Anda di halaman 1dari 9

[***], 15 Juni 2016

Nomor ref. : 001/ELO/PLD/DK/VI/2016


Lampiran : -

Kepada Yth.
Majelis Hakim Pemeriksa perkara pidana
Nomor register [***]
Pengadilan Negeri [***]

NOTA PEMBELAAN

Dalam Perkara Tindak Pidana Umum


Nomor Register [***]
Atas Klien kami:

Nama lengkap :
Tempat lahir :
Umur/tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Kebangsaan/kewarganegaraan :
Tempat tinggal : Jakarta Barat.
Agama : Kristen
Pendidikan : Sarjana (S.1)

Dengan Hormat,
Perkenankan kami, yang bertandatangan di bawah ini:

Erlangga Kurniawan, S.H.


Doddy Kurnia Kosasih, S.H. Arief Irfansyah, S.H.

Kesemuanya merupakan Advokat, Penasihat Hukum dan asisten Advokat pada kantor hukum
Ercolaw, beralamat di The Royal Palace C #10, Jl. Prof. Soepomo #178A, Jakarta Selatan
12870.

I. PENDAHULUAN
Majelis Hakim yang kami muliakan
Rekan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
penguasa seluruh alam semesta, karena berkat rahmat Nya persidangan pada hari ini dengan
agenda pembacaan Nota Pembelaan oleh Penasihat Hukum atas Terdakwa [***] (untuk
selanjutnya disebut “Terdakwa”) bisa berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya sesuai
dengan yang dijadwalkan sebelumnya, meskipun Terdakwa dalam keadaan yang sangat rapuh
dan payah karena sakit yang diderita selama ini pada usia senjanya, akan tetapi Terdakwa
selalu hadir dalam persidangan dengan semangat dan senantiasa menebarkan aura positif
yang seakan-akan berbicara bahwa “saya tidak bersalah, maka beranilah”. Hal tersebut
membuat kami, Penasihat Hukum Terdakwa menjadi lebih yakin untuk mencari siapa
sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap perkara ini. Semangat seperti itu juga dirasakan
oleh isteri dan keluarga Terdakwa, yang selalu setia mendampingi Terdakwa dengan penuh
kesabaran dan penuh keyakinan bahwa Terdakwa memang tidak bersalah. Nuansa seperti ini
membuat kami, Penasihat Hukum Terdakwa menjadi kagum akan sikap dan spirit serta
keyakinan isteri dan keluarga Terdakwa.

Tidak lupa kami ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Majelis Hakim Yang
Mulia karena telah memimpin persidangan ini dengan penuh kemandirian, keseimbangan dan
jiwa kepemimpinan yang kental. Kami juga memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada rekan Jaksa Penuntut Umum, karena telah sangat berupaya menjalankan kewajibannya
dengan sangat amat baik untuk menemukan kebenaran formil dan materil ke arah tercapainya
prinsip dan tujuan hukum demi tegaknya keadilan.

Sekali lagi, kami sebagai Penasihat Hukum benar-benar bangga dan menaruh hormat setinggi-
tingginya kepada Terdakwa, tentang ketegarannya, tentang kesabarannya, tentang bagaimana
Terdakwa tetap menegakkan martabatnya meski sedang didakwa dengan kejahatan yang luar
biasa yaitu dugaan penipuan dan penggelapan. Kesabaran dan ketegaran Terdakwa benar-
benar mengajarkan kita semua di persidangan ini, bahwa ketika Tuhan berkehendak maka
manusia haruslah pasrah, tetap berusaha, menunduk serendah debu dan tetap berdoa setinggi
langit.

Bahwa tuntutan pidana dan pledoi (pembelaan) pada dasarnya merupakan suatu rangkaian
yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana dan sebenarnya
dapatlah dikatakan bahwa keberadaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut
Umum, saling berkaitan dengan Nota Pembelaan yang diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat
Hukum Terdakwa yang pada hakekatnya merupakan proses dialogis jawab menjawab terakhir
dalam suatu proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Pada kesempatan ini juga perlu kami
tegaskan, karena pada hakikatnya pengajuan Nota Pembelaan ini bukanlah bertujuan untuk
melumpuhkan dakwaan dan tuntutan pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan
tetapi perbedaan argumentasi, prinsip dan pandanganlah yang menimbulkan kesenjangan di
antara kedua misi yang diemban, namun kesemuanya itu bermuara pada kesamaan tujuan
yaitu usaha dan upaya melakukan penegakkan hukum serta keinginan untuk menemukan
kebenaran hukum.
Bahwa persidangan ini pada akhirnya akan berakhir dengan putusan yang MENGATAS-
NAMAKAN KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, tentu merupakan
putusan yang sangat diharapkan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran dengan
sumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menurut Bismar Siregar (Hukum Acara Pidana,
Bina Cipta Bandung 1983) merupakan doa hakim, hal ini tentu saja memberi arti bahwa Yang
Mulia Majelis Hakim akan menghadirkan Keadilan Tuhan penguasa seluruh alam di pengadilan
ini, di dalam ruang persidangan ini.

Akhirnya, melalui persidangan yang terbuka untuk umum ini, kita tentu dapat menjawab
pertanyaan yang paling mendasar atas perkara ini, yaitu apakah benar Terdakwa, telah
melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, yaitu melakukan tindak pidana Penipuan
dan/atau Penggelapan?

Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita semua perlu meluruskan dahulu
niat dan menjernihkan pikiran agar dapat menemukan pencerahan dari Yang Maha Kuasa
untuk mendapatkan kebenaran materil atas perkara ini.

II. DAKWAAN DAN TUNTUTAN


Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sesuai dengan surat dakwaan dengan nomor
register perkara: [***], adalah sebagai berikut:
KESATU:
Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
KEDUA:
Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bahwa sebelum kami membahas mengenai fakta-fakta yang muncul di persidangan dan analisa
yuridis serta penutup pada bagian akhir nota pembelaan ini, kami ingin terlebih dahulu
membedah secara kritis mengenai surat dakwaan dan surat tuntutan dari Jaksa Penuntut
Umum, yaitu:

DALAM DAKWAAN
- Bahwa di dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum telah mencoba menggambarkan suatu
peristiwa pidana yang diduga dilakukan oleh Terdakwa, yang seakan-akan bahwa memang
benar Terdakwalah yang melakukan semua tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam
surat dakwaan.

(kronologi dalam dakwaan)

DALAM TUNTUTAN
Bahwa rekan Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan Terdakwa telah terbukti melakukan tindak
pidana penipuan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan menuntut agar Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan
menetapkan Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000 (dua ribu Rupiah).
III. FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN

A. Keterangan saksi-saksi :
1. [***] Bahwa saksi pada tanggal 19 Mei 2016 memberikan keterangan di bawah sumpah
menurut agamanya dan akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang
sebenarnya, dengan ini saksi menerangkan sebagai berikut :
(Keterangan saksi)

Tanggapan Terdakwa:
-

2.

3.

4.
B. Keterangan Terdakwa

IV. Analisa Fakta


A. Tentang perjanjian jual beli batubara
Terungkap sejak awal persidangan bahwa hubungan hukum antara [***] dengan [***] adalah
hukum keperdataan di mana perjanjian jual beli [***] dibuat atas dasar kesepakatan kedua
belah pihak, jika menelaah secara cermat Perjanjian jual beli batubara merupakan wujud dari
sebuah perjanjian yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasal
1320 KHUPerdata tentang syarat sah perjanjian diperlukan empat syarat yaitu:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Suatu pokok persoalan tertentu
- Suatu sebab yang tidak terlarang
(analisa fakta-fakta)

V. ANALISIS YURIDIS
Majelis Hakim Yang Mulia;
Rekan Jaksa Penuntut Umum yang terhormat;
Serta hadirin sidang sekalian

Bahwa proses peradilan pidana adalah suatu proses persidangan yang sangat berbeda dengan
proses persidangan lainnya, karena dalam suatu proses persidangan pidana haruslah dapat
diukur seberapa jauh kesalahan (schuld) yang terdapat pada diri seorang terdakwa pada
dugaan tindak pidana yang didakwakan tanpa ada sedikitpun keraguan pada Majelis Hakim
pemeriksa suatu perkara tentang hal tersebut. Untuk kemudian berdasarkan hal ini, dapat pula
diukur dan dimintakan seberapa besar pertanggungjawaban pidana yang bisa dilekatkan pada
seorang terdakwa.
Hal ini pula yang disampaikan Curzon LB Curzon dalam bukunya “Criminal Law” (London; M&E
Pitman Publishing; 1997) yang menjelaskan:

“Bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan


pidana terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri hakim tentang kesalahan
terdakwa”

Hal serupa juga disampaikan oleh Prof. Moelijatno dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana”
(Jakarta; Bina Aksara; 1987) yang menerangkan:

“Orang tidak mungkin mempertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan
perbuatan pidana”.

Perbuatan terdakwa yang dapat dipidana (strafbarehandeling) terletak pada wujud suatu
perbuatan yang dirumuskan dalam ketentuan/pasal yang mengaturnya, bukan pada akibat dari
perbuatannya sebagai bentuk dari delik materil. Sebagai delik formil, konsekuensi hukumnya
adalah bahwa seorang penuntut umum wajib membuktikan unsur esensial dari
“strafbarehandeling” atau perumusan ketentuan yang didakwakan tersebut, begitu pula
pembuktian terhadap unsur yang merupakan “sarana” penggunaan dari strafbarehandeling
tersebut. Berbicara pertanggung jawaban pidana, maka semuanya akan bergantung dengan
adanya suatu tindak pidana (delik). Tindak pidana di sini, berarti menunjukkan adanya suatu
perbuatan yang dilarang. Kata delik atau delictum memiliki arti sebagai perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang, di mana dalam
hal hukum pidana sendiri kita mengenal adanya dua jenis yaitu delik formil yang perumusannya
menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang serta delik materil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang.

Sementara itu Prof. Satochid Kartanegara sehubungan dengan pengertian delik ini sendiri
menyebutkan, unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif, di mana unsur objektif
adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu:
- Suatu tindakan;
- Suatu akibat, dan
- Keadaan (omstandigheid)
Di mana kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Sedangkan unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa:
- Kemampuan yang dapat dipertanggungjawabkan (toerekenings vatbaarheid);
- Kesalahan (schuld).

Bahwa untuk melihat suatu tindak pidana (delik) tersebut tidaklah bisa berdiri sendiri karena
maknanya baru akan muncul apabila ada suatu proses pertanggung jawaban pidana, artinya
setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana atau
dijatuhkan hukuman pada dirinya, karena agar dapat dijatuhi suatu pemidanaan atau hukuman
terhadap diri seseorang maka pada diri orang tersebut harus ada unsur dapat dipertanggung
jawabkan secara pidana yang dapat dimintakan ataupun dijatuhkan kepadanya sesuai dengan
unsur-unsur perbuatan sebagaimana ditegaskan dalam suatu peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Bahwa rumusan delik dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembuktiannya
tidak hanya sekedar melihat pertanggung jawaban pidana berdasarkan “materiele feit”, tetapi
tetap harus berpegang pada asas pertangung jawaban pidana yang berlaku secara universal
(Geen Straf Zonder Schuld/tiada pidana tanpa kesalahan). Dalam hal ini, apakah kesalahan
tersebut berupa opzet (kesengajaan) maupun berupa culpa (kealaian) dengan mengaitkan
adanya suatu prinsip “formeele wedderechtelijkheid” dan adanya suatu alasan penghapusan
pidana berdasarkan fungsi negative.

Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam uraian tuntutannya mengenai unsur “dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum” telah keliru dalam
menerapkan unsur tersebut. Hubungan antara Terdakwa dengan [***] lahir berdasarkan
perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berdasarkan kesepakatan. Menurut
hemat kami, cara berlogika yang tepat adalah bahwa maksud dari kerja sama antara Terdakwa
dan [***] adalah saling menguntungkan. Juga berdasarkan fakta persidangan, tidak ada satu
pun saksi-saksi yang melihat, mendengar dan mengetahui secara langsung perbuatan yang
diduga dilakukan oleh Terdakwa yang memenuhi unsur tersebut di atas.

Bahwa sebagaimana telah disebutkan di atas, hubungan hukum yang terjalin antara Terdakwa
dengan [***] lahir berdasarkan kesepakatan yang dituangkan ke dalam perjanjian, maka dari itu
uraian unsur “dengan memakai nama palsu atau marabat palsu, baik dengan tipu muslihat, atau
pun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang” dalam tuntutan
rekan Jaksa Penuntut Umum adalah penerapan yang keliru dan seakan-akan memaksakan.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dari [***], Terdakwa memang mempunyai perusahaan
yang bergerak di bidang pertambangan batubara, nama Terdakwa sesuai, dan area
pertambangan milik perusahaan Terdakwa itu ada dan nyata. Maka dari itu, jika memang
batubara yang dijanjikan oleh Terdakwa selaku Direktur dari [***] terhambat pengirimannya, hal
tersebut dikarenakan pada saat itu kondisi pertambangan batubara di seluruh dunia sedang
lesu, sehingga sangat berdampak terhadap pengiriman batubara kepada [***].

Majelis Hakim Yang Mulia;


Rekan Jaksa Penuntut Umum yan terhormat;
Serta hadirin sekalian;

Kita semua mungkin pernah mendengar dan membaca mengenai adanya Miscarriage of justice
(kegagalan penegakkan keadilan) yang merupakan persoalan universal yang dihadapi oleh
hampir seluruh Negara dalam penegakkan sistem peradilan pidananya. Menurut Clive Walker,
terdapat empat hal penting yang terkandung dalam makna miscarriage of justice, yaitu:
a. Kegagalan penegakkan keadilan tidak hanya terbatas pada produk pengadilan atau dalam
sistem hukum pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar pengadilan, terbentuk dari kekuasaan
penegak hukum yang bersifat memaksa (coercive power);
b. Kegagalan penegakkan keadilan dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam
bentuk legalisasi biaya-biaya yang tidak resmi;
c. Kegagalan penegakkan keadilan harus pula mencakup kelemahan Negara ketika
menjalankan tanggung jawabnya;
d. Kegagalan penegakkan keadilan harus ditegaskan pada hal-hal yang berkaitan dengan hak
asasi manusia;
e. Istilah miscarriage of justice terus berkembang dan dipergunakan untuk menggambarkan
bahwa dalam sistem hukum negara-negara di dunia terdapat kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam putusan pengadilan yang menyebabkan seseorang harus menjalani hukuman
atas kejahatan yang tidak dilakukannya.

Berdasarkan hal tersebut, dalam pemeriksaan perkara Terdakwa, patutlah kita semua, baik
rekan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Yang Mulia atau pun kami sendiri selaku
Penasihat Hukum, harus berpegang teguh pada asas-asas yang terkandung dalam
penegakkan keadilan serta harus menghindari tindakan-tindakan yang dapat merusak integritas
sistem sebagai upaya menghindari miscarriage of justice pada perkara ini.

VI. KESIMPULAN
Majelis Hakim Yang Mulia,
Rekan Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Hadirin sekalian Yang Juga kami Hormati,

Klien kami pernah mengatakan sebuah kalimat bijak, yaitu “every cloud has a silver lining”,
badai pasti berlalu dan kita harus percaya bahwa God is good, maka biarkanlah tangan Tuhan
yang bekerja dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Bahwa kemandirian Majelis Hakim Yang Mulia begitu kental dalam persidangan ini, kami sangat
mengapresiasi hal tersebut. Kewajiban hakim untuk bersikap mandiri dapat diartikan bahwa
hakim terikat untuk memutus perkara hanya atas dasar ketentuan undang-undang. Menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sistem pembuktian yang dianut adalah
Negatief Wettelijk Stelsel, yaitu metode pembuktian yang paling sulit di antara empat ajaran
atau teori tentang pembuktian. Menurut KUHAP, untuk membuktikan seseorang bersalah harus
diperoleh 2 (dua) alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim. Artinya jika terdapat
bukti menurut undang-undang bahwa Terdakwa bersalah, namun hakim tidak memperoleh
keyakinan, maka Terdakwa harus dibebaskan. Demikian juga jika seorang hakim berkeyakinan
Terdakwa bersalah namun menurut undang-undang terdakwa tidak terbukti bersalah maka
terdakwa juga harus dibebaskan.

Intinya, meskipun seseorang jelas-jelas kelihatan bersalah, namun menurut KUHAP, adalah
sangat sulit untuk membuktikan seorang bersalah. Dengan demikian, seharusnya lebih banyak
putusan bebas daripada putusan untuk menghukum. Dengan kata lain, jika hakim bersikap
mandiri, maka sebetulnya akan lebih banyak terdakwa yang dibebaskan daripada yang
dihukum, karena sulitnya membuktikan kesalahan terdakwa.

Keadilan harus kita maknai sebagai keadaan yang netral dan proporsional. Perkara yang
masuk ke pengadilan harus memberi kemungkinan yang sama bagi terdakwa untuk menerima
hukuman atau dibebaskan dari hukuman. Jika tidak demikian maka tidak ada kemandirian
peradilan. Kemandirian atau independensi peradilan memperoleh maknanya jika terdapat
kenyataan bahwa lembaga peradilan adalah tempat terjadinya keputusan penghukuman jika
terdakwa bersalah dan pembebasan jika terdakwa tidak bersalah. Sehingga statistiknya harus
seimbang (50 banding 50) antara mereka yang dihukum dengan mereka yang dibebaskan.

Terdakwa yang saat ini duduk di hadapan yang Mulia Majelis Hakim sebagai terdakwa, benar-
benar menaruh harapan di pundak Majelis Hakim Yang Mulia agar kiranya dapat menjatuhkan
putusan yang seadil-adilnya. Bagi terdakwa yang saat ini dalam keadaan rapuh karena sakit
yang dideritanya, sama sekali tidak terbayangkan bahwa segala usaha yang dibangun selama
ini bagi keluarga tercinta harus mengalami kenyataan duduk sebagai Terdakwa dengan
tuduhan yang menyerang harga diri dan kehormatannya yaitu tindak pidana penipuan, yang
kemudian oleh rekan Jaksa Penuntut Umum telah dituntut agar dimasukkan ke dalam penjara
dan dipisahkan dari keluarga dan kerabatnya selama 3 (tiga) tahun, ya 3 tahun, waktu yang
demikian panjang bagi seorang yang telah rapuh dan sakit-sakitan serta telah berada pada
ujung usia senja. Angka 3 tahun penjara tersebut diucapkan oleh JPU dengan tanpa beban.

Saat ini Terdakwa tidak ada harapan lain selain berharap kepada Majelis Hakim yang dapat
memutus perkara ini dengan putusan yang seadil-adilnya. Dalam setiap kasus pidana,
meskipun sudah cukup 2 alat bukti yang sah, jika sedikit saja ada keraguan pada diri hakim,
tentang apakah terdakwa pantas dihukum atau tidak, maka terdakwa haruslah dibebaskan,
inilah yang disebut dengan istilah “beyond reasonable doubt” yang ekuivalen dengan asas in
dubio proreo.

Prof. Oemar Seno Adji dalam bukunya HUKUM, HAKIM PIDANA menulis “bahwa Hakim Pidana
bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Ia harus
memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-
perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Ia harus melihat kepribadian dari pelaku
perbuatan……”.

Sekarang, kearifan dan harapan untuk mendapatkan keadilan berada pada Majelis Hakim Yang
sangat kami muliakan.

VII. Permohonan

Berdasar atas segala sesuatu yang kami uraikan di atas, kami mohon agar kiranya Majelis
Hakim dengan segala kewibawaannya berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Menyatakan seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum
TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum, atau setidak-tidaknya
melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum

Demikianlah Nota Pembelaan ini kami ajukan, semoga Tuhan Yang Maka Kuasa memberikan
perlindungan kepada kita semua.

Hormat kami,
Tim Penasihat Hukum Terdakwa

Erlangga Kurniawan, S.H.

Doddy Kurnia Kosasih, S.H. Arief Irfansyah, S.H.

Anda mungkin juga menyukai