Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

SIROSIS HEPATIK

Pembimbing:
dr. Diah Novita Kurniawati, Sp.PD

Oleh :

Bryan Minerva Abdillah

202310401011036

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD JOMBANG


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-
Nya, laporan kasus SMF Ilmu Penyakit Dalam yang berjudul Sirosis Hepatik dapat saya
selesaikan. Laporan kasus ini disusun sebagai bagian dari proses belajar selama kepaniteraan
klinik di bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam serta saya menyadari bahwa laporan kasus ini
tidaklah sempurna. Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan dalam pembuatan
laporan kasus ini.
Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Diah Novita Kurniawati, Sp.PD
atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan referat ini. Saya sangat menghargai segala
kritik dan saran sehingga referat ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih berguna bagi
pihak-pihak yang membacanya di kemudian hari.

Jombang, 26 November 2023

Penulis
BAB 1
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 24 tahun
Alamat : Tanggungan 08/02 Tanggungan, Gudo, Kabupaten Jombang,
Jawa Timur
Pekerjaan : Karyawan swasta
Pendidikan Terakhir : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status perkawinan : Belum Menikah
Unit/ ruang : Sadewa - Kelas II
Masuk RS : 19 April 2023 (12:08 WIB)

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Muntah darah
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Kab Jombang pada tanggal 19 April 2024 pada pukul 09.00
WIB. Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah. Keluhan hilang timbul, sekali
muntah darah sebanyak 1/2 mangkok lebih. Muntah darah seperti gumpalan, tidak
bercampur sisa makanan. Keluhan didahului pusing dan mual lalu muntah. Pasien
mengeluh batuk berdahak warna putih cair berlendir dan pilek bening cair sejak 2 hari
yang lalu. Demam sejak 2 hari yang lalu, Mimisan (-), batuk (-), nyeri ulu hati (-), gatal
(-), pasien tidak pernah merasa kulitnya kuning. Pasien merasa begah. Pasien mengeluh
penurunan BB sejak akhir 2022 hingga sekarang.

Riwayat Penyakit Dahulu:


DM (-), HT (-) Penyakit jantung (-), Tumor dan kanker (-), riwayat trauma (-), Asam urat
(-), Alergi makanan/obat (-), Pasien memiliki riwayat sirosis sejak 2022, riw. Transfusi
sejak 2022 (terakhir bulan Oktober 2023).
Riwayat Penyakit keluarga: Keluhan yang sama (-), DM (-), HT (-), penyakit jantung
(-),Tumor dan Kanker (-), Alergi (-). Kakek meninggal karena penyakit pencernaan
Riwayat Penyakit Sosial: Pasien tinggal dengan keluarga, pekerjaan sehari hari sebagai
karyawan swasta. Konsumsi pereda nyeri jangka panjang (NSID) (-), Konsumsi jamu-
jamuan sejak lama kurang lebih 5 tahun yang lalu, Konsumsi alkohol (-), pernah
merokok tapi jarang 1 hari 1 batang.

1.3 Pemeriksaan Fisik

● Status General di IGD

o Keadaan Umum : Lemah


o Kesadaran : GCS 456 (composmentis)
o BB/TB : 65 kg / 165 cm
o BMI : 23.9 (Normal)
o Vital Sign :
o TD : 120/80mmHg
o Nadi : 94/menit, reguler
o RR : 22/menit, reguler
o Suhu Aksila : 37.6oC
o SpO2 : 99% room air

● Pemeriksaan Fisik di Ruangan Sadewa Kelas II

o Keadaan Umum : lemah


o Kesadaran : GCS 456
o BB/TB : 60kg / 155 cm
o BMI : 25 (Normal)
o Vital Sign
o TD : 130/70 mmHg
o Nadi : 90/menit, reguler
o RR : 22/menit, reguler
o Suhu Aksila : 36.8oC
o SpO2 : 96% Room air
o Kepala :
o A/I/C/D : +/-/-/-
o Mata: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-), reflek cahaya (+/+),
pupil isokor 3mm/3mm
o Hidung : sekret (-), darah (-), pernafasan cuping hidung (-), deviasi
septum (-), laserasi (-)
o Mulut : laserasi (-), bengkak (-), mukosa bibir kering (-)
o Leher
o Pembesaran KGB (-)
o Deviasi trakea (-)
o Pembesaran kelenjar tiroid (-)
o JVP flat

o Thorax
o Pulmo
I: normochest, gerak simetris, retraksi (-), laserasi (-), ginekomasti (-)
P: ekspansi dinding dada simetris, fremitus (-), nyeri tekan (-)
P: Sonor/Sonor
A: Ves +/+ Rh -/- Wh -/-

o COR
I: ictus cordis tidak tampak
P: ictus tidak kuat angkat, thrill (-)
P: Batas jantung kanan : ICS 4 parasternal line dextra; Batas jantung kiri : ICS
5 axillaris anterior line sinistra; Pinggang jantung : Setinggi ICS 3, 3 cm dari
midsternal line
A: S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

o Abdomen
Inspeksi : distensi (+), asites (-), spider naevi (-), massa (-), hepatomegali (sde),
splenomegali (sde), umbilikus (dbn)
Auskultasi : bising usus (sde), metalic sound (sde), bruit (sde)
Perkusi : Asites (+) dengan shifting dullnes (+), liver span (sde), peranjakan
(sde), traube space (sde)
Palpasi : soepl, defans muskular (-), nyeri tekan (-), massa (-), area schuffner 2,
nyeri ketok sudut costophrenicus (-), hepar (sde), splen (sde), renal dextra dan
sinistra (-)

o Ekstremitas
Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat kering merah, terry’s nail (-), eritema
palmaris (-), oedem tungkai (-/-)
1.4 Pemeriksaan penunjang
Foto thorax AP :

USG 10 Oktoberl 2023


Endoskopi
Scope masuk melalui cavum oris sampai D2, didapatkan :
Esofagus : tampak varises esofagus grade III. RCS (-), RWM (+), EGJ intak
Gaster :
- Corpus : mukosa edematus dengan mozaic pattern isolated red marking. Tampak ulkus
dengan dasar bersih
- Antrum : mukosa hiperemi dan erosi, tampak ulkus dengan dasar bersih
- Retrofleksi : GEFV mencengkeram erat scope. Cardia dan fundus tak tampak varises.

Duodenum : D1 dan D2 vili-vili intak, mukosa tak tampak kelainan

Kesimpulan :
- Varises Esofagus Grade III
- Moderate Portal HT Gastropathy
- Ulkus Gaster Forrest Class IIc
- Gastritis Erosiva

Fibroscan
1.5 Diagnosis

1. Sirosis Hepatis
2. Bisitopenia (Leukopenia dan trombositopenia)
3. Ruptur Varises Esofagus Grade III disertai Gastric Ulcer dan Gastritis Erosiva

1.6 Planning Diagnosis : Anti HCV, Albumin

1.7 Planning Terapi

1. MRS
2. Bedrest
3. O2 10 lpm NRBM
4. Inf Asering loading 500cc/ 30 mnt, Lanjut inf. RingAs 20 tpm.
5. PO tenofovir 300 mg per hari
6. Diet rendah Na 2 gram/hari
7. Batasi cairan 1L/hari
8. IV Furosemide 1x40 mg
9. IV Spinorolakton 1x100mg
10. Somatostatin 250mcg IV
11. Propanolol
12. Omeprazole 1x40 Mg IV
13. Ondansetron IV 3x8mg
14. Sucralfate 4x500mg PO
15. Transfusi TC
16. Urine Kateter
17. Konsul Sp.PD.

1.8 Planning Monitoring

 TTV

 Evaluasi TTV post loading cairan

 Keluhan subyektif pasien

 LFT

 Efek terapi

 Efek samping obat


 Reaksi transfusi

 Albumin

 Urin Output

 DL

1.9 Planning Edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit yang diderita pasien,

antara lain:

a) SIROSIS HEPATIS, yaitu tahap akhir proses fibrosis hati yang menyeluruh dan

progresif. Di negara berkembang seperti Indonesia, penyakit ini paling sering

disebabkan oleh infeksi hepatitis B atau hepatitis C.

2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai pemeriksaan lanjutan yang

akan dilakukan untuk kepentingan diagnosis dan terapi penyakit yang diderita pasien.

3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai terapi yang akan diberikan

kepada pasien dan akan dikonsultasikan kepada dokter Sp.PD untuk penanganan lebih

lanjut.

4. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai prognosis dan komplikasi

pada penyakit pasien.


3.10 Problem Oriented Medical Record

Summary of Databas Initial Diagnosi Planning


Clue and Cue Problem List
e s Diagnosis Therapy Monitoring Education
Identitas: Tn. M, 24 tahun 1. Sirosis 1.1 Sirosis - Anti HCV 18. MRS 1. TTV 1.Menjelaskan
1. Malaise Hepatis Hepatis 19. Bedrest 2. Keluhan su kepada pasien dan
Nama: Tn. M 2. Hematemesis 1.2 Bisitopenia 20. O2 10 lpm byektif pasi keluarga pasien
Jns Kelamin: Laki- 3. Conjungtiva (Leukopenia dan NRBM en
tentang penyakit yang
Laki anemis trombositopenia 21. Inf 3. LFT
4. Atrofi otot ) Asering 4. Efek sampi diderita pasien, antara
Usia: 24 tahun 5. Penurunan BB 1.3 .Ruptur loading ng obat lain:
6. Anoreksia Varises 500cc/ 30
Alamat: Tanggungan - Sirosis Hepatis,
7. USG abdomen: Esofagus Grade mnt,
08/02 Tanggungan, yaitu tahap akhir
Sirosis Hepatis III disertai Lanjut inf.
Gudo, Kabupaten proses fibrosis hati
dengan Gastric Ulcer RingAs 2
Jombang, Jawa Timur
Hipertensi dan Gastritis 0 tpm. yang menyeluruh dan
Pendidikan: SMA porta, Erosiva 22. PO progresif. Di negara
splenomegali, tenofovir berkembang seperti
Agama: Islam dan 300 mg Indonesia, penyakit
Suku: Jawa Cholesistitis per hari
ini paling sering
akut 23. Konsul S
Status: Belum p.PD. disebabkan oleh
Menikah Tn. M, 24 tahun 3. Upper GIT 3.1 Ruptur - 1. Somatostatin 1. Keluhan infeksi hepatitis B
Ruang: Sadewa Kelas 1. Hematemesis Bleeding Varises 250mcg IV pasien atau hepatitis C.
II 2. Melena Esofagus Grade 2. Propanolol 2. ESO
3. Nausea III 3. Omeprazole 1 3. Nadi 2. Menjelaskan
MRS: 19 April 2023 4. Endoskopi : disertai Gastric x40 Mg IV kepada pasien dan
Varises Ulcer dan 4. Ondansetron keluarga pasien
Anamnesis: Esofagus Gastritis Erosiva IV 3x8mg mengenai
Grade III, 5. Sucralfate 4x pemeriksaan lanjutan
Keluhan Utama: Moderate 500mg PO yang akan dilakukan
Portal HT
Muntah darah dan untuk kepentingan
Gastropathy,
BAB Hitam Ulkus Gaster diagnosis dan terapi
Forrest Class penyakit yang
RPS:
IIc, Gastritis diderita pasien.
• Pasien datang ke Erosiva
3. Menjelaskan
IGD RSUD Kab
Tn. K, 65 tahun 4. Bisitopenia - DL 1. Transfusi TC 1. Reaksi kepada pasien dan
Jombang pada
1. Malaise transfusi keluarga pasien
tanggal 14
2. Conjungtiva 2. Hb mengenai terapi yang
November 2023 pada Anemis akan diberikan
pukul 01.12 WIB. Pa 3. Leukosit 2.02 kepada pasien dan
sien datang dengan k 4. Hb 10.2
akan dikonsultasikan
eluhan muntah darah 5. Plt 51
kepada dokter Sp.PD
dan BAB hitam.
untuk penanganan
• Pasien datang lebih lanjut.
dengan keluhan mual
4. Menjelaskan
dan muntah, BAB
kepada pasien dan
hitam sejak
keluarga pasien
H1SMRS Pukul 5
mengenai prognosis
sore. Keluhan hilang
dan komplikasi pada
timbul, sekali
penyakit pasien.
muntah darah
sebanyak 1 mangkok
lebih. Muntah darah
seperti gumpalan,
tidak bercampur sisa
makanan. Keluhan
didahului pusing dan
mual lalu muntah.
BAB hitam seperti
petis. BAK teh (-).
Terdapat pengecilan
dari testis dan otot.
Mimisan (-), demam
(-), batuk (-), nyeri
ulu hati (-), gatal (-),
pasien tidak pernah
merasa kulitnya
kuning. Pasien
merasa begah. Pasien
mengeluh penurunan
BB sejak akhir 2022
hingga sekarang.
Nafsu makan
menurun.

RPD:
DM (-), HT (-)
Penyakit jantung (-),
Tumor dan kanker (-),
riwayat trauma (-),
Asam urat (-), Alergi
makanan/obat (-),
Pasien memiliki
riwayat sirosis sejak
2021, riw. Transfusi
sejak 2021 (terakhir
bulan April 2023).
RPK:
Keluhan yang sama
(-), DM (-), HT (-),
penyakit jantung
(-),Tumor dan Kanker
(-), Alergi (-). Kakak
pertama dan kedua
meninggal karena
gangguan pencernaan.
RPSos:
Pasien tinggal dengan
keluarga, pekerjaan
sehari hari adalah
petani. Konsumsi
pereda nyeri jangka
panjang (NSID) (-),
Konsumsi jamu-
jamuan (-), Konsumsi
alkohol (-)
Pemeriksaan Fisik:

 BB/TB: 60 kg/ 155c


m
 BMI: 25 (normal)

Status General di IGD

 KU: Lemah
 Kesadaran: GCS 456
 Vital sign
o TD: 110/70 mmHg
o Nadi: 112 x/menit
o RR : 24 x/menit
o Suhu aksila: 37oC
o SpO2: 97%
Pemeriksaan Fisik di S
adewa

 KU: Lemah
 Kesadaran: GCS 456
 Vital Sign
o TD: 120/80 mmHg
o Nadi: 88x/menit
o RR: 22x/menit
o Suhu aksila: 37oC
o SpO2: 96% dengan
nasal canul 4lpm
Status Generalis:
Kepala:
o Mata: konjungtiva
anemis (+), sklera
ikterik (-), reflek
cahaya (+/+), pupil
isokor 3mm/3mm
o Hidung: sekret (-),
darah (-), pernafasan
cuping hidung (-),
deviasi septum (-),
laserasi (-)
o Mulut: laserasi (-),
bengkak (-), mukosa
bibir kering (-)

Leher
o Pembesaran KGB (-)
o Deviasi trakea (-)
o Pembesaran kelenjar
tiroid (-)
o JVP flat

Thorax
o Pulmo
I: normochest, gerak
simetris, retraksi (-),
laserasi (-),
ginekomasti (-)
P: ekspansi dinding
dada simetris,
fremitus (-), nyeri
tekan (-)
P: Sonor/Sonor
A: Ves +/+ Rh -/- Wh
-/-
o Cor
I: ictus cordis tidak
tampak
P: ictus tidak kuat
angkat, thrill (-)
P: Batas jantung kanan
(ICS 4 parasternal
line dextra); Batas
jantung kiri (ICS 5
axillaris anterior line
sinistra); Pinggang
jantung (setinggi
ICS 3, 3 cm dari
midsternal line)
A: S1S2 tunggal,
murmur (-), gallop
(-)
Abdomen:
- Inspeksi : distensi
(+), asites (+),
spider naevi (-),
massa (-),
hepatomegali
(sde),
splenomegali
(sde), umbilikus
(dbn)
- Auskultasi : bising
usus (sde), metalic
sound (sde), bruit
(sde)
- Perkusi : Asites
(+) dengan
shifting dullnes
(+), liver span
(sde), peranjakan
(sde), traube space
(sde)
- Palpasi : soepl,
defans muskular
(-), nyeri tekan (-),
massa (-), area
schuffner 2, nyeri
ketok sudut
costophrenicus (-),
hepar (sde), splen
(sde), renal dextra
dan sinistra (-)

Ekstremitas: CRT <2


detik, terry’s nail (-),
eritema palmaris (-),
oedem tungkai (-/-)
Pemeriksaan Penunjan
g:

Laboratorium:

 Hb: 4.9 g/dl (L)


 Leu: 11.53 x103/ul
 Hct: 17.0 % (L)
 Eri: 1.99 x106/ul (L)
 MCV : 85.4
 MCH : 24.6
 MCHC : 28.8
 PLT: 226 x103/ul (L)
 SK: 1,07 mg/dl
 U: 105,6 mg/dl
 OT: 48 U/l (H)
 PT: 25 U/l (H)
 HBsAg : Positif

Foto Thoraks:
 Cardiomegali dan pu
lmo normal

Endoskopi
 Varises Esofagus
Grade III
 Moderate Portal HT
Gastropathy
 Ulkus Gaster Forrest
Class IIc
 Gastritis Erosiva

USG abdomen:

 Sirosis Hepatis
dengan Hipertensi
porta, splenomegali,
dan acites
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sirosis ditandai dengan fibrosis dan pembentukan nodul hati, sekunder akibat cedera

kronis, yang menyebabkan perubahan organisasi lobular hati yang normal. Berbagai

gangguan dapat melukai hati, termasuk infeksi virus, racun, kondisi keturunan, atau proses

autoimun. Jika sel-sel parenkim hati rusak, sel-sel tersebut digantikan oleh jaringan fibrosa

yang akhirnya akan mengerut di sekeliling pembuluh darah, sehingga sangat menghambat

darah porta melalui hati. Proses penyakit ini dikenal sebagai sirosis hati (Sharma dan John,

2022). Sirosis merupakan akibat peradangan hati kronis yang diikuti oleh fibrosis hati yang

menyebar, dimana sel hati yang normal digantikan oleh nodul hati regeneratif, yang pada

akhirnya menyebabkan gagal hati. Peradangan hati kronis tidak berkembang menjadi sirosis

pada semua pasien, namun bila terjadi perkembangan, kecepatan terjadinya bervariasi dari

beberapa minggu hingga beberapa dekade (pada pasien dengan penyebab jangka panjang,

seperti virus hepatitis C). Fase sirosis (awal) tanpa gejala dapat diikuti oleh fase gejala yang

relatif singkat, yaitu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Fase gejala, biasanya disebut

sebagai sirosis dekompensasi, berhubungan dengan berbagai komplikasi yang mengakibatkan

seringnya masuk rumah sakit, gangguan kualitas hidup pasien dan perawat, dan kematian

pasien tanpa adanya transplantasi hati (Gines, et al. 2021).

2.2 Epidemiologi

Sirosis hati banyak terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah serta

di negara-negara berpendapatan tinggi, dan berhubungan dengan tingginya morbiditas dan

mortalitas. Sekitar 2 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit

hati, 1 juta disebabkan oleh sirosis dan 1 juta disebabkan oleh virus hepatitis dan karsinoma
hepatoseluler. Lebih dari 60% kematian akibat penyakit hati terjadi pada laki-laki. Sirosis

merupakan penyebab kematian tersering ke-11, penyebab kematian ketiga pada orang berusia

45–64 tahun, dan bersama dengan kanker hati, menyumbang 3-5% dari seluruh kematian di

seluruh dunia (Gines, et al. 2021). Sirosis adalah penyebab kematian ke 12 di Amerika

Serikat, terhitung hampir 32.000 kematian setiap tahun.4 Lebih dari 40% pasien sirosis

asimomatis. Menurut laporan Rumah Sakit Umum Pemerintah di Indonesia, rata-rata

prevalensi sirosis hati adalah 3,5% seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam

atau rata-rata 47,4% dari seluruh pasien penyakit hati yang dirawat. Perbandingan prevalensi

sirosis pada pria : wanita adalah 2,1 : 1 dan usia rata-rata 44 tahun.2 Perlemakan hati akan

mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan

sirosis hati dengan prevalensi 0,3%.

2.3 Etiologi

Penyakit hati kronis biasanya berkembang menjadi sirosis. Di negara maju, penyebab

paling umum dari sirosis adalah virus hepatitis C (HCV), penyakit hati alkoholik, dan

steatohepatitis nonalkohol (NASH), sedangkan virus hepatitis B (HBV) dan HCV adalah

penyebab paling umum di negara berkembang. Penyebab lain dari sirosis termasuk hepatitis

autoimun, kolangitis bilier primer, kolangitis sklerosis primer, hemokromatosis, penyakit

Wilson, defisiensi antitripsin alfa-1, sindrom Budd-Chiari, sirosis hati akibat obat, dan gagal

jantung kronis sisi kanan. Sirosis kriptogenik didefinisikan sebagai sirosis yang etiologinya

tidak jelas. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis

sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40% dan sisanya termasuk kelompok virus bukan B

dan C.
a) Hepatitis B

Hepatitis B merupakan infeksi virus yang menyebabkan peradangan dan kerusakan

pada hati. Infeksi kronis dapat menyebabkan kerusakan dan peradangan, fibrosis, dan sirosis.

Virus hepatitis B menyebar melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, seperti kecelakaan

jarum suntik, penggunaan narkoba suntikan, atau menerima transfusi darah sebelum

pertengahan 1980-an. Hepatitis B juga dapat menyebar melalui kontak seksual dengan orang

yang terinfeksi dan dari ibu yang terinfeksi ke anak selama persalinan. Sayangnya, banyak

orang menyadari bahwa mereka memiliki hepatitis B kronis ketika mereka mengalami gejala

sirosis. Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksin hepatitis B yang dapat diberikan pada bayi

baru lahir, anak-anak, dan orang dewasa yang berisiko tinggi terkena hepatitis B.

b) Hepatitis C

Hepatitis C disebabkan oleh infeksi virus yang menyebabkan peradangan, atau

pembengkakan, dan kerusakan pada hati. Virus hepatitis C menyebar melalui kontak dengan

darah yang terinfeksi, seperti dari kecelakaan jarum suntik, penggunaan narkoba suntikan,

atau menerima transfusi darah sebelum tahun 1992. Hepatitis C sering menjadi kronis akibat

infeksi virus jangka panjang. Hepatitis C kronis menyebabkan kerusakan pada hati yang

selama bertahun-tahun atau puluhan tahun dapat menyebabkan sirosis. Sayangnya, banyak

orang pertama kali menyadari bahwa mereka memiliki hepatitis C kronis ketika mereka

mengalami gejala sirosis.

c) Alkoholisme

Alkoholisme adalah penyebab paling umum kedua dari sirosis di Amerika Serikat.

Kebanyakan orang yang mengkonsumsi alkohol tidak mengalami kerusakan pada hati.

Namun penggunaan alkohol berat selama beberapa tahun membuat seseorang lebih mungkin

mengembangkan penyakit hati terkait alkohol. Jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk

merusak hati bervariasi setiap orang. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari dua
minuman sehari untuk wanita dan tiga minuman sehari untuk pria tidak dapat melukai hati,

namun minum lebih banyak dari jumlah ini akan mengarah ke lemak dan terjadi peradangan

di hati dan bila minum lebih dari 10-12 tahun dapat menyebabkan sirosis beralkohol.5,6

d) Penyakit hati berlemak nonalkohol (NAFLD) dan steatohepatitis nonalkohol (NASH)

Dalam NAFLD, lemak menumpuk di hati, namun penumpukan lemak bukan karena

penggunaan alkohol. Ketika lemak disertai peradangan dan kerusakan sel hati, kondisi inilah

yang disebut steatohepatitis nonalcohol (NASH) dengan "steato" yang berarti lemak, dan

"hepatitis" yang berarti peradangan hati. Peradangan dan kerusakan dapat menyebabkan

fibrosis, yang akhirnya dapat menyebabkan sirosis.

e) Penyakit yang merusak, menghancurkan, atau memblokir saluran empedu

Beberapa penyakit dapat merusak, menghancurkan, atau memblokir saluran yang

membawa empedu dari hati ke usus kecil sehingga menyebabkan empedu kembali ke hati

dan menyebabkan sirosis. Paling umum dari penyakit ini adalah sirosis bilier primer, penyakit

kronis yang menyebabkan saluran empedu kecil di hati menjadi meradang dan rusak dan

akhirnya hilang. Kolangitis sklerosis primer adalah penyakit yang menyebabkan iritasi,

jaringan parut, dan penyempitan saluran empedu yang lebih besar dari hati. Penyumbatan

saluran empedu jangka panjang oleh batu empedu dapat menyebabkan sirosis. Sirosis juga

dapat berkembang jika saluran empedu salah diikat atau terluka selama operasi pada kantong

empedu atau hati.

f) Penyakit Herediter yang mempengaruhi hati

Penyakit herediter yang mengganggu cara hati memproduksi, memproses, dan

menyimpan enzim, protein, logam, dan zat lain dapat menyebabkan sirosis. Penyakit-

penyakit ini termasuk kekurangan alfa-1 antitrypsin, hemochromatosis, penyakit Wilson,

galactosemia, dan penyakit penyimpanan glikogen.


2.4 Klasifikasi

Sirosis diklasifikasikan berdasarkan morfologi atau etiologic (Sharma dan John, 2022).

1. Klasifikasi Morfologi

Secara morfologis, sirosis adalah (1) mikronodular, (2) makronodular, atau (3) campuran

a. Sirosis mikronodular (nodul seragam berdiameter kurang dari 3 mm) : Sirosis karena

alkohol, hemokromatosis, obstruksi aliran keluar vena hepatik, obstruksi bilier kronis,

bypass jejunoileal, dan sirosis masa kanak-kanak India

b. Sirosis makronodular (nodul tidak beraturan dengan variasi diameter lebih dari 3 mm):

Sirosis akibat hepatitis B dan C, defisiensi antitripsin alfa-1, dan kolangitis bilier

primer.

c. Sirosis campuran (ketika ada ciri-ciri sirosis mikronodular dan makronodular):

Biasanya, sirosis mikronodular berkembang menjadi sirosis makronodular seiring

waktu.

2. Klasifikasi Etiologi

Berdasarkan penyebab sirosis yang disubklasifikasikan sebagai berikut:

a. Virus : hepatitis B, C, dan D

b. Racun : alkohol, obat-obatan

c. Autoimun : hepatitis autoimun

d. Kolestatik : kolangitis bilier primer, kolangitis sklerosis primer

e. Vaskular : sindrom Budd-Chiari, sindrom obstruksi sinusoidal, sirosis jantung

f. Metabolik : hemokromatosis, NASH, penyakit Wilson, defisiensi antitripsin alfa-1,

sirosis kriptogenik.
2.5 Patofisiologi

Gambar 2.1 Patofisiologi Sirosis Hepatik (Calgary, 2023).

Beberapa sel berperan dalam sirosis hati, termasuk hepatosit dan sel-sel lapisan

sinusoidal seperti sel stellate hati (HSCs), sel endotel sinusoidal (SECs), dan sel Kupffer

(KCs). HSC membentuk bagian dari dinding sinusoid hati, dan fungsinya adalah untuk

menyimpan vitamin A. Ketika sel-sel ini terpapar sitokin inflamasi, mereka menjadi aktif,

berubah menjadi myofibroblast, dan mulai menyimpan kolagen, yang menyebabkan fibrosis.

SEC membentuk lapisan endotel dan dicirikan oleh fenestrasi yang mereka buat di dinding

yang memungkinkan pertukaran cairan dan nutrisi antara sinusoid dan hepatosit. Defenestrasi

dinding sinusoidal dapat terjadi sekunder akibat penggunaan alkohol kronis dan

menyebabkan fibrosis perisinusoidal. KC adalah makrofag satelit yang melapisi dinding

sinusoid juga. Studi terutama dari model hewan telah menunjukkan bahwa mereka

memainkan peran dalam fibrosis hati dengan melepaskan mediator berbahaya ketika terkena

agen merugikan dan bertindak sebagai sel penyaji antigen untuk virus. Hepatosit juga terlibat
dalam patogenesis sirosis, karena hepatosit yang rusak melepaskan spesies oksigen reaktif

dan mediator inflamasi yang dapat mengaktifkan HSC dan fibrosis hati (Sharma dan John,

2022).

Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis adalah perkembangan

hipertensi portal dan sirkulasi hiperdinamik. Hipertensi portal berkembang sekunder akibat

fibrosis dan perubahan vasoregulasi, baik secara intrahepatik maupun sistematis, yang

menyebabkan pembentukan sirkulasi kolateral dan sirkulasi hiperdinamik (Sharma dan John,

2022). Secara intrahepatik, SEC mensintesis nitric oxide (NO) dan endothelin-1 (ET-1), yang

bekerja pada HSC, masing-masing menyebabkan relaksasi atau kontraksi sinusoid, dan

mengendalikan aliran darah sinusoidal. Pada pasien sirosis, terjadi peningkatan produksi ET-

1, serta peningkatan sensitivitas reseptornya dengan penurunan produksi NO. Hal ini

menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan resistensi intrahepatik, memulai hipertensi

portal. Remodeling vaskular yang dimediasi oleh efek kontraktil HSC di sinusoid menambah

peningkatan resistensi vaskular. Untuk mengkompensasi peningkatan tekanan intrahepatik

ini, sirkulasi kolateral terbentuk (Sharma dan John, 2022).

Dalam sirkulasi sistemik dan splanknik, efek sebaliknya terjadi, dengan peningkatan

produksi NO, menyebabkan vasodilatasi sistemik dan splanknik dan penurunan resistensi

vaskular sistemik. Ini mempromosikan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS),

yang menyebabkan retensi natrium dan air dan menghasilkan sirkulasi hiperdinamik. Jadi,

pada sirosis dengan hipertensi portal, terjadi penipisan vasodilator (terutama NO) intrahepatik

tetapi kelebihan NO ekstrahepatik di sirkulasi splanknik dan sistemik, menyebabkan

vasokonstriksi sinusoidal dan vasodilatasi splanknik (sistemik). Kolateral juga berkontribusi

pada sirkulasi hiperdinamik dengan meningkatkan aliran balik vena ke jantung (Sharma dan

John, 2022).
2.6 Gejala klinis

Pasien dengan sirosis dapat asimtomatik atau simtomatik, tergantung pada apakah

sirosisnya terkompensasi atau dekompensasi secara klinis. Pada sirosis terkompensasi, pasien

biasanya asimptomatik, dan penyakitnya terdeteksi secara kebetulan melalui laboratorium,

pemeriksaan fisik, atau pencitraan. Salah satu temuan umum adalah peningkatan ringan

hingga sedang pada aminotransferase atau gamma-glutamyl transpeptidase dengan

kemungkinan pembesaran hati atau limpa pada pemeriksaan. Di sisi lain, pasien dengan

sirosis dekompensasi biasanya hadir dengan berbagai tanda dan gejala yang timbul dari

kombinasi disfungsi hati dan hipertensi portal. Diagnosis asites, ikterus, ensefalopati hepatik,

perdarahan varises, atau karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan sirosis menandakan

transisi dari fase sirosis terkompensasi ke fase dekompensasi. Komplikasi sirosis lainnya

termasuk peritonitis bakteri spontan dan sindrom hepatorenal, yang terjadi pada pasien yang

mengalami asites (Sharma dan John, 2022).

Beberapa Gejala yang sering timbul pada sirosis, antara lain :

1. Kulit berwarna kuning (ikterus atau jaundice)

2. Rasa capai

3. Lemah

4. Nafssu makan menurun

5. Gatal

6. Mual

7. Penurunan Berat Badan

8. Nyeri perut

9. Mudah berdarah (akibat penrunan produksi faktor-faktor pembeku darah)

10. BAB Hitam seperti petis dan atau muntah darah


Pasien sirosis dapat tetap berjalan kompensata selama bertahun-tahun, sebelum

berubah menjadi dekompensata. Sesuai konsensus Baveno IV, status klasifikasi sirosis hati

dapat dibagi menjadi 4 status klinik berdasarkan ada tidaknya varises, asites, dan perdarahan

varises :

1) Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada acites

2) Stadium 2 : Varises (+), tidak ada acites

3) Stadium 3 : Acites dengan atau tanpa varises

4) Stadium 4 : perdarahan dengan atau tanpa asites

Staidum 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata, sementara stadium 3 dan 4

dalm kelompok sirosis dekompensata (Buku Ajar IPD UNAIR, 2015).

Multiple Organs Affected

a) Gastrointestinal : Hipertensi portal dapat menyebabkan asites, hepatosplenomegali, dan

penonjolan vena perut periumbilikal yang mengakibatkan caput medusa. Varises

esofagus adalah komplikasi lain dari sirosis sekunder akibat peningkatan aliran darah

pada sirkulasi kolateral, dengan angka kematian minimal 20% pada enam minggu setelah

episode perdarahan. Pasien dengan sirosis alkoholik memiliki peningkatan risiko

pertumbuhan berlebih bakteri usus kecil dan pankreatitis kronis, dan pasien dengan

penyakit hati kronis memiliki tingkat pembentukan batu empedu yang lebih tinggi

(Sharma dan John, 2022).

b) Hematologi : Anemia dapat terjadi akibat defisiensi folat, anemia hemolitik (spur cell

anemia pada penyakit hati alkoholik berat), dan hipersplenisme. Dapat terjadi

pansitopenia akibat hipersplenisme pada hipertensi portal, gangguan koagulasi, koagulasi

intravaskular diseminata, dan hemosiderosis pada pasien sirosis karena berbagai

penyebab (Sharma dan John, 2022).


c) Ginjal : Pasien dengan sirosis cenderung mengalami sindrom hepatorenal sekunder

akibat hipotensi sistemik dan vasokonstriksi ginjal, menyebabkan fenomena underfilling.

Vasodilatasi splanchnic pada sirosis menyebabkan penurunan aliran darah efektif ke

ginjal, yang mengaktifkan sistem RAAS, menyebabkan retensi natrium dan air dan

penyempitan pembuluh darah ginjal. Namun, efek ini tidak cukup untuk mengatasi

vasodilatasi sistemik yang disebabkan oleh sirosis, menyebabkan hipoperfusi ginjal dan

diperburuk oleh vasokonstriksi ginjal dengan titik akhir gagal ginjal (Sharma dan John,

2022).

d) Paru-paru : Manifestasi sirosis meliputi sindrom hepatopulmoner, hipertensi

portopulmoner, hidrotoraks hepatik, penurunan saturasi oksigen, ketidaksesuaian

ventilasi-perfusi, penurunan kapasitas difusi paru, dan hiperventilasi (Sharma dan John,

2022).

e) Kulit : Spider nevi (arteriol sentral yang dikelilingi oleh beberapa pembuluh darah kecil

yang terlihat seperti laba-laba, karena itulah namanya) terlihat pada pasien sirosis

sekunder akibat hiperestrogenemia. Disfungsi hati menyebabkan ketidakseimbangan

hormon seks, menyebabkan peningkatan rasio estrogen terhadap testosteron bebas dan

pembentukan spider nevi. Eritema palmar adalah temuan kulit lain yang terlihat pada

sirosis dan juga sekunder akibat hiperestrogenemia. Penyakit kuning adalah perubahan

warna kekuningan pada kulit dan selaput lendir yang terlihat ketika bilirubin serum lebih

besar dari 3 mg/dL dan pada sirosis dekompensasi (Sharma dan John, 2022).

f) Kelenjar : endokrin Pasien dengan sirosis hati alkoholik dapat mengalami hipogonadisme

dan ginekomastia. Patofisiologinya multifaktorial, terutama karena hipersensitivitas

reseptor estrogen dan androgen yang terlihat pada pasien sirosis. Disfungsi hipofisis

hipotalamus juga telah terlibat dalam perkembangan kondisi ini. Hipogonadisme dapat

menyebabkan penurunan libido dan impotensi pada pria dengan hilangnya karakteristik
seksual sekunder dan feminisasi. Wanita dapat mengalami amenore dan perdarahan

menstruasi yang tidak teratur, serta infertilitas (Sharma dan John, 2022).

g) Perubahan Kuku : Clubbing, hypertrophic osteoarthropathy, dan the Dupuytren

contracture. Perubahan kuku lainnya termasuk azure lunules (Wilson disease), Terry

nails, dan Muehrcke nails (Sharma dan John, 2022).

h) Lain-lain : Foetor hepaticus (bau napas manis dan pengap karena tingginya kadar dimetil

sulfida dan keton dalam darah) dan asterixis (tremor mengepak saat lengan direntangkan

dan tangan dorsofleksi) keduanya merupakan ciri ensefalopati hepatik yang dapat dilihat

pada sirosis. Sirosis dapat menyebabkan sirkulasi hiperdinamik, pengurangan massa otot

tanpa lemak, kram otot, dan herniasi umbilikalis (Sharma dan John, 2022).

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan sirosis terdiri dari : Spider telangiectasias,

eritema palmar, kontraktur Dupuytren, ginekomastia, atrofi testis, tanda-tanda hipertensi

portal (asites, splenomegali, caput medusa, Cruveilhier-Baumgarten murmur- epigastric

venous hum), tanda-tanda ensefalopati hepatik (kebingungan, asteriksis, dan fetor hepaticus),

dan gambaran lain seperti ikterus, pembesaran parotis bilateral, dan sedikit rambut

dada/aksila (Sharma dan John, 2022).

2.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

- Aminotransferase biasanya meningkat ringan sampai sedang dengan aspartate

aminotransferase (AST) lebih besar dari alanine aminotransferase (ALT). Namun, tingkat

normal tidak menyingkirkan sirosis. Pada sebagian besar bentuk hepatitis kronis (kecuali

hepatitis alkoholik), rasio AST/ALT kurang dari satu. Saat hepatitis kronis berkembang

menjadi sirosis, terjadi pembalikan rasio AST/ALT ini.

- Alkaline phosphatase (ALP), 5'-nucleotidase, dan gamma-glutamyl transferase (GGT)

meningkat pada gangguan kolestatik.


- Waktu protrombin (PT) meningkat karena defek faktor koagulasi dan bilirubin,

sedangkan albumin rendah karena disintesis oleh hati dan kapasitas fungsional hati

menurun. Jadi albumin serum dan PT adalah indikator sebenarnya dari fungsi hati

sintetik. Anemia normokromik terlihat, namun, anemia makrositik dapat terlihat pada

sirosis hati alkoholik.

- Leukopenia dan trombositopenia juga terlihat sekunder akibat sekuestrasi oleh

pembesaran limpa serta efek supresi alkohol pada sumsum tulang. Imunoglobulin,

terutama fraksi gamma, biasanya meningkat akibat gangguan pembersihan oleh hati

(Sharma dan John, 2022).

Laboratorium khusus untuk menyelidiki sirosis yang baru didiagnosis

- Teknik serologi dan PCR untuk hepatitis virus dan antibodi autoimun (antibodi anti-

nuklir [ANA], antibodi anti-otot halus (ASMA), antibodi mikrosomal anti-hati-ginjal tipe

1 (ALKM-1) dan imunoglobulin IgG serum) untuk hepatitis autoimun dan antibodi anti-

mitokondria untuk kolangitis bilier primer dapat dipesan.

- Saturasi feritin dan transferin untuk hemokromatosis

- Ceruloplasmin dan tembaga urin untuk penyakit Wilson

- Alfa 1-antitripsin, dan fenotip protease inhibitor untuk defisiensi alfa 1-antitripsin

- Serum alfa-fetoprotein untuk karsinoma hepatoseluler (HCC)

(Sharma dan John, 2022).

Pencitraan dan biopsi hati

Sejumlah modalitas pencitraan digunakan bersama laboratorium untuk membantu

diagnosis sirosis. Ini termasuk USG, CT, MRI, dan elastografi transien (fibroscan) (Sharma

dan John, 2022).


- Ultrasonografi adalah modalitas yang murah, noninvasif, dan tersedia untuk evaluasi

sirosis. USG dapat mendeteksi nodularitas dan peningkatan echogenisitas hati, yang

terlihat pada sirosis. Namun, ini tidak spesifik karena temuan ini juga dapat dilihat pada

perlemakan hati. Ini juga dapat menentukan rasio lebar lobus berekor dengan lebar lobus

kanan, yang biasanya meningkat pada sirosis. Selain itu, ini adalah alat skrining yang

berguna untuk HCC pada pasien sirosis. Ultrasonografi Duplex Doppler membantu

menilai patensi vena hepatik, portal, dan mesenterika (Sharma dan John, 2022).

- CT dan MRI dengan kontras dapat mendeteksi HCC dan lesi vaskular, dengan MRI lebih

unggul daripada CT. MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat deposisi besi

dan lemak di hati untuk hemochromatosis dan steatosis, dan obstruksi bilier jika MRC

(magnetic resonance cholangiography) diperoleh. MRI, bagaimanapun, adalah mahal dan

tidak tersedia (Sharma dan John, 2022).

- Elastografi transien (fibroscan) adalah metode non-invasif yang menggunakan

gelombang ultrasonografi berkecepatan tinggi untuk mengukur kekakuan hati, yang

berkorelasi dengan fibrosis. Pada sirosis, pemindaian limpa koloid hati menggunakan

koloid belerang teknesium-99m dapat menunjukkan peningkatan penyerapan koloid di

sumsum tulang dan limpa bila dibandingkan dengan hati. Kehadiran varises di

kerongkongan atau lambung pada esophagogastroduodenoscopy (EGD) menunjukkan

hipertensi portal (Sharma dan John, 2022).

- Biopsi hati adalah standar emas untuk mendiagnosis sirosis serta menilai tingkat

peradangan (grade) dan fibrosis (stadium) penyakit. Namun demikian, kadang-kadang

dapat melewatkan diagnosis karena kesalahan pengambilan sampel. Diagnosis sirosis

dengan biopsi membutuhkan adanya fibrosis dan nodul. Pola nodular dapat berupa

mikronodular, makronodular, atau bercampur dengan pola mikronodular yang mewakili


faktor risiko independen untuk peningkatan gradien tekanan vena hepatik (HVPG) dan

penyakit yang lebih parah (Sharma dan John, 2022).

- Tes non invasif menggunakan penanda serum langsung dan tidak langsung digunakan

untuk mendeteksi pasien dengan fibrosis/sirosis yang signifikan dari pasien tanpa/fibrosis

ringan (Sharma dan John, 2022).

2.8 Tatalaksana

Kerusakan hati bersifat permanen. Namun demikian, cedera lebih lanjut pada hati harus

dihindari untuk menghentikan perkembangan penyakit. Penatalaksanaan umum untuk

mencegah penyakit hati kronis termasuk menghindari alkohol, vaksinasi HBV dan HCV,

nutrisi yang baik dengan diet seimbang, penurunan berat badan, dan pengobatan dini faktor

pencetus seperti dehidrasi, hipotensi, dan infeksi. Hal ini dicapai dengan pemantauan rutin

status volume, fungsi ginjal, perkembangan varises, dan progresi menjadi HCC (Sharma dan

John, 2022).

Terapi spesifik biasanya menargetkan etiologi, termasuk obat antivirus pada hepatitis

virus, steroid, dan agen imunosupresan pada hepatitis autoimun, asam ursodeoxycholic dan

asam obeticholic pada primary biliary cholangitis, khelasi tembaga pada penyakit Wilson,

dan khelasi besi dan proses mengeluarkan darah pada hemokromatosis. Penurunan berat

badan minimal 7% bermanfaat pada NASH, dan pantang alkohol sangat penting pada sirosis

alkoholik (Sharma dan John, 2022).

Tatalaksana Pasien Sirosis dengan Hepatitis B

- Pilihan terapi yang dapat diberikan pada pasien hepatitis B adalah peginterferon dan

analog nukleos(t)ida. Rekomendasi lini pertama untuk terapi hepatitis B kronik adalah

Peg-interferon, entecavir atau tenofovir

- Pilihan lini pertama analog nukleos(t)ida untuk terapi hepatitis B kronik adalah tenofovir

300 mg per hari atau entecavir 0,5 mg per hari. Jika kedua obat tidak tersedia, maka
dapat diberikan terapi lini kedua, yaitu lamivudine 100 mg/hari, adefovir 10 mg/hari,

atau telbivudine 600 mg/hari

- Hepatitis B dengan Sirosis Kompensata : Baik terapi dengan interferon maupun analog

nukleos(t)ida menunjukkan penurunan risiko dekompensasi atau KHS dan peningkatan

kesintasan pada kelompok terapi. IFN dan Peg-IFN aman dan efektif digunakan pada

pasien hepatitis B dengan sirosis kompensata yang terkait infeksi VHB. Terapi IFN pada

pasien dengan sirosis viral secara signifikan menurunkan rasio insiden KHS, tertama

pada pasien dengan DNA VHB serum yang tinggi. Peg-IFN aman digunakan pada pasien

sirosis dan fibrosis lanjut yang terkait infeksi VHB. Efikasinya, bila dinilai dari rasio

serokonversi dan kadar DNA VHB serum setelah terapi, lebih tinggi dibandingkan

dengan kelompok tanpa sirosis. Penggunaan terapi berbasis interferon pada pasien sirosis

tidak menunjukkan perbedaan dalam hal efek samping dan risiko dekompensasi tidak

lebih tinggi daripada kelompok non-sirosis. Pada pasien yang mempunyai kontraindikasi

atau tidak berespon pada pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian analog

nukleos(t)ida dapat dipertimbangkan sebagai terapi jangka panjang.

- Hepatitis B dengan Sirosis Dekompensata : Penggunaan IFN pada pasien dengan sirosis

dekompensata terkait VHB dapat menyebabkan dekompensasi dan meningkatkan risiko

infeksi bakteri, bahkan pada dosis kecil. Secara umum terapi berbasis interferon

dikontraindikasikan pada pasien dengan sirosis dekompensata. Saat ini, analog

nukleos(t)ida seperti lamivudin, entecavir, telbivudin, dan tenofovir telah disetujui

sebagai terapi pada sirosis dekompensata terkait infeksi VHB (KEMENKES, 2019).

Tatalaksana Pasien Sirosis dengan Hepatitis C

- Pilihan terapi untuk Hepatitis C terbaru adalah dengan DAA atau Direct Acting Antivirus

yakni simeprevir, grazoprevir, ledipasvir, daclatasvir, elbasvir, velpatasvir, sofosbuvir.


- Hepatitis C dengan sirosis kompensata : dapat diberikan sofosbuvir / ledipasvir selama

24 minggu, atau sofosbuvir / ledipasvir + Ribavirin selama 12 minggu.

- Hepatitis C dengan sirosis dekompensata : dapat diberikan sofosbuvir + ledipasvir

selama 24 minggu, atau sofosbuvir + ledipasvir + Ribavirin selama 12 minggu

(KEMENKES, 2019).

Tatalaksana Pasien sirosis dengan koinfeksi Hepatitis B dan C

- Terapi pada kasus koinfeksi VHC-VHB disesuaikan dengan virus yang lebih dominan.

Umumnya, infeksi VHC lebih dominan ditemukan sebagai penyebab utama hepatitis

kronik. Pada kondisi tersebut, kriteria serta pilihan terapi pada koinfeksi VHC-VHB

sama seperti terapi untuk pasien monoinfeksi VHC (KEMENKES, 2019).

2.9 Prognosis

Model prediktif untuk prognosis sirosis memperkirakan kelangsungan hidup sepuluh

tahun pada pasien dengan sirosis kompensasi sebesar 47%, tetapi ini turun menjadi 16%

setelah peristiwa dekompensasi terjadi. Penilaian atau klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (CTP)

menggunakan albumin serum, bilirubin, PT, asites, dan ensefalopati hepatik untuk

mengklasifikasikan pasien dengan sirosis ke dalam kelas A, B, dan C. Tingkat kelangsungan

hidup satu dan dua tahun untuk kelas ini adalah 100% dan 85% (A), 80% dan 60% (B), dan

45% dan 35% (C). Model skor penyakit hati stadium akhir (MELD) adalah model lain yang

digunakan untuk memprediksi kematian jangka pendek pasien dengan sirosis. Ia

menggunakan serum bilirubin, kreatinin, dan INR untuk memprediksi kematian dalam tiga

bulan ke depan. Berdasarkan skor MELD (baru-baru ini skor MELDNa), prioritas alokasi

organ untuk transplantasi hati bagi pasien sirosis diputuskan di AS (Sharma dan John, 2022).

Transplantasi hati diindikasikan pada sirosis dekompensasi yang tidak merespon

pengobatan medis. Tingkat kelangsungan hidup satu tahun dan lima tahun setelah
transplantasi hati masing-masing sekitar 85% dan 72%. Kekambuhan penyakit hati yang

mendasari dapat terjadi setelah transplantasi. Efek samping jangka panjang dari obat

imunosupresan merupakan penyebab lain morbiditas pada pasien transplantasi (Sharma dan

John, 2022).

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang menyertai sirosis hati dapat meliputi (Hayward dan Weersink, 2020) :

Ensefalopati hepatik

Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat

reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah mengeksklusi

kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0

(subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah

jatuh ke keadaan koma. Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena

adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar darah

otak. Peningkatan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan masuknya

neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut diantaranya, asam lemak rantai pendek,

mercaptans, neurotransmitter palsu (tyramine, octopamine, dan beta- phenylethanolamine),

amonia, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Kelainan laboratoris pada pasien dengan

ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum. Gejala pada penderita

ensefalopati hepatik biasanya termasuk kebingungan, perubahan kepribadian, disorientasi,

dan tingkat kesadaran yang menurun.

Stadium paling awal sering ditandai dengan pola tidur dan bangun yang terbalik di

mana pasien akan tidur di siang hari dan terjaga sepanjang malam. Sepanjang stadium

menengah, pasien cenderung mengalami tingkat kebingungan, kelesuan, dan perubahan


kepribadian yang memburuk. Pada stadium lanjut, ensefalopati hepatik pada akhirnya dapat

menyebabkan koma, dan akhirnya menyebabkan kematian (Mandiga, et al., 2022).

Menurut kriteria yang diterbitkan oleh West Haven, ensefalopati hepatik dibagi

menjadi beberapa stadium, yakni :

Gambar 2.2 Kriteria WHC pada ensefalopati hepatik (Rose, et al., 2020).

Berdasarkan penyakit yang mendasarinya, ensefalopati hepatik dibagi menjadi tiga

tipe, yaitu sebagai berikut :

1. Type A : Acute Liver Failure

2. Type B : Portosystemic bypass atau shunting tanpa sirosis

3. Type C : Cirrhosis Hepatic atau akibat penyakit hati kronik dengan atau tanpa

portosystemic bypass.

Pasien dengan Ensefalopati Hepatik biasanya dirawat dengan diet rendah protein dan

lactulose oral. Tindakan yang harus segera diberikan yaitu menyingkirkan penyebab

ensefalopati yang lain, perbaiki atau singkirkan faktor pencetus, dan segera mulai pengobatan
empiris yang dapat berlangsung dalam jangka lama sepertii diit rendah protein, pemberian

lactulosa, antibiotik (neomycin, metronidazole, vancomycin) (Buku Ajar IPD UNAIR, 2015).

Varises Esophagus

Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi porta yang

biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis sirosis dibuat. Varises ini

memiliki kemungkinan pecah dalam 1 tahun pertama sebesar 5-15% dengan angka kematian

dalam 6 minggu sebesar 15-20% untuk setiap episodenya. Gejala dari perdarahan varises

dapat berupa hematemesis, dan atau melena. Pilihan terapi dapat berupa propanolol,

octreotide dan somatostatin, terapetik endoskopi (skleroterapi maupun ligasi endoskopik)

(Buku Ajar IPD UNAIR, 2015).

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu infeksi

cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra abdominal.

Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen. SBP sering

timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan proteinnya rendah ( < 1 g/dL ) yang

juga memiliki kandungan komplemen yang rendah, yang pada akhirnya menyebabkan

rendahnya aktivitas opsonisasi. SBP disebabkan oleh karena adanya translokasi bakteri

menembus dinding usus dan juga oleh karena penyebaran bakteri secara hematogen. Bakteri

penyebabnya antara lain escherechia coli, streptococcus pneumoniae, spesies klebsiella, dan

organisme enterik gram negatif lainnya. Diagnose SBP berdasarkan pemeriksaan pada cairan

asites, dimana ditemukan sel polimorfonuklear lebih dari 250 sel / mm3 dengan kultur cairan

asites yang positif. Dengan pemberian antibiotik yang baik dan deteksi serta pengobatan yang

dini, akan memberikan hasil prognosis yang baik (Buku Ajar IPD UNAIR, 2015).

Sindrom hepatorenal
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang dapat diamati pada

pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi ascites. Sindrom ini diakibatkan oleh

vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil sehingga menyebabkan menurunnya perfusi

ginjal yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnose

sindrom hepatorenal ditegakkan ketika ditemukan cretinine clearance kurang dari 40

ml/menit atau saat serum 15 creatinine lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang dari 500

mL/d, dan sodium urin kurang dari 10 mEq/L. Ada 2 macam tipe sindroma hepatorenal :

Tipe 1 : Penurunan fungsi ginjal terjadi dalam beberapa bulan

Tipe 2 : Penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam 1-2 minggu

(Buku Ajar IPD UNAIR, 2015)


DAFTAR PUSTAKA

Askandar, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya : Airlangga University Press.
Calgary. 2023. Cirrhosis : Pathogenesis and Complications. The Calgary Guide to
Understanding Disease.
Chiejina M, Kudaravalli P, Samant H. Ascites. [Updated 2022 Aug 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470482/
Conangla-Planes M, Serres X, Persiva O, Augustín S. Imaging diagnosis of portal
hypertension. Radiologia (Engl Ed). 2018 Jul-Aug;60(4):290-300.
Fukui H, Kawaratani H, Kaji K, Takaya H, Yoshiji H. Management of refractory
cirrhotic ascites: challenges and solutions. Hepat Med. 2018;10:55-71.
Guyton and Hall. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Amerika Serikat : Elsevier.
Hayward KL, Weersink RA. Improving Medication-Related Outcomes in
Chronic Liver Disease. Hepatol Commun. 2020 Nov;4(11):1562-1577.
Kemenkes. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis B.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. 2019. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hepatitis C.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Kibrit J, Khan R, Jung BH, Koppe S. Clinical Assessment and Management of Portal
Hypertension. Semin Intervent Radiol. 2018 Aug;35(3):153-159.
Lee JC, Kim JS, Kim HW, Cho IK, Lee J, Jang ES, Lee SH, Hwang JH, Kim JW, Jeong SH,
Kim J. Outcome of endoscopic retrograde cholangiopancreatography in patients with
clinically defined decompensated liver cirrhosis. J Dig Dis. 2018 Oct;19(10):605-613.
Long B, Koyfman A. The emergency medicine evaluation and management of the patient
with cirrhosis. Am J Emerg Med. 2018 Apr;36(4):689-698.
Privitera G, Figorilli F, Jalan R, Mehta G. Portosystemic Shunt Embolization and
Recurrent Ascites: A Single-Center Case Series. Gastroenterology. 2018
Nov;155(5):1649-1650.
Sarin SK, Choudhury A. Management of acute-on-chronic liver failure: an algorithmic
approach. Hepatol Int. 2018 Sep;12(5):402-416.
Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis. [Updated 2022 Oct 31]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482419/.

Anda mungkin juga menyukai