Anda di halaman 1dari 11

“SARJONO LAW FIRM”

KANTOR ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM


SURAT KUASA
Jalan Raya Pahonjean No. 01 Desa Kuda Liar
Kecamatan Macan Kumbang Kabupaten manasuka.Jawa Barat 46214

“ PRO JUSTITIA”

Perihal : DUPLIK
No. Reg Perk : 001/PID.B/2023/PN-GLH
Atas Nama : Rohmat Ainal Yakin bin Fulan

Kepada Yth.
Majelis Hakim yang memeriksa Perkara
Dengan No. Reg Perkara : 01/PID.B/2023.PN.GLH
Di Pengadilan Negeri Galuh
JlL. Siliwangi No. 95, Maleber, Kec. Ciamis,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat 46214

I. PENDAHULUAN
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Pengadilan yang kami hormati.

Sebelumnya perkenankanlah kami memanjatkan Puji dan Syukur


kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kesehatan
kepada kita bersama, serta telah melimpahkan segala Taufik, dan
HidayahNya dalam usaha kita mengejar dan menggali, guna mencari dan
menemukan hakikat kebenaran dan keadilan di dalam perkara ini.
Selanjutnya izinkanlah kami menyampaikan rasa terima kasih yang
tidak terhingga kepada Ketua dan Majelis Hakim Yang Mulia, yang telah
memberikan kesempatan kembali kepada kami untuk menyampaikan
tanggapan/Duplik atas Replik yang disampaikan Sdr. Jaksa Penuntut Umum,
dalam rangka untuk memperoleh kebenaran materiil dalam mengungkapkan
perkara kini berada di ujung persidangan, sebagaimana yang didakwakan dan
dituntut terhadap diri terdakwa.
Bahwa dalam persidangan perkara a quo akhirnya terjadi juga atau
terdapat perbedaan-perbedaan, pendapat dan pandangan, terutama antara
kami Penasehat Hukum terdakwa dengan Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara ini, hendaknya harus ditinjau semata-mata sebagai aspek peninjauan
yuridis terhadap perkara yang sedang kita hadapi sekarang ini karena
memang kenyataannya sudut pandang antar Jaksa Penuntut Umum dengan
Penasehat Hukum terdakwa memang sejak awal telah berbeda dan
bertentangan dalam memandang a quo, dimana Jaksa Penuntut Umum hanya
memandang secara yuridis formal/legalistik saja guna berusaha menjerat
dan/atau mengkait-kaitkan terdakwa saja dalam perkara ini, sedangkan kami
Penasehat Hukum terdakwa memandang perkara a quo secara lebih
komprehensif, guna mencari kebenaran sejati, serta job mempertimbangkan
dan mengkombinasikan tiga unsur atau hal secara simultan, yaitu asas
kemanfaatan, asas keadilan hukum dan asas kepastian hukum bagi diri
terdakwa.

II. PEMBAHASAN
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Pengadilan yang kami hormati.
Serta Hadirin Pengunjung Sidang yang kami hormati.

TANGGAPAN TERHADAP REPLIK JAKSA PENUNTUT UMUM


ATAS NOTA PEMBELAAN HUKUM TERDAKWA
Bahwa pada persidangan hari ini Senin, tanggal 18 Oktober 2023 Jaksa
Penuntut Umum telah membacakan Jawabannya atas Nota Pembelaan yang
kami ajukan sebelumnya. Pada kesempatan ini izinkan kami menyikapi
Jawaban Jaksa Penuntut Umum tersebut dalam bentuk Duplik yang
merupakan Satu kesatuan tak terpisah dengan Nota Pembelaan semula dari
kami Penasehat Hukum Terdakwa, ada pun Duplik dimaksud akan diuraikan
sebagai berikut :
Bahwa setelah mendengar, membaca dan menganalisa serta
mencermati kembali terhadap isi dari keseluruhan Replik/tanggapan/jawaban
Jaksa penuntut Umum terhadap materi Pembelaan Penasehat Hukum
Terdakwa Rohmat Ainal Yakin bin Fulan, maka dapat kami tarik kesimpulan,
bahwa sebenarnya tidak ada fakta hukum dan argumentasi hukum yang baru
terkait dengan perkara a quo yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut umum
dalam jawabannya/tanggapannya, selain daripada hanya bersifat
pengulangan dan penggambaran kembali dari sudut subjektifitas Jaksa
Penuntut Umum sebagaimana yang tertuang dalam dakwaan serta tempat
kembali dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang telah dengar di
persidangan ini sebelumnya.
Guna memastikan adanya konsistensi antara Pledoi yang telah kami
bacakan dan serahkan dalam persidangan perkara pidana yang lalu dengan
Duplik ini, maka seluruh istilah yang akan kami gunakan dalam Duplik ini
akan memiliki pengertian yang sama dengan istilah yang telah kami gunakan
dalam Pledoi sebelumnya. Dengan diserahkannya Pledoi Penasehat Hukum
telah memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk
mengubah caracara mereka serta memperbaiki kesalahan kesalahan mereka
yang telah dibebankan terhadap terdakwa yang telah terjadi selama
berjalannya proses hukum dan yang juga menyebabkan terjadinya proses
hukum ini. Meskipun demikian, jelaslah sekarang dari presentasi Jaksa
Penuntut Umum dan selanjutnya dalam Replik Jaksa Penuntut Umum, bahwa
Sdr. Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki rasa malu atau penyesalan atas
tindakan-tindakannya Replik Jaksa Penuntut Umum tetap konsisten dengan
motif asli yang telah Jaksa Penuntut Umum tunjukkan melalui argumentasi
sebelumnya pada tahap penuntutan yakni tujuan Sdr. Jaksa Penuntut Umum
adalah membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, tanpa
memperdulikan tidak adanya fakta dan kebenaran tentang tindak pidana
tersebut.
Replik seharusnya adalah suatu tanggapan terhadap Nota
Pembelaan/Pledoi yang diajukan oleh Penasehat Hukum terdakwa, namun
tampaknya malah menjadi suatu jiplakan kesalahan fakta yang sama,
penggunaan argumentasi yang sama dan tak bermakna dan lagi-lagi
penerapan ilmu yang keliru. Replik yang telah disampaikan Sdr. Jaksa
Penuntut Umum pada persidangan tanggal 18 Oktober 2023 tidak lebih dari
suatu formalitas buatan yang kosong yang tidak mengandung substansi dan
jiwa yang menjunjung hukum serta keadilan. Nyatalah dari posisi Jaksa
Penuntut Umum, bahwa satu-satunya hal yang ingin Jaksa Penuntut Umum
lakukan adalah menyelesaikan dan melewati tugas yang melelahkan ini.
Replik tersebut tidak mengajukan suatu hal, bukti ataupun argumen baru yang
belum dicakup dalam Surat Dakwaan.
Bahwa kami dari Tim Penasehat Hukum terdakwa Rohmat Ainal Yakin
bin Fulan dalam kesempatan ini tidak akan menanggapi kembali secara
keseluruhan dari apa-apa yang telah disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum
dalam tanggapanya tertanggal 18 Oktober 2023, yang menurut hemat kami
lebih banyak menguraikan ungkapan-ungkapan serta dalil-dalil yang bersifat
normatif retorik dari Jaksa Penuntut Umum yang tidak didukung oleh fakta-
fakta hukum sebagaimana yang telah terbukti dan terungkap di persidangan
dalam perkara a quo dan yang nampak hanya sebagai kehilangan Jaksa
Penuntut Umum dalam hal berusaha terus mencari-cari kesalahan dan terus
berusaha menjerat terdakwa dalam perkara a quo.
Untuk itu perlu kami sampaikan lagi, bahwa kami Penasehat Hukum
terdakwa juga mempunyai recording atas semua fakta persidangan yang
mendasari dari pembuatan Pledoi kami tertanggal 06 Oktober 2023 dan
Duplik ini yang kami himpun dan dapatkan dari saksi-saksi dan/atau alat. alat
bukti yang Justru dihadirkan sendiri oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
perkara a guo, selain daripada berita acara resmi persidangan yang dicatat
oleh sdr. Panitera, namun Sebagai salah satu bentuk upaya pembelaan serta
untuk meluruskan dan menegaskan kembali pola pikir dan materi surat
tuntutan Jaksa Penuntut Umum Serta Replik Jaksa Penuntut Umum dalam
persidangan ini, maka kami akan kembali menyampaikan klarifikasi,
sekaligus penegasan dan jawaban kami atas Surat Tuntutan dan Replik sdr
Jaksa Penuntut Umum, yaitu sebagai berikut :
Bahwa memaknai hal-hal yang telah terungkap dalam persidangan
perkara a quo, kami tanggapi lagi, mohon kepada Majelis Hakim yang mulia
untuk dapat menyikapinya dengan memberikan putusan yang seadil-adilnya
bagi Terdakwa. Hal Dalam kesempatan ini yang dapat kami uraikan lebih
lanjut adalah sebagai berikut :
a. Bahwa Sdr. Jaksa Penuntut Umum dalam Repliknya pada Bab IV
PEMBAHASAN, Bagian 1 mengenai FAKTA DI PERSIDANGAN
huruf a-d sebagai berikut:
✓ Bahwa pembelaan terpaksa atau noodweer sebagaimana diatur dalam
pasal 49 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Barang siapa terpaksa
melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau
ancaman serangan seketika itu melawan hukum, terhadap diri sendiri
maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan atau harta benda
sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.” Jadi dalam hal ini
tindakan korban secara eksplisit telah dibenarkan sebagaimana isi
pasal 49 ayat (1) KUHP yaitu terpaksa melakukan pembelaan karena
ada serangan atau ancaman serangan terhadap kehormatan kesusilaan.
✓ Bahwa postulat hukum dari Sdr. Panesahat Hukum yang menyatakan,
“Vim Vi Repelle Licet” sudah lama ditinggalkan dalam rangka
menegakkan ketertiban umum.
✓ Bahwa pembelaan terpaksa yang dilakukan korban dalam perkara a
quo adalah alasan pembenar yang menghapuskan elemen melawan
hukumnya extenuate delictum in excusat aut perbuatan. Necessitas
capitalibus, guod non operator idem in civilibus. Artinya, pembelaan
terpaksa membebaskan seseorang dari bukum namun tidak demikian
dalam perkara perdata. Jadi, sangat tepat hal tersebut bahwa konteks
perkara korban merupakan ruang lingkup perkara pidana.

Bahwa tidak tepat jika tindakan korban tersebut harus dalan


melihat suatu perkara hanya terbatas pada keberpihakkan dan patut
disayangkan apabila kualitas Sdr Jaksa Penuntut Umum semata tanpa
memeriksa perkara secara menyeluruh dikualifikasikan sebagai
pembelaan terpaksa tanpa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Harus ada serangan (Aanval aanranding)


Kami selaku Penasehat Hukum terdakwa berpendapat
bahwa tindakan terdakwa mendekap dan yang mencengkeram
tubuh korban bukan serta-merta memberikan ancaman terhadap
korban melainkan respons atau spontanitas terdakwa atas tindakan
korban yang berontak, begitu juga tindakan terdakwa yang
mencoba mengikat korban dengan ikat pinggang terdakwa bukan
bermaksud untuk melakukan serangan. Jadi, kami kira bahwa
kejadian tersebut harus dilihat secara kausalitas antara sebab dan
akibat.

b. Bahwa kami selaku Penasehat Hukum tidak sependapat dengan


argumentasi Sdr. Jaksa Penuntut Umum dalam hal eksistensi saksi
Testimonium De Auditu dalam persidangan. Bahwa dalam Repliknya
Sdr. Jaksa Penuntut Umum menjelaskan sebagai berikut:
Kami selaku Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini akan
menanggapi argumentasi penasehat hukum terdakwa yang menyatakan
bahwa dalam perkara ini baik Saksi Putri Dea Rahma, Saksi Ayu Silvana,
Saksi Susi Yulianti, dr.S.IP (Saksi Ahli) dan Saksi H. Ahmad Subarjo,
dr,SF.,SH (Saksi Ahli) tidak melihat, mendengar, mengetahui dan
mengalami sendiri kejadian dalam perkara a quo sehingga tidak sesuai
dengan definisi saksi menurut pasal 1 angka 26 KUHAP.
Bahwa menurut kami selaku Jaksa Penuntut Umum, patut
disayangkan bahwa Penasehat Hukum terdakwa kurang membaca dan
mengetahui perihal yurisprudensi terbaru. Bahwa berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
makna saksi telah diperluas menjadi sebagai berikut Pasal 1 angka 26
KUHAP dan 27, Pasal 65 , Pasal 116 (3), (4), Pasal 184 ayat (la) KUHAP
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak
dimaknai termasuk pula “Orang yang dapat memberikan keterangan
dalam rangka penyidikan, penuntutan dan peradilan suatu tindak pidana
yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Artinya, juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung
terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan
keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa.
Dalam sebuah Kajian Putusan MK No. 65 / PUU - VIII / 2010 berjudul
Daya Ikat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang “Testimonium De
Auditu Dalam Peradilan Pidana (hal 42) yang kami akses dari Jaman
Komisi Yudisial antara lain dijelaskan bahwa putusan ini mengakui saksi
testimonium de auditu dalam peradilan pidana, putusan ini merupakan
cerminan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa
Perlindungan dan pemenuhan hak-hak tersangka dan terdakwa
merupakan prinsip utama dalam hukum acara pidana.
Bahwa kami selaku Penasehat Hukum terdakwa berpendapat bahwa
Sdr. Jaksa Penuntut mengedepankan keobjektivitasan persidangan.
Bilamana pengertian saksi dalam pasal 1 angka 26 KUHAP telah diubah
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 65/PUU-VIII/2010
bukan serta Umum terlalu aspek legalitas dan mengesampingkan merta
membuat Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan penyidik sewenang-wenang
dalam menentukan saksi. Dan atas alasan tersebut seolah Sdr. Jaksa
Penuntut Umum telah mendapatkan legitimasi untuk membenarkan
segala macam keterangan saksi dalam persidangan tanpa
mempertimbangan apakah kesaksian itu benar atau salah.
Indonesia menganut sistem pembuktian negatif. Menurut teori ini
Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitdikitnya terdapat
dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan Hakim yang diperoleh dari
adanya alat-alat bukti itu. Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti itu ada
ditambah dengan keyakinan Hakim tersebut. Sistem pembuktian negatif
tersebut ditegaskan dalam pasal 183 KUHAP yang menjelaskan bahwa
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
Indonesia menganut sistem pembuktian negatif. Menurut kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti va sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana melakukannya.”
Jadi berdasarkan penjelasan pasal 183 KUHAP tersebut di atas,
maka dalam hal ini kami selaku Penasehat Hukum terdakwa memohon
kepada Majelis Hakim untuk mengadili perkara a guo seobjektif
mungkin. Bilamana argumentasi Sdr. Jaksa Penuntut Umum tersebut
dibenarkan, maka sudah barang tentu bukan lagi fakta persidangan yang
kita raih melainkan asumsi, alibi dan persepsi dari saksi-saksi yang tidak
mengetahui sendiri peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Bahwa dalam pembuktian saksi kedudukan keyakinan Hakim dalam
sistem ini (Pasal 183 KUHAP) seolah-olah sebagai penentu segalanya.
Jika perkara tersebut terbukti secara sah (sah dalam arti menurut undang-
undang) tetapi tidak meyakinkan Hakim alasan adanya kesalahan
tersebut, maka Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan pidana.
Bahwa menurut Tolib Effendi, SH., MH dalam bukunya yang
berjudul Dasar-Dasar Hukum Acara pidana, beliau menjelaskan,
"Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu sangat luar biasa,
karena kedudukan saksi sebagai alat bukti tindak pidana menjadi sulit
untuk dipertanggungjawabkan. Tujuan hukum acara pidana untuk
mencari dan menemukan kebenaran materiil dengan cara menggali alat
bukti yang dihadirkan di persidangan menjadi bias karena dapat
diperiksanya saksi yang tidak mendengar, melihat serta tidak mengalami
sendiri tindak pidana yang terjadi dengan kondisi demikian apakah
keterangan saksi masih layak untuk dinilai dan didengar sebagai
keterangan saksi yang memiliki kekuatan pembuktian."
Kesaksian testimonium de auditu juga ditolak oleh para ahli, S.M
Amin yang mengatakan sebagai berikut : "Memberi daya bukti kepada
kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa syarat "didengar, dilihat,
atau dialami sendiri" tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga
dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan
oleh seseorang diluar sumpah.
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan yang Cukup jelas
mengenai sejauh mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai
saksi. Pertimbangan Hakim yang diberikan oleh Majelis Hakim yang
memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa nilai kesaksian
saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami
sendiri suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi
kesaksian yang diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan.
Mengenai relevansi terhadap alat bukti saksi, menurut M. Yahya Harahap
mencari relevansi haruslah diujikan cara pemeriksaannya kepada
landasan hukum, agar dalam mencari dan mengarahkan keterangan
benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang dikehendaki
ketentuan hukum itu sendiri. Relevansi alat bukti secara sederhana dapat
diukur dari apakah alat bukti tersebut sesuai dengan fakta yang
dibuktikan. Relevansi sangat penting dalam hal pembuktian perkara
pidana. Relevansi seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan
"pengetahuannya".
Tegasnya harus mempunyai "sumber pengetahuan" yang logis atau
masuk akal. Jadi, setiap unsur keterangan harus diuji dengan sumber
pengetahuan, benar terdapat ketepatan keterangan yang masuk akal,
antara keterangan saksi dengan sumber pengetahuannya harus benar-
benar konsisten antara yang satu dengan yang lain.
Setelah adanya putusan ini penegak hukum diharapkan lebih teliti
untuk menghadirkan saksi dalam rangka pembuktian terhadap perkara
pidana terlebih setelah diperluasnya definisi saksi dan keterangan saksi
dalam KUHAP.
Jadi kesimpulan kami selaku Penasehat hukum terdakwa atas
argumentasi Sdr. Jaksa Penuntut Umum berkaitan dengan putusan MK a
guo merasa bahwa kedudukan saksi dalam persidangan seakan-akan
menjadi ajang formalitas belaka.
c. Bahwa analisa yuridis dan penguraian unsur-unsur dakwaan yang telah
dikemukakan Sdr. Jaksa Penuntut Umum dalam Repliknya menurut
hemat kami selaku Penasehat Hukum tidak ada sesuatu hal yang berbeda
dari argumentasi tersebut karena Sdr. Jaksa Penuntut Umum hanya
mengulangi sesuatu hal yang jelas-jelas sudah disampaikan dalam Surat
Tuntutannya. Dengan demikian kami selaku Penasehat Hukum tidak
perlu menguras waktu, tenaga dan pikiran untuk menanggapi Replik
“PhotoCopy” dari sdr. Jaksa Penuntut Umum.
d. Bahwa kami selaku Penasehat Hukum terdakwa berpendapat bahwa dari
keseluruhan baik dalam Dakwaan, Penuntutan hingga Replik Sdr. Jaksa
Penuntut Umum tidak menguraikan secara detail mengenai motif,
kehendak, dan tujuan dari terdakwa melakukan perbuatan tersebut.
Sehingga menurut kami selaku Penasehat Hukum terdakwa
berkesimpulan bahwa Sdr. Jaksa Penuntut Umum mencampur adukkan
ketiga proses tersebut. Sehingga tidak diketahui apakah perbuatan
terdakwa tersebut merupakan Dolus atau Culpa.

Bahwa berdasarkan uraian dan penegasan kami terhadap Replik


Jaksa penuntut Umum atas Pledoi kami terdahulu tertanggal 06 Oktober
2023, maka kami Tim Penasehat Hukum terdakwa Rohmat Ainal Yakin
bin Fulan, dengan ini menyatakan berketetapan untuk menyatakan
keberatan dan/atau menolak semua dakwaan dan surat tuntutan Sdr. Jaksa
Penuntut Umum dalam perkara a guo, termasuk juga menolak semua
materi Replik Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini, serta menyatakan
secara tegas tetap bertahan dengan Nota Pembelaan/Pledoi kami yang
telah kami bacakan dan sampaikan pada tanggal 06 Oktober 2023 dalam
persidangan ini, serta memohon kepada Ketua dan Majelis Hakim Yang
Mulia yang menyidangkan perkara a quo untuk dapat memutus perkara
ini dengan berpedoman kepada “Keadilan bagi Terdakwa Rohmat Ainal
Yakin bin Fulan” untuk dapat mempertimbangkan semua Uraian,
penegasan serta pembelaan dan Jawaban / Tanggapan / Duplik kami di
atas.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Pengadilan yang kami hormati.

Beranjak dari pemikiran Bentham dapat kita pahami bahwa suatu


pemidanaan dalam sistem peradilan pidana dewasa ini yang melibatkan
korban dan pelaku dalam pengambilan putusan sehingga sanksi yang
dijatuhkan kepada pelaku juga harus memperhatikan kehidupan terdakwa di
masa mendatang. Menurut kami selaku Penasehat Hukum terdakwa perlu
kiranya Majelis Hakim memandang perkara ini berdasarkan perspektif teori
keadilan yang restoratif sehingga pendistribusian keadilan dapat diterima dari
kedua belah pihak. Dalam teori tersebut upaya mencari penyelesaian yang
adil dengan menekankan pada pemulihan kembali keadaan semula dan bukan
Semata-mata upaya pembalasan. Dalam kaitannya dengan keadilan
restorative yaitu melalui pendekatan victim-Offender mediation
programmers atau mediasi korban dan pelaku vano merupakan pendekatan
keadilan yang menitik beratkan nilai “Rekonsiliasi” pribadi (personal
reconciliation) antara korban dan pelaku Selain itu, kami selaku Penasehat
Hukum terdakwa berpendapat bahwa tujuan pidana merupakan upaya untuk
merehabilitasi atau memperbaiki terdakwa kearah yang lebih baik.
Menurut Thomas Aguinas salah satu tujuan pidana yaitu sebagai obat
untuk memperbaiki dan menyembuhkan terdakwa dari segala kesalahan.
Sebagai penutup duplik ini izinkanlah kami selaku Penasehat Hukum
terdakwa mengutip salah satu filsuf, Plato yang mengatakan “Nemo Prudens
Punit, Ouia Peccatum, Sed Ne Peccetur” artinya “Seorang Yang Bijak Tidak
Menghukum Karena Dilakukan Nya Dosa, Melainkan Agar Tidak Terjadi
Lagi Dosa”.

III. KESIMPULAN
Majelis Hakim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Sidang Pengadilan yang kami hormati.

Akhirnya sampailah kita pada ujung dari segala usaha yang dapat kami
lakukan untuk membela hak-hak dari terdakwa. Kami selaku Kuasa Hukum
terdakwa memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila selama persidangan
kami dan terdakwa memiliki kesalahan dan dalam berucap atau tingkah laku
kami yang kurang berkenan bagi Majelis Hakim yang terhormat.
Berikutnya kepada Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati, tidak lupa
kami juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesarbesarnya apabila
selama proses persidangan dan juga bagi Penyidik apabila selama proses
penyidikan kami melakukan sesuatu yang tidak berkenan bagi Jaksa Penuntut
Umum serta Penyidik dalam perkara ini. Kiranya apa yang terungkap di
persidangan dapat kita lihat namun menjadi kewenangan bagi Majelis Hakim
untuk menyimpulkan, mempertimbangkan dan menjatuhkan putusan yang
seadil-adilnya kepada terdakwa. Kami tetap pada permohonan kami yaitu :

PRIMAIR
1. Menerima nota pembelaan/Pledoi penasehat hukum terdakwa ROHMAT
AINAL YAKIN BIN FULAN untuk seluruhnya.
2. Menolak surat dakwaan yang masuk dalam surat tuntutan pada perkara
pidana No. Reg. Perk. 001/PID.B/2023/PN-GLH.
3. Menyatakan terdakwa ROHMAT AINAL YAKIN BIN FULAN tidak
terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan dan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan pasal
351 KUHP dan 338 KUHP.
4. Membebaskan terdakwa ROHMAT AINAL YAKIN BIN FULAN
(vrijpraak) dari dakwaan dan tuntutan hukum yang diajukan jaksa
penuntut umum (Ontslag Van Alle rechtsvervolging).
5. Memerintahkan pada jaksa penuntut umum agar merehabilitasi nama baik
terdakwa ROHMAT AINAL YAKIN BIN FULAN.
6. Memerintahkan agar terdakwa ROHMAT AINAL YAKIN BIN FULAN.
dibebaskan dari tahanan.
7. Menyatakan pembebanan biaya perkara ini kepada negara.

SUBSIDAIR
Apabila majelis hakim yang mulia berpendapat lain mohon putusan
Seadil-adilnya (ex aeguo et Bono).

Majelis Hakim Yang Mulia,


Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Serta Hadirin Pengunjung Sidang yang kami hormati.

Demikianlah Duplik kami sampaikan dengan segala kerendahan hati,


kami yakin Majelis Hakim memiliki kebijaksanaan yang tinggi dan akan
dengan seadil-adilnya memutuskan perkara ini.
Kami tutup Duplik ini dengan adagium latin, “Audi Alteram Partem,
Audiatur Et Altera Pars”, yang artinya “Dengarkan Pihak Lain, Dengarkan
Dari Kedua Sisi”.

Galuh, 18 Oktober 2023

TIM Penasehat Hukum,

SARIJO, S.H. ANGGA RUSLAN, S.H PUTRI DEA, S.H

Anda mungkin juga menyukai