Hukum adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan corak yang
tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana dapat berubah
dan menyesuaikan, tidak dimodifikasi, musyawarah dan mufakat.
1. Tradisional
2. Keagamaan
3. Kebersamaan
4. Konkret dan Visual
5. Terbuka dan Sederhana
6. Dapat Berubah dan Menyesuaikan
7. Tidak diKodifikasi
8. Musyawarah dan Mufakat
Umumnya Hukum Adat bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun dari zaman nenek
moyang sampai ke anak cucusekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat bersangkutan.
Contoh : Corak tradisional di Lampung bahwa dalam hukum kewarisan berlaku sistem mayorat
lelaki, artinya anak tertua lelaki menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban
mengurus adik-adiknya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. Harta peninggalan itu tetap
tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga bersama, yang kegunaannya untuk kepentingan
anggota-anggota keluarga/kerabat bersama, di bawah pengaturan anak tertua lelaki sebagai
pengganti kedudukan ayahnya.
I. CORAK HUKUM ADAT
1. Tradisional
Hukum adat itu umumnya bersifat keagamaan(magisreligius), artinya perilaku hukum atau
kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang ghaib dan atau
berdasarkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.
Contoh : Di Banten dan di Bali orang berpantang menjual padi yang masih hijau buahnya, di
berbagai daerah berlaku jika kawin lebih dulu dari kakak maka adik harus memberi barang
pelangkah kepada kakak yang dilangkahinya.
Corak keagamaan hukum adat ini terangkat pula dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga
yang berbunyi “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
2. Keagamaan
Hukum adat yang mempunyai corak yang bersifat kebersamaan, artinya ia lebih mengutamakan
kepentingan bersama, dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama. “Satu
untuk semua, semua untuk satu”
Corak dan sifat kebersamaan ini terangkat pula dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang
menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan”. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-
seorang.
I. CORAK HUKUM ADAT
3. Kebersamaan
Corak Hukum adat “Konkret”, artinya jelas, nyata, berwujud dan “visual”, artinya dapat terlihat,
tampak, terbuka dan tidak tersembunyi.
Sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak samar-
samar, terang dan disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain dan nampak terjadi
“Ijab-Kabul” (serah terimanya).
Contoh : Dalam jual beli jatuh bersamaan waktunya (samenval van momentum) antara
pembayaran harga dan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli, tetapi harga belum
dibayar maka itu bukan jual-beli tetapi hutang-piutang.
I. CORAK HUKUM ADAT
7. Tidak Dikodifikasi
Hukum Adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, di dalam keluarga, didalam
hubungan kekerabatan dan ketetanggaan baik untuk memulai suatu pekerjaan maupun dalkam
mengakhiri pekerjaan. Apalagi yang bersifat “peradilan” dalam menyelesaikan perselisihan
antara yang satu dan yang lain
Lanjutan ..........
2. Hukum Publik dan Hukum Privat
Hukum publik yang menyangkut kepentingan umum, seperti hukum ketatanegaraan,
yang mengatur tugas-tugas kenegaraan dalam hubungan antara badan-badan negara dan tugas-
tugas pemerintahan dan anggota-anggota masyarakat.
Lanjutan ..........
3. Hak Kebendaan dan Hak Perorangan
Hukum Adat tidak membedakan antara Hak Kebendaan (Zakelijke rechten) yaitu hak-hak
atas benda yang berlaku bagi setiap orang dan hak perorangan yaitu hak seseorang untuk
menuntut orang lain agar berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-haknya .
Misalnya hak seseorang atas sebidang sawah hasil pencariannya sendiri, yang menurut
hukum barat berarti hak mutlak, di dalam hukum adat hak tersebut masih juga terkait dengan
kepentingan kekerabatannya.
II. SISTEM HUKUM ADAT
Lanjutan ..........
4. Pelanggaran Perdata dan Pidana
Hukum adat juga tidak membedakan antara perbuatan yang sifatnya pelanggaran hukum
perdata dan pelanggaran hukum pidana, sehingga perkara perdata diperiksa Hakim Perkara
diperiksa hakim perdata dan perkara pidana diperiksa hakim pidana.
Menurut peradilan adat, kedua pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang, diperiksa,
dipertimbangkan dan diputuskan sekaligus dalam suatu persidangan yang tidak terpisah
II. SISTEM HUKUM ADAT
Lanjutan ..........
TERIMAKASIH