Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PENGKAJIAN SISTEM PERSEPSI SENSORI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah III
Dosen Pengampu : Ns. Dzurriyatun Thiyyibah Z. A,S.Kep.,M.Kep

Disusun oleh :

Kelompok 6

1. Alfi Winardiyanto (ST182001)


2. Aris Subyantoro (ST182005)
3. Ferryda Leyla Mariana Widyastuti (ST182017)
4. Guntur Setiawan (ST182018)

5. Indah Adhitama Chrisnanda (ST182020)


6. Niken Prima Astuti (ST182026)
7. Nur Arifin (ST182031)
8. Winda Fitriani (ST182052)

PROGRAM TRANSFER PRODI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2018/2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang mana atas berkat
rahmat dan karunianNya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul

“Pengkajian Sistem Persepsi Sensori”


Sensori” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini kami susun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah III. Dengan tersusunya makalah ini, kami sadar
bahwa dalam menyusunnya,
menyusunnya, penulis
penulis mendapat banyak
banyak bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ns. Dzurriyatun Thiyyibah Z. A,S.Kep.,M.Kep, selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah III yang telah memberikan
memberi kan tugas makalah ini dan
memberi pengarahan kepada kami.
2. Teman-teman kelas transfer sarjana Keperawatan angkatan XI Stikes Kusuma

Husada Surakarta telah membantu dan memberikan dorongan untuk menyusun


makalah ini.
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
tersusunnya makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka
dari itu kami meminta maaf kepada para pembaca dan mengharapkan kritik dan
saran ataupun masukan dari para pembaca. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.
Surakarta, September 2019
Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................


................................................................
............................................
...................... i
KATA PENGANTAR ............................................
..................................................................
........................................
.................. ii
DAFTAR ISI .....................
............................................
.............................................
............................................
.................................
........... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..........................................
................................................................
........................................
.................. 1
B. Rumusan Masalah............................................
...................................................................
.................................
.......... 2
C. Tujuan Penulisan .........................................
...............................................................
........................................
.................. 3
D. Manfaat Penulisan ...........................................
..................................................................
....................................
............. 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Sistem Persepsi Sensori ...........................................
......................................................
........... 4
B. Anatomi Sistem Persepsi Sensori ..........................................
.....................................................
........... 5
C. Pengkajian Sistem Persepsi Sensori ..........................................
.................................................
....... 6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...........................................
.................................................................
............................................
...................... 17
B. Saran ..........................................
................................................................
............................................
.................................
........... 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan persepsi sensori merupakan permasalahan yang sering
ditemukan seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dan
tidak terduga. Pertambahan usia, variasi penyakit, dan perubahan gaya hidup
menjadi faktor penentu dalam penurunan sistem sensori. Seringkali gangguan
sensori dikaitkan dengan gangguan persepsi karena persepsi merupakan hasil
dari respon stimulus (sensori) yang diterima.
Persepsi merupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus
eksternal, juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang
diinterpretasikan oleh stimulus yang diterima (Syaifuddin, 2014). Persepsi juga
melibatkan kognitif dan emosional terhadap interpretasi objek yang diterima
organ sensori (indra). Adanya gangguan persepsi mengindikasikan adanya
gangguan proses sensori pada organ sensori, yaitu penglihatan, pendengaran,
perabaan, penciuman, dan pengecapan. Untuk itu, perlu adanya pengkajian
sistem sensori untuk mengukur derajat gangguan sistem sensori tersebut.
Adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa sedikit mengetahui
pengkjaian pemeriksaan sistem sensori. Dengan mengetahui pengkajan si
sistem
stem
persepsi sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan
tersebut dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan
keperawatan yang berkualitas. Berdasarkan permasalahan di atas kami tertarik
untuk menulis makalah tentang “Pengkajian Sistem Persepsi Sensori”.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Apakah definisi sistem persepsi sensori?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori?
3. Bagaiaman pengkajian pada sistem persepsi sensori?

1
2

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui pengkajian pada sistem persepsi sensori.

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui definisi sistem persepsi sensori.
b. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem persepsi sensori.
c. Untuk mengetahui pengkajian pada sistem persepsi sensori.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan pengetahuan pengkajian pada sistem persepsi
sensori.
2. Bagi Pembaca
Memberikan wawasan tentang pengkajian pada sistem persepsi sensori, serta
sebagai bahan refrensi dalam pemenuhan tugas tugas yang terkait dengan
sistem persepsi sensori.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Sistem Persepsi Sensori


Sistem sensoris atau dalam bahasa Inggris sensory system berarti yang
berhubungan dengan panca indra. Sistem ini membahas tentang organ akhir
yang khusus menerima berbagai jenis rangsangan tertentu. Rang
Rangsangan
sangan tersebut
dihantarkan oleh sensorys neuron (saraf sensoris)
s ensoris) dari berbagai organ indra
menuju otak untuk ditafsirkan. Reseptor sensori, merupakan sel yang dapat
menerima informasi kondisi dalam dan luar tubuh untuk dapat direspon oleh
saraf pusat. Implus listrik yang dihantarkan oleh saraf akan diterjemahkan
menjadi sensasi yang nantinya akan diolah menjadi persepsi di saraf pusat.
Sistem persepsi sensori manusia terdiri organ mata, telinga, hidung, lidah, dan
kulit (Syaifuddin, 2014).

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persepsi Sensori


1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Penglihatan (Mata)
Indra penglihatan yang terletak pada mata (organ visus) yang terdiri
dari organ okuli assesoria (alat bantu mata) dan okulus (bola mata). Saraf
indra penglihatan, saraf optikus, muncul dari sel-sel ganglion dalam retina,
bergabung untuk membentuk saraf optikus.
a. Organ Okuli Assesoria
Organ okuli assesoria (alat bantu mata), terdapat di sekitar bola mata yang
sangat erat hubungannya dengan mata, terdiri dari:
1) Kavum orbita, merupakan rongga mata yang bentuknya seperti kerucut
dengan puncaknya mengarah ke depan dan ke dalam.
dal am.
2) Supersilium (alis mata) merupakan batas orbita dan potongan kulit tebal
yang melengkung, ditumbuhi oleh bulu pendek yang berfungsi sebagai
kosmetik atau alat kecantikan dan sebagai pelindung mata dari sinar
matahari yang sangat terik.
3) Palpebra (kelopak mata) merupakan 2 buah lipatan atas dan bawah kulit
yang terletak didepan bulbus okuli. Kelopak mata atas lebih besar dari

3
4

4) pada kelopak mata bawah. Fungsinya adalah pelindung mata sewaktu-


s ewaktu-
waktu kalau ada gangguan pada mata.
5) Aparatus lakrimalis (air mata). Air mata dihasilkan oleh kelenjar

lakrimalis superior dan inferior. Melalui duktus ekskretorius lakrimalis


masuk ke dalam sakus konjungtiva. Melalui bagian depan
6) bola mata terus ke sudut tengah bola mata ke dala
dalamm kanalis lakrimalis
la krimalis
mengalir ke duktus nasolakrimatis terus ke meatus nasalis inferior.
7) Muskulus okuli (otot mata) merupakan otot ekstrinsik mata terdiri dari:
a) Muskulus levator palpebralis superior inferior, fungsinya
mengangkat kelopak mata.
b) Muskulus orbikularis okuli otot lingkar mata, fungsinya untuk
menutup mata.

c) Muskulus rektus okuli inferior, fungsinya untuk menutup mata.


d) Muskulus rektus okuli medial, fungsinya menggerakan bola mata.
e) Muskulus obliques okuli inferior, fungsinya menggerakan bola mata
ke dalam dan ke bawah.
f) Muskulus obliques okuli superior, fungsinya memutar mata ke atas,
at as,
ke bawah dan ke luar.
8) Konjungtiva. Permukaan dalam kelopak mata disebut konjungtiva
palpebra, merupakan lapisan mukosa. Bagian yang membelok dan
kemudian melekat pada bola mata disebut konjungtiva bulbi. Pada

konjungtiva ini sering terdapat kelenjar limfe dan pembuluh darah.


b. Okulus
Okulus (mata) meliputi bola mata (bulbus okuli). Nervus optikus saraf otak
II, merupakan saraf otak yang menghubungkan bulbu okuli dengan otak
dan merupakan bagian penting organ visus.
c. Tunika okuli
Tonika okuli terdiri dari :
1) Kornea, merupakan selaput yang tembus cahaya, melalui kornea kita
dapat melihat membran pupil dan iris. Penampang kornea lebih tebal

dari sklera, terdiri dari 5 lapisan epitel kornea, 2 lamina elastika anterior
5

(bowmen), 3 subtansi propia, 4 lamina elastika posterior, dan 5


endotelium. Kornea tidak mengandung pembuluh darah peralihan,
antara kornea ke sklera.

Gambar 2.1 Anatomi Mata


2) Sklera, merupakan lapisan fibrosa yang elastis yang merupakan bagian
dinding luar bola mata dan membentuk bagian putih mata. Bagian
depan sklera tertutup oleh kantong konjungtiva.
d. Tunika vaskula okuli
Tunika vaskula okuli merupakan lapisan tengah dan sangat peka oleh
rangsangan pembuluh darah. Lapisan ini menurut letaknya terbagi menjadi
3 bagian yaitu :
1) Koroid, merupakan selaput yang tipis dan lembab merupakan bagian
belakanang tunika vaskulosa. Fungsinya memberikan nutrisi pada
tunika.
2) Korpus siliaris, merupakan lapisan yang tebal, terbentang mulai dari ora
serata sampai ke iris. Bentuk keseluruhan seperti cincin, dan muskulus
siliaris. Fungsinya untuk terjadinya akomodasi
3) Iris, merupakan bagian terdepan tunika vaskulosa okuli, berwarna
karena mengandung pigmen, berbentuk bulat seperti piring dengan
penampang 12 mm, tebal 12 mm, di tengah terletak bagian berlubang
6

yang disebut pupil. Pupil berguna untuk mengatur cahaya yang masuk
ke mata, sedangkan ujung tepinya melanjut sampai korpus siliaris. Pada
iris terdapat 2 buah otot: muskulus sfingter pupila pada pinggir iris,

muskulus dilatator pupila terdapat agak pangkal iris dan banyak


mengandung pembuluh darah dan sangat mudah terkena radang, bisa
menjalar ke korpus siliaris.
e. Tunika nervosa
Tunika nervosa merupakan lapisan terdalam bola mata, disebut retina.
Retina dibagi atas 3 bagian :
1) Pars optika retina, dimulai dari kutub belakang bola mata sampai di
depan khatulistiwa bola mata.
2) Pars siliaris, merupakan lapisan yang dilapisi bagian dalam korpus

siliar.
3) Pars iridika melapisi bagian permukaan belakang iris (Syaifuddin,
2014).
2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pendengaran (Telinga)
Indra pendengaran merupakan salah satu alat pancaindra untuk
mendengar. Anatomi telinga terdiri dari telinga bagian luar, tengah, dan
dalam.
a. Telinga bagian luar
Aurikula (daun telinga), menampung gelombang suara yang datang

dari luar masuk ke dalam telinga. Meastus akustikus eksterna (liang


telinga). Saluran penghubung aurikula dengan membran timpan,
panjangnya 2,5 cm, terdiri dari tulang rawan dan tulang keras. Saluran ini
mengandung rambut, kelenjar subasea. Dan kelenjar keringat khususnya
menghasilkan sekret-sekret berbentuk serum.
Membran timpani antara telinga luar dan telinga tengah terdapat
selaput gendang telinga yang disebut membran typani.
7

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Bagian Luar


b. Telinga bagian tengah
Kavum timpani, rongga didalam tulang temporalis yang didalamnya
terdapat 3 buah tulang pendengaran yaitu maleus, incus, stapes yang

melekat pada bagian dalam membra timpani.


Antrum timpani merupakan rongga tidak teratur yang agak luas,
terletak dibagian bawah samping dari kavum timpani. Antrum timpani
dilapisi oleh mukosa, merupakan lanjutan dari lapisan mukosa kavum
timpani. Rongga ini berhubungan dengan beberapa rongga kecil yang
disebutn sellula mastoid yang terdapat dibelakang bawah antrum,
antr um, di dalam
tulang temporalis.
Tuba auditiva eustaki. Saluran tulang rawan yang panjangnya 3,7 cm
berjalan miring ke bawah agak ke depan, dilapisi
dilapisi oleh lapisan mukosa.

Gambar 2.3 Anatomi Telinga Bagian Tengah


8

c. Telinga bagian dalam


Telinga bagian dalam terletak pada bagian tulang keras pilorus
temporalis, terdapat reseptor pendengaran, dan alat pendengaran ini

disebut labirin.
1) Labiritus osseous, serangkaian saluran bawah dikelilingi oleh cairan
yang dinamakan perilimfe. Labiritus osseous terdiri dari vestibulum,
koklea, dan kanalis semisirkularis.
2) Labirintus membranous, terdiri dari:
a) Utrikulus, bentuknya seperti kantong lonjong dan agak gepeng
terpaut pada tempatnyaoleh jaringan ikat. Pada dinding belakang
utrikulus terdapat muara dari duktus semisirkularis dan pada dinding
depannya ada tabung halus disebut utrikulosa sirkularis, saluran

yang menghubungkan antara utrikulus dan sakulus.


b) Sakulus, bentuknya agak lonjong lebih kecil dari utrikulus, terletak
pada bagian depan dan bawah dari vestibulum dan terpaut erat oleh
jaringan ikat.
c) Duktus semisirkularis. Ada tiga tabung selaput semisirkularis yang
berjalan pada kanalis semesirkularis (superior, posterior, dan
lateralis). Bagian duktus yang melebar disebut dengan ampula
selaput. Setiap ampula mengandung celah sulkus ampularis
merupakan tempat masuknya cabang ampula nervus akustikus.

d) Duktus koklearis merupakan saluran yang bentuknya agak segitiga


seolah-olah membuat batas pada koklea timpani. Duktus koklearis
mulai dari kantong buntu (seikum vestibular)ndan berakhir tepat
diseberang kanalis lamina spiralis pada kantong buntu (seikum
ampulare) (Heharia et al, 2011).
9

Gambar 2.4 Anatomi Telinga Bagian Dalam


3. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pembau (Hidung)
Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang
hidung pada bagian superior lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral.
l ateral.
Struktur tersebut membentuk piramid sehingga memungkinkan terjadinya
aliran udara di dalam kavum nasi. Dinding lateral kavum nasi tersusun atas
konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang di
antara konka. Meatus media terletak di antara konka media dan inferior yang
mempunyai peran penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui
meatus ini kelompok sinus anterior (sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior) berhubungan dengan hidung. Meatus inferior berada di
antara konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada permukaan lateral
meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis.
Septum nasi merupakan struktur tengah hidung yang tersusun atas
lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila dan kolumela
membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi
hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal dan hambatan aliran sinus. Meatus inferior berada diantara konka
inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral terdapat
muara duktus nasolakrimalis.
10

Gambar 2.5 Anatomi Dinding Lateral Hidung


Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior
cabang dari a. oftalmika dan a. sfenopalatina. Bagian anterior dan superior
septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari a. etmoid
anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya
mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis di antara arteri-arteri
hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang
disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup
kat up dan
hal ini menjadi predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus.
Persarafan hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang
maksila nervus trigeminus.
Fungsi fisiologi hidung adalah penghidu, filtrasi, proteksi,
humidifikasi, penghangat udara dan resonansi suara. Sistem vaskuler dan
sekresi hidung berperan penting dalam mempersiapkan udara inspirasi
sebelum masuk ke saluran napas atas dan trakeobronkial. Saat inspirasi udara
masuk ke vestibulum dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran
laminar. Ketika udara mencapai nasal valve terjadi turbulen sehingga udara
inspirasi langsung mengadakan kontak dengan permukaan mukosa hidung
yang luas. Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi
penghangat dan humidifikasi
humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi.
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus
etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel
11

respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel
kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel
basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium

sinus dan bergabung dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin
bertambah saat mendekati ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus
mengalirkan drainasenya ke hidung. Jumlah silia makin bertambah saat
mendekati ostium.
Berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral
hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior dan posterior.
Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior
yang bermuara ke dalam atau
ata u dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior
terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di atas konka

media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan
sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu
terbukanya kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus
yang normal.

Gambar 2.6 Penampang Koronal Sinus Paranasal


Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase
kelompok sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus,
hiatur semilunaris, infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila

dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi


12

merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang
inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis
silia dan terjadi infeksi sinus.

Gambar 2.7 Kompleks ostiomeatal (KOM),


( KOM), potongan koronal
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus
paranasal terbesar.
terbesar . Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila
dan palatum durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina.
Gigi premolar ke dua, gigi molar pertama dan ke dua tumbuh dekat dengan
dasar sinus dan hanya dipisahkan oleh membran mukosa, sehingga proses
supuratif di sekitar gigi tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus
maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus
media. Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a. maksila interna yaitu
a. infraorbita, a. sfenopalatina cabang nasal lateral, a. palatina descendens, a.
alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila
dilayani oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n.
Infraorbital.
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel
etmoid anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal.
Perdarahan dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika,
13

sedangkan vena dialirkan ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh


cabang supratrokhlear dan supraorita n. V1.
Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke

infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang bermuara ke


meatus superior. Cabang nasal a. sfenopalatina dan a. etmoid anterior dan
posterior, cabang a. oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus
etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh
cabang nasal posterior nervus V2 dan cabang etmoid anterior dan posterior
nervus V1.
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami
perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak
terl etak
dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di

atas sinus, pons serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus
kavernosus, fisura orbitalis superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus
kranialis. Perdarahan dilayani oleh cabang a. sfenopalatina dan a. etmoid
posterior. Inervasinya
Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1 dan
cabang sfenopalatina nervus V2.
Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan
sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu:
terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus
yang normal. Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus

paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi


mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai
tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam
keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport
mukosiliar sangat tergantung pada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah
dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada
volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport
mukosiliar (Ballenger, 2016).
14

4. Anatomi dan Fisiologi Sistem Perasa (Lidah)


a. Anatomi Lidah
Lidah terdiri dari dua kelompok yaitu otot intrinsik melakukan

gerakan halus dan otot ekstrinsik yang melaksanakan gerak kasar pada
waktu mengunyah dan menelan. Lidah terletak pada dasar mulut,
ujung,serta tepi lidah bersentuhan dengan gigi, dan terdiri dari otot serat
lintang dan dilapisi oleh selaput lendir yang dapat digerakan ke segala
arah. Lidah terbagi menjadi:
1) Radiks lingua (pangkal lidah)
2) Dorsum lingua (punggung lidah)
3) Apeks lingua (ujung lidah)
Bila lidah digulung ke belakang tampak permukaan bawah yang

disebut frenulum lingua, sebuah struktur ligamen yang halus yang


mengaitkan bagian posterior lidah pada dasar mulut. Permukaan atas
seperti berludru dan ditutupi pupil-pupil, terdiri dari tiga jenis yaitu:
1) Papila sirkumvalata
2) Papila fungiformis
3) Papila filiformis (Syaifuddin, 2014).

Gambar 2.8 Anatomi Lidah


b. Fisiologi Lidah
Seluruh rasa dapat dirasakan oleh seluruh
s eluruh permukaan lidah. Rasa yang
dapat dirasakan indera pengecap yaitu manis, asin, asam dan pahit yang

dikenal dengan istilah sensasi rasa primer. Selain itu, ada rasa kelima yang
15

telah teridentifikasi yakni umami yang dominan ditemukan pada L-


glutamat. Lima rasa yang dapat dikecap lidah ;
1) Rasa manis

Hampir semua zat yang dapat menyebabkan rasa manis merupakan zat
kimia organik seperti gula, glikol, alkohol, aldehida, keton, amida,
ester, asam amino, asam sulfonat, dan asam halogen. Sedangkan zat
anorganik yang dapat menimbulkan rasa manis adalah timah hitam dan
berilium. Daerah sensitivitas rasa manis terdapat pada apex lingua.
2) Rasa asam
Rasa asam disebabkan oleh suatu golongan asam. Makin asam suatu
makanan maka sensasi rasa asamnya semakin kuat. Daerah sensitivitas
rasa asam terdapat pada sepanjang tepi lateral lidah bagian posterior.

3) Rasa Asin
Rasa asin ditimbulkan oleh garam terionisasi terutama konsentrasi ion
sodium. Antara satu garam dengan garam lainnya memiliki kualitas
rasa asin yang sedikit berbeda dikarenakan beberapa jenis garam
mengeluarkan rasa lain disamping rasa asin. ) Daerah sensitivitas rasa
asin terdapat pada sepanjang tepi
lateral lidah bagian anterior
4) Rasa pahit
Zat-zat yang memberikan rasa pahit semata-mata hampir semua

merupakan zat organik. Daerah sensitivitas rasa pahit terdapat pada


dorsum lidah bagian posterior.
5) Rasa umami
Rasa umami mempunyai ciri khas yang jelas berbeda dari keempat rasa
lain, termasuk sincrgisme peningkat rasa antara dua senyawa umami
yaitu L-glutamat
L-glutamat dan 5’-
5’- ribomulceotides. Umami adalah rasa yang
dominan ditemukan dalam ekstrak daging dan keju (Guyton dan Hall,
2014).
16

5. Anatomi dan Fisiologi Sistem Peraba (Kulit)


a. Anatomi Kulit
Kulit manusia tersusun atas dua lapisan, yaitu epidermis dan dermis.

Epidermis merupakan lapisan teratas pada kulit manusia dan memiliki


tebal yang berbeda-beda: 400−600
400−600 μm untuk kulit tebal (kulit pada telapak
tangan dan kaki) dan 75−150 μm untuk kulit tipis (kulit selain telapak
tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel, epidermis juga
tersusun atas lapisan:
1) Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses
melanogenesis.
2) Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum
tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans juga mengikat,

mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T.


Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting dalam imunologi
kulit.
3) Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris
dan berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus d.
Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan
la pisan paling luar hingga paling
dalam sebagai berikut:

Gambar 2.9 Anatomi Kulit


17

a) Stratum Korneum, terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng, tanpa inti
dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin.
b) Stratum Lucidum, terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik

yang sangat gepeng.


c) Stratum Granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng
yang sitoplasmanya berisikan granul keratohialin.
d) Stratum Spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid. Sel-sel spinosum
saling terikat dengan filamen.
e) Stratum Basal/Germinativum, merupakan lapisan paling bawah pada
epidermis, terdiri atas selapis sel kuboid
Dermis, yaitu lapisan kulit di bawah epidermis. Dermis terdiri atas dua
lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu stratum papilare dan stratum

reticular.
- Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis,

terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast,
sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar dari pembuluh
(ekstravasasi). b. Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum
papilare dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama
kolagen tipe I). Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung
beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut,
rambut, kelenjar keringat, dan
dan
kelenjar. Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu jaringan ikat

longgar yang disebut jaringan subkutan dan mengandung sel lemak


yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia superficial, atau
panikulus adiposus.
- Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila dermis,
terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini didapati fibroblast,
sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar dari pembuluh
(ekstravasasi). b. Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum
papilare dan tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama
kolagen tipe I). Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung

beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut,


rambut, kelenjar keringat, dan
dan
18

kelenjar sebacea. Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu jaringan


ikat longgar yang disebut jaringan subkutan dan mengandung sel lemak
yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia superficial, atau

panikulus adiposus (Syaifuddin, 2014).


2014).
b. Fisiologi Kulit
Sama halnya dengan jaringan pada bagian tubuh lainnya, kulit juga
melakukan respirasi (bernapas), menyerap oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida. Namun, respirasi kulit sangat lemah. Kulit lebih banyak
menyerap oksigen yang diambil dari aliran darah, dan hanya sebagian kecil
yang diambil langsung dari lingkungan luar (udara). Begitu pula dengan
karbondioksida yang dikeluarkan, lebih banyak melalui aliran darah
dibandingkan dengan yang diembuskan langsung ke udara. Meskipun

pengambilan oksigen oleh kulit hanya


hanya 1,5 persen dari yang
yang dilakukan oleh
paru-paru, dan kulit hanya membutuhkan
membutuhkan 7 persen dari kebutuhan
kebutuhan oksigen
tubuh (4 persen untuk epidermis dan 3 persen untuk dermis), pernapasan
kulit tetap merupakan proses fisiologis kulit yang penting. Pengambilan
oksigen dari udara oleh kulit sangat berguna bagi metabolisme di dalam
sel-sel kulit. Penyerapan oksigen ini penting, namun pengeluaran atau
pembuangan karbondioksida (CO2) tidak kalah pentingnya, karena jika
CO2 menumpuk di dalam kulit, ia akan menghambat pembelahan
(regenerasi) sel-sel kulit. Kecepatan penyerapan oksigen ke dalam kulit

dan pengeluaran CO2 dari kulit tergantung pada banyak faktor diluar
maupun di dalam kulit, seperti temperatur udara, komposisi gas di sekitar
kulit, kelembaban udara, kecepatan aliran darah ke kulit, usia, keadaan
vitamin dan hormon di kulit, perubahan dalam proses metabolisme sel
kulit, pemakaian bahan kimia pada kulit, dan lain-lain (Guyton dan Hall,
2014).
19

C. Pengkajian Sistem Persepsi Sensori


1. Pengkajian Sistem Penglihatan (Mata)
a. Anamnesa Gangguan Penglihatan

1) Data Umum: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan


2) Keluhan Utama: Mata merah, Mata berair, Mata gatal, Mata Nyeri,
Belekan, Gangguan penglihatan (Kabur, penglihatan ganda/diplopia,
buta), Timbilan, Kelilipan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes Mellitus, Hipertensi, Trauma 2.
b. Mengkaji keluhan utama
1) Apakah gangguan terjadi pada saat melihat jauh atau dekat?
2) Onset mendadak atau gradual?
3) Di seluruh lapang pandang atau sebagian?
se bagian?

4) Jika sebagian letaknya di sebelah mana?


5) Diplopia satu mata atau kedua mata? Apakah persisten jika mata ditutup
sebelah?
6) Adakah gejala sistemik lain: demam, malaise.
c. Pemeriksaan mata
1) Inspeksi mata
a) Bentuk dan penyebaran alis dan bulu mata. Apakah bulu mata lentik,
kebawah atau tidak ada. Fungsi alis dan bulu mata untuk mencegah
mauknya benda asing (debu) untuk mencegah iritasi atau mata

kemerahan.
b) Lihat sclera dan konjungtiva.
(1)Konjungtiva, dengan menarik palpebral inferior dan meminta
klien melihat keatas. Amati warna, anemis atau tidak, apakah ada
benda asing atau tidak
(2)Sclera, dengan menarik palpebral superior dan meminta klien
melihat ke bawah.
c) Amati kemerahan pada sclera, icterus, atau produksi air mata
berlebih. Amati kedudukan bola
bola mata kanan kiri simetris atau tidak,

bola mata keluar (eksoptalmus) atau ke dalam (endoftalmus).


20

d) Palpebral turun menandakan kelemahan atau atropi otot, atau


hiperaktivitas palpebral yang menyebabkan kelopak mata terus
berkedip tak terkontrol.

e) Observasi celah palpebral. Minta klien memandang lurus ke depan


lalu perhatikan kedudukan kelopak mata terhadap pupil dan iris.
Normal jika simetris. Adanya kelainan jika celah mata menyempit
(ptosis, endoftalmus, blefarospasmus) atau melebar (eksoftalmus,
proptosis)
f) Kaji sistem lakrimasi mata dengan menggunakan kertas lakmus
untuk mendapatkan data apakah mata kering atau basah yang artinya
lakrimasi berfungsi baik ( Schime test).
g) Kaji sistem pembuangan air mata dengan uji anel test. Yaitu dengna

menggunakan spuit berisi cairan, dan berikan pada kanal lakrimal.


2) Reflek pupil
a) Gunakan penlight dan sinari mata kanan kiri dari lateral ke medial.
Amati respon pupil langsung. Normalnya jika terang, pupil mengecil
dan jika gelap pupil membesar.
b) Amati ukuran lebar pupil dengan melihat symbol lingkaran yang ada
pada badan
badan penlight
penlight dan bagaimana reflek pupil tersebut, isokor atau
anisokor.
c) Interpretasi: -Normal : Bentuk pupil (bulat reguler), Ukuran pupil :

2 mm – 5 mm, Posisi pupil ditengah-tengah, pupil kanan dan kiri


Isokor, Reflek cahaya langsung (+) dan Reflek cahaya konsensuil
atau pada cahaya redup (+). Kelainan : Pintpoin pupil, Bentuk
ireguler, Anisokor dengan kelainan reflek cahaya dan ukuran pupil
kecil atau besar dari normal (3-4 mm) 3.3.
3) Lapang pandang / tes konfrontasi
a) Dasarnya lapang pandang klien normal jika sama dengan pemeriksa.

Maka sebelumnya, pemeriksa harus memiliki lapang pandang


normal. LP klien = LP pemeriksa.

b) Normalnya benda dapat dilihat pada: 60 derajat nasal, 90 derajat


21

temporal, 50 derajat , dan atas 70 derajat bawah.


c) Cara pemeriksaan :

(1) Klien menutup mata salah satu, misalnya kiri tanpa menekan bola

mata.
(2) Pemeriksa duduk di depan klien dg jarak 60cm sama tinggi

dengan klien. Pemeriksa menutup mata berlawanan dengan klien,


yaitu kanan. Lapang pandang pemeriksa dianggap sebagai
referensi (LP pemeriksa harus normal)
(3) Objek digerakkan dari perifer ke central (sejauh rentangan tangan

pemeriksa) dari delapan arah pada


pada bidang
bidang ditengah pemeriksa
pemeriksa dan
klien
(4) Lapang pandang klien dibandingkan dengan pemeriksa. Lalu

lanjutkan pada mata berikutnya


4) Pemeriksaan otot ekstraokuler
a) Minta klien melihat jari, dan anda menggerakkan jari anda. Minta

klien mengikuti gerak jari, dengan 8 arah dari central ke perifer.


per ifer.
b) Amati gerakan kedua mata, simetris atau ada yang tertinggal

Gambar 2.10 Pemeriksaan otot ekstraokuler


22

5) Sensibilitas kornea
a) Bertujuan mengetahui bagaimana reflek sensasi kornea dengan

menggunakan kapas steril.

b) Cara pemeriksaan :
1) Bentuk ujung kapas dengan pinset steril agar runcing dan halus
2) Fiksasi mata pasien keatas agar bulu mata tidak tersentuh saat
kornea disentuh
3) Fiksasi jari pemeriksa pada pipi pasien dan ujung kapas yang
halus dan runcing disentuhkan dengan hati-hati pada kornea,
mulai pada mata yang tidak sakit.
c) Intrepetasi : dengan sentuhan, maka mata akan reflek berkedip. Nilai

dengan membandingkan sensibilitas kedua mata klien.

6) Pemeriksaan visus / ketajaman penglihatan


a) Snellen card

(1) Menggunakan kartu snellen dengan mengganttungkan kartu pada

jarak 6 atau 5 meter dari klien.


(2) Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan, maka minta klien untuk

tutup dengan penutup mata atau telapak tangan tanpa menekan


bolamata
(3) Pasien disuruh membaca huruf SNELLEN dari baris paling atas

ke bawah. Hasil pemeriksaan dicatat, kemudian diulangi untuk

mata sebelahnya.
(4) HASIL :

(a) VOD 6/6 &VOS 6/6

(b) 6/6 pasien dapat membaca seluruh huruf dideretan 6/6 pada

snellen chart
(c) 6/12 pasien bisa membaca sampai baris 6/12 pada snellen chart
char t
(d) 6/30 pasien bisa membaca sampai baris 6/30 pada snellen chart
23

Gambar 2.11 Snellen card


b) Hitung jari

(1) Apabila tidak bisa membaca huruf Snellen pasien diminta

menghitung jari pemeriksa pada jarak 3 meter


(2) 3/60 pasien bisa hitung jari pada jarak 3 meter.

(3) 1/60 bila klien dapat membaca pada jarak 1 meter

c) Pergerakan jari

(1) Tidak bisa hitung jari, maka dilakukan pemeriksaan gerakan

tangan didepan pasien dengan latar belakang terang. Jika pasien


dapat menentukan arah gerakan tangan pada jarak 1 m
(2) VISUS 1/300 (Hand Movement/HM) kadang kala sdh perlu

menentukan arah proyeksinya


d) Penyinaran

(1) Jika tidak bisa melihat gerakan tangan dilakukan penyinaran

dengan penlight ke arah mata pasien.


(2) Apabila pasien dapat mengenali saat disinari dan tidak disinari

dari segala posisi (nasal,temporal,atas,bawah) maka tajam


penglihatan V = 1/ ~ proyeksi
proyeksi baik (Light Perception/LP).
24

(3) Jika tidak bisa menentukan arah sinar maka penilaian V = 1/ ~

(LP, proyeksi salah).


(4) Jika sinar tidak bisa dikenali maka tajam penglihatan dinilai V=

0 (NLP). Bila tidak dapat melihat sinar senter disebut BUTA


TOTAL (tulis 00/000)
e) Pemeriksaan dengan pinhole

(1) Bila responden tidak dapat melanjutkan lagi bacaan


baca an huruf di kartu
Snellen atau kartu E maka pada mata tersebut dipasang
PINHOLE
(2) Dengan pinhole responden dapat melanjutkan bacaannya sampai

baris normal (20/20) berarti


berarti responden tersebut gangguan
gangguan refraksi
(3) Bila dengan pinhole responden tidak dapat melanjutkan

bacaannya maka disebut katarak


(4) Bila responden dapat membaca sampai baris normal 20/20 tanpa

pinhole maka responden tidak perlu dilakukan pemeriksaan


dengan menggunakan pinhole

Gambar 2.12 Pemeriksaan dengan pinhole


f) Pemeriksaan buta warna

(1) Pasien diminta menyebutkan berapa angka yang tampak di kartu

(2) Orang normal mampu meyebutkan angka 74 buta waran merah

hijau menyebutkan angka 21


25

Gambar 2.13 Pemeriksaan Buta Warna


g) Memeriksa tekanan intra okuler

(1) Rerata Tekanan Intra Okular normal ± 15 mmHg, dengan batas

antara 12- 20 mmHg


(2) Alat yang digunakan: Tonometer Schiotz, Lidocaine 2%/

Panthocaine tetes mata, Chloramphenicol zalf mata 2% ,Kapas


alkohol 70%.

2. Pengkajian sistem pendengaran (telinga)


a. Anamnesa gangguan pendengaran
1) Faktor yg memperberat (riwayat sering mengorek kuping, sering

menyiram telinga dgn air)


2) Faktor-faktor lingkungan. Misal tempat pekerjaan dilingkungan yang

bising ia akan mengalami penurunan pendengaran.


b. Tanda dan gejala
1) Sulit mengerti pembicaraan

2) Sulit mendengar dlm lingkungan yg bising

3) Salah menjawab
4) Meminta lawan bicara utk mengulang pembicaraannya

5) Mengalami masalah mendengar pembicaraan di telpon

c. Inspeksi
1) Aurikel : bentuk, letak, masa, lesi

2) MAE : Patensi, Otore (jenis,warna,bau), cerumen, hiperemi, furunkel

3) Membrana timphany : intak, perforasi, hiperemia, bulging, retraksi,

colesteatoma
4) Antrum mastoid : abces, hiperemia, nyeri perabaan

5) Hearing aid : tipe, jenis


26

d. Pemeriksaan fisik
Pada telinga dapat menggunakan berbagai macam alat dan rangkaian tes.
Seperti otoskop, garpu tala, ear speculum, dan head lamp untuk membantu

pemeriksa mendapat sinar yang cukup

Gambar 2.14 Alat untuk Pemeriksaan Fisik Telinga


1) Otoskop
a) Untuk meluruskan kanal pada orang dewasa/anak besar tarik

aurikula ke atas dan belakang, pada bayi tarik aurikula ke belakang


dan bawah
b) Masukkan otoskop ke dalm telinga ± 1,-1,5 cm

c) Normal: terlihat sedikit serumen, dasar


dasar berwarna pink, rambut h
halus
alus
d) Abnormal: merah (inflamasi), rabas, lesi, benda asing, serumen

padat
e) Membran timpani dapat terlihat, normalnya tembus cahaya,

mengkilat, abu-abu dan tampak seperti mutiara, utuh.


2) Tes berbisik
a) Kata-kata yg diucapkan: Satu atau dua kata untuk menghindari
menebak, dapat dikenal klien, bukansingkatan, kata benda atau kata
kerja.
b) Cara:
(1) Pasien ditempat, pemeriksa berpindah-pindah dari jarak
1,2,3,4,5,6 meter.
27

(2) Mulai jarak 1 m pemeriksa membisikan 5/10 kata.

(3) Bila semua kata benar mundur 2 m, bisikan kata yang sama. Bila

jawaban benar mundur 4-5


4-5 m (Hanya
(Hanya dpt mendengar 80%  jarak

tajam pendengaran sesungguhnya)


(4) Untuk memastikan tes ulang pd jarak 3 M bila benar semua maju

2 – 1 M.
c) Interfensi Secara Kuantitas ( Leucher )
(1) 6 meter : normal - 4-6 meter : praktis normal/ tuli ringan

(2) 1-4 meter : tuli sedang

(3) < 1 meter : tuli berat - Berteriak didepan telinga ti


tidak
dak mendengar
: Tuli Total
d) Interfensi secara Kualitatif

(1) Tidak dapat mendengar huruf lunak (frekuensi rendah) = TULI


KONDUKSI. Misal Susu : terdengar S S.
(2) Tidak dapat mendengar huruf desis (frekuensi tinggi) = TULI

SENSORI. Misal : Susu terdengar U U.


3. Tes suara bisik modifikasi
Pelaksanaan:
a) Dilakukan diruang kedap suara.
b) Pemeriksa duduk dibelakang klien sambil melakukan masking.
c) Bisikan 10 kata dengan intensitas suara yg lebih rendah.

d) Untuk memperpanjang jarak jauhkan mulut pemeriksa dari klien.


e) Bila mendengar 80 % pendengaran normal.
28

4. Tes rinne

Gambar 2.15 Tes Rinne


a) Membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulan
b) Garpu tala deng frek 128, 256, dan 512 Hz
c) Tekan garpu tala di tulang mastoid smpai tdk terdengar lalu
pindahkan ke dpn telinga Rinne + (dpn telinga masih terdengar)
d) Interpretasi :
(1)Normal = HU : HT = 2:1
(2)Masih terdengar → Rinne (+) : intensitas HU > HT →Telinga
normal atau tuli saraf
(3)Tidak terdengar → Rinne (-)
(-) : intensitas HU < HT → Tuli
Konduktif
5. Tes weber
a) Tujuan : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga
kanan
b) Cara pemeriksaan: Penala digetarkan, asar penala diletakkan pada
garis tengah kepala : ubun-ubun, glabella, dagu, pertengahan gigi
seri → paling sensitif)
c) Normal mendengar bunyi sama di kedua
kedua telinga
d) Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sehat (tuli saraf)
e) Jika bunyi lebih keras pada telinga yg sakit (tuli konduksi)
29

Gambar 2.16 Tes weber


6. Tes schwaback
a) Dibandingkan dengan pemeriksa, garpu tala diletakkan di depan
telinga (kond udara)
b) Dibandingkan dengan pemeriksa, garpu tala diletakkan di tlg

mastoid (kond tulang)

Gambar 2.17 Tes Schwaback

3. Pengkajian sistem penciuman


a. Anamnesa sistem penciuman
1) Hidung ekternal : bentuk, ukuran, warna kulit. Normalnya : simetris,
warna sama dg wajah Abnormal: deformitas, bengkak, merah.
2) Nares Anterior : Inspeksi warna mukosa, lesi, rabas, perdarahan
(epistaksis), bengkak Mukosa normal: pink, lembab, tanpa lesi
Abnormal: Rabas mukoid (rinitis), rabas kuning kehijauan (sinusitis)
3) Septum & turbinat : Kepala ditengadahkan. Septum diinspekssi
kesejajaran, perforasi atau perdarahan, normal septum dekat dg garis
tengah, bagian anterior lebih tebak dan padat daripada posterior Lihat
30

adanya polip
b. Palpasi
1) Palpasi dg hati2 punggung hidung dan jaringan lunak dg menempatkan

1 jari di setiap sisi


si si lengkung hidung dan secara hati2 menggerakkan jari
dari batang hidung ke ujung hidung
2) Nyeri tekan, massa, penyimpangan
3) Normal struktur hidung keras dan stabil
4) Kepatenan lubang hidung dapt dikaji dg jari diletakkan disis hidung dan
menyumbat 1 lubang hidung, klien bernapas dg mulut tertutup
c. Pemeriksaan N.I Olfaktorius
1) Membau :
a) Siapkan bahan-bahan berbau seperti kopi, jeruk, kamper, dll

b) Minta klien menutup mata


c) Lalu minta klien membau dan meneba hasilnya
2) Tes Odor stix
Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang
menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci
dari hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara
kasar.
3) Tes alkohol 12 inci
Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol

12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka


dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien. 4.
4) Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium)
Tersedia scratch and sniff
snif f card yang mengandung 3 bau untuk menguji
penciuman secara kasar.
4. Pengkajian sistem Perasa
Anamnesa sistem perasa
a) Ada trauma lidah?
b) Bersih atau kotor?

c) Warna, bentuk?
31

d) Masih bisa membedakan rasa?


e) Tonsil?
f) Adakah stomatitis?

5. Pengkajian sistem peraba


a. Riwayat kesehatan
1) Riwayat medis dan pembedahan
2) Riwayat medis baik saat ini atau sebelumnya
3) Riwayat pembedahan
b. Riwayat keluarga riwayat pengobatan
1) Tentang penyakit kulit yang kronis

2) Anggota keluarga yang bermasalah dengan gangguan sistem


integumen
c. Riwayat social
Pekerjaan aktifitas sehari-hari dengan lingkungannya, reaksi dss.
d. Riwayat kesehatan saat ini
1) Kapan pertama kali mendapat masalah kulit
2) Bagian tubuh mana yang pertama kali terkena
3) Menjadi lebih baik atau memburuk
4) Mempunyai kondisi yang sama sebelumnya

5) Apa faktor penyebabnya


6) Bagaimana penatalaksanaanya
7) Adakah masalah yang menyertai : gatal, rasa terbakar, baal, nyeri,
demam, nausea, vomiting, diare, sakit tenggorokan , dingin kaku
8) Keadaan buruk jika tersinar matahari, pengobatan panas atau dingin
e. Riwayat diet
Kaji BB, Bentuk tubuh, dan makanan yang disukai
f. Status sosial ekonomi
Latar belakang status ekonomi klen intuk mengidentifikasi faktor

lingkungan yang dapat menjadi faktor penyebab penyakit kulit ( berapa


32

kjam terpapar sinar matahari, bagaimana dengan personal hygienenya.


g. Riwayat kesehatan sekarang
Jika masalah kulit sudah dapat diidentifikasi, kaji :

1) Kapan klien pertama kali melihat adanya rash


2) Dibagian tubuh mana rash mulai
3) apakah masalahnya dapat diatasi atau bertambah banyak jika masalah
sama dengan penyakit sebelumnya , kaji ;
a) Penyebab lesi kulit
b) Bagaimana cara mengatasinya
c) Hubungkan dengan gejala penyerta yang lain : gatal, gatal rasa
terbakar, rasa bassal;, demam, nausea dan vomiting, nyerio
tenggorokan , kaku kuduk

d) Identifikasi yang menbuat masalah menjadi baik atau menjadi buruk


h. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan palpasi dengan menggunakan :
1) Penlight untuk menyinari lesi
2) Pakaian dapat dilepaskan seluruhnya dan diselimuti dengan benar
3) Proteksi diri sarung tangan haris dipakai ketika melakukan
me lakukan pemeriksaan
kulit tampilan umum kulit
Karakteristik kulit normal diantaranya:
1) Warna warna kulit normal bervariasi antara orang yang satu dengan

yang lain dari berkisar warna gading atau coklat gelap, kulit bagian
tubuh yang terbuka khususnya di kawasan yang beriklim panas dan
banyak cahaya matahari cenderung lebih berpigmen efek vasodilatasi
yang ditimbulkan oleh demam sengatan matahari dan inflamasi akan
menimbulkan bercak kemerahan pada kulit, pucat merupakan keadaan
atau tidak adanya atau berkurangnya toonus serta vaskularissi yang
normal dan paling jelas terlihat pada konjungtiva. Warna kebiruan
pada sianosis menunjukan hipoksia seluler dan mudah terlihat pada
ekstremitas , dasar ,kuku bibir serta membran mukosa. Ikterus adalah

keadaan kulit yang menguning , berhubungan langsung dengan


33

kenaikan bilirubin serum dan sering kali terlihat pada sklera serta
membran mukosa.
2) Tekstur kulit Tekstur kulit normalnya lembut dan kencang, pajanan

matahari, proses penuaan dan peroko berat akan membuat kulit sedikit
lembut. Niormalnya kulit adalah elastis dan akan lebih cepat kembali
turgor kulit baik
3) Suhu Suhu kulit normalnya hangat , walaupun pada beberapa kondisi
pada bagian ferifer seperti
seper ti tangan dan telapak kaki akan teraba dingin
akibat vasokontriksi
4) Kelembaban Secara normal kulit akan teraba kering saat disentuh.
Pada suatu kondisi saat ada peningkatan aktifitas dan pada peningkatan
kecemasan kelembaban akan meningkat (Muttaqin, 2011).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan serta uraian tentang pengkajian sistem persepsi sensori
tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sistem sensoris atau dalam
bahasa Inggris sensory system berarti yang berhubungan dengan panca indra,
terdiri dari organ mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit.

B. Saran
Sebagai seorang perawat harus mengetahui pengkajan sistem persepsi
sensori diharapkan permasalahan yang muncul dari hasil pemeriksaan tersebut
dapat teridentifikasi secara akurat sehingga dapat menentukan asuhan
keperawatan yang berkualitas

34
DAFTAR PUSTAKA

Ballenger, J.J. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher,
Dialih bahasakan oleh Staf ahli Bagian THT RSCM-FKUI.. Tangerang :
Binarupa Aksara.
Guyton, A. C., dan Hall, J. E. (2014). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC, 1022
Hetharia, Rospa, Sri, Mulyani. (2011). Asuhan Keperawatan Telinga Hidung
Tenggorokan. Jakarta: CV.Trans Info Media

Muttaqin, Arif. (2011). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.


Jakarta: Salemba Medika.

Syaifuddin. (2014). Anatomi


Anatomi Fisiologi untuk Keperawatan
Keperawatan dan Kebidanan,
Kebidanan, Edisi 4.

Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai