaitu 45 mL/kg dan 30 mL/kg berat badan. Bila berat badan rata-rata pria 75
kg, volume darah totalnya (termasuk plasma dan volume sel) kira-kira 5.500 sampai
6.000 mL, atau kira-kira 8% dari berat badan total (Tambayong, 2000).
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah:
a. Untuk membandingkan sel darah merah dari beberapa jenis hewan.
b. Untuk menentukan waktu beku darah.
c. Untuk menentukan penggolongan darah dengan sistem ABO.
d. Untuk menghitung jumlah sel darah merah (eritrosit).
e. Untuk menghitung jumlah sel darah putih (leukosit).
f. Untuk menghitung kadar Hb (Hemoglobin).
g. Untuk melihat kristal hemin.
h. Untuk mengetahui proses hemolisa dan krenasi.
i. Untuk menemtukan nilai hematokrit.
j. Untuk menentukan laju endap darah.

1.3 Manfaat Praktikum


Adapun manfaat dari praktikum ini adalah:
a. Dapat membandingkan sel darah merah dari beberapa jenis hewan.
b. Dapat menentukan waktu beku darah.
c. Dapat menentukan penggolongan darah dengan sistem ABO.
d. Dapat menghitung jumlah sel darah merah (eritrosit).
e. Dapat menghitung jumlah sel darah putih (leukosit).
f. Dapat menghitung kadar Hb (Hemoglobin).
g. Dapat melihat kristal hemin.
h. Dapat mengetahui proses hemolisa dan krenasi.
i. Dapat menentukan nilai hematokrit.
j. Dapat menentukan laju endap darah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembentukan Darah


Pada orang dewasa, sumsum tulang menghasilkan semua sel darah. Saat lahir,
sumsum merah terdapat pada semua tulang yang sudah terbentuk. Tiga tahun pertama
kehidupan hanya sumsum merah menghasilkan sel darah merah. Sesudah umur 3
tahun, sumsum merah lebih luas dan sesudah berumur 5 tahun terdapat begitu banyak
persediaan cadangan sehingga sebagian sumsum merah terganti dengan lemak.
Kebanyakan elemen darah yang terbentuk mempunyai lama hidup terbatas. Eritrosit
hidup rata-rata 120 hari. Asal sel-sel yang berkembang menjadi eritrosit, leukosit, dan
trombosit matang telah diselidiki selama bertahun-tahun. Teori sel asal membantu
menjelaskan berbagai tahapan diferensiasi sel dalam sumsum tulang. Eritrosit
dibentuk selama beberapa minggu pertama gestasi (Tambayong, 2000).
Hematopoiesis adalah pembentukan dan perkembangan semua elemen
pembentuk pada darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit), dan semua ini berasal dari
sel yang sama. Satu sel punca berpotensi majemuk dapat mengisi kembali sumsum
tulang yang habis dengan sel punca berpotensi majemuk tambahan dan memunculkan
eritrosit, leukosit, dan trombosit yang matang. Proliferasi dan diferensiasi sel puncak
sumsum tulang harus sangat diatur. Misalnya, pembentukan eritrosit akan meningkat
sebagai respons terhadap kehilangan darah setelah perdarahan, sementara
pembentukan leukosit akan meningkat sebagai respons terhadap infeksi
(mempertahankan tubuh). Berbagai macam kurir kimia yang bersirkulasi telah
ditemukan untuk mengatur proliferasi dan diferensiasi sel punca sumsum tulang.
Istilah umum untuk agen tersebut adalah hematopoietin. Hematopoietin individu
dapat merangsang sel- sel berkomitmen dalam jalur pengembangan untuk
menimbulkan sel- sel darah tertentu atau mungkin memiliki efek yang lebih umum
dengan merangsang sel- sel induk yang kurang berkomitmen. Misalnya,
erithropoietin adalah hematopoietin yang merangsang peningkatan produksi eritrosit
spesifik, dan interleukin-2 merangsang peningkatan produksi beberapa leukosit.
Hematopoietin juga telah digambarkan sebagai faktor perangsang koloni (Fails et al.,
2018).
Pembentuk darah atau hematopoietik, sel induk (HSC) digunakan secara luas
untuk mengobati leukemia dan kanker lainnya. Akan tetapi karena sel induk dewasa
ini tidak dapat memperbarui diri terus menerus dalam budaya, mereka harus
ditemukan 'in situ' di dalam jaringan organisme. Di sebagian besar jaringan dan organ,
sel punca dapat jarang ditemukan, menghargai sub populasi kecil atau kompartemen.
Fisiologis pengaturan sel induk dewasa disebut sebagai tempat atau kondisi yang
mendukung fungsi dan perkembangan sel mereka. Membuat sebuah ceruk buatan
dalam kultur sel di mana sel induk dewasa dapat dipelajari dan diproduksi secara
sistematis merupakan tantangan teknis yang berkelanjutan (Fagan, 2013).

2.2 Darah dan Komponennya


Darah berhubungan dalam pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam
tubuh yang tepatnya dalam aliran darah. Darah mengangkut gas ke seluruh tubuh.
Oksigen dibawa dari paru- paru ke semua jaringan sementara karbon dioksida yang
dihasilkan oleh metabolisme sel diangkut kembali ke paru- paru untuk dikeluarkan
dari tubuh. Sebagian besar oksigen dalam darah dibawa dalam kombinasi kimiawi
dengan hemoglobin, suatu protein pengikat oksigen yang terkandung di dalam sel
darah merah. Setiap molekul hemoglobin terdiri dari bagian protein (globin) yang
terdiri dari empat rantai polipeptida dan empat molekul pigmen yang mengandung
nitrogen yang disebut gugus hem. Masing-masing dari keempat gugus polipeptida
digabungkan dengan satu gugus heme. Di tengah setiap gugus hem terdapat satu
atom besi (Fe2+) yang dapat bergabung secara longgar dengan satu molekul oksigen.
Setiap molekul hemoglobin (Hb) karenanya dapat bergabung dengan empat molekul
oksigen, untuk membentuk oksihemoglobin (Pocock et al., 2013).
Darah terdiri dari sel- sel dan unsur- unsur lain yang berbentuk seperti sel
yang tersuspensi dalam cairan (fluid) yang disebut plasma. Beberapa fungsinya
khusus untuk sel individu, misalnya, eritrosit terutama bertanggung jawab untuk
pengangkutan oksigen. Fungsi lain seperti membantu pertahanan tubuh, melibatkan
berbagai sel darah dan komponen plasma lainnya. Volume darah adalah jumlah total
darah dalam tubuh hewan, termasuk elemen pembentuk dan plasma. Nilai tipikal
yang diberikan sebagai persentase berat badan adalah 7-9%. Hewan kurus, berotot,
dan atletis cenderung memiliki persentase yang lebih tinggi daripada indeks, atau
rasio,
berat suatu zat terhadap berat air pada waktu yang sama. Gravitasi spesifik lebih besar
dari 1 berarti bahwa volume zat yang sama memiliki berat lebih dari air, pada 1 g/ml.
Darah dan plasma memiliki berat jenis yang sedikit lebih tinggi daripada air, terutama
karena sel darah dan protein, kecuali perbedaan kecil biasanya diabaikan saat
memperkirakan volume darah/plasma berdasarkan berat badan (Fails et al., 2018).
Darah tersusun dari berbagai macam cairan dan sel pada sistem sirkulasi
tertutup yang mengalir dalam satu arah akibat adanya kontraksi jantung yang
berirama. Darah tersusun dari cairan ekstrasel dan unsur berbentuk seperti sel darah
(eritrosit, leukosit, dan trombosit) dan plasma. Apabila darah dikeluarkan dari dalam
sirkulasi, maka darah akan membeku, bekuan darah tersebut mengandung cairan
kuning bening yaitu serum yang terpisah dari koagulan. Zat antikoagulan, seperti
heparin dan sitrat dapat diberikan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah.
Apabila dilakukan sentrifugasi akan terbentuk lapisan heterogen. Hematokrit
merupakan volume eritrosit padat tiap satuan volume darah. Normalnya, pria dewasa
memiliki 40-50% hematokrit, sedangkan wanita dewasa memiliki 34-45%
hematokrit. Unsur berbentuk pada darah akan terpisah menjadi dua lapisan heterogen.
Pada lapisan di dasar tabung hematokrit terdapat warna merah, yaitu eritrosit dan
merupakan 42-47% dari volume total darah. Lapisan tepat di atasnya yang berwarna
kelabu atau putih disebut buffy coat terdiri dari leukosit dan merupakan 1% dari
volume darah total. Pemisahan ini terjadi karena leukosit tidak sepadat eritrosit.
Leukosit dibungkus satu lapisan trombosit. Plasma merupakan cairan yang
mengandung nutrisi yang dihasilkan oleh sistem pencernaan, zat sisa tidak terpakai
sebagai hasil reaksi didalam jaringan dan hormon. Plasma terdiri atas 35% darah dan
45% unsur seluler. Partikel terlarut berbentuk globul berukuran kilomikron, yaitu
lemak di dalam plasma dapat dilihat menggunakan mikroskop lapangan gelap dan
mikroskop fase kontras. Waktu sirkulasi darah berhenti atau pada saat darah
terkontaminasi udara, maka akan terdapat kondisi dimaba globulin plasma seperti
fibrinogen akan mengendap membentuk jala filamen halus, yaitu dengan nama fibrin.
Sineresis, yaitu pengerutan plasma atau bekuan darah akan menghasilkan serum.
Plasma memiliki peran membawa nutrisi-nutrisi yang berasal dari tempat absorbsi
atau yang memproduksi nutrisi tersebut, lalu menyebarkannya ke seluruh bagian
tubuh organisme. Plasma juga berperan dalam pengangkutan zat-zat sisa
metabolisme dari organ ekskretoris (Soesilawati, 2020).
2.3 Pembagian dan Fungsi Darah
Eritrosit merupakan korpuskel kecil pemberi warna merah darah. Eritrosit
tidak memiliki nukleus dan tersusun atas hemoglobin, yaitu protein yang berperan
dalam transport oksigen. Pada keadaan di bawah normal, eritrosit tetap berada di
sirkulasi darah. Eritrosit diproduksi dan dimaturasi di sumsum tulang, namun
sebelum masuk ke sirkulasi eritrosit kehilangan nukleus sehingga tidak dapat lagi
menyintesis protein yang memerlukan pengarahan DNA. Fungsi utama eritrosit
adalah transport oksigen dari paru-paru untuk dibawa ke seluruh jaringan dan
transport karbondioksida dari jaringan kembali ke paru-paru. Pada mamalia, eritrosit
tidak memiliki nukleus, sedangkan pada burung, reptil, ikan, dan amfibi eritrosit
memiliki nukleus namun DNA-nya tidak aktif. Kebanyakan eritrosit (sel darah
merah) mamalia digambarkan sebagai cakram bikonkaf tanpa inti. Bentuk eritrosit
yang bikonkaf menandakan perbandingan permukaan dan volume yang besar
sehingga memudahkan terjadinya pertukaran gas. Apabila eritrosit direndam pada
cairan isotonik, maka eritrosit akan terlihat memiliki garis tengah berukuran 7,5 μm,
ketebalan tepi 2,6 μm, dan ketebalan pusat 0,8 μm. Pada pria jumlah normal eritrosit
kira-kira 5,4 juta/mm3, sedangkan pada wanita 4,8 juta/mm3. Bentuknya yang
bikonkaf juga mampu memberi luas permukaan 20–30% lebih besar dibanding
dengan isinya daripada berbentuk bulat sehingga memudahkan dan mempercepat
tercapainya saturasi oksigen pada hemoglobin sewaktu eritrosit melewati kapiler
paru (Soesilawati, 2020).
Neutrofil adalah granulosit yang berwarna biru atau merah dalam pewarnaan
basa. Netrofil merupakan garis pertahanan tubuh untuk melawan infeksi dengan
bermigrasi ke daerah yang dikuasai bakteri untuk memusnahkannya. Pada banyak
kasus, netrofil juga mencerna jaringan mati pada daerah dan menghasilkan bahan
semi cair. Jumlahnya meningkat (netrofilia) pada waktu stres, estrus (fisiologis), dan
pada waktu infeksi (patologis). Jumlah total sel darah putih beserta masing-masing
jenisnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jumlah total sel darah putih pada
hewan mempunyai variasi yang berbeda daripada manusia, yaitu bergantung pada
jenis hewan, bangsa (breed), umur, jenis kelamin, dan kondisi hewan tersebut.
Beberapa hewan mempunyai sifat yang karakteristiknya tidak dipunyai hewan lain
dalam memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan, sehingga mengakibatkan
kenaikan jumlah sel darah putih yang berbeda pula (Sonjaya, 2013).
2.4 Kelainan Darah
Sel darah merah (eritrosit) merupakan komponen darah yang jumlahnya paling
banyak di dalam tubuh. Sel darah merah normal berbentuk cakram dengan kedua
permukaannya cekung atau bikonkaf, tidak memiliki inti, dan mengandung
hemoglobin. Kelainan pada sel darah merah terjadi karena sel darah merah dan/atau
masa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh yang sering disebut dengan anemia. Ada dua tipe anemia
yaitu anemia gizi dan non-gizi. Anemia gizi terjadi akibat kekurangan gizi, sedangkan
anemia non-gizi disebabkan oleh kelainan genetik. Salah satu penyakit anemia non-
gizi yang sering diderita adalah Thalasemia. Anemia Thalasemia merupakan penyakit
hemolitik atau kurangnya kadar hemoglobin yang disebabkan oleh defisiensi
pembentukan rantai globin Alpha atau Betha yang menyusun hemoglobin.
Berdasarkan defisiensi pembentukan rantai globin tersebut maka Thalasemia
dibedakan menjadi Thalasemia Alpha dan Thalasemia Betha. Berdasarkan gejala
klinis Thalasemia dikategorikan menjadi dua yaitu Thalasemia minor dan Thalasemia
Mayor (Suryani et al., 2015).
Anemia adalah suatu kondisi tubuh dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam
darah lebih rendah dari normal. Anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya defisiensi zat gizi seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, protein dan
perdarahan serta hemolitik. Prevalensi anemia di Indonesia sebesar 21.7%. Proporsi
anemia pada wanita (23.9%) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (18.4%).
Remaja putri dikatakan anemia jika kadar Hb<12 g/dl. Remaja putri lebih mudah
menderita anemia dikarenakan remaja putri yang memasuki masa pubertas dan
pertumbuhannya pesat sehingga kebutuhan zat besi meningkat. Gejala yang sering
ditemui pada penderita anemia adalah 5L (Lesu, Letih, Lemah, Lelah, Lalai). Selain
itu, remaja putri seringkali melakukan diet yang keliru untuk menurunkan berat badan
akibat kurangnya pengetahuan, diantaranya mengurangi asupan protein hewani yang
dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin darah. Remaja putri yang mengalami
haid juga kehilangan darah setiap bulannya sehingga membutuhkan zat besi dua kali
lipat lebih besar. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri di kalangan remaja putri.
Anemia pada rematri dapat menyebabkan konsentrasi belajar menurun sehingga
prestasi belajar dan produktivitas kerja menurun (Adila et al., 2023).
BAB 3
METODE PERCOBAAN

3.1 Waktu dan Tempat


Pratikum ini dilaksanakan pada hari Senin, 4 Maret 2024 pukul 14.00 WIB
sampai dengan selesai di Laboratorium Fisiologi Hewan, Program Studi Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan


Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah bak bedah, disetting
set, object glass, jarum frank, mikroskop, planel, gelas ukur 96%, haemositometer
(terdiri dari pipet pengencer eritrosit, Hb meter sahli terdiri dari: tabung sahli
berskala, pipet), counter, aspirator/penghisap, tissue, pipet tetes, kapas dan kain.
Sedangkan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah
aquadest,kertas golongan darah, anti A, anti B, tissue, HCL 0,1 N, larutan Turk,
asam cuka glassial, plastisin, larutan Hayem, NaCl 0,1%, 0,3%, 0,6%, 0,9%, 1,2%,
1,5%, darah Rattus novergicus, darah Capra aegragrus hircus, darah Bos sp., dan
darah Homo sapiens.

3.3 Prosedur Percobaan


3.3.1 Membandingkan Sel Darah Merah dari Beberapa Jenis Hewan
Darah diteteskan diatas object glass. Lalu ditambahkan dengan larutan NaCl
0,9% kemudian dihomogenkan. Kemudian diletakkan dibawah mikroskop dan
diamati. Bandingkan antara sel darah merah tersebut dengan beberapa jenis sel darah
hewan lainnya.

3.3.2 Menentukan Waktu Beku Darah


Darah dihisap kedalam pipa kapiler, lalu ditutup bagian ujung pipa dengan ibu
jari dan telunjuk. Kemudian ditunggu beberapa saat sampai terbentuk benang fibrin
dengan cara dipatahkan ujung pipa kapiler. Dicatat waktu beku darah yang
didapatkan.
3.3.3 Menentukan Golongan Darah dengan Sistem ABO
Darah diteteskan diatas objek glass. Lalu ditambahkan dengan anti A dan anti
B kemudian dihomogenkan. Kemudian ditunggu beberapa menit sampai terbentuk
gumpalan dan ditentukan golongan darahnya.

3.3.4 Menghitung Jumlah Eritrosit


Darah dihisap menggunakan pipet eritrosit sampai tanda 0,5 atau 1,0 dan
dibersihkan ujung pipet dengan tisu. Dihisap larutan pengencer Hayem sampai tanda
batas 101 dengan cepat tanpa menimbulkan gelembung udara. Dilepaskan pipet
penghisap (aspirator), dilakukan gerakan mengaduk dengan diletakkan ibu jari dan
telunjuk pada kedua ujung pipet hingga homogen. Lalu dibuang cairan di ujung pipet
yang tidak tercampur. Disiapkan kamar hitung dan mikroskop listrik, lalu diteteskan
suspensi darah pada bagian pinggir gelas penutup dan dihitung dibawah mikroskop.

3.3.5 Menghitung Jumlah Leukosit


Darah dihisap dengan menggunakan pipet eritrosit sampai tanda 0,5 atau 1,0
dan dibersihkan ujung pipet dengan tisu. Lalu dihisap larutan pengencer Turk sampai
tanda 11 dengan cepat dan tanpa menimbulkan gelembung udara. Kemudian
dilepaskan pipet penghisap (aspirator) lalu dilakukan gerakan mengaduk dengan cara
diletakkan ibu jari dan telunjuk pada kedua ujung pipet hingga homogen. Setelah itu
dibuang cairan pada ujung pipet yang tidak tercampur. Kemudian disiapkan kamar
hitung dan mikroskop listrik. Teteskan suspensi darah pada bagian pinggir gelas
penutup dan dihitung dibawah mikroskop.

3.3.6 Menghitung Kadar Hb


Tabung Sahli disi dengan larutan HCL 0,1 N sampai tanda 10 (garis paling
bawah pada tabung). Lalu dihisap darah dengan menggunakan aspirator sampai batas
angka 20 mm. Kemudian dibersihkan ujung pipet dengan menggunakan tisu dan
dimasukkan kedalam tabung sahli, diaduk dengan batang pengaduk. Kemudian
dicocokkan dengan warna yang terjadi dengan warna standart. Jika belum cocok
ditambahkan aquadest setetes demi setetes. Kemudian dibaca kadar Hb pada dinding
tabung sahli (dalam g% atau gr dalam 100 ml).
3.3.7 Melihat Kristal Hemin
Darah diletakkan diatas object glass dan biarkan sampai kering. Kemudian
dipanaskan dengan beberapa tetes larutan asam cuka glacial lalu diberi sedikit NaCl
dan diamati kristal hemin yang terbentuk warna kuning dibawah mikroskop.

3.3.8 Melihat Proses Hemolisa dan Krenasi


Sediakan 7 tabung reaksi yang tiap tabung diberi larutan yang berbeda.
Tabung I diberi NaCl 0% (aquadest) 5 ml, tabung II diberi NaCl 0,1% (aquadest) 5
ml, tabung III diberi NaCl 0,3% (aquadest) 5 ml, tabung IV diberi NaCl 0,6%
(aquadest) 5 ml, tabung V diberi NaCl 0,9% (aquadest) 5 ml, tabungVI diberi NaCl
1,2% (aquadest) 5 ml dan tabung VII diberi NaCl 1,5% (aquadest) 5 ml. Lalu
diteteskan 3 tetes darah kedalam masing-masing tabung dan dibiarkan selama 30
menit. Kemudian diamati warna dan kekeruhan dalam masing-masing tabung.

3.3.9 Menghitung Nilai Hematokrit


Darah dimasukkan kedalam pipa kapiler, lalu ditutup 1 sisi pipa dengan lilin.
Masukkan kedalam mikrosentrifugge selama 5 menit dengan 1000 rpm dan dihitung
persentase hematokrit.

3.3.10 Mengamati Laju Endap Darah


Darah dimasukkan kedalam tabung EDTA, didiamkan selama satu jam
kemudian diukur laju endap darah.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perbandingan Sel Darah Merah Beberapa Jenis Hewan


Menurut Sonjaya (2013), darah terdiri atas bagian cair yang disebut plasma
dan bahan-bahan interseluler. Plasma darah dan sel-sel darah dapat terpisah dan
dapat bebas bergerak dalam cairan interseluler. Darah mengangkut zat-zat makanan
dari alat pencernaan ke jaringan tubuh, hasil limbah metabolisme dari jaringan tubuh
ke ginjal, dan hormon dari kelenjar endokrin ke target organ tubuh. Darah juga
berpartisipasi dalam pengaturan kondisi asam-basa, keseimbangan elektrolit dan
temperatur tubuh, serta sebagai pertahanan suatu organisme terhadap penyakit.
Beberapa faktor yang memengaruhi jumlah sel-sel darah adalah faktor internal
(genetik, bangsa ternak, dan status fisiologis) dan faktor eksternal lingkungan
(kualitas pakan, kondisi daerah, pemeliharaan, dan penyakit). Sel darah merah
mengandung hemoglobin serta mengangkut oksigen dan karbon dioksida. Sel-sel
darah putih yaitu limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil yang bergerak
membungkus bakteri serta terlibat dalam proses kekebalan tubuh.
Menurut Jabar et al. (2023), secara kasar juga dapat terlihat bahwa ukuran
eritrosit kodok merupakan yang terbesar, sedangkan ukuran eritrosit mamalia adalah
yang terkecil. Kadar hemoglobin amphibi dapat meningkat apabila beradaptasi pada
lingkungan yang dingin. Sehingga ada hubungan antara ukuran dan struktur eritrosit
terhadap kapiler darah masing-masing hewan vertebrata. Hb terdapat di sitoplasma,
sehingga semakin luas sitoplasmanya maka semakin luas pula daerah untuk
menampung Hb. Kelas pisces merupakan kelompok ikan bertulang belakang
(vertebrata) yang bersirip, bernafas dengan insang dan hidup di air. Terdapat
beberapa faktor yang dapat memengaruhi hasil sehingga jumlah eritrosit dan kadar
hemoglobin pada ikan lele uji berada di bawah rata-rata. Rendahnya eritrosit ini
kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti asal tambak ikan
didapatkan. Di mana kepadatan tebar yang tinggi di lokasi tambak ikan
menyebabkan reaksi hematologis terhadap stress yang dapat meningkatkan kapasitas
sel darah dalam membawa oksigen untuk menyediakan energi tubuh, yang berakibat
pada berkurangnya jumlah eritrosit.
Berdasarkan hasil pengamatan perbandingan sel darah merah beberapa jenis
hewan disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 4.1 Perbandingan Sel Darah Merah Beberapa Jenis Hewan
No Sampel Gambar Keterangan
1. Homo sapiens  Tidak memiliki inti
 Bentuk bikonkaf
 Warna merah pucat
 Ukuran kecil

2. Bos sp.  Tidak memiliki inti


 Bentuk bikonkaf
 Warna merah gelap

3. Rattus novergicus  Tidak memiliki inti


 Bentuk bikonkaf
 Warna mera h pucat

4. Capra aegragus hircus  Tidak memiliki inti


 Bentuk bikonkaf
 Warna merah, tapi
tidak sepekat darah
Homo sapiens
Berdasarkan Tabel 4.1 yang diamati dengan mikroskop, perbandingan sel
darah dari beberapa jenis hewan yaitu pada Homo sapiens tidak memiliki inti,
berbentuk bikonkaf, berwarna merah pekat dan berukuran kecil, pada Rattus
novergicus memiliki inti, berbentuk bikonkraf, berwarna merah pucat, pada Capra
aegragrus hircus tidak memiliki inti, bentuknya bikonkaf, berwarna merah namun
tidak sepekat darah Homo sapiens, dan pada Bos sp. tidak memiliki inti, berbentuk
bikonkraf, berwarna merah pucat.

4.2 Waktu Beku Darah


Berdasarkan hasil pengamatan waktu beku darah disajikan dalam data berikut:
Tabel 4.2 Pengamatan Waktu Beku Darah
No Sampel Waktu beku darah
1. Homo sapiens 42 menit 34 detik
2. Rattus novergicus 20 menit
3. Capra aegragus hircus 39 menit 23 detik
4. Bos sp. 42 menit 50 detik
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa waktu beku darah pada beberapa
jenis mamalia yaitu Homo sapiens 42 menit 34 detik, Rattus novergicus 20 menit,
Capra aegrasgrus hircus 39 menit 23 detik dan Bos sp. 42 menit 50 detik.
Menurut Ridwan et al. (2019), pembekuan darah yang terjadi merupakan
pembekuan secara ekstravaskuler, yang terjadi pada saat melakukan ulas dengan
darah kodok yang tidak dimasukkan ke dalam (ethylenediaminetetraacetic acid)
EDTA yang menyebabkan darah tersebut lebih cepat berkoagulasi. Area dimana
proses pembekuan mikro sudah dimulai ditunjukkan dengan adanya eritrosit-eritrosit
saling berdempetan satu sama lain dan terdapat trombosit yang menggerombol di
antaranya. Pembekuan ini terjadi dikarenakan darah yang digunakan untuk ulas darah
tidak menggunakan EDTA yang menghambat proses koagulasi darah. Penelitian ini
tidak menggunakan EDTA dikarenakan jumlah darah yang diambil hanya sedikit,
yaitu ± 1 mL. Jika darah dalam jumlah tersebut dimasukkan ke dalam tabung EDTA
maka darah akan lisis sehingga sampel tidak dapat digunakan.
Menurut Pocock et al. (2013), sebagian besar faktor pembekuan adalah
protease serin yang terkait dengan trypsin yang disintesis di hati sebelum mengalami
modifikasi pasca translasi dengan proses yang membutuhkan vitamin K. Ini dikenal
sebagai jalur ekstrinsik dan intrinsik, jalur ini saling terkesinambungan. Jalur ini akan
diaktifkan ketika pembuluh darah rusak dan darah bocor keluar dari sistem
pembuluh
darah. Sistem intrinsik (yang lebih lambat dari keduanya) diaktifkan saat darah
bersentuhan dengan dinding pembuluh yang cedera sementara sistem ekstrinsik
diaktifkan saat darah bersentuhan dengan glikoprotein yang disebut faktor jaringan.
Disebut jalur intrinsik karena semua unsur yang diperlukan untuk mengaktifkan
sistem intrinsik terdapat dalam darah normal, sedangkan jalur ekstrinsik diaktifkan
oleh faktor dari luar darah yaitu faktor jaringan. Kedua jalur berkontribusi pada
proses koagulasi. Pembekuan darah melibatkan reaksi enzimatik dari protrombin
menjadi trombin kemudian polimerasi oleh fibrinogen untuk membentuk untaian
fibrin dimana sel dan plasma terperangkap.

4.3 Penggolongan Darah dengan Sistem ABO


Berdasarkan hasil uji penggolongan darah dengan sistem ABO disajikan
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4.3 Penggolongan Darah dengan Sistem ABO
No Sampel Golongan Darah
1. Homo sapiens AB
2. Rattus novergicus O
3. Capra aegragus hircus O
4. Bos sp. O
Berdasarkan Tabel 4.3 didapatkan hasil pada percobaan di parameter ketiga
yaitu hasil penggolongan darah pada kelima sampel adalah Homo sapiens dengan
golongan darah AB dan sampel lainnya yaitu Rattus novergicus, Capra aegrasgrus
hircus dan Bos sp. memiliki golongan darah O.
Menurut Hariri et al. (2018), darah merupakan salah satu bagian penting
dalam tubuh. Darah dibedakan menjadi beberapa golongan yaitu A, B, O, dan AB.
Secara konvensional, mendeteksi golongan darah dengan cara meneteskan serum anti-
A dan serum anti-B ke darah yang akan dikenali kemudian melakukan pengamatan
langsung terhadap reaksi tetesan serum tersebut. Sistem penggolongan darah ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi transfuse (hemolisis dan aglutinasi)
ketika dilakukan transfusi darah antara donor dan resipen.
Menurut Mulyadi et al. (2020), darah adalah jaringan cair yang terdiri dari 2
bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Terdapat lebih kurang 4 s/d 5 liter dalam
tubuh manusia dewasa yang beredar secara terus menerus. Darah memiliki peran
penting bagi tubuh manusia sebagai pengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel
di seluruh tubuh. Darah juga mensuplai tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat
sisa
metabolism, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan
mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Penentuan golongan darah mutlak
diperlukan untuk mengatasi kesalahan transfusi darah yang tidak sesuai
golongannya.

4.4 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)


Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sel darah merah (eritrosit) disajikan
dalam data berikut :
Tabel 4.4 Jumlah Sel Darah Merah (Eritrosit)
No Sampel Eritrosit (A x 104)
1. Homo sapiens 931 x 104 sel/mm3
2. Rattus novergicus 385 x 104 sel/mm3
3. Capra aegragus hircus 200 x 104 sel/mm3
4. Bos sp. 560 x 104 sel/mm3

Berdasarkan Tabel 4.4 didapatkan jumlah sel darah merah (eritrosit) hewan
yang paling banyak terdapat pada Homo sapiens yaitu sebesar 931 x 104 sel/mm3
kemudian Bos sp. 560 x 104 sel/mm3, Rattus novergicus 285 x 104 sel/mm3 dan Capra
aegrasgrus hircus 200 x 104 sel/mm3.
Menurut Fails et al. (2018), jumlah eritrosit total dinyatakan sebagai jumlah sel
per mikroliter darah utuh, dan sebagian besar hewan memiliki sekitar 7 juta per mikroliter.
Jumlah leukosit dan trombosit total juga dinyatakan per mikroliter darah. Protein
hemoglobin adalah konstituen intraseluler utama penyusun eritrosit. Sel darah merah
tersusun atas protein kompleks berupa hemoglobin yang merupakan protein yang tersusun
atas rantai rantai polipeptida. Hemoglobin adalah molekul kompleks yang mengandung
empat. rantai asam amino (bagian globin) disatukan oleh interaksi nonkovalen. Setiap
rantai asam amino mengandung gugus heme (pigmen porfirin merah), dan setiap gugus
heme mengandung atom besi.
Menurut Syawal et al. (2021), faktor-faktor yang memengaruhi jumlah eritrosit
adalah spesies, jenis kelamin, umur, nutrisi pakan, ukuran, aktivitas fisik, dan umur. Umur
dan ukuran akan memengaruhi kebutuhan oksigen. Oksigen dibutuhkan dalam proses
kimiawi dalam tubuh seperti respirasi, sirkulasi darah dan metabolisme. Adapun
peningkatan kadar eritrosit dalam darah menunjukkan kandungan oksigen dalam darah
meningkat dan menunjukkan mulai beradaptasi dengan lingkungan. jumlah eritrosit
bertambah bila kandungan oksigen dalam darah rendah. Kandungan oksigen dapat
menstimulir penambahan jumlah eritrosit. Peningkatan Hb juga kaitannya dengan
peningkatan jumlah eritrosit, dimana jika kadar Hb meningkat maka kadar eritrosit juga
meningkat dan ini disebabkan meningkatnya kandungan zat besi di darah.

4.5 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)


Berdasarkan hasil perhitungan jumlah sel darah putih (leukosit) disajikan
dalam data berikut:
Tabel 4.5 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)
No Sampel Leukosit (B x 50)
1. Homo sapiens 793 x 50 sel/mm3
2. Rattus novergicus 145 x 50 sel/mm3
3. Capra aegragus hircus 463 x 50 sel/mm3
4. Bos sp. 135 x 50 sel/mm3
Berdasarkan Tabel 4.5 didapatkan jumlah sel darah putih (leukosit) hewan
yang paling banyak terdapat pada Homo sapiens yaitu 793 x 50 sel/mm3diikuti oleh
Capra aegrasgrus hircus yaitu 463 x 50 sel/mm3, Rattus novergicus 145 x 50
sel/mm3, dan Bos sp. 135 x 50 sel/mm3
Menurut Syawal et al. (2021), peningkatan sel leukosit merupakan refleksi
keberhasilan sistem imunitas tubuh dalam mengembangkan respons imunitas seluler (non
spesifik) sebagai pemicu untuk respons kekebalan. Kandungan bahan aktif dapat
merangsang sistem imun dengan cara mengirimkan sinyal pada reseptor sel sehingga.
Mekanisme kerja bahan aktif tersebut dalam memacu sistem imun adalah mempercepat
aktivasi leukosit dan makrofag sehingga proses fagositosis tehadap benda asing dapat
dilakukan dalam waktu cepat.
Menurut Fails et al. (2018), penghitungan total diferensial menunjukkan
persentase sel darah putih dalam sampel darah. Hitungan diferensial total leukosit dapat
digunakan untuk mengevaluasi respons hewan terhadap infeksi atau penyakit. Atapun
apakah hewan tersebut mengalami trauma berupa luka. Untuk menghitung leukosit dapat
dilakukan dengan menyiapkan setetes darah secara tipis pada kaca objek dan membentuk
apusan darah. Apusan dikeringkan dan diwarnai dengan noda darah, seperti noda Wright.
Setelah pewarnaan selesai, apusan diamati dengan mikroskop dan jumlah sel darah putih
dihitung. Jumlah yang dihitung biasanya merupakan kelipatan 100, dan persentase dari
setiap jenis leukosit yang diamati dalam sampel darah tertentu disebut jumlah leukosit
diferensial atau jumlah sel darah putih diferensial, penrhitungan ini dapat menunjukan
seberapa besar kadar leukosit.
4.6 Jumlah Kadar Hb (Hemoglobin)
Berdasarkan hasil perhitungan Jumlah Hemoglobin disajikan dalam data
berikut :
Tabel 4.6 Jumlah Kadar Hb (Hemoglobin)
No Sampel Kadar Hb
1. Homo sapiens 15,9 %
2. Rattus novergicus 10 %
3. Capra aegragrus hircus 7,4 %
4. Bos sp. 6,4 %
Berdasarkan Tabel 4.6 diketahui mengenai jumlah kadar Hemoglobin (Hb)
pada beberapa jenis mamalia yaitu Homo sapiens 15,9 %, rattus novergicus 10%,
Capra aegrasgrus hircus 7,4%, dan Bos sp. 6,4%. Nilai Hb yang berbeda-beda dari
beberapa jenis mamalia ini dikarenakan beberapa indikator stres dini. Penurunan atau
peningkatan parameter hematologi dalam darah menunjukkan telah terjadi
penyimpangan fisiologis pada ikan.
Menurut Septriani et al. (2018), darah merupakan salah satu parameter sistem
imun yang menentukan status kesehatan hewan, karena darah mempunyai komponen
yang berfungsi sangat penting dalam pengaturan fisiologis tubuh. Faktor yang dapat
berpengaruh terhadap parameter hematologi darah adalah penyakit, umur,jenis
kelamin, ras, temperatur lingkungan, keadaan geografis. Salah satu indikatornya dapat
dilihat dari nilai hematologi yakni total eritrosit dan kadar hemoglobin. Total eritrosit
adalah jumlah eritrosit di setiap sel darah merah yang dipengaruhi oleh gizi pakan
yang diberikan kepada ternak. Kadar hemoglobin dalam darah menjadi salah satu
parameter untuk mengukur keadaan anemia dari suatu individu hewan. Mineral besi
dan tembaga memiliki sifat yang sama dalam sistem pembentukan darah. Mineral
tembaga merupakan komponen dari berbagai enzim yang diperlukan untuk
menghasilkan energi, anti oksidasi, dan sintesa hormon adrenalin serta untuk
pembentukan jaringan ikat. Kekurangan dari mineral tembaga menyebabkan tidak
berfungsinya sistem enzim, sehingga sistem metabolisme dan fisiologi tubuh
tidak bekerja secara normaldan menyebabkan gangguan dalam pembentukan darah.
Menurut Fails et al. (2018), hemoglobin memili peran atau fungsi dalam
transportasi baik oksigen maupun karbon dioksida. Oksigen mengikat ke bebrapa zat
besi dalam kelompok heme untuk membentuk oksihemoglobin (HbO2), proses ini pun
disebut dengan oksigenasi. Jumlah oksigen yang dapat diikat sebanding dengan
jumlah
besi yang ada, dengan satu molekul oksigen bergabung dengan setiap atom besi.
Karena mengikat hemoglobin, darah bisa mengandung oksigen sekitar 60 kali lebih
banyak dilarutkan dalam jumlah air yang sama di dalam kondisi yang sama. Karbon
dioksida juga mengikat hemoglobin di tempat yang berbeda pada molekul. Karbon
dioksida berikatan dengan gugus α-amino dari rantai peptida untuk membentuk
karbaminohemoglobin.

4.7 Kristal Hemin

Menurut Marcelisa et al. (2015), kristal hemoglobin terbentuk karena adanya


reaksi antara reagen dari tes Teichmann dan tes Takayama dengan gugus heme yang
terdapat pada darah. Pada tes Teichmann akan terbentuk kristal yang berbentuk
belah ketupat yang berwarna coklat yang disebut juga dengan kristal hemin dan
pada tes Takayama terbentuk kristal berbentuk jarum disebut juga kristal
hemokromogen yang dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskop.
Pemeriksaan Teichmann merupakan salah satu pemeriksaan konfirmatif yang
menggunakan reagen asam asetat dan halida (klorida) yang akan membentuk kristal,
pembentukan kristal ini kemungkinan karena elektron Fe merupakan senyawa yang
mudah teroksidasi sehingga akan berikatan dengan klorida dan membentuk ikatan
kimia sehingga pada pemeriksaan mikroskopis tampak kristal hemin. Ikatan yang
mungkin terbentuk dari asam asetat glasial (CH3COOH) dan klorida saat berikatan
dengan elektron Fe yang teroksidasi adalah ikatan kovalen.
Menurut Romdonah et al. (2017), bercak darah pada kaca objek dan kain
yang dipaparkan dengan menggunakan sodium hipoklorit akan menyebabkan bercak
darah tidak dapat dilihat secara visual. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa
struktur kimia dari kaca objek dan kain yang membantu memudahkan kerja sodium
hipoklorit. Sodium hipoklorit bekerja dengan cara melepaskan ikatan antara Fe dan
protoporfirin yang terdapat pada bagian struktur heme. Zat besi (Fe) di dalam tubuh
akan berikatan dengan protein dan membentuk ikatan Fe-S. Reaksi pemecahan
struktur heme dan pelepasan Fe tidak dipengaruhi oleh konsentrasi dari sodium
hipoklorit, sesuai dengan penelitian yang dilakukan sehingga kemungkinan inilah
yang menyebabkan tidak dibentuknya kristal hemoglobin pada bercak darah yang
terletak pada kaca objek dan kain yang kena paparan dari sodium hipoklorit.
Berdasarkan hasil pengamatan kristal hemin disajikan dalam data berikut :
Tabel 4.7 Kristal Hemin
No Sampel Kristal Hemin Gambar
1. Homo sapiens Ada

2. Rattus novergicus Ada

3. Capra aegragus hircus Ada

4. Bos sp. Ada


Berdasarkan Tabel 4.7 ditemukan adanya kristal hemin pada sampel Homo
sapiens, rattus novergicus, Capra aegrasgrus hircus, dan Bos sp.

4.8 Menghitung Proses Hemolisa dan Krenasi


Berdasarkan hasil perhitungan proses hemolisa dan krenasi disajikan dalam
data berikut :
Tabel 4.8 Menghitung Proses Hemolisa dan Krenasi
No Sampel Krenasi NaCl Keterangan
0% Hemolisa
0,1% Hemolisa
0,3% Hemolisa
1. Homo sapiens 0,6% Krena si
0,9% Krena si
1,2% Krena si
1,5% Hemolisa
0% Hemolisa
0,1% Hemolisa
0,3% Hemolisa
2. Rattus novergicus 0,6% Krena si
0,9% Krena si
1,2% Krena si
1,5% Krena si
0% Hemolisa
0,1% Hemolisa
0,3% Hemolisa
Capra aegragrus
3. 0,6% Krena si
hircus
0,9% Krena si
1,2% Krena si
1,5% Hemolisa
0% Hemolisa
0,1% Hemolisa
0,3% Hemolisa
4. Bos sp. 0,6% Krena si
0,9% Krena si
1,2% Krena si
1,5% Krena si

Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa dari kelima sampel darah yaitu
darah Homo sapiens, darah Rattus novergicus, darah Capra aegrasgrus hircus, dan
darah Bos sp. Hal tersebut dikarenakan kondisi dan konsentrasi sel serta sifat dari
membran sel. Dimana sel sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal
membran sel. Setiap sel sangat dipengaruhi oleh konsentrasi larutannya baik
hipotonis maupun hipertonis.
Menurut Soesilawati (2020), pada keadaan normal, terjadi keseimbangan
ostomik antara sel darah dan plasma. Apabila konsentrasi plasma menjadi lebih pekat
akibat penguapan atau pada kondisi hipertonik, maka sel darah mengalami krenasi
akibat air keluar dari sel sehingga sel mengerut dan dengan demikian menghasilkan
bentuk sel seolah berduri. Krenasi ditandai dengan munculnya 10–30 tonjolan pendek
pada permukaan eritrosit yang disebut echinosit.
Menurut Dewi et al. (2023), dampak hemolisis pada hasil tes laboratorium
dapat menjadi tidak tepat karena pengaruh sampel darah hemolisis. Salah satunya
interferensi hemolisis yaitu terhadap pengaruh pengenceran (hemolisis berat yang
melepaskan cairan sel) yang mengarah ke hasil yang salah. Darah hemolisis dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi, darah hemolisis akan menjadi pertikel
kecil seukuran trombosit, sehingga menyebabkan hasil pemeriksaan diduga tidak
sesuai dengan hasil yang sebenarnya. Selain itu juga, darah dengan hemolisis ringan
dan hemolisis sedang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemoglobin. Hemolisis
sering terjadi dilapangan, maka jika terdapat sampel hemolisis sebaiknya dilakukan
pengambilan sampel ulang. Namun, yang terjadi di lapangan banyak sampel hemolisis
yang digunakan dalam pengujian laboratorium. Penyebab terjadinya hemolisis salah
satunya karena kesulitan dalam mendapatkan akses pengambilan darah.

4.9 Menghitung Nilai Hematokrit


Berdasarkan hasil perhitungan nilai hematokrit disajikan dalam data berikut:
Tabel 4.9 Menghitung Nilai Hematokrit

No Sampel Hematokrit
1. Homo sapiens -
2. Rattus novergicus -
3. Capra aegragus hircus -
4. Bos sp. -
Berdasarkan Tabel 4.9 tidak didapatkan hasil nilai perhitungan dikarenakan
tidak dilakukannya parameter pada praktikum.
Menurut Fitria (2019), nilai hematokrit pada hewan normal berkisar pada
30,8% hingga 45,5%. Dalam perhitungan kadar hematokrit dapat dilihat bahwa
jumlah eritrosit yang tinggi akan diikuti dengan persentase hematokrit yang
meningkat. Presentase kadar hematokrit berhubungan dengan jumlah sel darah
merah. Adanya peningkatan nilai hematokrit pada darah menunjukkan adanya
keterkaitan dengan banyaknya jumlah sel darah merah yang terbentuk oleh jaringan
haemapoesis. Dimana jumlah sel darah merah berbanding lurus dengan nilai
hematokrit.
Menurut Rasyada (2014), nilai hematokrit adalah konsentrasi (dinyatakan
dalam persen) eritrosit dalam 100 ml darah lengkap. Nilai hematokrit akan
meningkat (hemokonsentrasi) karena peningkatan kadar sel darah atau penurunan
volume plasma darah. Sebaliknya nilai hematokrit akan menurun (hemodilusi)
karena penurunan seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah. Trombosit
merupakan sel darah yang berfungsi dalam hemostasis. Sel ini tidak memiliki nukleus
dan dihasilkan oleh megakariosit dalam sumsum tulang.

4.10 Laju Endap Darah


Berdasarkan hasil pengamatan laju endap darah disajikan dalam data berikut:
Tabel 4.10 Pengamatan Laju Endap Darah
No Sampel Waktu Keterangan
1. Homo sapiens 60 menit 45% plasma darah, 55% sel darah
2. Rattus novergicus 60 menit 5% plasma darah, 95% sel darah
3. Capra aegragus hircus 60 menit 10% plasma darah, 90% sel darah
4. Bos sp. 60 menit 3% plasma darah, 97% sel darah
Berdasarkan Tabel 4.10 mengenai tabel laju endap darah pada beberapa jenis
hewan dengan waktu 1 jam didapatkan hasil Homo sapiens terdiri dari 45% plasma
darah, 55% sel darah, Rattus novergicus 5% plasma darah, 95% sel darah, Capra
aegrasgrus hircus 10% plasma darah, 90% sel darah, dan Bos sp. 3% plasma darah,
97% sel darah.
Menurut Hardyansa (2020), pemeriksaan laju endap darah atau Erythrocyte
Sedimentation Rate ditujukan untuk melihat kecepatan darah dalam membentuk
endapan. Laju endap darah dilakukan untuk menilai kecepatan eritrosit atau sel darah
merah mengendap dalam tabung pengukuran yang diukur selama 1 jam. Laju endap
darah menggambarkan komposisi darah dengan antikoagulan yang dimasukkan ke
dalam tabung. Prinsip dasar pemeriksaan laju endap darah adalah proses pengendapan
partikel padat yaitu sel-sel eritrosit ke dasar tabung.
Menurut Dewi et al. (2019), laju endap darah (LED) adalah kecepatan suatu
deposisi sel eritrosit atau sel darah merah di suatu tempat yang berisi darah tabung
yang telah diberikan antikoagulan dalam satu jam. Laju endap darah masih banyak
digunakan sebagai pemeriksaan skrining respons fase akut dan tes pemantauan seperti
untuk infeksi, penyakit autoimun dan keganasan. Metode referensi untuk pengukuran
laju endap darah yang dipakai adalah metode Westergren. Pemeriksaan manual pada
laju endap darah menggunakan metode Westergren yang dimana metode Westergren
merupakan metode yang mudah, metodenya relatif murah, namun menggunakan
sampel yang banyak, sehingga membutuhkan waktu pemeriksaan yang lama dan
membutuhkan tenaga yang terlatih untuk digunakan menghitung laju endap darah.
Menurut Riana et al. (2023) laju endap darah (LED) adalah pemeriksaan yang
termasuk ke dalam pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan ini penting untuk
menunjang diagnosis. Pemeriksaan LED banyak digunakan untuk pemeriksaan
skrining. Selain itu, berfungsi juga untuk memonitor infeksi, inflamasi, dan penyakit
lain yang berpengaruh terhdap tingkat sedimentas. Pemeriksaan laju endap darah di
dalamnya terbagi menjadi 3 proses yang pertama yaitu aglutinasi yang
menggambarkan sel darah merah sedikit mengendap/bersedimentasi (pengendapan
lambat). Kedua, merupakan tahap pengendapan cepat. Ketiga adalah tingkatan
pemadatan, yaitu ketika pengendapan gumpalan dari sel darah merah mulai
melamban karena sudah terjadi pemadatan sel darah merah yang mengendap.
Pengendapan sel darah merah pada pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
dibutuhkan antikoagulan. Pemeriksaan Darah yang menggunakan darah EDTA tidak
disimpan terlalu lama, karena darah yang disimpan terlalu lama dapat menyebabkan
ketidakseimbangan pompa natrium kalium. Nilai dari pemeriksaan laju endap darah
dapat dipengaruhi dari beberapa faktor teknis diantaranya adalah getaran, orientasi
atau kemiringan dari tabung pemeriksaan, waktu pengambilan sampel dan suhu
ruanga.
Menurut Pritanti et al. (2019) protein plasma yang berperan mempengaruhi
nilai laju endap darah (LED) adalah fibrinogen dan globulin. Pemeriksaan lain yang
juga dilakukan adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Laju endap darah adalah
uji yang sensitif tapi tidak spesifik. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju endap
darah (LED) adalah faktor eritrosit, faktor plasma, dan faktor teknik. Penurunan
kadar hematokrit umumnya dijumpai pada penderita anemia dan leukimia.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah:
a. Dari hasil perbandingan sel darah merah pada setiap sampel diperoleh bahwa
sel darah merahnya tidak memiliki inti, bentuk bikonkaf namun yang
membedakannya adalah warna sel yang dipengaruhi oleh kadar Hb.
b. Capra aegragus hircus memiliki waktu beku darah yang sangat lama yaitu
selama 42 menit 50 detik, sedangkan waktu beku darah tersingkat terdapat
pada Bos sp. yaitu selama 30 menit.
c. Pada penentuan golongan darah dengan menggunkan sistem ABO didapati
Homo sapiens memiliki golongan darah AB dan Rattus novergicus, Capra
aegragus hircus dan Bos sp. memiliki golongan darah O.
d. Jumlah sel darah merah (eritrosit) dari setiap sampel diperoleh jumlah eritrosit
terbanyak terdapat pada Homo sapiens, sedangkan jumlah yang paling sedikit
terdapat pada Capra aegragrus hircus.
e. Jumlah sel darah putih (leukosit) dari setiap sampel yang terbanyak terdapat
pada Homo sapiens sedangkan yang paling sedikit Bos sp.
f. Kadar Hb (hemoglobin) terbanyak terdapat pada Homo sapiens sebesar 15,9
% sedangkan yang terendah pada Bos sp. sebesar 6,4%.
g. Pada pengamatan kristal hemin setiap sel pada setiap sampel darah hewan
terdapat kristal hemin yang dihasilkan berwarna kuning hingga kuning
kemerahan.
h. Pada proses hemolisa dan krenasi sel terhadap konsentrasi NaCl didapatkan
bahwa sel yang paling mudah mengalami hemolisa Homo sapiens dan Capra
aegragrus hircus sedangkan sel yang paling mudah mengalami krenasi atau
penegrutan sel karena kondisi hipertonik yaitu pada Rattus novergicus dan Bos
sp.
i. Pada percobaan menghitung nilai hematokrit tidak diperoleh data apapun
dikarenakan tidak dilaksanakannya praktikum dimana alat mikrosentrifugge
rusak atau dalam proses perbaikan.
j. Pada penentuan laju endap darah dalam waktu 1 jam sel darah terbanyak
terdapat pada Capra aegragrus hircus sebesar 97% sel darah dan 3% plasma
darah.

5.2 Saran
Adapun saran dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
a. Sebaiknya praktikan selanjutnya lebih memahami prosedur percobaan.
b. Sebaiknya praktikan selanjutnya memahami materi yang akan dipraktikumkan.
c. Sebaiknya praktikan selanjutnya lebih teliti saat praktikum berlangsung agar
data yang diperoleh dapat maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Adila N, Ruth SPT, Wafiyah, Raranta A, Wahyudin, Indah S, Rijki PS, Elvina D,
Vilia R, Lalu PA, Trei RM, 2023. Menekan Angka Stunting Dengan
Pencegahan Anemia Pada Remaja di Kelurahan Tanjung Kec. Labuhan Baji.
Prosiding Seminar Nasional Gelar Wicara Volume 1. Mataram: 23-24
Februari 2023. Hal: 378-385.
Arviananta R, Syuhada, Aditya, 2020. Perbedaan Jumlah Eritrosit Antara Darah
Segar dan Darah Simpan di UTD RSAM Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada. 9 (2): 686- 694.
Dewi NA, Ganjar N, Adang D, Nina M, 2023. Pengaruh Lama Simpan dan Tingkat
Hemolisis Darah K2edta Resipien Terhadap Hasil Crossmatch Metode Gel.
Jurnal Kesehatan Siliwangi. 4(1): 446-452.
Fagan MB, 2013. Philosophy of Stem Cell Biology Knowledge in Flesh and Blood.
Palgrave Macmillan. United Kingdom.
Fails AD, Christianne M, 2018. Anatomy and Physiology of Farm Animals. John
Wiley & Sons, Inc. Hoboken.
Fitria N, Tjong DH, Zakaria IJ, 2019. Fisiologi Darah Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus). Jurnal Metamorfosa. 6(1): 33.
Hardyansa, Ariyadi T, Sukeksi A, 2020. Perbedaan Nilai Laju Endap Darah (LED)
Menggunakan Larutan NA Sitrat 3,8% Dan Dextrosa 5%. Jurnal Labora
Medika. 4(1):12-15.
Hariri FR, Pamungkas DP, 2018. Klasifikasi Jenis Golongan Darah Menggunakan
Fuzzy C-Means Clustering (FCM) dan Learning Vector Quantization (LVQ).
Jurnal Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi. 10(1):26-29.
Jabar M, Shifa R, Sisilia P, Wulan C, 2023.Analisis Perbandingan Kadar
Hemoglobin, Jumlah dan Struktur Eritrosit pada Lima Kelas Vertebrata. Life
Science.12(2)
:1-9.
Marcelisa S, Asni E, 2015. Kristal Hemoglobin pada Bercak Darah Yang Terpapar
oleh Beberapa Deterjen Bubuk Menggunakan Tes Teichmann Dan Tes
Takayama. JOM. 2(2):1-10.
Mulyadi, Khairul F, Moh R, 2020. Identifikasi Golongan Darah Sistem ABO
Menggunakan K-Nearest Neighbors. Jurnal Informatika dan Teknologi
Komputer. 1(1):51-59.
Nugrahena NP, Sudarson TA, Wijayanti L, 2021. Pengaruh Hemolisis Terhadap Nilai
Trombosit Dengan Menggunakan Metode Direct Counting. Jurnal Analis
Medika Biosains. 8(2):108-113.
Pocock G, Christoper DR, David AR, 2013. Human Physiology. Oxford University
Press. United Kingdom.
Pritanti R, Paulus BN, 2019. Perbedaan Nilai LED Pada Penderita Demam Berdarah
Dengan Hemokonsentrasi Dan Tidak Hemokonsentrasi. Journal of
Vocational Health Studies. 3(12): 63-66.
Rasyada A, Nasrul E, Edward Z, 2014. Hubungan Nilai Hematokrit Terhadap Jumlah
Trombosit pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kesehatan
Andalas. 3(3): 343-347.
Riana A, Adang D, Eem R, Nina M, 2023. Pengaruh Suhu Ruangan Dan Lama
Simpanan Darah Sitrat Terhadap Nilai Laju Endap Darah Metode Westergen.
Jurnal Kesehatan Siliwangi. 4(1): 300-307.
Ridwan IA, Utama IH, Dharmawan NS, 2019. Gambaran Ulas Darah Kodok Lembu
(Rana catesbeiana). Jurnal Indonesia Medicus Veterinus. 8(6): 836 – 843
Romdonah, Radha Z, Mohammad T, Fridayenti dan Enikarmila A, 2017. Kristal
Hemoglobin Pada Bercak Darah yang Dipaparkan Sodium Hipoklorit
(NaOCl) Menggunakan Tes Teichmann Dan Tes Takayama. Journal of
medical science.1(1):43-53.
Septriani AAIA, Suwiti NK, Suartini GAA, 2020. Nilai Hematologi Total Eritrosit
dan Kadar Hemoglobin Sapi Bali dengan Pakan Hijauan Organik. Buletin
Veteriner Udayana. 12(2):145.
Soesilawati P, 2020. Histologi Kedokteran Dasar. Airlangga University Press. Jawa
Timur.
Sonjaya H, 2013. Dasar Fisiologi Ternak. IPB Press. Bogor.
Suryani E, Wiharto, Katarina NW, 2015. Identifikasi Anemia Thalassemia Betha (B)
Mayor Berdasarkan Morfologi Sel Darah Merah. Scientific Journal of
Informatics. 2(1):15-27.
Syawal H, Effendi I, Kurniawan R, 2021. Perbaikan Profil Hematologi Ikan Patin
(Pangasius hypophthalmus) Setelah Penambahan Suplemen Herbal pada
Pakan. Jurnal Veteriner. 22(1): 16 – 25.
Tambayong J, 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC. Jakarta.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Alat

Mikroskop Object glass

Disseting set Bak bedah

Bunsen Mancis
Jarum Stopwatch

Cover glass
Lampiran 2: Foto Bahan

Sampel darah Capra aegragrus Sampel darah Homo sapiens


hircus

Sampel darah Rattus NaCl 0,9%


nourvegicus

Asam cuka glassial


Lampiran 3. Foto Kerja

Diambil darah dari tabung Diteteskan di atas objek kaca


EDTA menggunakan pipet tetes

Diratakan darah secara Diberi asam cuka


glassial merata di atas objek kaca dan sedikit NaCl

Dipanaskan di atas bunsen Diamati dibawah mikroskop


Lampiran 4. Flowsheet
5.1 Perbandingan Beberapa Sel Darah Dari Beberapa Jenis Hewan

Darah

Diteteskan diatas objek glass

Ditambahkan beberapa tetes larutan fisiologi (NaCL 0,9%)

Dihomogenkan

Diamati dibawah mikroskop


Dibandingkan dengan sel darah hewan di atas
Hasil

5.2 Mengamati Waktu Pembekuan Darah

Dihisap menggunakan pipa kapiler


Darah
Ditutup bagian ujung pipa dengan ibu jari dengan ibu jari
dan telunjuk
Tunggu sampai terbentuk benang fibrin lalu patahkan
pipa kapiler
Dicatat waktu beku darah

Hasil
5.3 Menentukan golongan darah dengan sistem ABO

Darah Diteteskan diatas objek glass

Ditambahkan dengan anti A dan anti B

Dihomogenkan

Ditentukan golongan darah

Hasil
5.4 Menghitung Jumlah Eritrosit
Dihisap dengan menggunakan pipet eritrosit sampai tanda
Darah angka 0,5 atau 1,0 lalu ujung pipet dibersihkan dengan
tissue
Dihisap larutan pengencer (Hayem) sampai tanda 101
dengan cepat dan tanpa menimbulkan gelembung udara
Dilepaskan pipa penghisap (aspirator)
Dilakukan Gerakan mengaduk sampai bagian yang
tercampur hanya bagian yang membesar dari pipet, cairan
pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang

Siapkan kamar hitung dan mikroskop listrik


Diteteskan suspensi darah pada bagian pinggir
gelas

Dihitung dibawah mikroskop

Hasil
5.5 Menghitung Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit)

Darah Dihisap dengan menggunakan pipet eritrosit sampai tanda


angka 0,5 atau 1,0 lalu ujung pipet dibersihkan dengan
tissue

Dihisap larutan pengencer (Turk) sampai tanda 11


dengan cepat dan tanpa menimbulkan gelembung udara
Dilepaskan pipa penghisap (aspirator)
Dilakukan Gerakan mengaduk sampai bagian yang
tercampur hanya bagian yang membesar dari pipet, cairan
pada ujung pipet yang tidak ikut terkocok dibuang
Siapkan kamar hitung dan mikroskop listrik
Diteteskan suspensi darah pada bagian pinggir gelas
penutup
Dihitung dibawah mikroskop

Hasil
5.6 Menghitung Kadar Hb (Hemoglobin)

Tabung Sahli

Diisi dengan larutan HCL 0,1N sampai tanda 10


paling(garis bawah pada tabung)
Dihisap darah dengan aspirator sampai batas angka 20 mm
Dibersihkan ujung pipet dan segera dimasukkan darah
ke dslam tabung Sahli
Diadukdengan batang pengaduk batang
Dicocokkan warna yang terjadi dengan warna standar
setetesdemi setetes aquadest
Dibacakadar Hb dinding tabung Sahli (dalam g% atau
gr dalam 100ml)
Hasil

5.7 Melihat Kristal Hemin

Darah

Diteteskan diatas objek glass

Dibiarkan sampai kering

Dipanaskan dengan beberapa tetes asam cuka glassial,


lalu diberi sedikit NaCl

Ditentukan golongan darah

Hasil
5.8 Melihat Proses Hemolisa dan Krenasi

Tabung Reaksi

Diisi bung 1 dengan NaCl 0% (aquadest) 5 mL


ta bung 2 dengan NaCl 0,1% (aquadest) 5mL
Diisi tabung 3 dengan NaCl 0,3% (aquadest) 5mL
Diisi tabung 4 dengan NaCl 0,6% (aquadest) 5mL
Diisi tabung 5 dengan NaCl 0,9% (aquadest) 5mL
Diisi tabung 6 dengan NaCl 1,2% (aquadest) 5mL
Diisi tabung 7 dengan NaCl 1,5% (aquadest) 5mL
Diisi takan 3 tetes darah ke dalam setiap tabung
Ditetes n 30 menit
Dibiarka
i warna dan keruhan dalam masing – masing tabung
Diama
t

5.9 Menghitung Nilai Hematokrit

Darah

Dimasukkan kedalam pipa kapiler


Ditutup 1 sisi pipa dengan lilin

Dimasukkan kedalam mikrosentrifugge selama 5 menit


dengan 1000 Rpm

Dihitung presentase hematokrit

Hasil

5. 10 Mengamati Laju Endap Darah

Darah Dimasukkan kedalam tabung EDTA


Didiamkan selama 1 jam

Diukur laju endap darah

Hasil

Anda mungkin juga menyukai