Askep Jiwa Anak Berkebutuhan Khusus
Askep Jiwa Anak Berkebutuhan Khusus
BERKEBUTUHAN KHUSUS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
1. AHMAD SYAFANDI
2. DWI HARTANTO
3. EKO WAHYUDI
4. ENI MUCLISOH
5. GUNAWAN
6. INDAH WAHYUNINGTYAS
7. MUNIA
8. NIKMATUL KHOERIYAH
9. VIOLA L LITA YOVA
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
limpahan rahmat, karunia dan hidayah Nya-lah kami dapat menyelesaikan Makalah keperawatan
jiwa. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas kuliah makalah ini juga disusun dengan maksud
agar pembaca dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang asuhan dalam keperawatan jiwa.
Kami juga mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Dosen-dosen yang telah
membimbing kami.
Kritik dan saran selalu kami harapkan demi penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca dan dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan..........................................................................3
1.3 Manfaat Penulisan........................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORI........................................................................4
2.1 ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS............................................4
2.1.1 Definisi.....................................................................................4
2.1.2Diagnosa...................................................................................5
2.1.3 Intervensi.................................................................................5
2.1.4. Implementasi..........................................................................19
2.1.5 Evaluasi...................................................................................19
BAB III PENUTUP.....................................................................................28
3.1 kesimpulan..........................................................................................28
3.2 saran ...................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat. PBB memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10 persen anak usia sekolah yang
memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5 - 14 tahun, ada
sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka diperkirakan ada kurang
lebih 4,2 juta anak Indonesia yang berkebutuhan khusus. Di Indonesia belum ada data resmi
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut data terbaru jumlah anak berkebutuhan khusus di
Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen) berada
dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan
khusus yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang
belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.
Sedangkan dari asumsi PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa atau United Nations) yang
memperkirakan bahwa paling sedikit 10% anak usia sekolah menyandang kebutuhan khusus.
Jumlah anak berkebutuhan khusus pada tahun 2011 tercatat sebanyak 356.192 anak, namun
yang mendapat layanan baru 86.645 anak dan hingga tahun ini baru 105.185 anak, tahun
2012 pemerintah mentargetkan minimal 50% anak berkebutuhan khusus sudah terakomodir.
Sama halnya dengan anak yang normal, anak yang berkebutuhan khusus juga harus di
perhatikan, pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting bagi anak karena
menentukan masa depannya. Khususnya untuk anak yang mengalami gangguan kognitif
seperti autism, hiperaktif, down sindrom dan retardasi mental, membutuhkan perhatian yang
lebih terutama dari orang-orang sekitar, sehingga perawat perlu melibatkan lingkungan untuk
memberikan asuhan keperawatan pada anak. Untuk itu akan dibahas bagaimana asuhan
keperawatan pada anak yang berkebutuhan khusus.
1
1.2. Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui konsep terapi pada anak dengan kebutuhan khusus.
1. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana konsep terapi pada anak
dengan kebutuhan khusus.
2. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana menentukan diganosa
keperawatan yang tepat pada anak dengan kebutuhan khusus.
3. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana menentukan intervensi
keperawatan yang tepat pada anak dengan kebutuhan khusus.
4. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana mengimplementasikan
tindakan yang tepat pada anak dengan kebutuhan khusus.
5. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami bagaimana mengevaluasi tindakan
yang tepat pada anak dengan kebutuhan khusus.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Learner, Tuna Grahita, CIBI( Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa), Tunanetra, Tunarungu,
Tunadaksa, Cerebral Palsy, Tunaganda.
4
Membutuhkan pengetahuan akan meningkatkan penolakan secara
fungsional. Oleh karena itu akan mudah bagi anak yang mengalami slow
learner jika menjelaskan materi yang sudah mereka kuasai sebelumnya
untuk mempermudah penjelasan materi baru.
4) Increasing instructional Efficiency. Anak dengan kecerdasan tebatas
(Borderline Intelligence) belajar lebih lambat dibandingkan dengan
teman-teman seusianya yang berkecerdasan rata-rata. Anak Borderline
Intelligence lebih mudah belajar setiap fakta-fakta yang terbatas
dibandigkan temannya karena mereka memiliki kekuatan untuk reto
memorization. Mereka lebih membutuhkan banyak fakta-fakta terbatas
untuk memahami sebuah konsep. Dengan membuat instruksi yang lebih
efisien, maka akan memperkecil jurang antara slow learner dan teman
seusianya yang berkecerdasan rata-rata. Untuk memudahkannya
dibuatkan instruksi yang terrorganisasi dengan baik, slow learner untuk
belajar fakta-fakta terpisah dalam mempelajari generalisasi sehingga
mampu mengatasi keterbatsan yang mereka alami.
5) Academic Motivation. Dukungan motivasi akademik adalah penting
untuk membangun resilensi akademis dari slow learner, menghubungkan
pembelajaran dengan pengalaman didunia nyata membantu mereka
melihat keuntungan dari pembelajaran sehingga sangat signifikan
sebagai motivasi.
6) Social and Ecomonic Neds. Anak dengan slow learner seringkali
mengalami kegagalanselfconcept rendah dan memisahkan diri dari
lingkungan sekolah. Hal ini penting untuk mengindentifikasi dan
mendorong siswa dengan slow learner dalam kegiatan lain yang
membutuhkan keterampilan dan kekuatan yang berbeda.
Menggabungkan anak slow learner dengan rekan-rekan lainnya dalam
kelompok melalui kegiatan sehingga slow lerner berhasil memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap motivasi dalam pencapaian
akademik dan keberhasilan sekolah.
5
Tips pengajaran untuk anak dengan slow learner
Tips sederhana yang dapat ditetapkan untuk membangtu pembelajaran anak slow
learner (shaw, 2010) yaitu melalui strategi:
6
diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan terapi
ini, akan tetapi bila anak berespons negative (salah/tidak teoat) atau
terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.
b) Terapi Okupasi
Terapi (therapy) yang berarti penyembuhan, tidak hanya
membahas masalah pengobatan jasmaniah, tetapi penyesuaian diri dan
fungsi berpikir. Okupasi (occupation) artinya kesibukan atau pekerjaan.
Terapi okupasi berarti usaha penyembuhan melalui kesibukan atau
pekerjaan tertentu. Menurut Kusnanto (2002) “terapi okupasi adalah usaha
penyembuhan terhadap anak yang mengalami kelainan mental dan fisik
dengan jalan memberikan keaktifan kerja,keaktifan itu mengurangi
penderitaan yang alami”.
Materi latihan dipilih dan ditentukan dengan memperhatikan
karakteristik atau ciri khas anak autis. Nama dan bahan latihan bisa sama,
tetapi kedalaman dan keluasan latihan antara anak autis satu dengan
lainnya berbeda. Cara atau pendekatan latihan perlu memperhatikan
karakteristik anak. Pendekatan ini bergantung pada tujuan latihan, mau
memupuk kemampuan sosialisasi atau komunikasi anak. Latihan
sebaiknya diberikan dalam waktu tidak terlalu lama, tetapi sering dan
segera hentikan jika anak tampak bosan. Tempat yang digunakan, materi
latihan, dan alat yang dibutuhkan disesuaikan dengan keadaan anak.Terapi
okupasi tidak hanya sebatas aktivitas fisik, tetapi mencakup
pengembangan intelektual,sosial, emosi dan kreativitas.
7
kecerdasan,intelektual, motivasi dan semangat anak. Pemulihan yang
dilakukan dengan membuat persendian, otot, dan kondisi tubuh dapat
berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Memberi anak peluang persiapan menghadapi tugas pekerjaan atau profesi
yang sesuai dengan kondisinya.
Anak autis termasuk dalam kategori anak luar biasa, yaitu anak
dengan gangguan sosial dan emosi. Secara fisik anak autis tidak berbeda
dengan anak normal. Jika anak autis memiliki intelegensi normal,
diharapkan anak dapat mencapai suatu pekerjaan tertentu. Hanya perlu
penekanan pada latihan pemulihan fungsi tubuh, penyesuaian atau
prevokasional. Sebaliknya jika anak autis memiliki intelegensi di bawah
normal, kemungkinan anak kurang atau tidak dapat memiliki vokasional
tingkat terampil.
Ragam latihan terapi okupasi, seperti:
Latihan mereaksi; latihan memanggil nama terapis.
Latihan kebiasaan gerak; latihan kebiasaan berjalan digaris lurus.
Latihan motorik kasar; berjalan bebas tanpa bantuan
Latihan keseimbangan; berjalan perlahan di papan titian
c) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam
bicara dan berbahasa. Biasanya hal ini yang paling menonjol, dan banyak
pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat
kurang. Kadang-kadang kemampuan bicaranya cukup berkembang, namun
anak autis tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya tersebut
untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi
wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
d) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak
diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam
motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga
jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi
8
dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk
menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
e) Terapi Sosial
Salah satu akibat dari autisme adalah sedikitnya kemampuan sosial
dan komunikasi. Banyak anak yang menderita autisme memerlukan
bantuan untuk menciptakan kemampuan supaya dapat mempertahankan
percakapan, berhubungan dengan teman baru atau bahkan mengenal
tempat bermainnya. Seorang terapis sosial dapat membantu untuk
menciptakan atau menfasilitasi terjadinya interaksi sosial.
f) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan
pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya
berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang
terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik
tertentu. Di bawah ini adalah beberapa contoh penerapan terapi bermain
bagi anak-anak penyandang autisme, diantaranya:
- Terapi yang dilakukan oleh Bromfield dengan fokus terapinya
memasuki ke dunia anak. Hal ini dilakukan agar kita dapat memahami
pembicaraan dan perilaku anak yang membingungkan dan kadang
tidak diketahui maknanya. Bromfield mencoba menirukan perilaku
obsesif anak untuk mencium/membaui semua objek yang ditemui
menggunakan suatu boneka yang juga membaui benda. Apa yang
dilakukan Bromfield dan yang dikatakannya ternyata dapat menarik
perhatian anak tersebut. Bromfield berhasil menjalin komunikasi
lanjutan dengan anak tersebut menggunakan alatalat bermain lain
seperti boneka, catatan-catatan kecil, dan telepon mainan.
9
makalah yang menjelaskan mengenai pola perilaku dari beberapa anak laki-laki
memiliki tingkat intelegensi dan perkembangan bahasa yang normal, namun juga
memperlihatkan perilaku yang mirip autisme, serta mengalami kekurangan dalam
hubungan sosial dan kecakapan komunikasi. Walaupun makalahnya itu telah
dipublikasikan sejak tahun 1940-an, namun Sindrom Asperger baru dimasukkan ke
dalam katergori DSM IV pada tahun 1994 dan baru beberapa tahun terakhir Sindrom
Asperger tersebut dikenal oleh para ahli dan orang tua.
Seseorang penyandang SA dapat memperlihatkan bermacam-macam karakter dan
gangguan tersebut. Seseorang penyandang SA dapat memperlihatkan kekurangan
dalam bersosialisasi, mengalami kesulitan jika terjadi perubahan, dan selalu melakukan
hal-hal yang sama berulang ulang. Sering mereka terobsesi oleh rutinitas dan
menyibukkan diri dengan sesuatu aktivitas yang menarik perhatian mereka. Mereka
selalu mengalami kesulitan dalam membaca aba-aba (bahasa tubuh) dan seringkali
seseorang penyandang SA mengalami kesulitan dalam menentukan dengan baik posisi
badan dalam ruang (orientasi ruang dan bentuk).
Karena memiliki perasaan terlalu sensitif yang berlebihan terhadap suara, rasa,
penciuman dan penglihatan, mereka lebih menyukai pakaian yang lembut, makanan
tertentu dan merasa terganggu oleh suatu keributan atau penerangan lampu yang mana
orang normal tidak dapat mendengar atau melihatnya. Penting untuk diperhatikan
bahwa penyandang SA memandang dunia dengan cara yang berlainan.
Menurut definisi, penyandang SA mempunyai IQ.normal dan banyak dari mereka
(walaupun tidak semua) memperlihatkan pengecualian dalam keterampilan atau bakat
di bidang tertentu. Karena mereka memiliki fungsionalitas tingkat tinggi serta bersifat
naif, maka mereka dianggap eksentrik, aneh dan mudah dijadikan bahan untuk ejekan
dan sering dipaksa temanya untuk berbuat sesuatu yang tidak senonoh. Walaupun
perkembangan bahasa mereka kelihatannya normal, namun penyandang SA sering
tidak pragmatis dan prosodi. Perbendaharaan kata-kata mereka kadang sangat kaya dan
beberapa anak sering dianggap sebagai 'profesor kecil'. Namun mereka dapat
menguasai literatur tapi sulit menggunakan bahasa dalam konteks sosial.
10
d. Terapi bagi Penyandung Tuna Grahita
a) Terapi Wicara
Suatu terapi yang diperlukan untuk anak tuna grahita atau anak bermasalah
dengan keterlambatan bicara, dengan deteksi dini di perlukan untuk mengetahui
seawal mungkin menemukan gangguan kemampuan berkomunikasi, sebagai dasar
untuk memberikan pelayanan terapi wicara.
b) Terapi Okupasi
Terapi ini di berikan untuk dasar anak dalam hal kemandirian,
kognitif/pemahaman, dan kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian
diberikan kerena pada dasarnya anak "bermasalah" tergantung pada orang lain atau
bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa komunikasi dan memperdulikan
orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi,
dengan atau tanpa menggunakan alat.
c) Terapi Remedial
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan akademis skill, jadi
bahan bahan dari sekolah bias dijadikan acuan program.
d) Terapi Kognitif
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan perceptual,
missal anak yang tidak bias berkonsentrasi, anak yang mengalami gangguan
pemahaman, dan lain-lain.
e) Terapi Sensori Integrasi
Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan pengintegrasian sensori,
misalnya sensori visual, sensori taktil, sensori pendengaran, sensori keseimbangan,
pengintegrasian antara otak kanan dan otak kiri, dan lain-lain.
Anak di ajarkan berprilaku umum dengan pemberian sistem reward dan
punishment. Bilan anak melakukan apa yang di perintahkan dengan benar, makan
diberikan pujian. Jika sebaliknya anak dapat hukuman jika anak melakukan hal
yang tidak benar. Dengan perintah sederhana dan yang mudah di mengerti anak.
11
f) Terapi Snoezelen
Snoezelen adalah suatu aktifitas terapi yang dilakukan untuk memengaruhi CNS
melalui pemberian stimulasi pada sistem sensori primer seperti visual, auditori,
taktil. Taste, dan smell serta sistem sensori internal seperti vestibular dan
proprioceptif dengan tujuan untuk mencapai relaksasi dan atau aktifiti. Snoezelen
merupakan metode terapi multisensories. Terapi ini di berikan pada anak yang
mengalami gangguan perkembangan motorik, misalnya anak yang mengalami
keterlambatan berjalan.
12
terhadap diri kegiatan yang pengendalian
sendiri dapat dilakukan prilaku
5. Percaya diri saat ini untuk
Promosi harga diri
berbicara. dilatih
6. Verbalisasi 4. latih kegiatan 1. Menggali
kebingungan yang dipilih (alat pengalaman
menurun dan cara pasien untuk
7. Perilaku melakukannya) meningkatkan
gelisah 5. masukkan pada harga diri
menurun jadwal kegiatan 2. Agar pasien lebih
untuk latihan dua leluasa
kali perhari melakukan
SP 2 aktivitas
1. evaluasi kegiatan 3. Membiasakan
pertama yang pasien berfikir
telah dilatih. Beri dan berprilaku
pujian positif
2. bantu pasien
memilih kegiatan
kedua yang akan
dilatih
3. latih kegiatan
kedua (alat dan
cara)
4. masukkan pada
jadwal kegiatan
untuk latihan (2
kegiatan masing-
masing 2 kali per
hari)
SP 3
13
1. evaluasi kegiatan
pertama dan kedua
yang telah dilatih.
Berikan pujian
2. bantu pasien
memilih kegiatan
ketiga yang akan
dilatih
3. latih kegiatan
ketiga (alat dan
cara)
4. masukkan pada
jadwal evaluasi
kegiatan pertama,
kedua dan ketiga
yang telah dilatih
dan beri pujian
5. bantu pasien
memilih kegiatan
ke empat yang
akan dilatih
6. latih kegiatan ke
empat (alat dan
cara)
7. masukkan pada
jadwal kegiatan
untuk latihan tiga
kegiatan masing-
masing dua kali
perhari
8. kegiatan untuk
14
latihan 3 kegiatan
masing masing 2
kali
SP 4
1. evaluasi kegiatan
latihan dan
berikan pujian
2. latih kegiatan
dilanjutkan sampai
tak terhingga
3. nilai kemampuan
yang telah mandiri
4. nilai apakah harga
diri pasien
meningkat.a
(SIKI)
Manajemen prilaku
1. Identifikasi
harapan untuk
mengendalika
n sesuatu
2. Jadwalkan
kegiatan
terstruktur
3. Tingkatkan
aktivitas fisik
sesuai
kemampuan
4. Cegah prilaku
pasif agresif
5. Berikan
15
penguatan
positif
terhadap
keberhasilan
pengendalian
prilaku
Promosi harga diri
1. Diskusikan
pengalaman
yang
meningkatkan
harga diri
2. Fasilitasi
lingkungan
dan aktivitas
yang
meningkatkan
harga diri
3. Latih cara
berfikir dan
berprilaku
positif
2. Gangguan Setelah dilakukan Orientasi realita Orientasi realita
identitas tindakan 3x24 jam 1. Monitor
1. Agar mampu
diri diharapkan identitas perubahan
melihat
diri pasienmembaik kognitif dan
perubahan pasien
dengan kriteria hasil perilaku
2. Agar pasien
1. Perilaku 2. Ajarkan
mempu
konsisten perawatan diri
melakukan
2. Strategi koping secara mandiri
kebersihan diri
efektif Promosi koping
16
3. Penampilan 1. Identifikasi secara mandiri
peran efektif kemampuan yang
Promosi koping
4. Perasaan dimiliki
fluktuaktif Promosi kesadaran 1. Menggali
terhadap diri diri kemampuan
1. Identifikasi pasien mengenai
keadaan kemampuan yang
emosional saat ini dimiliki
1. Mengetahui
status emosional
pasien
2.1.3 Implementasi
2.1.4 Evaluasi
O : Objektif
A : Analisis
P : Planning
18
1.Tindakan yang perlu
dilanjutkan atau tindakan yang
masih kompeten untuk
menyelesaikan masalah klien
dan membutuhkan waktu untuk
mencapai keberhasilannya
2.Tindakan yang perlu
dimodifikasi adalah tindakan
yang dirasa dapat membantu
menyelesaikan masalah klien,
tetapi perlu ditingkatkan
kualitasnya atau mempunyai
alternatif pilihan yang lain yang
diduga dapat membantu
mempercepat proses
penyembuhan
3.Rencana tindakan baru atau
sebelumnya tidak ada, dapat
ditentukan apabila timbul
masalah baru atau rencana
tindakan yang sudah tidak
kompeten lagi untuk
menyelesaikan masakah yang
ada
I : Implementasi
19
menuliskan tanggal jam
pelaksanaan
E : Evaluasi
R : Reassesment
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward,
2002) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada
umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.
Istilah lain lagi anak berkebutuhan khusus adalah anak khusus adalah anak luar biasa dan
anak cacat. Anak dengan kebutuhan khusus ( special needs children) dapat diartikan
20
secara simple sebagai anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang
sangat sukar untuk berhasil disekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya
1.2 Saran
Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Ratri Desiningrum, Dinie. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta : Psikosain
21