Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia merupakan penyakit atau gangguan jiwa yang dialami 1%

penduduk. Gejala-gejala yang serius dan pola perjalanan penyakit kronis berakibat

disabilitas pada penderita skizofrenia, sekitar 80% yang dirawat dengan gangguan

skizofrenia (Pardede, Keliat dan Wardani, 2013). Kejadian skizofrenia menurut

hasil penelitian Keliat, 2013, menunjukkan 25% pasien skizorenia dapat sembuh,

25% dapat mandiri, 25% membutuhkan bantuan, dan 25% kondisi berat.

Keberadaan penderita skizofrenia dalam masyarakat sering dianggap

berbahaya. Seringkali penderita skizofrenia disembunyikan bahkan dikucilkan,

tidak dibawa untuk berobat ke dokter karena adanya rasa malu. Bahkan di

beberapa daerah di Indonesia penderita skizofrenia sebagian ada yang sampai

dipasung (Hawari, 2014).

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, mengatakan bahwa

skizofrenia termasuk masalah kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian

karena dampak dari skizofrenia bukan hanya dirasakan oleh penderita dan

keluarga tetapi juga masyakarakat serta pemerintah.

Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Hasil analisis

dari WHO sekitar 450 juta orang menderita gangguan jiwa termasuk skizofrenia.

Skizofrenia menjadi gangguan jiwa paling dominan dibanding gangguan jiwa

lainnya. Penderita gangguan jiwa sepertiga tinggal di negara berkembang, 8 dari

10 orang yang menderita skizofrenia tidak mendapatkan penanganan medis.


Gejala skizofrenia muncul pada usia 15-25 tahun lebih banyak ditemukan pada

laki-laki dibandingkan pada perempuan (Ashturkar & Dixit, 2013).

Insiden skizofrenia di Amerika diperkirakan sebanyak 2-5 per 10.000

penduduk. Sekitar 25% dari tempat tidur di rumah sakit jiwa di seluruh negara

tersebut ditempati oleh penderita skizofrenia. Di antara penderita skizofrenia

20%-50% melakukan pencobaan bunuh diri, 10% di antaranya meningggal karena

bunuh diri. Angka kematian penderita skizofrenia 8 kali lebih tinggi dari angka

kematian penduduk pada umumnya, dari semua penderita skizofrenia yang diobati

20%-40% belum menunjukkan hasil yang memuaskan ( Anthony dkk, 2014 ).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2015) memaparkan prevalensi

skizofrenia di Indonseia adalah 0,1 per 1000 penduduk pada tahun 2007 dan

meningkat menjadi 1,7 per 1000 penduduk pada tahun 2013. Prevalensi

skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh adalah provinsi tertinggi

penderita skizofrenia se-Indonseia sebesar 2,7 per 1000 penduduk dan terendah

terdapat di Kalimantan Barat 0,7 per 1000 penduduk, sedangkan di Sumatera

Utara 0,9 per 1000 penduduk. Prevalensi skizofrenia di Indonesia akan terus

meningkat seiring dengan lajunya pertumbuhan penduduk dan proses globalisasi.

Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional

yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun

ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.

Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar

400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Prof.

Dr Muhammad Ildrem Provsu Medan tahun 2014, pasien gangguan jiwa yang
dirawat berjumlah 14.349 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia

sebanyak 11,055 orang (77 %). Dari jumlah tersebut penderita yang mengalami

kekambuhan sebanyak 876 orang (58,67%). Data di atas menunjukan tingginya

angka penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Prov. Dr Muhammad Ildrem

Provsu dan sesuai dengan data tersebut sebagian besar penderita skizofrenia di

rawat kembali karena terjadinya kekambuhan.

Kekambuhan yang terjadi pada penderita skizofrenia diakibatkan oleh salah

satunya hubungan keluarga yang kurang harmonis dan tidak adanya dukungan

sosial (Amelia & Anwar, 2013). Dukungan keluarga juga sangat penting bagi

pasien. Jika keluarganya menghadapi pasien skizofrenia dengan cara dan sikap

yang benar, mendukung pasien dengan mengikuti program pengobatan dengan

benar, dan mengawasi perubahan kondisi dan gejalanya, maka pasien akan

mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, anggota keluarganya juga harus

memperhatikan kesehatan fisik dan mental mereka sendiri, belajar bagaimana cara

untuk bersantai, dan mencari bantuan jika diperlukan saat merawat pasien.

Anggota keluarga harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan komentar

secara kritis, membuat sikap bermusuhan, dan menumbuhkan perasaan ikut

campur secara berlebihan kepada diri pasien. Menurut penelitian yang dilakukan,

sikap-sikap yang tidak diinginkan ini (emosi yang dikeluarkan secara negatif)

telah terbukti meningkatkan tingkat kekambuhan penyakit skizofrenia.

Lingkungan sekitar akan mempengaruhi kondisi perawatan diri pasien. Biasanya

tempat-tempat yang dirasakan paling nyaman oleh pasien akan dipilih, misalnya

perawatan di rumah. Jika ada kebutuhan khusus, pasien mungkin perlu dirawat di

rumah sakit.
Menurut Keliat (2014), faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan

penderita gangguan jiwa meliputi; pasien yang gagal memakan obat secara teratur

mempunyai kecenderungan untuk kambuh, dokter yang memberi resep

diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik yang dapat mencegah

kambuh dan menurunkan efek samping, penanggung jawab pasien atau perawat

Puskesmas tetap bertanggungjawab atas program adaptasi pasien di rumah setelah

pasien pulang ke rumah, pasien yang tinggal dengan keluarga dengan ekspresi

emosi yang tinggi diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan, lingkungan sekitar

tempat tinggal pasien yang tidak mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi

kekambuhan. Misalnya masyarakat menganggap pasien sebagai individu yang

tidak berguna, mengucilkan pasien, mengejek pasien dan seterusnya.

Kekambuhan penderita skizofrenia menimbulkan dampak yang buruk bagi

keluarga, klien dan rumah sakit. Dampak kekambuhan bagi keluarga yaitu

menambah beban keluarga terutama dari segi biaya perawatan klien di rumah

sakit. Sedangkan bagi klien adalah sulit diterima oleh lingkungan atau masyarakat

sekitar karena ketika tanda-tanda kekambuhan muncul, pasien bisa saja

berperilaku menyimpang seperti mengamuk, bertindak kekerasan seperti

menghancurkan barang-barang atau yang lebih parah lagi pasien akan melukai

bahkan membunuh orang lain atau dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi masyarakat

akan menganggap bahwa gangguan yang diderita pasien tersebut sudah tidak bisa

disembuhkan lagi. Dari pihak rumah sakit beban akan bertambah berat dan akan

terjadi penumpukan klien yang dirawat sehingga perawatan yang diberikan oleh

tim medis menjadi kurang maksimal karena jumlah tenaga kesehatan tidak

seimbang dengan banyaknya pasien gangguan jiwa yang dirawat.


Hasil studi pendahuluan tanggal 02 Agustus 2018 diperoleh data bahwa

penderita gangguan jiwa yang sedang dalam perawatan di keluarga dan berobat ke

Poli Psikiatri RSUD Labuhanbatu, didapatkan data kunjungan rata-rata 36 orang

penderita gangguan jiwa/hari. Data menunjukkan kondisi kesehatan jiwa di

Kabupaten Labuhanbatu yang cukup besar dan harus mengikuti regimen

terapeutik, lebih lanjut didapatkan data klien yang menderita skizofrenia hampir

56 %.

Dari hasil wawancara peneliti dengan 5 keluarga yang memiliki anggota

keluarga penderita skizofrenia, ditemukan bahwa penderita yang pulang dari

rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur, perilaku keluarga yang tidak

tahu cara menangani penderita dirumah membuat keluarga merasa terbebani

dengan kondisi seperti ini dan merasa penderita tidak memiliki harapan untuk

sembuh. Keluarga juga mengatakan bahwa lingkungan tempat tinggal penderita

yang tidak mendukung, dimana penderita sering diejek dan dikucilkan. Hampir

semua penderita yang diwawancarai oleh peneliti mengatakan lebih dari satu kali

menjalani rawat inap di rumah sakit.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-

faktor yang berhubungan dengan kekambuhan penderita skizofrenia setelah

perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini

sebagai berikut : Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kekambuhan


penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2018?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan

penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan faktor klien dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

2. Mengetahui hubungan faktor dokter dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

3. Mengetahui hubungan faktor penanggung jawab klien dengan

kekambuhan penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit

Umum Daerah Rantauprapat

4. Mengetahui hubungan faktor keluarga dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat
5. Mengetahui hubungan faktor lingkungan sekitar dengan kekambuhan

penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum

Daerah Rantauprapat

6. Mengetahui hubungan faktor ekonomi dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

7. Mengetahui faktor dominan yang berhubungan dengan kekambuhan

penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum

Daerah Rantauprapat

1.4 Hipotesis

1. Tidak ada hubungan faktor klien dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

2. Tidak ada hubungan faktor dokter dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

3. Tidak ada hubungan faktor penanggung jawab klien dengan kekambuhan

penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

4. Ada hubungan faktor klien dengan kekambuhan penderita skizofrenia

setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat


5. Ada hubungan faktor keluarga dengan kekambuhan penderita skizofrenia

setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat

6. Ada hubungan faktor lingkungan sekitar dengan kekambuhan penderita

skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah

Rantauprapat

7. Ada hubungan faktor ekonomi dengan kekambuhan penderita skizofrenia

setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Klien

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi klien untuk selalu

mengkonsumsi obat sesuai aturan agar efek obat yang sangat

mengganggu aktivitas dan pekerjaan mereka tidak terjadi.

2. Bagi Institusi Rumah Sakit/Dokter

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Rumah Sakit

Umum Daerah Rantauprapat untuk mengintegrasikan, program

penguatan diadakan pendidikan kesehatan jiwa bagi keluarga yang

anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa, dengan topik

memberikan dukungan keluarga sebelum klien pulang dari rumah sakit

tersebut yang selama ini belum diprogramkan dan merekomendasikan

pentingnya adanya terapi keluarga, serta diharapkan juga dapat menjadi


data dasar dan bahan pertimbangan untuk menyusun program pendidikan

dan pelayanan kesehatan/keperawatan sesuai standart.

3. Bagi Penanggung Jawab Pasien/Puskesmas

Penelitian ini dapat memberikan manfaat dan masukan kepada petugas

puskesmas sebagai penanggung jawab pasien setelah perawatan di

Rumah Sakit dalam mengembangkan perencanaan yang akan dilakukan

dalam mendukung penurunan angka kekambuhan skizofrenia.

4. Bagi Keluarga

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk menambah ilmu

pengetahuan dalam rangka memberikan sumber dukungan keluarga yang

sangat penting supaya mengurangi angka kekambuhan penderita

skizofrenia.

5. Bagi Lingkungan

Sebagai saran dan informasi pengetahuan yang baik bagi masyarakat

tentang kekambuhan skizofrenia sehingga masyarakat menurunkan

stigma dan diskriminasi tehadap penderita skizofrenia dan keluarganya.

6. Bagi Peneliti Berikutnya


Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi sebagai dasar untuk

dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut dengan mengembangkan

model atau program pengendalian terhadap faktor-faktor yang

berhubungan dengan kekambuhan penderita skizofrenia setelah

perawatan di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia

2.1.1 Pengertian Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya retak

atau pecah (split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu dihubungkan

dengan fungsi emosi. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia

adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian serta

emosi (Sianturi, 2014). Menurut Pedoman PPDGJ III, skizofrenia dijelaskan

sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam

pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak

wajar.

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan

utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana

berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian

yang keliru afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas

motorik yang bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia menarik diri dari orang

lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh

delusi dan halusinasi. Orang-orang yang menderita skozofrenia umumnya

mengalami beberapa episode akut simtom–simtom, diantara setiap episode

mereka sering mengalami simtom–simtom yang tidak terlalu parah namun tetap

sangat mengganggu keberfungsian mereka. Komorbiditas dengan

penyalahguanaan zat merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia,


terjadi pada sekitar 50 persennya. (Konsten & Ziedonis. 1997, dalam Davison

2014).

2.1.2 Gejala Klinis Skizofrenia

Gejala-gejala skizofrenia menurut Boeree (2013) dibagi menjadi 2

kelompok, yaitu gejala positif (positive symptoms) dan negatif (negative symptom

1. Gejala Positif

a. Delusi/ waham, yaitu keyakinan yang keliru dikarenakan adanya distorsi

atau melebih-lebihkan pikiran atau kesalahan penafsiran terhadap

persepsi atau pengalaman. Delusi kemudian diikuti atau dilihat sebagai

sesuatu yang umum, seperti keyakinan-keyakinan akan komentar pada

acara radio atau televisi serta keyakinan di sebuah acara yang akan

memberikan pesan-pesan khusus secara langsung kepadanya.

b. Halusinasi, yaitu melebih-lebihkan persepsi pada indra seperti

mendengar, melihat, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

c. Merasa ada seseorang yang ingin melawannya, mencoba mencelakai atau

mengikutinya, percaya pada makhluk asing yang mengikuti dan yakin

dirinya akan diculik/ dibawa ke planet lain.

d. Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu.

e. Kekacauan alam pikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,

misalnya berbicara kacau sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.


2. Gejala negatif

a. Alam perasaan (afek) tumpul dan mendatar, gambaran alam perasaan ini

dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.

b. Menarik diri atau mengasingkan diri dari pergaulan sosial, tidak mau

bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun.

c. Kontak emosional tidak ada, sukar diajak bicara, pendiam.

d. Kehilangan dorongan atau kehendak dan tidak ada inisiatif, tidak ada

upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, tidak ingin apa-apa,

dan serba malas (kehilangan nafsu).

2.1.3 Etiologi Skizofrenia

Menurut Luana (dalam Prabowo, 2014), penyebab terjadinya Skizofrenia

adalah sebagai berikut :

a. Faktor Biologis

1) Komplikasi kelahiran

Bayi laki-laki yang memiliki komplikasi saat dilahirkan sering

mengalami skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan

seseorang terhadap skizofrenia.

2) Infeksi

Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeki virus pernah

dilaporkan pada orang dengan skizofrena. Penelitian mengatakan bahwa

terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan

meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia.


3) Hipotesis dopamine

Dopamine merupakan neurotransmitter pertama yang berkontribusi

terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal

maupun antipikal menyekat reseptor dopamine D2, dengan terhalangnya

transmisi sinyal di sistem dopaminergik maka gejala psikotik diredakan.

4) Hipotesis Serotonin

Gaddum, Wooley, dan Show tahun 1954 mengobservasi efek Lysergic

Acid Diethlamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran

agonis/antagonis reseptor 5-HT. Ternyata zat tersebut menyebabkan

keadaan psikosis berat pada orang normal.

5) Struktur Otak

Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah system limbik

dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit

berbeda dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan

massa abu-abu dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan

aktifitas metabolic. Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak

ditemukan sedikit perubahan dalam distribusi sel otak yang timbul pada

masa prenatal karena tidak ditemukannya sel gila, biasa timbul pada

trauma otak setelah lahir.

b. Faktor Genetik

Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1%

populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan

derajat pertama seperti orang tua, kakak laki-laki ataupun perempuan dengan
skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat kedua seperti

paman, bibi, kakek/nenek, dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan

populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita

skizofrenia, sedangkan kembar dizigotik sebanyak 12%. Anak dan kedua

orangtua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12%.

2.1.4 Klasifikasi Skizofrenia


Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III

dalam Maslim, 2013, klasifikasi skizofrenia terdiri dari :

1. Skizofrenia Paranoid

Pedoman diagnosis skizofrenia paranoid dipenuhi oleh diagnosis umum

skizofrenia, sebagai tambahannya adalah:

a. Halusinasi dan/ waham harus menonjol; suara-suara halusinasi yang

mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik

tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit atau bunyi tawa; halusinasi

pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain

perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada, tetapi jarang menonjol;

waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan,

dipengaruhi dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah

yang paling khas.

b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala

katatonik secara relative tidak nyata atau menonjol. Selain itu, ada

diagnosis banding seperti epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-

obatan, keadaan paranoid involusional dan paranoia. Jenis skizofrenia ini


sering dijumpai di negara mana pun. Simptom utamanya adalah adanya

waham kejar atau kebesaran dimana individu merasa dikejar-kejar. Hal

tersebut terjadi karena segala sesuatu yang ditanggapi secara sensitif dan

egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat buruk kepadanya.

Perjalanan penyakit ini dapat terjadi secara episodik, dengan remisi

sebagian atau sempurna, atau bersifat kronis. Pada kasus-kasus kronis,

gejala yang nyata menetap selama bertahun-tahun dan cenderung terjadi

pada usia yang lebih tua.

Kartono (2013) juga mengatakan bahwa penderita skizofrenia paranoid

umumnya terlihat lebih waras jika dibandingkan dengan penderita

skizofrenia jenis lainnya. Akan tetapi pada umumnya penderita bersifat

sangat bermusuhan terhadap siapa pun juga, merasa dirinya penting,

sering sangat fanatik secara berlebihan dan kadang kala bersifat

ketakutan yang luar biasa terhadap suatu penyakit yang dideritanya.

2. Skizofrenia Katatonik

Tipe ini biasanya muncul secara tiba-tiba, pada individu terjadi stupor yang

maksudnya individu diam, tidak mau berkomunkasi, berbicara dengan suara

mendatar, makan dan berpakaian harus dibantu, dan sikap badannya tegang/

kaku. Apabila mata terbuka biasanya akan terpaku pada satu titik, tidak

berkedip dan tidak ada ekspresi (Prabowo, 2014). Penderita skizofrenia

katatonik akan bersifat negatif di mana penderita tidak tertarik sama sekali

terhadap sekelilingnya, tidak ada kontak sosial dan membisu dalam waktu

yang lama. Ada 2 subtipe yaitu :


a. Subtipe stuppor, yaitu kehilangan semangat hidup dan senang diam

dalam posisi kaku tertentu sambil membisu dan menatap dengan

pandangan kosong, tampak acuh tak acuh, namun pada saat sadar

penderita ini dapat menceritakan segala sesuatu yang berlangsung di

sekitarnya. Ia sangat mudah dipengaruhi sehingga akan mengikuti

perintah atau meniru perbuatan orang lain (ekhopraksia) umumnya

bersifat negativistik (menolak membetulkan posisi tubuhnya), menolak

makan, membuang air seenaknya, keluar busa dari mulutnya dan pikiran

tampak kosong.

b. Subtipe aktif, berbicara dan berteriak-teriak tak karuan, berjalan mondar

mandir, melakukan aktifitas seksual secara terbuka, seperti masturbasi,

melukai tubuh sendiri, atau sebaliknya menyerang dan mencoba

membunuh orang lain.

3. Skizofenia Hebefrenik

Menurut Maslim (2013) untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan

umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya,

untuk memastikan bahwa gambaran yang khas, yaitu:

1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta

mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan

perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;

2) Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (innappropriate), sering

disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),

senyum sendiri (self-absorbed smilling), atau oleh sikap tinggi hati (lofty

manner), tertawa menyeringai (grimaces), (pranks), keluhan


hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated

phrases);

3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

(rambling) serta inkoheren.

Gangguan afektif dan dorongan kehendak, gangguan proses pikir umumnya

menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak

menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang serta sasaran

ditinggalkan, sehingga perilaku tujuan dan tanpa maksud. Adanya suatu

preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan

tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran

pasien.

4. Skizofrenia Simpleks

Skizofrenia simpleks adalah suatu kelainan yang tidak lazim di mana ada

perkembangan yang bersifat perlahan tetapi progresif mengenai keanehan

tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan

penurunan kinerja secara menyeluruh. Tidak terdapat waham dan halusinasi,

serta gangguan ini bersifat kurang nyata psikotik jika dibandingkan dengan

jenis lainnya. Ciri-ciri “ negatif “ yang khas dari skizofrenia residual

(misalnya afek yang menumpul, hilangnya diorongan kehendak), timbul

tanpa diketahui oelh gejala-gejala psikotik yang overt.

Untuk mendiagnosa skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan,

karena tergantung pada pemastian perkembangan yang berjalan perlahan,

progresif dari gejala “ negatif “ yang khas dari skizofrenia residual tanpa ada

riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain tentang adanya suatu


episodik psikotik sebelumnya, dan disertai dengan perubahan-perubahan yang

bermakna dari perilaku perorangan, yang bermanifestasi sebagai kehilangan

minat yang mencolok, kemalasan dan penarikan diri secara sosial. Bersama

dengan bertambahnya kemunduran sosial, maka pasien dapat berkembang

lebih lanjut menjadi gelandangan (psikotik), pendiam, malas dan tanpa

tujuan.

5. Skizofrenia Tak Tergolongkan (Undeferentiated)


Penderita skizofrenia tak tergolongkan mengalami delusi, halusinasi,

gangguan pikiran dan kekacauan berat, namun tidak cocok dikategorikan ke

dalam salah satu tipe paranoid, simpleks, katatonik, hebefrenik, dan residual.

Untuk mendiagnosa tipe ini harus memenuhi gejala-gejala skizofrenia

(PPDGJ III dalam Maslim, 2013).

6. Skizofrenia Residual
Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik di

mana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih

lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang

(PPDGJ III dalam Maslim, 2013). Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan,

persyaratan berikut harus dipenuhi:

1) Gejala negatif skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan

psikomotor, aktivitas menuurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan

ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembiacaraan,

komunikasi nonverbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak

mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial

yang buruk.
2) Ada riwayat episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi

kriteria diagnostik untuk skizofrenia.

3) Sudah melampui kurun waktu satu tahun di mana intensitas dan frekuensi

gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah berkurang dan telah

timbul gejala negatif skizofrenia.

4) Tidak terdapat demensia atau penyakit maupun gangguan otak organik

lainnya.

7. Depresi Pasca Skizofrenia

Pasien depresi pasca skizofrenia adalah suatu episode depresif yang mungkin

berlangsung lama dan timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia.

Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada tetapi tidak lagi mendominasi

gambaran klinisnya. Gejala-gejala yang menetap ini dapat positif atau negatif.

Diagnosis hanya akan ditegakkan bila:

a. Pasien telah menderita penyakit skizofrenia yang memenuhi kriteria

umum selama 12 bulan terkahir.

b. Beberapa gejala skizofrenik masih tetap ada.

Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi sedikitnya

kriteria untuk suatu episode depresif dan telah ada untuk waktu sedikitnya

dua minggu. Apabila pasien tidak lagi mempunyai gejala skizofrenik,

diagnosis harus suatu episode depresif. Bila gejala skizofrenik masih jelas dan

menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang

sesuai.
2.1.5 Terapi Skizofrenia

Tiga dasar akan pertimbangan pengobatan gangguan pada skizofenia

adalah (Kaplan dan Sadock, 2015) :

1. Terlepas dari berbagai etiologi, skizofrenia terjadi pada seseorang yang

memiliki sifat individual, keluarga, serta sosial psikologis yang unik, maka

pendekatan pengobatan disusun berdasarkan bagaimana penderita telah

terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana penderita akan terobati oleh

pengobatan yang dilakukan (terapi farmakologi).

2. Faktor lingkungan dan psikologi turut berperan dalam perkembangan

skizofrenia, maka harus dilakukan juga terapi non farmakologi.

3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan

terapeutik jarang tercukupi untuk mengobati gangguan yang memiliki

berbagai macam bentuk.

2.1.6 Perjalanan Gangguan dan Prognosis Skizofrenia

Perjalanan berkembangnya skizofrenia sangatlah beragam pada setiap

kasus. Namun, secara umum melewati tiga fase utama, yaitu (Prabowo, 2014) :

1. Fase Prodromal

Fase prodromal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fungsi

kehidupan, sebelum fase aktif gejala gangguan, dan tidak disebabkan oleh

gangguan afek atau akibat gangguan penggunaan zat, serta mencakup paling

sedikit dua gejala dari kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia. Awal

munculnya skizofrenia dapat terjadi setelah melewati suatu periode yang


sangat panjang, yaitu ketika seorang individu mulai menarik diri secara sosial

dari lingkungannya.

Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa

minggu hingga bertahun-tahun, sebelum gejala lain yang memenuhi kriteria

untuk menegakkan diagnosis skizorenia muncul. Individu dengan fase

prodromal singkat, perkembangan gejala gangguannya lebih jelas terlihat

daripada individu yang mengalami fase prodromal panjang.

2. Fase Aktif Gejala

Fase aktif gejala ditandai dengan munculnya gejala-gejala skizofrenia secara

jelas. Sebagian besar penderita gangguan skizofrenia memiliki kelainan pada

kemampuannya untuk melihat realitas dan kesulitan dalam mencapai insight.

Sebagai akibatnya episode psikosis dapat ditandai oleh adanya kesenjangan

yang semakin besar antara individu dengan lingkungan sosialnya.

3. Fase Residual

Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala

dari kriteria A pada kriteria diagnosis skizofrenia yang bersifat mantap dan

tidak disebabkan oleh gangguan afek atau gangguan penggunaan zat. Dalam

perjalanan gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami

kekambuhan hingga lebih dari lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat

ini adalah untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Penegakan prognosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis

positif apabila didukung oleh beberapa aspek berikut, seperti: onset terjadi

pada usia yang lebih lanjut, faktor pencetusnya jelas, adanya kehidupan yang
relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan

seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala gangguan

mood, adanya gejala positif, sudah menikah, dan adanya sistem pendukung

yang baik. Sedangkan prognosis negatif, dapat ditegakkan apabila muncul

beberapa keadaan seperti berikut: onset gangguan lebih awal, faktor pencetus

tidak jelas, riwayat kehidupan sebelum terjadinya gangguan kurang baik, fase

prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan

penarikan diri, statusnya lajang, bercerai, atau pasangannya telah meninggal,

adanya riwayat keluarga yang mengidap skizofrenia, munculnya gejala

negatif, sering kambuh secara berulang, dan tidak adanya sistem pendukung

yang baik (Kaplan dan Sadock, 2015).

2.2 Kekambuhan Pada Skizofrenia

2.2.1 Pengertian Kekambuhan

Kambuh merupakan keadaan klien dimana muncul gejala yang sama seperti

sebelumnya dan mengakibatkan klien harus dirawat kembali. (Akbar, Anahita and

Ahmad 2013)

Kambuh merupakan kondisi dimana pasien kembali menunjukkan gejala-

gejala skizofrenia setelah remisi dari rumah sakit. Penderita mengalami kambuh

diikuti oleh perburukan sosial lebih lanjut pada fungsi dasar pasien (Kaplan dan

Sadock, 2015).

Kekambuhan adalah kondisi pemunculan kembali tanda dan gejala suatu

penyakit setelah mereda. Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami


kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 70% pada tahun kedua. Kekambuhan

biasanya terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk yang terjadi sebelum

mereka kambuh ((Kaplan dan Sadock, 2015).

Menurut Akbar, 2008 dalam Anahita and Ahmad 2013, kekambuhan

gangguan jiwa psikotik adalah munculnya kembali gejala-gejala psikotik yang

nyata. Angka kekambuhan secara positif hubungan dengan beberapa kali masuk

Rumah Sakit (RS), lamanya dan perjalanan penyakit. Penderita-penderita yang

kambuh biasanya sebelum keluar dari RS mempunyai karakteristik hiperaktif,

tidak mau minum obat dan memiliki sedikit keterampilan sosial.

Periode kekambuhan adalah lamanya waktu tertentu atau masa dimana

klien muncul lagi gejala yang sama seperti sebelumnya dan mengakibatkan klien

harus dirawat kembali.

2.2.2 Gejala Kekambuhan Skizofrenia

Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan

keluarganya (Yosep, 2014).

1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (Nervous)

2. Tidak ada nafsu makan

3. Sukar konsentrasi

4. Sulit tidur

5. Depresi

6. Tidak ada minat

7. Menarik diri
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan Skizofrenia

Menurut Akbar, 2008 dalam Anahita and Ahmad 2013, ada beberapa hal

yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain tidak minum obat dan

tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri obat tanpa

persetujuan dari dokter, kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta

adanya masalah kehidupan yang berat yang membuat stressdiantaranya pekerjaan

dan ekonomi.

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam

mencegah kekambuhan. Perawatan klien skizofrenia membutuhkan waktu yang

lama sehingga membutuhkan biaya yang banyak. Oleh karena itu, apabila

keluarga tidak memiliki sumber dana yang cukup atau jaminan kesehatan, maka

hal ini akan menjadi beban yang berat bagi keluarga. Semakin tinggi tingkat

ekonomi keluarga akan lebih memberikan dukungan dan pengambilan keputusan

dalam merawat anggota klien skizofrenia. Selain itu keluarga dengan kelas sosial

ekonomi yang berlebih secara finansial mempunyai tingkat dukungan keluarga,

afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada keluarga dengan kelas ekonomi

kurang secara finansial (Friedman, 2012)

Felicia (2012) yang menyimpulkan bahwa kekambuhan pasien skizofrenia

dipengaruhi oleh pengetahuan keluarga. Semakin baik pengetahuan keluarga

mengenai pengobatan skizofrenia, maka semakin berkurang frekuensi

kekambuhan pasien skizofrenia.


Simatupang (2014), menyebutkan bahwa kekambuhan pada pasien

skizofrenia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor ketidakpatuhan minum

obat dan faktor psikososial.

Keliat (2014) mengidentifikasi faktor penyebab klien kambuh dan perlu

dirawat di rumah sakit jiwa, yaitu :

1. Klien

Secara umum bahwa klien yang minum obat secara tidak teratur mempunyai

kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian menunjukkan 25% sampai

50% klien yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara

teratur. Selain itu, Niven (2012) juga menambahkan bahwa pasien skizofrenia

rata-rata memiliki perilaku ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat.

Ketidakpatuhan dikarenakan banyaknya jumlah obat yang diminum, adanya

efek samping yang membuat pasien tidak nyaman, serta tidak adanya

pengawasan keluarga. Beberapa pasien tidak melanjutkan pengobatannya

karena merasa obat yang diminum tidak efektif atau efek obat yang rendah,

banyak pasien menghentikan pengobatannya karena merasa lebih baik. Jika

dilihat dari karakteristik umur sebagian besar pasien skizofrenia dalam

kategori usia dewasa akhir menuju lansia paling banyak memiliki perilaku

tidak patuh minum obat sebanyak 36,3%. Davies dan Craig (2013) yang

mengatakan bahwa faktor usia sangat mempengaruhi kepatuhan minum obat,

banyaknya pasien yang tidak patuh minum obat dipengaruhi oleh faktor usia

yang berada pada rentan usia 40 tahun ke atas atau usia dewasa akhir menuju

lansia cenderung memiliki perilaku tidak patuh minum obat dikarena


gangguan kognitif atau penurunan daya ingat. Semakin tua usia pasien, maka

semakin tinggi penurunan daya ingat dan semakin tinggi pula ketidakpatuhan

pasien minum obat. Masalah diatas ditambahkan lagi oleh ketidakpatuhan dan

ketidakteraturan pasien dalam melakukan rawat jalan dan mengkonsumsi

obat-obatan. Pasien tidak dapat selalu mengkonsumsi obat sesuai aturan

karena efek obat yang sangat mengganggu aktivitas dan pekerjaan mereka.

Hampir semua jenis peristiwa kehidupan dapat mencetuskan kekambuhan,

sering berkaitan dengan dihentikannya pemakaian obat-obatan anti psikotik.

Karena itu jika pengobatan dihentikan atau pasien skizofrenia sengaja tidak

patuh pada pengobatan saat rawat jalan maka kemungkinan untuk kambuh

pada mereka akan besar peluangnya.

2. Dokter (Pemberi Resep)

Minum obat yang teratur dapat mengurangi kekambuhan, namun pemakaian

obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping yang dapat

mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.

Pemberian resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik

yang dapat mencegah kekambuhan dan efek samping.

Fleischhacker, dkk (2013) mengungkapkan hubungan antara efek samping

obat dengan kepatuhan minum obat. Beberapa pasien yang mengalami efek

samping pengobatan terbukti memiliki kepatuhan yang tinggi, sementara

beberapa pasien yang tidak mengalami efek samping pengobatan justru

memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Hal penting yang harus dipahami

adalah efek samping pengobatan hanya merupakan salah satu faktor dalam
kompleksitas tingkat kepatuhan pasien. Masalah lain dalam pengobatan

skizofrenia adalah masa pencapaian efek terapi dan jumlah obat yang

dikonsumsi. Sebagian besar obat yang digunakan memiliki masa pencapaian

efek terapi yang lebih lama, sehingga pasien tidak segera merasakan efek

positif dari obat. Sebaliknya, pasien terkadang justru merasakan efek samping

terlebih dahulu dibandingkan efek terapi. Pasien skizofrenia juga tidak segera

merasakan kekambuhan setelah putus obat cukup lama. Kekambuhan dapat

terjadi berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan sejak pasien putus obat,

sehingga pasien biasanya tidak menghubungkan kekambuhan dengan putus

obat. Menurut Jorgensen, pasien yang tidak mengalami efek samping

terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek

samping yang umum dan penting adalah efek pada ekstrapiramidal, gangguan

seksual dan penambahan berat badan (Loebis, 2012).

Untuk itu hubungan terapeutik yang dibangun dokter dengan pasien

merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan.

Bagaimana menunjukkan bahwa dokter memiliki perhatian kepada pasien dan

dokter mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan pasien

adalah penting karena adanya efek samping dapat memunculkan

ketidakpatuhan dan sering menimbulkan kesalahpahaman.

3. Penanggung Jawab Klien

Setelah klien pulang ke rumah maka penanggung jawab kasus mempunyai

kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan klien, sehingga dapat

mengidentifikasi gejala dini dan segera mengambil tindakan. Penanggung


jawab klien dalam hal ini adalah petugas puskesmas dapat memberikan

penyuluhan kesehatan berulang tentang perawatan penderita skizofrenia

sehingga keluarga dapat berkontribusi danm berkolaburasi dengan petugas

kesehatan dalam perawatan anggota keluarga yang menderita skizofrenia

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan yang berulang.

4. Keluarga

Ekspresi emosi yang tinggi dari keluarga diperkirakan menyebabkan

kekambuhan yang tinggi pada klien. Hal lain adalah klien mudah dipengaruhi

oleh stress yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Ekspresi emosi

keluarga yang tinggi rata-rata memiliki beban yang tinggi jika dibandingkan

dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang rendah. Sesuai dengan

penjelasan Sachit dan Al-Jubbori (2013), bahwa emosi keluarga yang tinggi

karena situasi penuh stres yang dialami keluarga sebagai caregiver,

menimbulkan efek yang kuat dan memicu kambuh pasien.

Proses “kekacauan dan dinamika keluarga” memegang peranan penting

dalam menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang

dipulangkan kerumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya

dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan pada lingkungan residensial.

Klien yang paling beresiko adalah pasien yang berasal dari keluarga dengan

suasana permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang

berlebihan dan terlalu protektif terhadap klien (disebut emosi yang

diekspresikan). Sariah (2014) menyimpulkan bahwa salah satu penyebab


kambuhnya penyakit skizofrenia disebabkan oleh peristiwa kehidupan

keluarga yang penuh dengan tekanan (stres).

Keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan

di rumah sakit jiwa, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi

klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas perilaku keluarga akan

membantu proses pemulihan kesehatan klien sehingga status klien meningkat.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kambuh

gangguan jiwa adalah perilaku keluarga yang tidak tahu cara menangani klien

Skizofrenia di rumah.

Amelia (2013) menyebutkan bahwa penyebab subyek mengalami

kekambuhan disebabkan faktor keluarga, faktor tersebut paling dominan

sehingga subyek menjadi kambuh setelah dirawat di rumah sakit jiwa. Dari

hasil penelitian menunjukkan perlakuan keluarga memberikan pengaruh besar

terjadinya kekambuhan pada subyek penelitian. Keluarga sebagai jembatan

bagi klien untuk sembuh, karena keluarga merupakan tempat dimana individu

memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya, keluarga merupakan

institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan

nilai, keyakinan, sikap dan perilaku.

5. Lingkungan Sekitar

Lingkungan sekitar tempat tinggal klien yang tidak mendukung dapat juga

meningkatkan frekuensi kekambuhan. Misalnya masyarakat menganggap

klien sebagai individu yang tidak berguna, mengucilkan klien, mengejek klien

dan seterusnya.
Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang

lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang

menderita penyakit medis lainnya. Hal ini tampak lebih jelas dialami oleh

penderita. Hal ini menyebabkan penderita skizofrenia yang sudah sehat

memiliki kecenderungan untuk mengalami kekambuhan lagi sehingga

membutuhkan penanganan (Sebayang, 2014).

Dukungan masyarakat dipahami sebagai suatu bentuk hubungan sosial yang

bersifat menolong dan melibatkan aspek emosi, informasi, penilaian, dan

bantuan instrumental. Dukungan masyarakat memberikan efek secara

langsung pada kesehatan seseorang dengan cara mendorong perilaku hidup

sehat, menambah rasa aman, serta mengurangi kecemasan, ketidakberdayaan

dan perasaan terasing. Beberapa studi epidemiologi sosial yang menyebutkan

jika dukungan masyarakat dapat mengurangi efek stres, sehingga mengurangi

insidensi penyakit. Dukungan masyarakat merupakan salah satu sumber

penanggulangan terhadap stres yang penting, selain konstitusi, intelegensia,

sumber keuangan, agama, hobi dan cita-cita.

Ketersediaan dukungan masyarakat berpengaruh positif pada sikap seseorang

terhadap perawatan kesehatan, membantu penyesuaian psikologis terhadap

penyakit, mencegah stres, dan bahkan meningkatkan angka kelangsungan

hidup. Dukungan masyarakat merupakan sebagai faktor yang bermakna

dalam menahan stress bagi pasien yang menderita gangguan jiwa berat

maupun bagi keluarga penderita gangguan jiwa. Adanya dukungan


masyarakat berkorelasi dengan penurunan perawatan ulang bagi penderita

gangguan jiwa berat.

2.2.4 Dampak Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia

Dampak gangguan jiwa bagi keluarga sangat besar, apalagi ada beberapa

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Dampak dari anggota yang

menderita gangguan jiwa bagi keluarga diantaranya keluarga belum terbiasa

dengan adanya gangguan jiwa.

Menurut Stuart, G.W. (2013), Dampak - dampak gangguan jiwa bagi

keluarga, seperti:

a. Penolakan

Sering terjadi dan timbul ketika ada keluarga yang menderita gangguan jiwa,

pihak anggota keluarga lain menolak penderita tersebut dan menyakini

memiliki penyakit berkelanjutan.

b. Stigma

Informasi dan pengetahuan tentang gangguan jiwa tidak semua dalam

anggota keluarga mengetahuinya. Keluarga menganggap penderita tidak

dapat berkomunikasi layaknya orang normal lainnya. Menyebabkan beberapa

keluarga merasa tidak nyaman untuk mengundang penderita dalam kegiatan

tertentu.

c. Frustrasi, Tidak berdaya dan Kecemasan

Sulit bagi siapa saja untuk menangani orang dengan pemikiran aneh, tingkah

laku aneh dan tak terduga. Bahkan ketika orang itu stabil karena obat, apatis
dan kurangnya motivasi bisa membuat frustasi. Keluarga dapat menjadi

marah-marah, cemas, dan frustasi karena berjuang untuk mendapatkan

kembali ke rutinitas yang sebelumnya penderita lakukan.

d. Kelelahan

Seringkali keluarga menjadi putus asa berhadapan dengan orang yang dicintai

yang memiliki penyakit mental. Mereka mungkin mulai merasa tidak mampu

mengatasi dengan hidup dengan orang yang sakit yang harus terus-menerus

dirawat. Namun seringkali, mereka merasa terjebak dan lelah oleh tekanan

dari perjuangan sehari-hari, terutama jika hanya ada satu anggota keluarga

mungkin merasa benar-benar di luar kendali.

e. Duka

Keluarga dapat menerima kenyataan penyakit yang dapat diobati, tetapi tidak

dapat disembuhkan. Keluarga berduka ketika orang yang dicintai sulit untuk

disembuhkan dan melihat penderita memiliki potensi berkurang secara

substansial bukan sebagai yang memiliki potensi berubah.

f. Kebutuhan Pribadi dan Mengembangkan Sumber Daya Pribadi

Jika anggota keluarga memburuk akibat stres dan terlalu banyak pekerjaan,

dapat menghasilkan anggota keluarga yang sakit tidak memiliki sistem

pendukung yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, keluarga harus

diingatkan bahwa mereka harus menjaga diri secara fisik, mental dan spiritual

yang sehat
2.2.5 Pencegahan Kekambuhan Skizofrenia

Pemberian obat antipsikotik dapat mengurangi resiko kekambuhan, tetapi

obat-obatan tersebut tidak dapat mengajarkan tentang kehidupan dan keterampilan

meskipun dapat memperbaiki kualitas hidup penderita melalui penekanan gejala-

gejala. Pengajaran kehidupan dan keterampilan sosial hanya mungkin didapat

penderita melalui dukungan sosial keluarga. Dari penelitian didapat bahwa 45%

penderita skizofrenia yang mendapat pengobatan antipsikotik akan mengalami

kekambuhan dalam waktu 1 tahun pasca rawat, sedangkan penderita yang diberi

plasebo 70% kambuh (Kaplan dan Sadock, 2015).

Hal ini berarti pengobatan skizofrenia harus dilakukan dengan cara

interaksi multidimensional. Gejala-gejala dan ketidakmampuan sosial serta

ketidakmampuan individual yang di tunjukkan merupakan hasil dari benturan-

benturan yang dialami dalam kehidupan. Angka kekambuhan dalam waktu 1

tahun pasca rawat pada penderita skizofrenia yang mendapat latihan keterampilan

sosial adalah 20%, penderita yang mendapat pengobatan antipsikotik 41% dan

19% penderita yang pada keluarga diberikan psikoedukasi.

Penderita yang mendapat latihan keterampilan sosial, obat antipsikotik dan

psikoedukasi keluarga dilaporkan tidak ada yang kambuh (Kaplan dan Sadock,

2015).

Untuk mengurangi perawatan ulang atau frekuensi kekambuhan dan untuk

mengurangi jumlah penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa, perlu

adanya pendidikan kesehatan jiwa yang ditujukan kepada klien, keluarga yang

merawatnya, atau orang lain yang bertanggung jawab merawatnya. Sebagai upaya
meningkatkan pengetahuan klien tentang skizofrenia, kepatuhan dalam minum

obat.Banyak metode telah dikembangkan dunia pendidikan. Metode pendidikan

kesehatan yang digunakan dalam menyampaikan pesan yang bertujuan

meningkatkan pengetahuan tentang skizofrenia, kepatuhan dalam minum obat

adalah ceramah dan tanya jawab.

10 Langkah Memperkuat Kemampuan Mengatasi Kekambuhan dari

Skizofrenia antara lain :

1. Pelajari seluk beluk penyakit skizofrenia.

Pada saat ini banyak buku dan artikel gratis di internet yang mengupas

tentang penyakit skizofrenia. Belajar tentang penyakit skizofrenia akan dapat

membantu seseorang mengatasi gangguan dan gejala akibat skizofrenia

2. Bantu agar penderita mau menyadari atau mengakui penyakitnya.

Kebanyakan penderita gangguan jiwa tidak menyadari atau tidak mengakui

adanya gangguan jiwa pada dirinya.Seorang penderita yang menyadari dan

mengakui sakitnya merupakan satu langkah maju menuju kearah pemulihan.

3. Pelajari tanda-tanda awal kambuh dan faktor pemicunya.

Tanda-tanda awal akan kambuh bisa berbeda antara satu orang dengan orang

lainnya. Beberapa tanda awal yang sering muncul antara lain adalah: terjadi

gangguan tidur (tidur terus atau tidak bisa tidur), gelisah, menarik diri dari

pergaulan sosial. Perlu pula dikenali faktor-faktor pemicu kambuhnya

penyakit, misalnya: berhenti minum obat, kurang tidur, bertengkar dengan

seseorang, dll.
4. Hindari situasi yang sering menimbulkan stress.

Beberapa penderita skizofrenia tidak bisa berada dalam keramaian, seperti di

pasar/mall, atau berada dimana banyak orang tidak dikenal. Bila harus atau

terpaksa berada dalam situasi seperti tersebut, ada baiknya penderita

skizofrenia melepaskan diri ketempat yang tenang selama beberapa waktu

untuk menurunkan ketegangan yang timbul.

5. Melakukan kegiatan yang menyenangkan dan membuat terlibat dalam

kegiatan. Melakukan kegiatan-kegiatan sesuai hobby atau kesenangannya

akan membuat penderita skizofrenia lebih cepat pulih dan terhindar dari

kambuh. Penderita skizofrenia perlu didorong untuk melakukan kegiatan

sesuai hobbynya seperti misalnya: melukis, berkebun, bermain musik, dll.

6. Melakukan latihan agar bisa santai/ rileks.

Kegiatan yang bisa membuat santai atau rileks seperti dzikir, yoga atau

meditasi akan bermanfaat bagi pemulihan gangguan jiwa.

7. Terlibat dalam pertemuan group sesama penderita gangguan jiwa yang mulai

pulih. Berbagi pengalaman dan cara-cara mengatasi halusinasi, mengatasi

ketakutan, dll kepada sesama teman penderita gangguan jiwa akan

bermanfaat bagi yang bersangkutan. Dengan berbagi pengalaman akan

memperkuat mental dan lebih mempercepat proses kesembuhan.

8. Melakukan kegiatan pekerjaan rumah.

Latihan dan dorongan untuk membersihkan kamar, membersihkan rumah,

memasak, dll akan melatih penderita gangguan jiwa untuk mulai bertanggung

jawab dan mengendalikan hidupnya. Kemampuan mengerjakan pekerjaan


rumah akan meningkatkan percaya dirinya untuk mengerjakan hal hal yang

lebih sulit.

9. Merawat binatang peliharaan.

Berbagai studi menunjukkan bahwa penderita skizofrenia akan bisa lebih

mudah pulih setelah mereka merawat dan memelihara binatang peliharaan

seperti kucing, anjing, burung atau binatang peliharaan lainnya. Keterlibatan

dalam merawat binatang peliharaan akan merangsang emosi dan perasaan

positif yang mendorong kesembuhan.

10. Melakukan kegiatan kebajikan sederhana.

Kegiatan-kegiatan amaliah atau kebajikan sederhana akan dapat mendorong

mempercepat kesembuhan. Beberapa kegiatan seperti membersihkan rumah

janda tua miskin, membersihkan rumah ibadah, sedekah nasi bungkus, dll

akan membantu proses pemulihan (Gunawan Setiadi, 2013).


2.3 Kerangka Teori

Klien Dokter Penanggung jawab klien

- Ketidakpatuhan - Hubungan terapeutik - Pemberian informasi


mengkonsumsi obat tidak terbina tidak adekuat
- Frustasi - Efek samping obat - Jadwal kunjungan
- Tidak berdaya tidak terkontrol rumah tidak berjalan
- Kecemasan

Kekambuhan

Keluarga Lingkungan Masalah kehidupan yang


membuat stress
- Ekspresi emosi tinggi - Stigma negatif
- Penolakan anggota - Ejekan dan pengucilan - Pekerjaan
keluarga - Penerimaan - Ekonomi
- Beban keluarga dimasyarakat
- Tidak mampu
merawat penderita
skizofrenia

Modifikasi : Keliat (2014) dan Akbar, Anahita and Ahmad (2013)


2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan kerangka yang dipakai sebagai dalam

landasan berpikir untuk melakukan penelitian yang dikembangkan berdasarkan

teori, dimana disusun berdasarkan berbagai variabel yang ada dalam penelitian

(Nursalam, 2013). Kerangka konsep telah menggambarkan variabel penelitian.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah

Sakit.

Variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada skema berikut ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor yang mempengaruhi


kekambuhan
1. Klien
2. Dokter Kekambuhan
3. Penanggung Jawab Klien Penderita
4. Keluarga Skizofrenia
5. Lingkungan
6. Ekonomi

Berdasarkan skema diatas dapat dijelaskan bahwa variabel independen dalam

penelitian ini adalah faktor yang mempengaruhi kekambuhan yang meliputi klien,

dokter, penanggung jawab klien, keluarga, lingkungan, ekonomi. Sedangkan

variabel dependen adalah kekambuhan penderita skizofrenia.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan

cross-sectional, yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan Penderita

Skizofrenia Setelah Perawatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat

Tahun 2016.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat

karena merupakan rumah sakit rujukan jiwa dari Labuhanbatu Utara dan

Labuhanbatu Selatan sehingga diharapkan jumlah sampel dapat terpenuhi dan

memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Selanjutnya penelitian

dilakukan pada September 2018 – Februari 2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Seluruh keluarga pasien gangguan jiwa yang mengalami skizofrenia yang

datang berobat ke Rumah Sakit dengan jumlah 102 orang.


3.3.2 Sampel Penelitian

Salah satu keluarga inti (ayah, ibu, suami, istri, anak, kakak, adik) yang

berusia lebih dari 18 tahun dari pasien gangguan jiwa yang mengalami skizofrenia

pada waktu pengumpulan data penelitian yang memenuhi kriteria. Pengambilan

sampel dilakukan secara non probability sampling dengan cara accidental

sampling, yaitu dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang

kebetulan ada atau tersedia disuatu tempat sesuai dengan konteks penelitian

(Notoatmodjo, 2012).

Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus sebagai

berikut (Nurssalam, 2011)

n = N

1 + N (d2)

Keterangan : N = jumlah populasi, n = jumlah sampel, d = batas toleransi

kesalahan pengambilan sampel yang digunakan 0,1. Maka besar sampel pada

penelitian ini adalah :


n = 102

1 + 102 (0,12)

= 102

1 + 1,02

= 50,49

Berdasarkan hasil perhitungan rumus sampel diatas didapatkan jumlah sampel

sebanyak 51 keluarga pasien skizofrenia.


Kriteria inklusi dari sampel responden penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Keluarga dari pasien yang terdiagnosis skizofrenia oleh dokter


2. Keluarga yang tinggal serumah dan merupakan care giver pasien tersebut
3. Keluarga dari pasien skizofrenia yang sedang menjalani pengobatan pertama
minimal 1 bulan
4. Sehat jasmani dan rohani

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang

dibagikan langsung kepada responden. Kuesioner dibuat sendiri oleh peneliti dari

teori-teori yang ada. Namun sebelum kuesioner dibagikan kepada responden,

peneliti terlebih dahulu melakukan uji coba kuesioner kepada keluarga penderita

lain yang tidak termasuk responden dalam penelitian ini, kemudian dilakukan uji

validitas dan reliabilitas dengan korelasi product moment (r).


3.5 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Variabel Independen

Faktor Klien Kondisi perilaku pasien dalam Kuesioner 1. Patuh Ordinal


menjalani perawatan
2. Tidak patuh

Faktor Dokter Kemampuan dokter dalam Kuesioner 1. Baik Ordinal


memberikan pelayanan
kesehatan pada pasien 2. Tidak baik

Faktor Peran petugasPuskesmas Kuesioner 1. Berperan Ordinal


Penanggung setelah perawatandi rumah
Jawab Klien sakit 2. Tidak berperan

Faktor Kemampuan keluarga dalam Kuesioner 1. Mendukung Ordinal


Keluarga merawat penderita skizofrenia
setelah perawatan di Rumah 2. Tidak
Sakit
mendukung

Faktor Stigma masyarakat terhadap Kuesioner 1. Menerima Ordinal


Lingkungan penderita skizofrenia
2. Tidak

menerima

Faktor Kemampuan keluarga dalam Kuesioner 1. Mampu Ordinal


membiayai perawatan
Ekonomi penderita skizofrenia 2. Tidak mampu

Variabel Dependen

Kekambuhan Kambuh tidaknya pasien Kuesioner 1. Kambuh Ordinal


setelah perawatan di rumah
sakit 2. Tidak Kambuh
3.6 Aspek Pengukuran

1. Untuk mengukur faktor klien diajukan 5 pernyataan dengan alternatif

jawaban ya : skor 2, tidak : skor 1, sehingga skor tertinggi 10 dan skor

terendah 0.

P = R

BK

= 10-0

= 5

Maka faktor klien dikatakan :

1. Patuh jika skor 6 – 10

2. Tidak patuh jika skor 0 – 5

2. Untuk mengukur faktor dokter diajukan 5 pernyataan dengan alternatif

jawaban ya : skor 2, tidak : skor 1, sehingga skor tertinggi 10 dan skor

terendah 0.

P = R

BK

= 10-0

= 5

Maka faktor dokter dikatakan :

1. Baik jika skor 6 – 10

2. Tidak baik jika skor 0 – 5


3. Untuk mengukur faktor penanggung jawab klien diajukan 5

pernyataan dengan alternatif jawaban ya : skor 2, tidak : skor 1,

sehingga skor tertinggi 10 dan skor terendah 0.

P = R

BK

= 10-0

= 5

Maka faktor penanggung jawab klien dikatakan :

1. Berperan jika skor 6 – 10

2. Tidak berperan jika skor 0 – 5

4. Untuk mengukur faktor lingkungan diajukan 5 pernyataan dengan

alternatif jawaban ya : skor 2, tidak : skor 1, sehingga skor tertinggi 10

dan skor terendah 0

P = R

BK

= 10-0

= 5

Maka faktor lingkungan dikatakan :

1. Menerima jika skor 6 – 10

2. Tidak menerima jika skor 0 – 5


5. Untuk mengukur faktor keluarga diajukan 10 pernyataan dengan

alternatif jawaban ya skor 2, tidak skor 1, sehingga skor tertinggi 20

dan skor terendah 0.

P = R

BK

= 20-0

= 10

Maka faktor keluarga dikatakan :

1. Mendukung jika skor 11 – 20

2. Tidak mendukung jika skor 0 – 10.

6. Untuk mengukur faktor ekonomi diajukan 5 pernyataan dengan

alternatif jawaban ya : skor 2, tidak : skor 1, sehingga skor tertinggi 10

dan skor terendah 0.

P = R

BK

= 10-0

= 5

Maka faktor ekonomi dikatakan :

1. Mampu jika skor 6 – 10

2. Tidak mampu jika skor 0 – 5


Keterangan :

Kategori-kategori faktor yang ada dihitung dengan rumus Suzana

(2003) :

P = Panjang Kelas

R = Skor tertinggi – skor terendah

BK = Banyak kategori

3.7 Pengolahan Data

Berdasarkan data yang terkumpul dilapangan maka dilakukan analisis

terhadap hasil penelitian kuesioner. Setelah data dikumpulkan kemudian diolah

dengan langkah-langkah Editing, Coding, dan Tabulating.

1. Editing

Proses memeriksa data yang sudah terkumpul, meliputi kelengkapan isian,

keterbacaan tulisan, kejelasan jawaban, relevansi jawaban, keseragaman

kesatuan data yang digunakan, dan sebagainya.

2. Coding

Kegiatan memberikan kode pada setiap data yang terkumpul disetiap

instrumen penelitian. Pengkodean pada usia : 17 - 25 tahun = 1, 26 - 35 tahun

= 2, 36 - 45 tahun = 3, 46 - 55 tahun = 4, 56 - 65 tahun = 5, 65 tahun keatas

usia = 6, jenis kelamin : laki – laki = 1, perempuan = 2, pendidikan : SD = 1,

SMP = 2, SMA = 3, Diploma = 4, Sarjana = 5, lama menderita skizofrenia : <

1 tahun = 1, 1 – 5 tahun = 2, 5 tahun = 3, faktor klien : patuh = 1, tidak

patuh = 2, faktor dokter : baik = 1, tidak baik = 2, faktor penanggung jawab :


berperan = 1, tidak berperan = 2, faktor keluarga : mendukung = 1, tidak

mendukung = 2, faktor lingkungan: menerima = 1, tidak menerima = 2,

faktor ekonomi : mampu = 1, tidak mampu = 2, kekambuhan : kambuh = 1,

tidak kambuh = 2.

3. Tabulating

Memasukkan data yang sudah dikelompokkan kedalam tabel distribusi

frekwensi untuk memudahkan interpretasi.

3.8 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara bertahap, yaitu analisis univariat (satu

variabel), bivariat (dua variabel) dan multivariat.

1. Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel

independent dan dependent.

2. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-square untuk

menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kekambuhan

pada penderita skizofrenia. Data dianggap memenuhi jika p<0,05.

3. Analisis multivariat untuk mengetahui faktor paling dominan pengaruhnya

terhadap terjadinya kekambuhan pada pasien skizofrenia dengan

menggunakan regresi logistic.


DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Diny & Anwar, Zainul. 2013. Relaps Pada Pasien Skizofrenia. Jurnal
Ilmiah Psikologi Terapan. No. 01 Vol.01. Hal 52-64

Anahita K & Ahmad E. 2013. The Outcome of Families Intervention for The
Mother of Schizofrenia Patient in Iran. International Journal of Psychiatry.
The Author(s), 2013. Reprints and permissions:
http://www.sagepub.co.uk/journals Permissions.nav Vol 56(6): 634–646
DOI: 10.1177/0020764009344144.

Anthony, F. L., Jeffrey, A.L, Lisa, B.D,. Thomas, H.M., Alexander, LM, Diana,
O.P., Julie, K. 2014. Practice Guideline For The Treatment Of Patients With
Schizophrenia Second Edition: Published by APA American Psychiatric
Press (Online) di unduh pada 1 Juli 2016.

Ashturkar, M. D., & Dixit, J. V. (2013). Selected Epidemiological Aspects of


Schizophrenia: A Cross Sectional Study At Terityary Care Hospital In
Maharashtra. National Journal of Community Medicine, 65-69

Boeree, George. 2013. Personality Theories. Jogjakarta : Prismasophie

Davies & Craig, (2013). ABC Kesehatan Mental. Buku Kedokteran EGC :
Jakarta.

Felicia, G. (2012). Self-assessment of functional ability in schizophrenia:


Milestone achievement and its relationship to accuracy of self-evaluation.
Psychiatry Research. doi: 10.1016/j.psychres.2013.02.0

Fleischhacker, (2013). Factor Influencing Compliance In Schizophrenia Patients.


Diakses Pada Tanggal 12 Januari 2011 Dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14680413.

Friedman, Marilyn M. (2012). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori


Dan Praktek. Jakarta : EGC

Gunawan Setiadi. Diakses Tanggal 27 Februari 2013, 10 Langkah Memperkuat


Kemampuan Mengatasi Kekambuhan Dari Skizofrenia
http://www.kompasiana.com/tirtojiwo

Hawari, D. (2014). Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.


Jakarta: FK-UI.

Kartono, Kartini. 2013. Patologi Sosial 3: Gangguan Kejiwaan, edisi ke 3 cetakan


ke 7. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Keliat, Budi Anna. dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN
(Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Loebis, B. (2012). Skizofrenia : Penanggulangan Memakai Antipsikotik. Diakses


Pada Tanggal 23 September 2012 Dari
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_bahagia_loebis.
pdf

Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III


dan DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas
Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.

Niven, Neil. 2012. Psikologi Kesehatan Pengantar Untuk Perawat & Profesional
Kesehatan Lain. Edisi II. Jakarta: EGC.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta

Nursalam. (2013). Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Riset Kesehatan Dasar, 2013, Jakarta : Badan Penelitian Dan Pengembangan


Kesehatan. Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.

Sachit, K.R., & Al-Jubbori, A.K. (2013). Impact of caregivers’ expressed


emotion upon schizophrenic patient relapsing. Kufa Journal for Nursing
Science, 3(1)

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry (11th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Sariah, A.E., Outwater, A.H., & Malima, K.I. (2014). Risk and protective factors
for relapse among individuals with schizophrenia: A qualitative study in
Dares Salaam, Tanzania. BMC Psychiatry, 14, 240.
doi:10.1186/s12888-014-0240-9

Sebayang, Septian. M. (2014) Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dengan


Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Di Poliklinik Rumah
Sakit Jiwa Daerah Propsu Medan.

Sianturi, F. L. (2014). Risperidone and Haloperidol Comparative Effects of


Positive Symptoms Patient Schizophrenic. Journal of Biology, Agriculture
and Healthcare, Vol. 04 No. 28
Simatupang, Rusmini (2014). Faktor-Faktor Penyebab Kekambuhan Pada Pasien
Skizofrenia Yang Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara Medan. Http:/Repository.Usu.Ac.Id/Handle/123456789/40362.
Diperoleh Tanggal 25 April 2014.

Stuart, Gail W. 2013. Prinsip Dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart.
Ed. Indone. Ed. Budi Anna Keliat. Fakultas Keperawatan Universitas
Indonesia.

Prabowo, E. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa, cetakan pertama. Yogyakarta:


Nuha Medica.

Yosep, 2014. Keperawatan Jiwa. Cetakan Pertama. Bandung : Refika Aditama.

Lampiran 10
LEMBAR BUKTI BIMBINGAN

Nama Mahasiswa : Aminul Hayani Ritonga

NIM : 1714201176B

Judul Penelitian : Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan


Penderita Skizofrenia Setelah Perawatan Di Rumah Sakit
Umum Daerah Rantauprapat Tahun 2018

Pembimbing : Sri Dewi Siregar, S.Kep. M.Kep

Materi Tanda Tangan


No Tanggal Komentar/Saran
Pembimbing Pembimbing
PROGRAM STUDI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) FLORA
Jl. Rajawali No. 24 Medan 20122
_____________________________________________________
FORMULIR USULAN PENELITIAN

Nama : Aminul Hayani Ritonga


NIM : 1714201176B
Semester : III
T.A : 2017/2018

Sebagai salah satu persyaratan mengambil mata kuliah skripsi, dengan ini
mengajukan usulan penelitian dengan judul :

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan penderita skizofrenia


setelah perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Rantauprapat tahun 2018

Demikian usulan ini dibuat, mohon diproses pada tahap selanjutkan dan terima
kasih.
Medan, 04 Agustus 2018
Pemohon

Aminul Hayani Ritonga


1714201176B
-----------------------------------------------------------------------------
Surat Keterangan Pengesahan Judul Usulan Penelitian Mahasiswa

Panitia persiapan dan Pelaksana Sidang Proposal Skripsi Mahasiswa Program


Studi Ners STIKes Flora berdasarkan hasil rapat pada tanggal 11 Agustus 2018
Ditetapkan bahwa :
Nama : Aminul Hayani Ritonga
NIM : 1714201176B
Dosen Pembimbing : Sri Dewi Siregar, S.Kep. M.Kep
Judul Penelitian : Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan
penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit
Umum Daerah Rantauprapat tahun 2018
Judul tersebut dinyatakan :
( ) disetujui tanpa perbaikan
( ) tidak disetujui, diharuskan membuat urusan kembali
( ) disetujui dengan perbaikan sebagai berikut :
----------------------------------------------------------------------
Medan, Agustus 2018
Ketua,
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................

BAB I : PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah.................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................ 6
1.3.1 Tujuan Umum.................................................................. 6
1.3.2. Tujuan Khusus................................................................ 6
1.4. Hipotesis...................................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian....................................................................... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 11


2.1. Skizofrenia................................................................................ 11
2.1.1 Pengertian......................................................................... 11
2.1.2. Gejala Klinis Skizofrenia................................................ 12
2.1.3. Etiologi Skizofrenia........................................................ 13
2.1.4. Klasifikasi Skizofrenia.................................................... 15
2.1.5. Terapi Skizofrenia........................................................... 21
2.1.6. Perjalanan Gangguan dan Prognosis Skizofrenia........... 21
2.2. Kekambuhan Pada Skizofrenia................................................. 23
2.2.1. Pengertian........................................................................ 23
2.2.2. Gejala Kekambuhan Skizofrenia..................................... 24
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan..........
Skizofrenia....................................................................... 25
2.2.4. Dampak Kekambuhan Pada Pasien Skizofrenia.............. 32
2.2.5. Pencegahan Kekambuhan Skizofrenia............................ 34
2.3. Kerangka Teori.......................................................................... 38
2.4. Kerangka Konsep...................................................................... 39

BAB III : METODE PENELITIAN................................................................ 40


3.1. Jenis Desain Penelitian.............................................................. 40
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 40
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian................................................ 40
3.1.1. Populasi Penelitian........................................................... 40
3.1.2. Sampel Penelitian............................................................ 41
3.4. Metode Pengumpulan Data....................................................... 42
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional........................................... 43
3.6. Aspek Pengukuran.................................................................... 44
3.7. Pengolahan Data........................................................................ 47
3.8. Analisis Data............................................................................. 48

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 49
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas
1. Nama : Aminul Hayani Ritonga
2. Tempat/Tanggal Lahir : Aek Tapa, 27 April 1973
3. Agama : Islam
4. Alamat : Jalan SM. Raja No 146 Rantauprapat
Kabupaten Labuhanbatu

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


1. Tahun 1979 - 1985 : SD Negeri 112147 Bakaran Batu
2. Tahun 1985 – 1988 : SMP Negeri II Rantauprapat
3. Tahun 1988 – 1991 : SMA Negeri I Rantauprapat
4. Tahun 1994 – 1997 : Akademi Perawatan Imelda Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN


Tahun 2005 s.d sekarang : PNS di RSUD Rantauprapat
PROGRAM STUDI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) FLORA
Jl. Rajawali No. 24 Medan 20122
_____________________________________________________

LEMBAR PERSETUJUAN
UJIAN SIDANG PROPOSAL PENELITIAN

Nama : Aminul Hayani Ritonga


NIM : 1714201176B
Judul Penelitian : Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan
penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit
Umum Daerah Rantauprapat tahun 2018

Telah memenuhi persyaratan penyusunan proposal penelitian sesuai Pedoman


Penulisan Proposal Skripsi Mahasiswa Program Studi Ners STIKes Flora tahun
2018 dan dapat melaksanakan ujian sidang Proposal.

Medan, November 2018


Pembimbing Penelitian,

Sri Dewi Siregar, S.Kep. M.Kep


PROGRAM STUDI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) FLORA
Jl. Rajawali No. 24 Medan 20122
_____________________________________________________

FORMULIR SIDANG PROPOSAL PENELITIAN

Panitia Persiapan dan Pelaksanaan Sidang Skripsi Mahasiswa Program Studi Ners
STIKes Flora menyatakan bahwa mahasiswa :

Nama : Aminul Hayani Ritonga


NIM : 1714201176B
Pembimbing Penelitian : Sri Dewi Siregar, S.Kep. M.Kep
Judul Penelitian : Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kekambuhan penderita skizofrenia setelah
perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah
Rantauprapat tahun 2018

Telah memenuhi persyaratan penyusunan proposal penelitian sesuai Pedoman


Penulisan Proposal Skripsi Mahasiswa Program Studi Ners STIKes Flora tahun
2018 dan dapat melaksanakan ujian sidang Proposal.
Mahasiswa tersebut akan diuji oleh

1. Dosen Penguji I : Darmita Fitri Tanjung, S.Kep, Ns

2. Dosen Penguji II : Yuni Ramadhani, S.Kep, Ns, M.Kep

Ujian sidang proposal dilaksanakan pada

Hari/Tanggal : Rabu, 14 November 2018

Pukul : 12.00 s/d 13.00 Wib

Tempat : Ruang 3 STIKES Flora Medan

Medan, November 2018


Ketua,

Sri Dewi Siregar, S.Kep, Ns, M.Kep


PROGRAM STUDI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) FLORA
Jl. Rajawali No. 24 Medan 20122
_____________________________________________________

LEMBAR PERSETUJUAN PROPOSAL

Judul Penelitian : Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan


penderita skizofrenia setelah perawatan di Rumah Sakit
Umum Daerah Rantauprapat tahun 2018
Nama : Aminul Hayani Ritonga
NIM : 1714201176B
Jurusan : Ners (S.Kep)
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Proposal ini telah diperiksa dan dapat diajukan untuk proses selanjutnya.

Medan, November 2018


Pembimbing

Sri Dewi Siregar, S.Kep. M.Kep


Lampiran 2

KUESIONER PENELITIAN

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekambuhan Pada Penderita Skizofrenia


Setelah Perawatan Di RSUD Rantauprapat Tahun 2018
Petunjuk Pengisian :
4. Bacalah dengan teliti pertanyaan terlebih dahulu
5. Jawablah semua pertanyaan dengan memberikan tanda
silang (x) pada pilihan jawaban yang paling benar.
6. Semua pernyataan di isi dengan satu jawaban

I. KARAKTERISTIK RESPONDEN

A. Data Demografi
1. No. Responden .............
2. Usia ................................................. tahun
3. Jenis Kelamin
( ) Laki-laki
( ) Perempuan
4. Pendidikan terakhir keluarga
( ) SD atau sederajat
( ) SMP atau sederajat
( ) SMA atau sederajat
( ) Akademi
( ) Sarjana
5. Hubungan dengan klien
( ) Ayah ( ) Anak
( ) Ibu ( ) Kakak
( ) Suami ( ) Adik
( ) Istri

B. Identitas Klien
1. Nama Inisial : ...................................................................................
2. Usia : ................................................................................
3. Jenis Kelamin
( ) Laki-laki
( ) Perempuan
4. Pendidikan terakhir
( ) SD atau sederajat
( ) SMP atau sederajat
( ) SMA atau sederajat
( ) Akademi
( ) Sarjana

5. Pekerjaan
( ) Bekerja
( ) Tidak bekerja

C. Lama Anggota Keluarga Sakit


1. Berapa lama pasien/anggota keluarga menderita skizofrenia ...
( ) < 1 tahun
( ) 1 – 5 tahun
( ) > 5 tahun
2. Kekambuhan penderita skizofrenia selama tiga bulan terakhir ...
( ) kambuh
( ) tidak kambuh

II. KUESIONER PENYEBAB KEKAMBUHAN

No Pernyataan Ya Tidak

Faktor Klien

Pasien selalu meminum obat secara teratur tanpa di


1.
ingatkan oleh keluarga.
Pasien minum obat secara teratur sesuai dosis, cara dan
2.
tepat waktu.
Pasien menghentikan obat yang dikonsumsi sebelum
3.
waktunya
Pasien yakin bahwa obat yang diminum akan
4.
menyembuhkannya dari penyakit yang dialaminya.
5. Pasien mengetahui jadwal minum obat secara mandiri.

Faktor Dokter

Dokter menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang


1. skizofrenia, penyebab, tanda dan gejala serta terapi
pengobatan.
Dokter selalu menjelaskan efek samping dari pemberian
2.
obat.
Dokter selalu meluangkan waktu untuk mendengar
3.
keluhan-keluhan pasien.
Dokter selalu membuat kontrak dengan pasien dan
4.
keluarga untuk pertemuan selanjutnya.
Dokter selalu mengingatkan pentingnya mengkonsumsi
5.
obat secara teratur.

Faktor Penanggung Jawab Klien

Petugas kesehatan memberikan informasi tentang


1.
manfaat kepatuhan dalam menjalankan pengobatan.
Petugas kesehatan melakukan pengawasan kesediaan
2.
obat di rumah.
Petugas kesehatan menyampaikan resiko apabila pasien
3.
tidak minum obat secara teratur.
Petugas kesehatan berkunjung kerumah pasien untuk
4.
melihat gejala yang timbul.
Petugas kesehatan selalu mengontrol jadwal kunjungan
5.
pasien di puskesmas.

Faktor Keluarga

1. Keluarga mengikutsertakan dalam kegiatan sehari-hari.


Keluarga membantu pasien melakukan kegiatan sesuai
2.
dengan kemampuan pasien
3. Keluarga menerima kondisi pasien apa adanya
Keluarga merasakan masalah yang dihadapi pasien
4.
adalah masalah harus dihadapi bersama.
Keluarga selalu mengingatkan pasien dalam minum
5.
obat.
Keluarga membantu proses adaptasi pasien didalam
6.
keluarga dan masyarakat
Keluarga meluangkan waktunya untuk berkomunikasi
7.
dengan pasien
8. Keluarga menyediakan waktu menemani pasien
kontrol.
Keluarga memberikan kepercayaan kepada pasien bisa
9. melakukan pekerjaan sehari-hari dirumah seperti
menyapu
Keluarga memberikan pujian kepada pasien bila pasien
10.
dapat melakukan kegiatan sehari-hari.

Faktor Lingkungan

1. Masyarakat menerima pasien apa adanya.


2. Masyarakat menganggap pasien sudah sembuh
Masyarakat mengikutkan pasien dalam kegiatan sosial
3.
di lingkungan
4. Masyarakat mengikut sertakan pasien dalam kegiatan
keagamaan.
Masyarakat menganggap pasien sebagai individu yang
5.
berguna.
Faktor Ekonomi
1. Pekerjaan keluarga
( ) Bekerja
( ) Tidak bekerja
2. Penghasilan keluarga dalam rupiah
( ) UMK < Rp. 1.870.000,-
( ) UMK > Rp.1.870.000,-
3. Berapakah jumlah anggota keluarga yang tinggal dan ditanggung dalam
rumah
( ) 3 – 4 orang
( ) Lebih dari 5 orang
4. Total pengeluaran keluarga dalam satu bulan
( ) < Rp. 1.870.000,-
( ) > Rp.1.870.000,-
5. Keluarga menggunakan jaminan kesehatan untuk membawa anggota keluarga
berobat
( ) ya
( ) tidak
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

Berkat dan Rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal ini

dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kekambuhan

Penderita Skizofrenia Setelah Perawatan di RSUD Rantauprapat Tahun

2018.

Penulisan proposal ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar

S-1 Keperawatan pada Program Studi Ners-S1 Keperawatan Program Studi Ners-

S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Flora Medan.

Dalam menyusun proposal ini, peneliti mendapatkan bantuan, dorongan

dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan

terima kasih kepada :

1. dr. Fithria Aldy, M.Ked (Oph), SpMK (K), selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Flora Medan.

2. Suherni, S.Kep, M. Kep selaku Ketua Program Studi Ners-S1 Keperawatan

Flora Medan.

3. Sri Dewi Siregar, S.Kep. M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah

menyediakan waktu, tempat dan pikiran untuk mengarahkan peneliti dalam

pembuatan skripsi ini.


4. dr. Syafril Harahap, Sp.B selaku Direktur RSUD Rantauprapat yang telah

memberikan izin penelitian dan telah banyak membantu dalam usaha

memperoleh data yang peneliti perlukan.

5. Teristimewa kepada Orang Tua, Istri, Anak dan Keluargaku tersayang, yang

selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi dan berkorban baik secara

moril maupun materil kepada peneliti.

Akhir kata, peneliti berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu.

Rantauprapat, November 2018


Peneliti

(Aminul Hayani Ritonga)

Anda mungkin juga menyukai