CRS - Dermatitis Atopi
CRS - Dermatitis Atopi
DERMATITIS ATOPIK
Oleh
Hifzhillah Fajriati 1710311043
Andre Kurniawan 1810311011
Preseptor
dr. Tutty Ariani, Sp.DV
dr. Yosse Rizal, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
DERMATITIS ATOPIK
Oleh
Hifzhillah Fajriati 1710311043
Andre Kurniawan 1810311011
Preseptor
dr. Tutty Ariani, Sp.DV
dr. Yosse Rizal, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Contents
Halaman Sampul ...................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
Daftar Tabel ........................................................................................................... iv
Daftar Gambar......................................................................................................... v
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Batasan Penulisan .............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan.............................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
2.1. Definisi………………………………………………………………3
2.2 Epidemiologi...................................................................................... 3
2.3 Etiologi dan Patogenesis .................................................................... 4
2.4 Klasifikasi .......................................................................................... 6
2.5 Manifestasi Klinis .............................................................................. 6
2.6 Kriteria Diagnosis .............................................................................. 9
2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 13
2.8 Diagnosis Banding ........................................................................... 14
2.9 Tatalaksana ...................................................................................... 15
2.10 Prognosis .......................................................................................... 16
BAB 3 LAPORAN KASUS.................................................................................. 18
BAB 4 DISKUSI…………………………………………………………………25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………27
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Dermatitis atopik infantile (A) wajah (terutama pipi) dan kulit
kepala, dan (B) badan dan ekstremitas………………………. 7
Gambar 2.2 Dermatitis atopik pada anak yang lebih besar biasanya
muncul dengan bercak pada permukaan fleksural…………… 8
Gambar 2.3 Dermatitis atopik pada orang dewasa dapat muncul dengan
bercak kering dan bersisik pada ekstremitas………………... 8
Gambar 2.4 Indeks SCORAD……………………………………………. 12
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa angka kejadian dermatitis atopik
mengalami peningkatan dan merupakan salah satu penyakit kulit terbanyak pada
anak yang menurunkan kualitas hidup anak. Sehingga, dibutuhkan penegakan
diagnosis dini agar dapat dilakukan pencegahan dan pengobatan yang sesegera
mungkin.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah suatu peradangan kulit berupa dermatitis
yang kronis dan residif yang disebabkan oleh reaksi alergi dan bersifat menurun.
DA merupakan kondisi inflamasi kronik pada kulit yang dihubungkan dengan gatal,
nyeri, dan gangguan tidur. DA merupakan faktor risiko utama dalam perkembangan
penyakit atopi lainnya seperti asma dan rhinitis alergi. Seorang anak dengan DA
akan lebih rentan terkena penyakit asma dan rhinitis alergi dibandingkan anak tanpa
DA. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan
orang-orang terdekat pasien1.
2.2 Epidemiologi
DA mempengaruhi sekitar 230 juta orang di seluruh dunia, dan menjadi
penyakit utama non-fatal kulit. DA mempengaruhi pria dan wanita dari semua ras,
anak-anak dan orang dewasa, sering terjadi pada keluarga dengan penyakit atopik
lain (asma bronkial dan/atau rhinitis alergi). Awalnya DA dianggap sebagai
penyakit anak usia dini, dengan perkiraan prevalensi 15% - 25% pada anak-anak,
namun bukti terbaru menunjukkan bahwa DA juga sangat umum pada orang
dewasa, berkisar 1% - 10%. 45% kasus DA dimulai dalam enam bulan pertama
kehidupan, 60% selama tahun pertama, dan 80% - 90% sebelum tahun kelima
kehidupan. Perjalanan DA dapat berlanjut selama bertahun-tahun tetapi dapat juga
menunjukkan pola relaps-remitting6.
Menurut penelitian di beberapa negara, terjadi peningkatan prevalensi DA
dalam 5 hingga 10 tahun terakhir. Pada tahun 2012, di Indonesia terdapat 1,1%
pasien DA usia 13-14 tahun. Pada tahun 2013 dari laporan 5 rumah sakit yang
melayani dermatologi anak yaitu RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou Manado, RSU
Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%), sedangkan di RSUP M. Djamil Padang, kasus DA
merupakan 5 besar penyakit terbanyak di Poliklinik kulit dan kelamin pada tahun
2014.
3
Prevalensi DA pada usia dewasa dalam populasi keseluruhan di Amerika
Serikat, Uni Eropa, Kanada, dan Jepang masing-masing 4,9%, 4,4%, 3,5% dan
2,1%6. Prevalensi DA di daerah pedesaan yang jauh lebih rendah menekankan
bahwa pentingnya faktor gaya hidup dan lingkungan dalam mekanisme penyakit
atopik. Banyak kemajuan yang telah dibuat untuk menjelaskan patofisiologi dari
DA, namun hygiene hyphotesis masih menjadi salah satu fitur yang penting dan
masih diperdebatkan hingga saat ini.
4
imun, genetik, serta faktor pemicu lainnya seperti faktor lingkungan maupun agen
infeksi1.
1. Disfungsi sawar kulit
Abnormalitas sawar kulit terkait dengan menurunnya fungsi gen yang
meregulasi amplop keratin (filaggrin dan loricrin). Gen FLG memungkinkan
pembentukan profilaggrin yang selanjutnya dipecah menjadi monomer filaggrin.
Kurangnya monomer ini membahayakan sawar kulit, sehingga memungkinkan
allergen, iritasi dan bakteri untuk memicu respons hiperimun. Abnormalitas
sawar kulit juga dapat disebabkan karena disregulasi metabolisme lipid dengan
reduksi seramid, meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal water loss
(TEWL), pajanan protease eksogen yang berasal dari tungau debu rumah serta
kelembaban udara1,3,6.
Perubahan sawar kulit ini mengakibatkan terjadinya peningkatan absorbs
dan hipersensitivitas terhadap allergen. Peningkatan TEWL dan penurunan
kapasitas kemampuan menyimpan air, menyebabkan kulit DA lebih kering dan
sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah, serta terjadi
gangguan pada pertahanan terhadap mikroorganisme 1,6.
5
Keragaman mikrobiota menurun pada kulit DA yang meradang karena
anggota genus Staphylococcus. S. aureus khususnya, mengkolonisasi sekitar 90%
pasien DA dan mengekspresikan berbagai faktor virulensi yang telah terbukti
berperan dalam patogenesis infeksi superfisial dan invasif, berkontribusi pada
patogenesis DA atau eksaserbasi penyakit melalui mekanisme yang bekerja pada
keratinosit dan sel imun6.
Peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus menyebabkan eksaserbasi
DA karena peningkatan produksi IgE. Terganggunya sawar kulit fisik dapat
menyebabkan peningkatan angka infeksi yang selanjutnya dapat mengganggu
kedua antimikroba tersebut. Pencegahan infeksi tambahan juga terganggu karena
peningkatan pH SC bersama dengan hilangnya lemak bebas asam, metabolit
ceramide, dan molekul lain yang berfungsi normal yang semuanya memiliki efek
antimikroba7.
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi DA umumnya didasarkan atas keterlibatan organ tubuh, DA
murni hanya terdapat di kulit, sedangkan DA dengan kelainan di organ lain,
misalnya asma bronkial, rhinitis alergi, serta hipersensitivitas terhadap berbagai
allergen polivalen. Bentuk DA murni terdiri atas 2 tipe, yaitu tipe intrinsik dan
ekstrinsik. DA intrinsik adalah DA tanpa bukti hipersensitivitas terhadap allergen
polivalen dan tanpa peningkatan kadar IgE total serum. Sementara itu, DA
ekstrinsik bila terbukti pada uji kulit terdapat hipersensitivitas terhadap allergen
hirup dan makanan1.
6
hadir dengan tambalan pada permukaan lentur. Orang dewasa mungkin datang
dengan bercak kering dan bersisik pada ekstremitas1,3.
Temuan pada kulit tergantung dengan tahap penyakit3:
• Pada fase akut, akan terjadi erosi dengan eksudat serosa atau rum dan vesikel
papular yang sangat gatal pada dasar eritematosa.
• Pada fase subakut, terdapat lesi yag ditandai dengan skuama atau plak di atas
lesi eritematosa.
• Pada fase kronis, terdapat lesi yang berbentuk likenifikasi dan adanya perubahan
pigmen dengan papul dan nodul yang tereksoriasi. Lesi tersebut dapat
mengalami infeksi sekunder apabila digaruk. Lesi yang terinfeksi tersebut hadir
muncul dengan krusta kuning atau impetigo.
Manifestasi secara klinis pada DA juga dapat dibedakan berdasarkan usia
yang dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase infantil, fase anak-anak, dan fase dewasa1.
1. Fase infantile (2 bulan – 2 tahun)
Pada bayi, tempat predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar
simetris. Lesi dapat meluas hingga ke dahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan, dan pada tungkai. Seiring bertambahnya usia, fungsi
motorik akan menjadi lebih sempurna dan anak akan mulai belajar merangkak
sehingga lesi kulit meluas hingga di bagian ekstensor, misalnya lutut, siku, dan
tempat-tempat yang mudah mengalami trauma. Fase infantile dapat mereda dan
menyembuh. Pada sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak atau
fase remaja. Pada bayi dengan usia kurang dari 1 tahun, alergen seperti susu sapi,
telur, dan kacang-kacangan masih menjadi alergen yang berengaruh, sedangkan
pada usia dewasa, alergen hirup menjadi lebih berpengaruh dalam menimbulkan
manifestasi DA.
Gambar 2.1 Dermatitis atopik infantile (A) wajah (terutama pipi) dan kulit
kepala, dan (B) badan dan ekstremitas
7
2. Fase anak (2 – 10 tahun)
DA pada anak-anak terjadi karena tidak ada intervensi terhadap DA yang
terjadi pada masa infantile, atau muncul tanpa didahului dase infantile. Pada
anak-anak (biasanya pada usia 2 tahun), tanda-tanda DA lebih banyak terdapat
pada lipatan kulit, termasuk kelopak mata, leher, lipatan siku, poplitea, dan
lipatan kulit lainnya. Plak eritematosa akan terasa sangat gatal tanpa lesi yang
terlihat sampai terjadi garukan dan membentuk papil, eritem, atau likenifikasi.
Lesi tersebut akan bertahan lama dan menyebabkan terjadinya gangguan tidur.
Pada fase ini pasien DA lebih sensitive terhadap allergen hirup, wol, dan bulu
binatang.
Gambar 2.2 Dermatitis atopik pada anak yang lebih besar biasanya muncul
dengan bercak pada permukaan fleksural
Gambar 2.3 Dermatitis atopik pada orang dewasa dapat muncul dengan bercak
kering dan bersisik pada ekstremitas
8
2.6 Kriteria Diagnosis
Dermatitis atopik merupakan diagnosis klinis tanpa pemeriksaan
laboratorium yang definitif. Sekitar 80% pasien dengan dermatitis atopik
didiagnosis dan dirawat di fasilitas perawatan primer. American Academy of
Dermatology (AAD) telah menyederhanakan diagnosis menggunakan kriteria
diagnostik yang telah divalidasi sebelumnya. Kriteria AAD membedakan fitur
penting yang harus ada untuk diagnosis, seperti pruritus; fitur penting yang
mendukung diagnosis, seperti usia dini saat onset; dan fitur terkait yang
menunjukkan diagnosis tetapi tidak spesifik, seperti likenifikasi 3.
Tabel 2.1 Kriteria diagnostik dermatitis atopik menurut AAD
Fitur penting yang harus ada untuk diagnosis
Riwayat kronis atau kekambuhan
Eksim (akut, subakut, kronis)
Pruritus
Morfologi khas dan pola sesuai usia*
Fitur penting yang mendukung diagnosis
Atopi (riwayat individu atau keluarga)
Onset usia dini
Reaktivitas imunoglonulin E
Xerosis
Fitur terkait yang menunjukkan diagnosis tetapi tidak spesifik
Respon vaskular atipikal (facial pallor, white dermographism)
Keratosis piliaris, pityriasis alba, hyperlinear palm, atau ichtyosis)
Perubahan okular atau periorbital
Aksentuasi perifolikular, likenifikasi, atau lesi prurigo
* pola meliputi: keterlibatan wajah, leher, ekstensor pada bayi dan anak-anak; lesi
fleksural pada semua kelompok usia;
9
Dermatitis tangan / kaki
Cheilitis
Dermatitis papilla mamae
Terdapat peningkatan S. aureus dan virus herpes simpleks
Keratosis perifolikuler
Pitiriasis alba
Awitan usia dini
Konjungtivitis berulang
Lipatan Dennie-Morgan
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intoleran terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan atau emosi
White dermographism dan delayed blanch response
10
Diagnosis DA sering dikaitkan dengan penentuan derajat keparahan DA dan
akan berhubungan dengan terapi yang akan diberikan. Untuk derajat keparahan DA,
digunakan skala yang diajukan oleh seorang ahli dermatologi Eropa, yaitu dengan
menggunakan indeks Scoring for Atopic Dermatitis (SCORAD). Penilaian
SCORAD:
A. Penilaian luas penyakit
Pada penilaian ini, luas lesi kulit yang dihitung adalah lesi inflamasi dan
tidak termasuk kulit kering dengan menggunakan metode “rule of nine” dan
selanjutnya lesi digambarkan pada selembar kertas kosong untuk kemudian
dievaluasi. Luas telapak tangan pasien menggambarkan 1% dari luas permukaan
tubuh. Namun pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun, terdapat sedikit
perbedaan dalam penilaian “rule of nine”, yaitu pada area kepala dan tungkai
bawah.
B. Penilaian intensitas
Eritema, papul/edema, eksudasi/krusta, ekskoriasi, likenifikasi dan kulit
kering merupakan hal yang dinilai pada morfologi lesi. Setiap morfologi lesi
dinilai intensitasnya berdasarkan panduan yang terdapat pada gambar atau foto
dengan indeks 0 = tidak ada lesi, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat.
C. Penilaian subjektif
Penilaian terhadap keluhan subjektif dilakukan dengan menanyakan adanya
rasa gatal dan gangguan terhadap tidur pada 3 hari terakhir. Penilaian ini juga
dilakukan dengan menggunakan visual analog scale (VAS) yang dinyatakan
dalam skor 0 – 10 terhadap masing-masing kriteria.
11
Gambar 2.4 Indeks SCORAD
12
2.7 Pemeriksaan Penunjang8
1. Immunoglobulin
Kadar Ig E biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita DA.
Peningkatan kadar Ig E erat hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit, dan
tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, ataupun sedang
mendapat pengobatan. Kadar Ig E ini biasanya akan kembali normal 6 sampai 12
bulan setelah remisi. Beberapa tehnik pemeriksaan terhadap kadar Ig Eini dapat
dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), ataupun
RAST (Radio allergosorbent test).
2. Bakteriologi
Pada kulit penderita DA yang aktif biasanya sering dijumpai bakteri patogen
seperti Staphylococcus aureus walaupun tanpa gejala klinis infeksi
3. Uju tusuk (Skin Prick Test)
Merupakan uji kulit yang sering dilakukan pada anak yang dicurigai
menderita DA. Tempat uji adalah pada volar lengan bawah dengan jarak 2 cm dari
pergelangaan tangan dan lipat siku. Setelah meletakkan alergen pada permukaan
kulit kemudian kulit ditusuk dengan kedalaman 1 mm dengan menggunakan lanset.
Sebagai kontrol positif digunakan histamin dan untuk kontrol negatif digunakan
larutan gliserin. Reaksi terhadap alergen dibaca 15 menit kemudian dan dikatakan
positif bila dijumpai rasa gatal, eritema dan urtikaria.
4. Uji tempel (Atopy Patch Test)
Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
aeroalergen pada DA. Uji dilakukan selama masa remisi penyakit. Sekitar 25
sampai 150 alergen pada plastik uji ditempelkan pada punggung bagian atas
penderita dengan menggunakan bahan perekat yang hipoalergenik. Sebagai kontrol
positif di gunakan histamin sedangkan sebagai kontrol negatif digunakan larutan
salin. Hasil pembacaan dilakukan pada 48 jam, 72 jam dan 96 jam kemudian. reaksi
dikatakan positif apabila dijumpai eritema, papul, kulit terasa gatal, dan pada yang
ekstrim dapat dijumpai vesikel, reaksi seperti terbakar dan kulit melepuh.
5. Uji eliminasi dan provokasi
Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
makanan sebagai salah satu pencetus terjadinya DA. Eliminasi makanan dilakukan
13
selama tiga minggu sebelum dilakukan uji provokasi. Uji provokasi makanan (food
challenge) dimulai dengan makanan yang paling tidak dicurigai akan menimbulkan
reaksi alergi. Bila setelah 1 minggu dijumpai gejala alergi maka makanan tersebut
dicurigai sebagai penyebab alergi dan apabila dalam tiga kali provokasi di waktu
yang berbeda dijumpai reaksi yang sama maka makanan tersebut dinyatakan
definitif penyebab alergi.
14
2.9 Tatalaksana
Pengobatan dermatitis atopik bertujuan untuk mengurangi rasa gatal,
memperbaiki kulit, dan mengurangi peradangan. Sehingga, pengobatan DA
memerlukan tindakan yang kompleks yaitu pendidikan pasien dan caregiver,
melakukan perawatan kulit yang optimal, pengobatan anti-inflamasi dengan
kortikosteroid topikal (lini pertama) dan / atau topical calcineurin inhibitors (TCI),
penggunaan anti-histamin generasi pertama untuk menangani gangguan tidur, dan
perawatan kulit infeksi. Selain itu, pada kasus berat yang tidak dapat diatasi dengan
perawatan kulit yang tepat dan obat topikal dapat dipertimbangkan pemberian
kortikosteroid sistemik.
1. Edukasi9
− Memperkuat dan mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal dengan:
mandi menggunakan air hangat kuku, tidak lebih dari 10 menit, menggunakan
sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembab, segera setelah mandi 3
menit mengoleskan pelembab 2-3 kali sehari atau bila masih teraba kering.
Pelembab efektif dan aman digunakan untuk terapi DA pada anak dan dewasa
dengan gejala ringan – sedang. Jenis pelembab: mengandung humektan,
emolien dan oklusif atau generasi baru yang mengandung antiinflamasi dan
antipruritus (glycerrhectinic acid, telmestein dan vitis vinifera) atau yang
mengandung bahan fisiologis (lipid, seramid, Natural Moisturizing Factor.
− Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (bahan iritan, bahan
alergen, suhu ekstrim, makanan, stres), manifestasi klinis dan hasil tes alergi.
− Mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk
2. Pengobatan topikal1,9
Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan lini pertama untuk dermatitis
atopikkarena mempunyai daya anti-inflamasi, anti-proliferatif, dan tindakan
imunosupresif. Preparat kortikosteroid topikal ada tiga macam yaitu
kortikosteroid potensi kuat, sedang, dan lemah. Preparat potensi lemah misalnya
hidrokortison asetat 1% atau setara yang biasanya digunakan pada wajah. Hal
yang perlu diperhatikan adalah penggunaan kortikostreoid topikal dapat
menimbulkan efek samping baik lokal maupun sistemik. Efek samping lokal
yang dapat terjadi misalnya striae (stretch mark), petekie (bintik merah / ungu
15
kecil), telangiektasia (pembuluh darah kecil yang melebar di permukaan kulit),
kulit yang menipis, atrofi dan jerawat. Namun, efek ini jarang terjadi pada
preparat potensi rendah atau sedang. Efek sistemik yang dapat terjadi yaitu
hambatan pertumbuhan pada anak-anak, mengurangi kepadatan tulang dan
penekanan hipotalamus-pituitary adrenal axis, tapi hal ini jarang terjadi.
− Kortikosteroid topikal (KST) potensi lemah digunakan untuk pasien DA bayi,
potensi lemah sampai sedang untuk DA anak, potensi sedang sampai kuat
untuk DA dewasa.
• Gunakan KST mulai potensi rendah yg paling efektif untuk anak.
• Usia 0-2 tahun maksimum KST potensi rendah.
• Usia >2 tahun maksimum KST potensi sedang.
• Usia pubertas sampai dewasa poten tinggi atau superpoten 2 kali sehari.
• Pada wajah dan fleksura dapat dikontrol dengan pemberian KST potensi
sedang selama 5-7 hari, kemudian diganti menjadi KST potensi lebih
ringan atau inhibitor kalsineurin inhibitor (IKT).
− Gunakan KST 2 kali sehari sampai lesi terkontrol atau selama 14 hari
3. Pengobatan sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik
digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama malam
hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai
ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin.
Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid yang
mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2,
dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa.
2.10 Prognosis
Secara keseluruhan, banyak pasien dengan dermatitis atopik membaik
seiring waktu. Namun, pada saat yang sama pasien dengan dermatitis atopik juga
dapat mengalami rinitis alergi dan asma, yang mungkin tidak membaik. Dalam
kebanyakan kasus dermatitis atopik yang timbul pada masa kanak-kanak, kelainan
ini berlangsung selama beberapa dekade. Kondisinya kambuh dan remisi; kambuh
sering membutuhkan penggunaan obat-obatan. Orang yang terus menerus terpapar
16
asap, tembakau, bulu hewan peliharaan, asap, serbuk sari, sabun, deterjen, dan wol
akan terus mengalami gejala dan kualitas hidup secara keseluruhan akan buruk.
Rasa gatal yang terus-menerus dan berulang tidak hanya menyebabkan
iritasi tetapi juga mahal untuk ditangani. Komplikasi dermatitis atopik yang
terkenal adalah erupsi Kaposi varicelliform, yang terkait dengan infeksi herpes
primer. Lesi vesikuler muncul di daerah eksim dan dapat dengan cepat menyebar
ke kulit yang sehat. Pengobatan dengan asiklovir dapat membantu menurunkan
morbiditas.
17
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : An. MAU
Usia : 8 tahun
Tanggal lahir : 1 Januari 2014
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar SD
Agama : Islam
Suku : Minangkabau
Status Perkawinan : Belum kawin
Alamat : Tabing, Padang
Nama Ibu Kandung : Ny. Devi
No. HP : 082259976480
Tanggal Pemeriksaan : 25 Oktober 2022
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Seorang pasien laki-laki berusia 8 tahun datang dibawa ibunya ke Poli Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil dengan keluhan utama bitnik-bintik kemerahan,
bercak kemerahan, luka lecet, adanya keropeng yang terasa gatal di sekitar lipatan
lutut, lipatan lengan, dan tungkai yang semakin bertambah sejak 1 minggu ini.
18
• Bintik merah muncul pertama kali saat usia 4 tahun yang awalnya terlihat pada
lipatan lutut.
• Keluhan bintik merah ini dirasakan hilang timbul sejak 4 tahun ini.
• Lesi di sela-sela jari tidak ada
• Riwayat kulit kering ada
• Riwayat bersin-bersin di pagi hari ada
• Riwayat alergi makanan, debu, dan bulu binatang tidak ada
• Demam tidak ada
• Riwayat batuk pilek, nyeri tenggorokan, dan penurunan berat badan tidak ada
• Riwayat memakai pakaian tebal tidak ada
Riwayat Pengobatan
• Ibu pasien pernah mengobati keluhan dengan kalpanak krim 1 bulan yang lalu,
namun lesi menjadi tambah kering
Status Generalis:
• Rambut : hitam, tidak mudah rontok, alopesia tidak ada
• Kepala : normochepal, dalam batas normal
• Mata : konjungitva hiperemis -/-, hiperlakrimasi -/-, sekret -/-, area
hitam di palpebra inferior (+/+)
• Hidung : tidak ditemukan kelainan
• Telinga : tidak ditemukan kelainan
• KGB : Tidak ada pembesaran KGB
• Paru :
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
- Palpasi : Fremitus kiri sama dengan kanan
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
• Jantung :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Tidak ada pembesaran jantung
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Irama jantung reguler, bising jantung (-), mumur (-)
• Regio Abdomen :
- Inspeksi : Tidak tampak membuncit
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, edem tidak ada
Status Dermatologikus
• Lokasi : lipatan lengan, lipatan lutut, dan tungkai
• Distribusi : simetris
20
• Bentuk : bulat - tidak khas
• Susunan : diskret - konfluens
• Batas : tegas – tidak tegas
• Ukuran : miliar – plakat
• Efloresensi : plak eritema, likenifikasi disertai ekskoriasi dan macula serta
papul pada daerah lipatan lutut, lipatan lengan dan tungkai
Status Venereologikus
Tidak dilakukan pemeriksaan
21
3.4 Resume
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dibawa ibunya datang ke Poli Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 25 Oktober 2022, dengan
keluhan utama bintik-bintik kemerahan, bercak kemerahan, luka lecet, adanya
keropeng yang terasa gatal di sekitar lipatan lutut dan lipatan siku yang semakin
bertambah sejak 1 minggu ini.
Bintik-bintik pertama kali muncul saat pasien berumur 4 tahun dan hilang
timbul sampai saat ini. Bintik awalnya terlihat pada lipatan lutut pasien. Lesi
dirasakan gatal dan meningkat pada saat berkeringat. Pasien sering menggaruk
bintik-bintik merah sehingga menimbulkan luka lecet dan keropeng. Ibu pasien
juga mengatakan kulit pasien terlihat kering. Pasien memiliki riwayat sering bersin
di pagi hari. Ayah dan paman pasien diketahui juga memiliki keluhan yang sama
dengan pasien. Ibu pasien pernah mengobati lesi pada pasien dengan kalpanak
krim.
Dari pemeriksaan dermatologikus ditemukan adanya lesi di lokasi : lipatan
lutut, lipatan lengan, dan tungkai bawah, distribusi simetris, berbentuk bulat - tidak
khas, susunan diskret - konfluens, batas tegas-tidak tegas, ukuran miliar-plakat,
efloresensi didapatkan plak eritema, likenifikasi disertai ekskoriasi dan makula
serta papul pada daerah lipatan lutut, lipatan lengan dan tungkai pasien.
22
3.6 Diagnosis Banding
• Dermatitis numularis
• Dermatitis intertriginosa
• Dermatitis kontak
• Dermatitis traumatika
• Scabies
3.8 Tatalaksana
Umum
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya bahwa penyakit yang dialami
pasien disebabkan oleh gangguan sawar kulit dan sistem imun pada pasien
atau keluarganya yang memiliki riwayat atopi terhadap pajanan allergen.
• Menjelaskan kepada pasien dan keluarga cara merawat kulit pasien dengan
mandi menggunakan air hangat, tidak lebih dari 10 menit, menggunakan
sabun netral, pH rendah, hipoalergenik, berpelembab, segera setelah
mandi 3 menit mengolesan pelembab 2-3 kali sehari atau bila masih teraba
kering.
• Menghindari faktor pencetus.
• Membersihkan alas kasur, selimut dan karpet agar tidak berdebu.
• Mencegah garukan agar luka lecet tidak bertambah.
• Menghindari memakai baju berlapis atau kegiatan yang berkeringat.
• Menjelaskan kepada pasien untuk selalu menggunakan pelembab untuk
membuat kulit menjadi lembab dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Khusus
• Topikal: Krim hidrokortison burtirat 2,5% 2 kali sehari.
Krim Urea 10% dioleskan sesering mungkin setelah mandi.
• Sistemik: Cetirizin 1 x 10 mg.
23
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
24
BAB 4
DISKUSI
25
Pengobatan dermatitis atopik dapat menggunakan sediaan topikal maupun
sistemik. Pengobatan topikal dapat menggunakan sediaan untuk menghidrasi
kulit, kortikosteroid topikal, imunomodulator topikal, preparat ter. Sedangkan
pengobatan yang digunakan adalah kortikosteroid, antiinfeksi, antihistamin, dan
innterferon.
Sediaan topikal untuk menghidrasi kulit digunakan karena keadaan kuit
pasien dermatitis atopik yang cenderung kering menyebabkan fungsi sawarnya
berkurang dan mudah retak, hal ini memudahkan masuknya mikroorganisme,
alergen, dan bahan iritan, sehingga perlu diberikan pelembab seperti krim
hidrofilik urea 10% atau asam laktat yang konsentrasinya tidak lebih dari 5%.
Penggunaan kortikosteroid topikal untuk pasien dermatitis atopik merupakan
pengobatan yang paling sering digunakan sebagai antiinflamasi lesi kulit. Namun
penggunaannya harus dilakukan hati-hati agar tidak menimbulkan efek samping.
Pemilihan kortikosteroid topikal juga harus disesuaikan dengan potensi dari
kortikosteroid tersebut, umur pasien, lokasi pemakaian. Penggunaan sistemik
untuk pasien dermatitis atopik yang biasa digunakan adalah kortikosteroid, namun
penggunaannya terbatas. Selain itu penggunaan antihistamin sistemik juga dapat
digunakan untuk mengendalikan rasa gatal yang terutama dirasakan pasien di
malam hari yang dapat mengganggu tidurnya.
Pada pasien ini, pemberian obat cetirizin tablet berfungsi untuk
mengurangi rasa gatal yang dialami pasien terutama saat tidur, krim urea 10%
untuk mengurangi keluhan kulit kering dan hidrokortison 2,5% untuk mengatasi
inflamasi pada kulit.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2019. 167–183 p.
2. C A. Overview of Atopic Dermatitis. AJMC. 2017;23(8).
3. Frazier W BN. Atopic Dermatitis: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Physician. 2020;101(10):590–8.
4. Kim J, Kim BE LD. Pathophysiology of atopic dermatitis: clinical implication.
Allergy Asthma Proc. 2019;40(2):84–92.
5. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2013.
6. Torres T, Ferreira EO, Goncalo M, Bastos PD, Selores M FP. Update on Atopic
Dermatitis. Acta Med Port. 2019;32(9):606–13.
7. Boothe WD, Tarbox JA TM. Atopic Dermatitis: Pathophysiology. Manag
Atopic Dermat. 2017;21–37.
8. M N. Atopy patch testing with airborne allergens. Acta Dermatoverologica.
2013;22:39–42.
9. Indonesia PDSK dan K. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. 2017. 191–194 p.
27