Anda di halaman 1dari 20

STUDI KASUS PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA MADYA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan
Dosen Pengampu : Nunung Mulyani, APP,.M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Intan Ansori P20624522023
Ira Rahmawati P20624522024
Khansa Lutfiah P20624522025
Nanda Salma arlisa P20624522028
Nurfitri Fatihatul Jannah P20624522029
Putri Intan Purnama P20624522030
Rafi Nurhalimah P20624522031
Syifa Dwi Ananda P20624522036

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN DAN PROFESI BIDAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TASIKMALAYA
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun laporan studi kasus psikologi
perkembangan ini dengan cukup baik serta tepat waktu.
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan studi kasus ini berkat bantuan
Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini
penyusun menghaturkan rasa hormat dan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Psikologi Perkembangan yaitu Ibu Nunung Mulyani, APP,.M.Kes serta teman-teman yang
membantu dalam penyusunan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan laporan studi kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penyusun telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
menyelesaikan dengan baik dan oleh karenanya, penyusun dengan rendah hati menerima
masukan, saran, kritik, dan usul penyempurnaan laporan studi kasus ini. Akhirnya penyusun
berharap semoga laporan studi kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Tasikmalaya, 06 Maret 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Catalog
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ..........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................................ 1
1.4 Manfaat .............................................................................................................................. 2
BAB II .............................................................................................................................................3
PEMBAHASAN .............................................................................................................................3
2.1 Teori ................................................................................................................................... 3
2.1.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...................................................................................3
2.1.2. Pendampingan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..........................................10
2.1.3 Pelayanan di P2TP2A ................................................................................................... 13
2.2 Kasus ................................................................................................................................15
BAB III ......................................................................................................................................... 16
PENUTUP .................................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap pasangan pasti menginginkan pernikahan yang bahagia, menjadi keluarga yang
harmonis, hubungan yang selalu tentram dan damai. Memiliki pasangan hidup bisa merasa
sangat disayangi dan dilindungi. Namun, pada hakikatnya sebuah hubungan tidak selalu
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan, ada masanya sebuah hubungan rumah tangga
dihadapkan dengan permasalahan. Dua insan yang berselisih dapat berindikasi adanya
kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh seseorang terhadap korbannya yang dapat ditunjukkan dalam berbagai
bentuk, diantaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Berdasarkan
Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa "Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga" (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalahnhya sebagai berikut:

a. Bagaimana proses pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga ?

b. Bagaimana pelayanan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak


(P2TP2A) ?

1.3 Tujuan

Bertujuan untuk mengetahui :

a. Untuk mengetahui pengertian dari Kekerasan dalam rumah tangga

b. Untuk mengetahui bagaimana proses pendampingan korban kekerasan dalam rumah


tangga di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)

1
1.4 Manfaat

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan dan pertimbangan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan sosial di P2TP2A, sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan bagi masyaraka

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai isu
sosial kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan mengenalkan adanya lembaga
pemerintah yang bertanggung jawab dalam membantu menangani korban kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT).

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Teori

2.1.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kata kekerasan berasal dari bahasa Inggris yaitu violence yang berarti kekerasan, dan dari
bahasa latin yaitu violentina, yang berarti kekerasan, keganasan, kedahsyatan, aniaya, dan
perkosaan. Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat,
berciri keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; sebuah paksaan.

Kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka,
cacat, sakit, atau penderitaan pada orang lain dengan unsur berupa paksaan atau
ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai (Wahid & Irfan, 2001).
Kekerasan menurut Mansour Fakih adalah "serangan atau invasi terhadap fisik maupun
integritas keutuhan mental psikologi seseorang". Pandangan Mansour Faqih menunjuk
pengertian kekerasan pada objek fisik maupun psikologis, hanya saja titik tekannya pada
bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau menimbulkan luka. cacat, atau
ketidaknormalan pada fisik-fisik tertentu (Faqih, 2001).

Menurut Martin R. Haskell dan Lewis Yabslonsky yang dikutip oleh Mulyana W.
Kusumah (Martha, 2003) membagi kekerasan menjadi empat kategori yang mencakup
hampir semua pola-pola kekerasan, yaitu:

1) Kekerasan legal. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum,
misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang
dibenarkan secara legal, misalnya sport-sport agresif tertentu secara tindakan-tindakan
tertentu untuk mempertahankan diri.

3
2) Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi. Suatu faktor penting dalam menganalisa
kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya, tindakan
kekerasan oleh masyarakat atas pelecehan seksual akan memperoleh dukungan sosial.

3) Kekerasan rasional. Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada
sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan.
Misalnya, pembunuhan dalam rangka suatu kejahatan terorganisasi.

4) Kekerasan yang tidak berperasaan atau "irrational violence". Kekerasan yang terjadi tanpa
adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperhatikan motivasi tertentu dan pada
umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan ke dalamnya adalah
apa yang dinamakan "raw violence" yang merupakan ekspresi langsung dari gangguan
psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu tindak pidana yang teridentifikasi
di masyarakat. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi adalah kekerasan oleh
suami terhadap istri. Tidak sedikit kasus di Indonesia yang mendapati perempuan sebagai
korban kekerasan dalam rumah tangga. Adapun pengertian kekerasan terhadap perempuan
adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan
perempuan baik secara fisik maupun secara psikis.

Menurut pasal 2 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Penghapusan


Kekerasan terhadap Perempuan didalam (Moerti Hadiati Soeroso, 2010) dijelaskan bahwa
"Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin
yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik,
seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi". Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa tindak kekerasan tidak hanya
tindakan fisik, melainkan nonfisik (psikis). Tindakan fisik langsung bisa dirasakan
dampaknya oleh korban dan dapat dilihat oleh siapa saja. Namun, tindakan nonfisik yang
dapat merasakan hanyalah korban, karena tindakan tersebut langsung menyinggung hati
nurani atau perasaan seseorang.

4
Hal ini berkaitan dengan kepekaan hati seseorang, karena kepekaan seseorang dengan
yang lainnya berbeda-beda. Ada yang mudah tersinggung, ada juga yang tidak peduli dan
menerima sikap yang tidak etis. Beberapa kaum perempuan berpendapat bahwa tindak
kekerasan baik fisik maupun psikis mereka terima akibat dari kesalahannya sendiri, sehingga
hal tersebut selalu dianggap wajar jika mengalami tindak kekerasan dari suami. Soeroso juga
menjelaskan secara terminologi kekerasan terhadap perempuan memiliki ciri bahwa tindakan
tersebut dapat berupa fisik maupun nonfisik (psikis), dapat dilakukan secara aktif maupun
dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki/diminati oleh pelaku, ada akibat kemungkinan
akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis), yang tidak dikehendaki oleh korban
(Moerti Hadiati Soeroso, 2010).

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU RI No.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa:
"Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga." (Makarao & Dkk, 2013).

2. Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, mengenai kekerasan dalam rumah tangga
dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang lain dalam lingkup rumah tangganya dengan cara-cara yang telah diatur dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9, yang berisi:

a. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau terluka berat
(Pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004). Bentuk-bentuk dari kekerasan fisik seperti pemukulan,
tamparan, penjambakan, penginjak- injakan, pencekikan, penendangan, lemparan benda keras,
penyiksaan menggunakan benda tajam seperti pisau atau gunting, serta pembakaran.

b. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat
pada seseorang (Pasal 7 UU No. 23 Tahun 2004). Bentuk kekerasan psikis antara lain

5
penghinaan, makian, menjatuhkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang bertujuan
untuk memunculkan rasa takut terhadap korban.

c. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tersebut. Selain itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial atau tujuan tertentu (Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004). Kekerasan seksual termasuk
perilaku yang tidak diinginkan yang memiliki makna sebagai pelecehan seksual, maupun
sebagai bentuk pemaksaan hubungan seksual yang dapat disebut dengan pemerkosaan.

d. Penelantaran rumah tangga, setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangga, karena menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
dalam pernikahan seorang pasangan wajib memberikan penghidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang
yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang
tersebut (Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004).

Dengan diberlakukannya UU KDRT maka terdapat pula ancaman hukum bagi pelaku KDRT,
dan hal itu sudah diatur di dalam UU KDRT. Baik berupa ancaman pidana atau denda. Pelaku
KDRT terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tanga dapat dikenakan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (Pasal 44 ayat (1) UU KDRT).
Sedangkan khusus bagi suami yang melakukan KDRT terhadap istri yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000 (Pasal 44 (4) U KDRT).

Dengan adanya Undang-Undang tersebut, jelas sudah UU tersebut berusaha untuk melindungi
para korban kekerasan dalam rumah tangga. Serta diatur dan diakui pula hak-hak korban.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dipaparkan dalam Undang-Undang tersebut juga cerminan dari
berbagai bentuk kekerasan yang sering terjadi di masyarakat. Untuk kekerasan yang bersifat fisik,
prosesnya sangat mudah dengan merujuk pada ketentuan dalam hukum pidana (KUHP) dengan
tolak ukur yang jelas. Sedangkan untuk kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga, proses

6
untuk membuktikannya lebih sulit karena terkait dengan rasa/emosi yang sifatnya subjektif
(Jamaludin, 2016).

3. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Soeroso (2010) menjelaskan faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah
ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Pembagian peran sosial terhadap
perempuan dan laki-laki menyebabkan terjadinya ketidaksamaan kedudukan dan ketidakadilan
terhadap perempuan. Lebih lanjut, Soeroso menjabarkan faktor pendorong terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga, antara lain:

a. Masalah Keuangan
Keadaan keuangan seseorang dapat menjadi pemicu utama adanya perselisihan antara
suami dan istri. Suami adalah seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk
menafkahi keluarganya, ada kalanya gaji seorang suami tidak mencukupi kebutuhan
keluarga setiap bulannya, belum lagi jika suami kehilangan pekerjaannya karena terkena
PHΚ, ditambah tuntutan biaya hidup yang tinggi, hal tersebut dapat memicu adanya
pertengkaran dalam rumah tangga yang berakibat pada kekerasan.
b. Cemburu
Cemburu merupakan penyakit iri hati, sebuah perasaan kurang percaya dan curiga kepada
pasangan. Pada dasarnya cemburu adalah hal biasa, jika masih dalam batas yang wajar.
Namun, kadang cemburu yang berlebihan dapat menimbulkan kesalahpahaman yang
berakibat pada perselisihan atau bahkan kekerasan.
c. Masalah Anak
Anak adalah sebuah titipan dari Tuhan, namun karena anak dapat memicu adanya
perselisihan antara suami dan istri. Perselisihan tersebut terjadi jika terdapat perbedaan
pola asuh dan pola pendidikan yang diberikan antara suami dan istri. Hal tersebut dapat
berlaku terhadap anak kandung, anak tiri, maupun anak asuh.
d. Masalah Orang Tua
Sebuah pernikahan menggabungkan dua keluarga menjadi satu, yang sebelumnya hanya
memiliki dua orang tua, setelah menikah jadi memiliki 4 orang tua. Hadirnya orang tua
dari masing-masing pasangan dapat menimbulkan perselisihan sampai bisa menyebabkan
keretakan hubungan antara suami dan istri. Orang tua pasti menginginkan yang terbaik

7
untuk anaknya, namun terlalu mencampuri urusan rumah tangga anaknya juga tidak baik,
misalnya masalah keuangan, pendidikan anak, ataupun pekerjaan. Hal ini dipicu karena
adanya perbedaan sikap terhadap masing- masing orang tua yang dapat menimbulkan
perselisihan yang berakibat pada kekerasan.
e. Masalah Saudara
Campur tangan saudara dalam kehidupan rumah tangga dapat memicu adanya perselisihan
dan menyebabkan terjadinya jarak antara suami dan istri. Kondisi seperti ini kadang
kurang disadari oleh suami dan istri, jika keadaan ini didiamkan maka akan menimbulkan
ketegangan dan pertengkaran dalam rumah tangga. Apalagi jika disertai dengan kata-kata
yang menyakitkan atau menjelek-jelekkan keluarga masing-masing.
f. Masalah Sopan Santun
Seorang suami dan istri berasal dari keluarga yang berbeda begitu pula dengan latar
belakang yang juga berbeda. Untuk itu perlu adanya upaya saling menyesuaikan diri,
terutama kebiasaan-kebiasaan yang dibawa dari keluarga masing-masing ke dalam rumah
tangga. Kebiasaan lama yang mungkin tidak berkenan pada hati pasangan harus
dihilangkan. Antara suami dan istri harus saling menghormati dan menghargai satu sama
lain. Jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan kesalahpahaman yang dapat berujung
pada kekerasan.
g. Masalah Masa Lalu
Sebelum melakukan pernikahan, ada baiknya calon suami dan istri saling terbuka akan
masa lalunya masing-masing. Keterbukaan ini berupaya untuk mencegah salah satu pihak
mengetahui riwayat masa lalu pasangan dari orang lain. Pertengkaran yang dipicu karena
adanya cerita masa lalu dapat berpotensi mendorong terjadinya perselisihan dan juga
kekerasan.
h. Masalah Salah Paham
Suami dan istri harus saling menghormati pendapat dari masing-masing pihak. Karena jika
tidak, akan menimbulkan kesalahpahaman. Kondisi ini sering dipicu oleh masalah yang
sepele, namun jika dibiarkan dan tidak berusaha untuk mencari jalan keluarnya akan
menimbulkan pertengkaran yang berakibat pada kekerasan.
i. Masalah Tidak Memasak

8
Pada hakikatnya seorang istri tidak berkewajiban untuk dapat memasak, hal tersebut
baiknya dikomunikasikan sebelum menikah. Perlunya saling menghargai satu sama lain
dan menerima kekurangan dari pasangan dapat meminimalisir adanya perpecahan dalam
rumah tangga.
j. Suami Mau Menang Sendiri
Seorang suami cenderung lebih dominan di dalam rumah tangga karena suami adalah
seorang kepala keluarga, namun hal tersebut bukan berarti semua keputusan baik benar
ataupun salah ada pada tangan suami. Perlunya komunikasi antara suami dan istri untuk
menemukan adanya solusi dari masalah tersebut, agar tidak menimbulkan adanya
perselisihan yang dapat memicu adanya kekerasan.

4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan biasanya dialami oleh perempuan sebagai istri dan juga pada anak. Kekerasan yang
dialami korban mengakibatkan timbulnya berbagai macam penderitaan. Penderitaan tersebut
berupa fisik yaitu perbuatan yang bisa mengakibatkan rasa sakit seperti luka memar, patah tulang,
atau cacat fisik. Penderitaan secara psikologis yang bisa mengakibatkan rasa takut, tidak percaya
diri, jatuhnya harga diri, bertumpuknya tekanan, kekecewaan, dan kemarahan yang tidak dapat
diungkapkan. Penderitaan berupa pemaksaan seksual yang bisa mengakibatkan gangguan
menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular HIV. Penderitaan secara
ekonomi karena tidak diberi nafkah oleh suami, tidak tercukupi kebutuhan sehari-hari
(Sutrisminah, 2022).

Adapun beberapa kemungkinan penderitaan lainnya diantaranya sebagai berikut:

a) Jatuh sakit akibat stres seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dan lain-lain.

b) Menderita kecemasan, depresi dan sakit jiwa yang bisa parah.

c) Berkemungkinan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku.

d) Kemampuan menyelesaikan masalah rendah.

e) Kemungkinan keguguran dua kali lebih tinggi bagi korban yang hamil.

f) Bagi yang menyusui, ASI seringkali terhenti akibat tekanan jiwa.

9
g) Lebih berkemungkinan bertindak kejam terhadap anak karena tak dapat menguasai diri
akibat penderitaan yang berkepanjangan dan tak menemukan jalan keluar (Sutrisminah,
2022).

2.1.2. Pendampingan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Pendampingan

Pendampingan berasal dari kata "damping". Pendampingan merupakan sebuah proses


hubungan sosial antara pendamping dengan korban dalam bentuk pemberian kemudahan untuk
memecahkan suatu masalah. Orang yang melakukan pendampingan biasanya disebut dengan
pendamping. Sedangkan yang memperoleh pendampingan disebut dengan klien.

Pendamping dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat dan/atau lembaga
yang memiliki kemampuan fungsional dan profesional yang diberikan kewenangan untuk
melakukan pendampingan.

2. Peranan Pendamping

Menurut Direktorat Bantuan dan Jaminan Sosial (Sosial, 2007, hal. 8), pendamping memiliki
beberapa peranan, antara lain:

a. Fasilitator, yaitu peranan untuk membantu korban. tindak kekerasan sehingga korban dapat
berkembang dan memperoleh akses terhadap berbagai sumber yang dapat mempercepat
keberhasilan usahanya.

b. Perantara, yaitu peranan sebagai media yang dapat menghubungkan antara korban dengan
sistem sumber sehingga korban memperoleh akses yang baik akses terhadap sumber-sumber
tersebut.

c. Pendidik, yaitu peranan sebagai pembimbing yang peningkatan kemampuan dan keterampilan
korban dalam rangka pengembangan usaha yang dilakukan dan dalam rangka mengatasi
berbagai permasalahan yang dihadapinya.

d. Penolong, yaitu peranan sebagai orang yang memberikan bantuan pertolongan kepada korban
dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi.

10
e. Perantara, yaitu peranan sebagai perwakilan yang dapat menghubungkan atau
mengkomunikasikan antara korban dengan berbagai sistem sumber yang dapat dimanfaatkan
oleh korban dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.

f. Penghubung, yaitu peranan sebagai jembatan yang dapat menyambungkan antara kepentingan
korban dengan berbagai sistem sumber yang dapat dimanfaatkan korban dalam rangka
mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.

3. Tugas dan Tanggung Jawab Pendamping

Adapun tugas dan tanggung jawab pendamping adalah:

a. Memberikan pelayanan pendampingan kepada korban tindak kekerasan.

b. Memfasilitasi pelayanan yang ditujukan bagi korban tindak kekerasan.

c. Menghubungkan korban tindak kekerasan dengan sistem sumber yang ada dalam masyarakat.

d. Mendidik dan melatih para korban tindak kekerasan.

e. Membantu korban tindak kekerasan.

f. Menjalankan tugas sesuai dengan peranan.

4. Tahapan Pendampingan Korban

Pada dasarnya pekerja sosial mempunyai tujuan dan kewajiban untuk membantu atau
menolong individu, kelompok, dan masyarakat untuk bisa memecahkan permasalahan yang ada.
Berkaitan dengan pendampingan, pekerja sosial melakukan proses intervensi yang mana menurut
Max Siporin terdapat 5 tahap proses intervensi pekerjaan sosial (Wibhawa & Dkk, 2010) antara
lain:

1) Tahap Engagement, Intake, dan Contract


Pada tahap ini seorang pekerja sosial bertemu dengan klien untuk bertukar informasi yang
dibutuhkan, menentukan jenis pelayanan apa yang dapat diberikan untuk klien dalam
pemecahan masalah, dan kemudian keduanya membuat kontrak.
2) Tahap Assessment

11
Pada tahap ini seorang pekerja sosial melakukan proses penggalian dan pemahaman
masalah yang dihadapi oleh klien. Meliputi faktor sebab dan akibat masalah serta pengaruh
masalah.
Dalam melakukan pendampingan, pekerja sosial melakukan tahapan assessment yang
terdiri dari beberapa alat assessment, antara lain;
a. Genogram
Genogram adalah diagram konfigurasi keluarga generasi. Ini membantu mengatur
kedua data historis dan kontemporer pada tokoh utama dalam lingkungan antar klien.
Dengan demikian, hal ini membantu pekerja sosial memahami bagaimana pola
keluarga yang mempengaruhi situasi saat ini. Kelahiran, kematian, penyakit mental,
alkoholisme, perceraian, perpisahan, adaptasi, inses, dan pekerjaan keluarga adalah
contoh jenis data keluarga hadir pada genogram, yang menyediakan sarana ringkas
untuk mengorganisir informasi yang kompleks dan signifikan membantu perencanaan
intervensi. Simbol berikut menunjukkan acara keluarga dan hubungan (Compton &
Galaway, 1989)
b. Ecomap
Ecomap adalah diagram keluarga di dalamnya konteks sosial, dan itu termasuk
genogram. Tujuan dari ecomap adalah untuk mengatur dukungan dan menekankan
dalam lingkungan keluarga (Compton & Galaway, 1989).
c. Road Map
Road map adalah rencana kerja rinci yang menggambarkan apa yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan. Road map umumnya disusun sebagai bagian dari rencana
strategis. Substansi penulisannya antara lain; keadaan saat ini, tujuan yang ingin
dicapai, uraian tahap pelaksanaan untuk mencapai tujuan, sasaran dari setiap tahap,
dan indikator pencapaian.

d. History Map
History map berfungsi untuk mengetahui riwayat klien atau kronologi kasus baik
kekerasan fisik maupun seksual yang di alami korban.
e. Mobility Map

12
Mobility map untuk mengetahui rutinitas perpindahan korban sehari-hari. Umumnya
digunakan terhadap klien dengan tingkat mobilitas tinggi.
f. Body Map
Body map berfungsi untuk mengetahui bagian tubuh yang mengalami kekerasan baik
fisik maupun seksual.
g. Napoleon Hills
h. Napoleon hills untuk mengetahui cita-cita ataupun harapan klien di masa mendatang.

3) Tahap Planning
Pada tahap ini seorang pekerja sosial melakukan proses penyusunan strategi pemecahan
masalah klien. Dalam strategi tersebut meliputi tujuan, sasaran, dan cara memecahkan
masalah.
4) Tahap Intervention
Setelah menyusun strategi pemecahan masalah, pada tahap ini seorang pekerja sosial
menjalankan apa yang sudah direncanakan. Intervensi yang dilakukan oleh pekerja sosial
dilakukan berdasarkan hasil assessment yang telah diperoleh sebelumnya.
5) Tahap Evaluation dan Termination
Pada tahap ini seorang pekerja sosial melakukan proses evaluasi dan terminasi. Evaluation
atau evaluasi merupakan proses pengevaluasian dari kegiatan intervensi yang telah
dilakukan, hal tersebut dimaksudkan untuk menilai tingkat keberhasilan dan hambatan
yang dialami oleh klien dan juga apakah tujuan intervensi yang diinginkan sudah tercapai
atau belum. Sedangkan termination atau terminasi merupakan proses pemutusan hubungan
pekerja sosial dengan klien sesuai dengan kontrak yang telah disepakati bersama.

2.1.3 Pelayanan di P2TP2A

1. Pusat Informasi

Memberikan informasi merupakan pelayanan yang paling utama di P2TP2A. Pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat terkait dengan informasi pelayanan yang ada di P2TP2A
mengenai permasalahan perempuan dan anak, melalui sosialisasi dan penyuluhan yang
dilakukan oleh lembaga.

13
2. Hotline dan 112

P2TP2A memberikan pelayanan melalui telepon mengenai berbagai masalah kekerasan


terhadap perempuan dan anak serta pelayanan dan perlindungan yang dapat diperoleh oleh
korban. Melalui hotline para korban dapat melakukan konsultasi dan pengaduan tindak
kekerasan ke P2TP2A.

Dengan adanya layanan ini dapat memudahkan korban untuk melakukan pengaduan terutama
diluar jam kerja.

3. Rujukan Medis

Pelayanan ini untuk membantu menangani kasus luka atau penyakit yang dialami korban
akibat tindak kekerasan baik rawat jalan maupun rawat inap, serta pembuatan visum et repertum
(atas permintaan polisi) sebagai alat bukti di pengadilan. Dalam hal ini P2TPA2 memiliki mitra
kerja yang membantu melakukan pelayanan yaitu Dinas Kesehatan melalui 17 rumah sakit dan
44 puskesmas kecamatan.

4. Bantuan Hukum

Pelayanan ini membantu memberikan bantuan hukum bagi korban, meliputi konsultasi hukum,
pendampingan, dan mendapatkan kuasa hukum dalam proses pengaduan ditingkat Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan, dan mediasi. Mitra kerja atau lembaga yang melayani yaitu Unit PPA
Polda/Polres, LBH Dharma Wanita Persatuan, dan LBH Mawar Saron.

5. Pemulihan Psikologis

Layanan ini merupakan bentuk layanan yang memberikan pemulihan psikologis bagi korban
dan memberikan kenyamanan dalam penyampaian masalah tindak kekerasan yang dialami oleh
korban, serta membantu mereka agar mampu mengambil keputusan dan pilihan yang

diperlukan agar dapat berdaya kembali. Bentuk layanan yang diberikan berupa
pendampingan konseling, kelompok dukungan, dan mediasi.

14
6. Rumah Aman

Rumah aman merupakan tempat perlindungan sementara bagi korban untuk keamanan bagi
korban, sehingga keberadaan rumah aman sangat dirahasiakan. Lembaga/mitra kerja yang
melayani yaitu Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta dan Departemen Sosial.

7. Home Visit

Home visit merupakan kegiatan kunjungan ke rumah korban, keluarga, dan lingkungannya
dengan tujuan agar permasalahan tindak kekerasan yang dialami dapat diketahui secara lengkap
dan proporsional. Kegiatan ini juga bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari keluarga dan
lingkungannya bagi para korban.

8. Pendidikan

Pelayanan ini memberikan kegiatan-kegiatan yang bersifat mendidik masyarakat, khususnya


perempuan dan anak melalui pelatihan, seminar, dan penelitian serta mengadakan capacity
building bagi petugas polisi, dokter, perawat, dan guru.

2.2 Kasus

Pasangan suami istri yang bernama Ny K, seorang ibu rumah tangga berumur 42 tahun yang
beralamat di Ngablak Indah Rt 01/04, Bengetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Semarang dan
suaminya, Ny K yang berumur 43 tahun.

Pada awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan baik. Namun sejak 14 tahun akhir,
hubungan keduanya sudah tidak harmonis lagi. Setiap kali pulang ke rumah, mereka selalu
bertengkar dan dampaknya mereka tidak lagi tinggal serumah. Puncaknya, pada Sabtu, 12
November 2011 sekitar pukul 08:15 WIB. Tn K mendatangi Ny K dengan marah-marah dan
langsung melakukan penganiayaan. Setelah puas menghajar menggunakan balok kayu,
menendang dengan sepatu, menginjak, dan membenturkan kepala korban hingga tak berdaya, Tn
K pergi begitu saja meninggalkan Ny K.

Akibat penganiayaan tersebut, Ny K mengalami luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah,
dan kaki memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing karena dibenturkan ke lantai. Ny K
mengatakan bahwa dirinya sering dianiaya dan mendapatkan berbagai siksaan serta pukulan dari
suaminya jika sedang marah. Karena itu, Ny K tak jarang mengalami luka-luka akibat
dianiaya suaminya itu.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada hakikatnya hakasasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri
manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki
setiap orang merupakan fundamental sejak ia dilahirkan kedunia. Pengakuan terhadap hak asasi
manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri
manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut
tidak hanya mengundanghak untuk menikmati kehidupan secara kodrati.

Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan
memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya.
Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan. Dimana laki-laki dan
perempuan memiliki hak yang sama dan tidak bisa diperlakukan dengan perbedaan berdasarkan
gender. Pada umumnya, kodrat perempuan sebagai makhluk yang lemah seharusnya mendapat
perlindungan atas hak-haknya.

Maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam berumah tangga dapat disimpulkan bahwa
keluarga belum menjadi jaminan bahwa hak-hak perempuan dapat terlindungi didalamnya.
Mengenai maraknyakekerasan terhadap perempuan ini, banyak hal yang dilakukan dalam rangka
melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan terhadap kekerasan. Hal ini
dilakukan dalam rangka melindungi para perempuan di Indonesia. Para korban kekerasan
biasanya mengalami goncangan jiwa yang dapat memperburuk kondisinya jika tidak segera
ditanggulangi dengan baik, oleh karena hak-hak atas korban KDRTjuga diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan instrumen HAM lainnya, sehingga dapat memberi pengaruh positif
terhadap dirinya atas apa yang telah dialaminya.

3.2 Saran

Makalah ini telah disusun berdasarkan dengan ruang lingkup pembelajaran yang ada, tetapi
kami menyadari bahwasannya masih banyak kesalahan maupun kekurangan baik didalam
penulisan ataupun isinya. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga materi yang ada dalam makalah ini dapat
berguna bagi kita semua yang mempelajarinya.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Zahidah, S. Pendampingan Dan Quality Of Life (Studi Kasus Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Selama Masa Pandemi Covid-19 (Bachelor's thesis, Fakultas Dakwah dan
I l m u K o m u n i k a s i U n i v e r s i t a s I s l a m N e g e r i S y a r i f Hi d a y a t u l l a h J a k a r t a ) .

2. Yanti, V. A. S. (2021). Analisis Kasus KDRT yang Di Alami Ibu Karsiwen dalam Perspektif
Hukum dan Ham Se rta Pemenuhan Dan Perlindungan Atas Ha k-Ha knya.

17

Anda mungkin juga menyukai