Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI


“KORUPSI KOLEKTIF (KORUPSI BERJAMAAH) DI INDONESIA ANTARA
FAKTOR PENYEBAB DAN PENEGAKAN HUKUM”

DOSEN PENGAMPU:
HERMIEN NUGRAHENI, SKM., M.Kes

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
4A3 REGULER
1. Amalia Nabilatuzzahro’ (P1337420620028)
2. Amanda Fitriani (P1337420620006)
3. Fitri Prihatini (P1337420620110)
4. Feby Kiranti Sukma (P1337420620026)
5. Mafi Musykilah Dwi C (P1337520620041)
6. Safrina Faramadina (P1337520620080)
7. Shofa Tiara Mahali N (P1337420620122)
8. Yoga Utama Mustika D (P1337420620016)
9. Zsa-zsa Ardelia Apta (P1337420620093)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2024
KATA PENGANTAR

Aaaalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah- Nya dan telah memberikan kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu,
tenaga, maupun pikiran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah mengenai
topik “Korupsi Kolektif (Korupsi Berjamaah) Di Indonesia Antara Faktor Penyebab
Dan Penegakan Hukum” dengan tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
Tugas Mata Kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan
akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu,
penyusun mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hermien Nugraheni, SKM., M.Kes selaku
Dosen Mata Kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi atas bimbingan dan pengarahan yang
telah diberikan kepada penyusun dalam mengerjakan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, 17 Februari 2024


Penulis

Kelompok 4 Reguler

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... ii


DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
1.3. Tujuan ................................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2
2.1. Pengertian Korupsi Kolektif ............................................................................... 2
2.2. Faktor Penyebab Korupsi Kolektif ..................................................................... 2
2.3. Fenomena Penyimpangan Korupsi Kolektif ....................................................... 4
2.4. Akibat Dari Fenomena Korupsi Kolektif ............................................................ 5
2.5. Diskusi Kelompok Mengenai Fenomena Korupsi Kolektif ................................ 7
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 8
3.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 8
3.2. Saran.................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Korupsi kolektif merupakan salah satu bentuk paling merusak dari penyalahgunaan
kekuasaan yang terjadi ketika sejumlah individu atau kelompok dalam suatu organisasi
bekerja sama untuk melanggar integritas dan prinsip-prinsip moral. Fenomena ini sering
kali muncul dalam beragam konteks, mulai dari sektor publik hingga sektor swasta, dan
dapat merusak fondasi yang mendasari tatanan sosial dan ekonomi sebuah negara. Latar
belakang korupsi kolektif seringkali terkait dengan budaya organisasi yang
membenarkan atau bahkan mendorong praktik korupsi, struktur kekuasaan yang tidak
transparan, serta lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Dalam situasi di
mana norma-norma moral dan akuntabilitas terabaikan, individu atau kelompok
seringkali mengejar kepentingan pribadi atau kelompok dengan memanfaatkan
kekuasaan yang dimiliki, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi masyarakat
dan institusi. Korupsi kolektif mengancam keadilan, kepercayaan publik, dan stabilitas
ekonomi suatu negara, sehingga menjadi tantangan serius yang memerlukan upaya
bersama dari berbagai sektor untuk diberantas.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa pengertian dari korupsi kolektif?
b. Apa saja faktor penyebab korupsi kolektif?
c. Apa fenomena penyimpangan korupsi kolektif yang ada di Indonesia?
d. Apa akibat dari fenomena korupsi kolektif di Indonesia?
e. Bagaimana pendapat dari kelompok terkait fenomena korupsi kolektif di Indonesia?

1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian korupsi kolektif.
b. Untuk mengetauhi faktor penyebab korupsi kolektif.
c. Untuk mengetahui fenomena penyimpangan korupsi kolektif yang ada di Indonesia.
d. Untuk mengetahui akibat dari fenomena korupsi kolektif di Indonesia.
e. Untuk mengetahui pendapat dari kelompok terkait fenomena korupsi kolektif di
Indonesia.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Korupsi Kolektif


Korupsi kolektif adalah fenomena di mana sejumlah besar individu atau kelompok
dalam suatu organisasi atau sistem terlibat dalam praktik korupsi secara bersama-sama.
Ini bisa terjadi di berbagai tingkatan, mulai dari unit organisasi yang lebih kecil hingga
tingkat yang lebih besar, seperti pemerintah atau perusahaan besar. Korupsi kolektif
merujuk pada praktik korupsi yang melibatkan lebih dari satu individu atau kelompok
dalam suatu organisasi atau institusi. Dalam korupsi kolektif, beberapa individu atau
anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai keuntungan pribadi atau kepentingan
bersama dengan menggunakan posisi atau wewenang mereka di dalam organisasi. Dalam
konteks korupsi kolektif, biasanya terdapat pola perilaku yang menunjukkan adanya
kesepakatan atau kolusi di antara anggota organisasi untuk memperoleh keuntungan
pribadi atau kelompok dengan cara yang melanggar norma atau hukum. Hal ini bisa
terjadi melalui penyuapan, penggelapan, manipulasi data, atau bentuk korupsi lainnya.
Korupsi kolektif seringkali sulit dideteksi dan dihentikan karena melibatkan banyak
orang yang terlibat dalam jaringan yang rumit dan tersembunyi. Upaya pencegahan dan
penindakan yang efektif memerlukan kerja sama antara berbagai lembaga pemerintah,
pemantauan yang ketat, serta pemberian sanksi yang tegas kepada pelaku korupsi.

2.2. Faktor Penyebab Korupsi Kolektif


Beberapa faktor penyebab korupsi kolektif antara lain:
a. Budaya Organisasi yang Korup
Ketika budaya organisasi yang kuat mendukung atau bahkan mendorong
perilaku korup, hal ini dapat menyebabkan terjadinya korupsi kolektif. Budaya
seperti itu biasanya ditandai dengan toleransi terhadap praktik korupsi, kurangnya
transparansi, dan kurangnya akuntabilitas.
b. Kekuasaan dan Kontrol yang Terkonsentrasi
Ketika kekuasaan dan kontrol terkonsentrasi pada sejumlah kecil individu atau
kelompok, hal ini dapat memungkinkan terjadinya korupsi kolektif. Mereka yang
memiliki kontrol penuh atas sumber daya atau keputusan penting dalam organisasi
cenderung memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi atau kelompok.

2
c. Ketidakadilan dan Ketidaksetaraan Sosial
Ketidakadilan sosial dan ketidaksetaraan ekonomi dapat menciptakan
lingkungan di mana praktik korupsi dianggap sebagai cara yang sah untuk
mendapatkan keuntungan atau mempertahankan status sosial.
d. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana publik atau operasi organisasi
dapat memudahkan terjadinya korupsi kolektif karena tindakan korup dapat
dilakukan tanpa ketahuan publik atau pengawas yang berwenang.
e. Kesempatan dan Insentif yang Tinggi
Keberadaan kesempatan untuk melakukan korupsi, bersamaan dengan insentif
yang tinggi dalam bentuk keuntungan finansial atau kekuasaan, dapat mendorong
individu atau kelompok untuk terlibat dalam praktik korupsi kolektif.
f. Kerapuhan Sistem Hukum dan Penegakan Hukum yang Lemah
Sistem hukum yang lemah atau korup serta penegakan hukum yang tidak
efektif dapat memberikan sinyal kepada pelaku korupsi bahwa mereka dapat
bertindak tanpa takut akan konsekuensi hukum yang serius.
g. Perilaku Individu
Seseorang termotivasi untuk melakukan korupsi, antara lain karena sifat rakus
manusia, gaya hidup konsumtif, kurangnya agama, lemahnya moralitas dalam
menghadapi godaan korupsi, dan kurangnya etika sebagai pejabat. Tetapi, sangat
irasional jika pejabat negara tidak memiliki uang karena pada kenyataannya pejabat
pemerintah dibayar oleh negara dengan nilai yang cukup tinggi sekitar puluhan juta
rupiah dan bahkan ratusan juta rupiah setiap bulan.
h. Faktor keluarga
Masalah korupsi biasanya dari keluarga. Biasanya itu terjadi karena tuntutan
istri atau memang keinginan pribadi yang berlebihan. Hal yang menjadikan posisi
dia duduk sebagai ladang untuk memuaskan kepentingan pribadi keluarganya.
Keluarga harus menjadi benteng tindakan korupsi, tetapi kadang-kadang penyebab
korupsi sebenarnya berasal dari keluarga.
Kombinasi dari faktor-faktor ini dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
terjadinya korupsi kolektif, yang sulit dihentikan tanpa upaya yang terkoordinasi dan
komprehensif dari berbagai pihak yang terlibat.

3
2.3. Fenomena Penyimpangan Korupsi Kolektif
a. Korupsi E-KTP
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Lembaga
Transparency International pada tahun 2015 Indonesia menduduki peringkat 88 dari
168 negara dengan nilai indeks 36. Pada tahun 2016 peringkat 90 dari 176 negara
dengan nilai indeks 37, dan pada tahun 2017 peringkat 96 dari 180 negara dengan
nilai indeks 37. Di regional Asia Pasifik Indonesia berada di peringkat 14 tepat
dibawah Thailand, dan untuk ASEAN Indonesia berada diatas negara Vietnam,
Kamnoja, Laos dan Myanmar. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia
membutuhkan upaya perbaikan dalam pemberantasan korupsi.
Kasus korupsi E-KTP merupakan salah satu kasus korupsi terbesar yang
pernah terjadi di indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya nilai penyimpangan dana
dalam kasus proyek E-KTP. Kerugian yang ditanggung negara dengan terbongkarnya
praktik kotor ini mencapai Rp 2,31 Triliun. Proyek yang dianggarkan pemerintah
untuk E-KTP sebanyak Rp 5,9 Triliun. Ini menunjukkan hampir separuh atau sekitar
49% dana proyek E-KTP dikorupsi oleh para penyelenggara negara. Bukan hanya itu
banyaknya oknum yang terlibat dalam kasus korupsi proyek E-KTP menjadikan
kasus ini layak disebut sebagai salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi
di Indonesia. Oknum yang diduga terlibat dalam kasus ini terdiri dari 62 orang
anggota DPR Periode 2009-2014, serta sejumlah pejabat Kemendagri dan pengusaha
swasta lainnya, namun dari sekian oknum yang terlibat, nama Ketua DPR RI Setya
Novanto yang paling banyak menarik perhatian. Pada 17 Juli 2017 KPK secara resmi
menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR RI sebagai
tersangka kasus korupsi E-KTP. Penetapannya menjadikan Setya Novanto sebagai
tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK setelah tersangka Irman, Sugiharto dan
Andi Narogong.
b. Korupsi Hambalang
Pada 30 Desember 2010, terbit Keputusan Bupati Bogor nomor
641/003.21.00910/BPT2010 yang berisi Izin Mendirikan Bangunan untuk Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional atas nama Kemenpora di
desa Hambalang, Kecamatan Citeureup-Bogor. Atas keberlanjutan tersebut, maka
Pembangunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional
mulai dilaksanakan tahun 2010 dan direncanakan selesai tahun 2012. Berdasarkan
4
hasil perhitungan konsultan perencana, untuk membangun semua fasilitas dan
prasarana sesuai dengan master plan yang telah disempurnakan, anggaran mencapai
Rp1,75 triliun yang sudah termasuk bangunan sport science, asrama atlet senior,
lapangan menembak, extreme sport, panggung terbuka, dan voli pasir.
Kasus Hambalang adalah kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan
banyak pihak terlibat, diantaranya para elite Partai Demokrat, Anas Urbaningrum;
Istri dari Anas Urbaningrum komisaris PT Dutasari Citralaras; Menteri Pemuda dan
Olah Raga RI, Andi Malarangeng; Mahfud Suroso, Direktur PT Dutasari Citralaras;
dan lain sebagainya. Diketahui, tender proyek ini dipegang oleh kontraktur dimana
mereka merupakan BUMN, yaitu PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya yang diduga
men-subtenderkan sebagian proyek kepada PT Dutasari Citralaras senilai 300M.
KPK menyatakan, dalam penyelidikan Hambalang ada dua hal yang menjadi
konsentrasi pihaknya. Yakni, terkait dengan pengadaan pembangunan dan terkait
dengan kepengurusan sertifikat tanah Hambalang.
Kasus proyek hambalang merupakan kejahatan korupsi “berjamaah” yang
terorganisasi. Tahapan korupsi dilakukan sejak dalam penganggaran, lelang, hingga
pelaksanaan kegiatan pengadaan. Jamak diketahui bahwa setiap proyek infrastruktur
yang dibiayai negara tidak pernah luput dari prakti suap-menyuap. Munculnya istilah
fee atau uang lelah dikalangan DPR memperkuat dugaan praktek ini terjadi. Korupsi
secara bersama-sama dalam Proyek Hambalang menunjukan tipe korupsi yang
terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan kepentingan bisnis
melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini hanyalah modifikasi
dan replikasi kejahatan korupsi Orde Baru. Dari data diketahui tercatat total loss atau
jumlah kerugian negara dalam kasus mega proyek di Bukit Hambalang, Sentul,
Bogor mencapai Rp 463,66 Miliar.

2.4. Akibat Dari Fenomena Korupsi Kolektif


Penegakan hukum adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan keseriusan tinggi,
komitmen dan semangat menegakkan keadilan yang utuh. Penegak hukum akhirnya
bukanlah seorang yang sekedar digerakkan oleh pasal-pasal dalam perundang-undangan,
tetapi harus mengkontekstualisasi dan mengobyektifikasi nilai-nilai yang ada dalam teks
terhadap fakta-fakta yang berkembang sehingga keberadaan teks yang mati tersebut

5
selaras dengan semangat konteks yang selalu dinamis, hidup dan tidak bermakna tunggal
(Ash-shidiqqi, 2020).
Korupsi dapat menimbulkan berbagai dampak dalam penegakan hukum,
diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, menimbulkan fungsi pemerintahan mandul.
Pada dasarnya, isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya
yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat
mencoreng kredibilitas organisasi tempat si koruptor bekerja (Salama, 2014). Pada
tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial. Korupsi yang berdampak sosial sering
bersifat samar, dibandingkan dengan dampak korupsi terhadap organisasi yang lebih
nyata. Selanjutnya masyarakat cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga
yang diduga terkait dengan tindak korupsi. Di sisi lain lembaga politik sering diperalat
untuk menopang terwujudnya kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti
bahwa lembaga politik telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit (vested interest).
Dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan, sebagai pengampu
kebijakan negara, dapat terjadi karena korupsi menghambat peran negara dalam
pengaturan alokasi, menghambat negara melakukan pemerataan akses dan asset dan
memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Oleh
karena itu suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan tuntutan
pemerintahan yang layak. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut
kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat. Kedua,
hilangnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara. Korupsi yang terjadi pada
lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Indonesia dan marak diberitakan di
berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
tersebut hilang (Natalia, 2019).
Banyak informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di
Indonesia, seperti kasus Gayus Tambunan sampai perang kepentingan di Kepolisian RI
dalam menindak praktek mafia hukum. Seharusnya suatu sistem hukum diciptakan oleh
otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan bahwa melalui
kedaulatan pemerintah (government sovereignty), hak-hak mereka dapat dilindungi.
Dengan demikian, pemerintah menciptakan keteraturan dalam kehidupan berbangsa serta
bernegara. Sudah menjadi tugas dari lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakannya,
bukan sebaliknya.

6
2.5. Diskusi Kelompok Mengenai Fenomena Korupsi Kolektif
Dilihat dari fenomena korupsi e-KTP dan Hambalang menunjukkan bahwa
perbuatan korupsi ternyata harus “menyeret” banyak pihak. Pada dasarnya korupsi tidak
hanya dilakukan oleh individu, namun juga dilakukan secara kolektif. Tindak korupsi
tidak hanya dilakukan secara sporadik, namun juga dilakukan secara sistemik oleh
struktur politik.
Kasus korupsi e-KTP dan Hambalang adalah 2 contoh dari sekian banyaknya kasus
korupsi di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa di Indonesia masih banyak terjadi tindak
pidana korupsi? Berikut beberapa faktor penyebab korupsi menurut Ridwan Arifin
Oemara Syarief dan Devanda Prastiyo (2018):
a. Perilaku individu
b. Faktor Keluarga
c. Pendidikan
d. Sikap kerja
e. Hukum dan peraturan
f. Faktor pengawasan
g. Faktor politik
Faktor pertama penyebab korupsi adalah perilaku individu. Mengapa demikian?
Menurut kelompok kami perilaku adalah hal paling mendasar yang mempengaruhi
langkah individu selanjutnya. Bila dilihat dari sudut pandang pelaku korupsi, tindakan
korupsi dapat terjadi karena dorongan internal dalam bentuk keinginan atau niat dalam
melakukannya. Selain dorongan internal, karakter juga sangat mempengaruhi perilaku
para koruptor. Seseorang yang melakukan korupsi biasanya tidak jujur dalam
menjalankan tanggung jawab serta tugasnya. Oleh karena itu, langkah awal pencegahan
korupsi adalah melalui pendidikan karakter anti korupsi. Sejalan dengan hal tersebut
masyarakat dan pemerintah juga harus melakukan pengawasan yang lebih efektif lagi
dan memberikan hukuman yang lebih berat lagi bagi para pelaku korupsi.

7
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Korupsi kolektif adalah fenomena di mana sejumlah besar individu atau kelompok
dalam suatu organisasi atau sistem terlibat dalam praktik korupsi secara bersama-sama.
Faktor penyebabnya meliputi budaya organisasi yang korupsi, kekuasaan dan kontrol
yang terkonsentrasi, ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial, kurangnya transparansi
dan akuntabilitas, kesempatan dan insentif yang tinggi, kerapuhan sistem hukum dan
penegakan hukum yang lemah, perilaku individu, dan faktor keluarga.
Contoh kasus pada korupsi kolektif yaitu korupsi E-KTP, Kasus korupsi E-KTP
merupakan salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di indonesia. Hal ini
terbukti dari banyaknya nilai penyimpangan dana dalam kasus proyek E-KTP. Kerugian
yang ditanggung negara dengan terbongkarnya praktik kotor ini mencapai Rp 2,31
Triliun. Kemudian kasus korupsi hambalang Kasus proyek hambalang merupakan
kejahatan korupsi “berjamaah” yang terorganisasi. Tahapan korupsi dilakukan sejak
dalam penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Korupsi dapat
menimbulkan berbagai dampak dalam penegakan hukum, dampak korupsi tidak saja
bersifat personal melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si
koruptor bekerja

3.2. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami hanyalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat
diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Amalia F.R (2022) Dampak Korupsi dalam Perkembangan Ekonomi dan Penegakan Hukum
di Indonesia. Jurnal Hukum Vol. 1 No. 1 (2022) pp. 12-19

Hani, N. (n.d.). Kasus Proyek Hambalang. Academia.


https://www.academia.edu/34165001/KASUS_PROYEK_HAMBALANG

Kusumawati, H. S., Rahayu, N. T., & Handayani, R. (2020). Analisis Framing Berita Korupsi
e-KTP Setya Novanto Pada Media Online. Annual Conference of Communication,
Media and Culture (ACCOMAC), 2(1), 52–59.
http://proceeding.unisba.ac.id/index.php/accomac/article/view/1617

Saputri, Erisa Agus Tiana Umi. (2023). Penguatan Nilai Karakter Serta Pembentukan
Pendidikan Melalui Penanaman Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Jurnal
Ilmu Hukum 3(1).

Syarief, Ridwan Arifin Oemara, dan Devanda Prastiyo. (2018). Korupsi Kolektif (Korupsi
Berjamaah) di Indonesia: Antara Faktor Penyebab dan Penegakan Hukum. Jurnal
Hukum Respublica 18(1), 1 – 13.

Anda mungkin juga menyukai