Anda di halaman 1dari 71

PENGARUH RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP TINGKAT

KEMESASAN (ANSIETAS) PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II


DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURBOLINGGO
TAHUN 2022

MINI PROPOSAL

OLEH :
DWI HARTANTO
NPM.2020206203252P

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU-LAMPUNG
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha Esa telah melimpahkan rahmat dan hidayah-

Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan Mini Proposal dengan judul “Pengaruh Relaksasi

Otot Progresif Terhadap Tingkat Kemesasan (Ansietas) Penderita Diabetes Mellitus Tipe II

Di Wilayah Kerja Puskesmas Purbolinggo Tahun 2022”.

Penyusunan Mini Proposal ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan dan

dorongan berbagai pihak, pada kesempatan ini perkenankan penulis menghaturkan rasa

terima kasih kepada yang terhormat :

1. Drs.H Wanawir Am, M.M M.Pd selaku rektor Universitas Muhammadiyah Pringsewu

2. Elmi Nuryati, M.Epid, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Pringsewu

3. Ns.Nuria Mulyani, M.Kep., Sp.Kep.J, selaku pembimbing Mini Proposal yang telah

memberikan masukan kepada penulis.

4. Dosen dan Tenaga Pengajar di Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Pringsewu

5. Almamater Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu yang sangat

penulis cintai

penulis Menyadari bahwa Mini Proposal ini belum sempurna, maka dari itu kritik dan

saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan.Semoga Mini Proposal ini dapat

bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi rekan-rekan mahasiswa Program

Studi S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu.

Pringsewu, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
D. Ruang Lingkup .............................................................................. 5
E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7


A. Diabetes Mellitus ........................................................................... 7
B. Kecemasan ..................................................................................... 28
C. Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation) ........... 37
D. Kerangka Teori .............................................................................. 45
E. Kerangka Konsep ........................................................................... 46
F. Hipotesis......................................................................................... 46

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 47


A. Jenis Penelitian .............................................................................. 47
B. Variabel Penelitian ......................................................................... 48
C. Definisi Operasional Variabel ....................................................... 48
D. Populasi dan Sampel ...................................................................... 50
E. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 51
F. Etika Penelitian .............................................................................. 52
G. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data .................................... 53
H. Pengolahan dan Analisa Data ........................................................ 55

DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

TABEL 2.1 Kriteria Diabetes Mellitus................................................................................9

TABEL 2.2 Perbedaan Ciri-Ciri Dari Diabetes Mellitus Tipe 1 Dan 2..............................15

TABEL 3.1 Definisi Operasional Variabel.........................................................................49

iii
DAFTAR GAMBAR

2.1 Gerakan 1 mengepalkan tangan bagian bawah........................................... 41


2.2 Gerakan 2 untuk tangan bagian belakang................................................... 41
2.3 Gerakan 3 otot-otot biceps dan gerakan 4 untuk otot bahu........................ 42
2.4 Gerakan-gerakan untuk otot-otot wajah..................................................... 43
2.5 Gerakan melatih otot leher, punggung dan otot dada................................. 44
2.6 Kerangka Teori .......................................................................................... 46
2.7 Kerangka Konsep Penelitian ...................................................................... 46

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan gaya hidup tidak sehat seperti kurang aktivitas fisik dan kebiasaan

mengkonsumsi makanan dengan gizi tidak seimbang saat ini telah membawa dampak buruk

bagi kesehatan masyarakat dan menyebabkan tingginya angka kejadian penyakit diabetes

mellitus yaitu penyakit gangguan metabolisme kronis yang ditandai peningkatan gula darah

(Hiperglikemia) akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan insulin. Kurang lebih 90%-

95% adalah penderita diabetes mellitus akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau

disebut diabetes tipe 2 selebihnya adalah tipe 1 atau diabetes yang bergantung pada insulin

akibat rusaknya sel beta pankreas penghasil insulin (Tarwoto dkk, 2012).

Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) angka kejadian diabetes

mellitus di dunia saat ini mencapai 422 juta orang. Prevalensi global diabetes melitus

dikalangan orang dewasa di atas usia 18 tahun telah meningkat 8,5%. Tahun 2016, sekitar

1,6 juta kematian secara langsung disebabkan oleh diabetes dan 2,2 juta kematian yang

disebabkan komplikasi diabetes. WHO memprediksikan bahwa diabetes akan menjadi

penyebab utama kematian ke-7 di dunia pada tahun 2030 (WHO, 2021).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi

diabetes melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada umur 15 tahun sebesar 2%.

Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan prevalensi diabetes melitus pada

penduduk 15 tahun pada hasil Riskesdas 2013 sebesar 1,5%. Namun prevalensi diabetes

melitus menurut hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9% pada 2013 menjadi 8,5%

pada tahun 2018,Sedangkan angka kejadian diabetes mellitus di Provinsi Lampung mencapai

0,7% (38.923 kasus dari perkiraan 5.560.440 penduduk usia >14 tahun) (Kemenkes RI,

2021).

1
Berdasarkan data yang tercatat di Kasie Surveilans & Epidemiologi Dinas Kesehatan

Kabupaten Lampung Timur menunjukkan bahwa pada tahun 2020 tercatat sebanyak 10.331

kasus. Sementara data yang tercatat di Wilayah Kerja Puskesmas purbolinggo menunjukkan

bahwa angka kejadian diabetes mellitus meningkat Pada tahun 2019 tercatat sebanyak 227

kasus dan di tahun 2020 ditemukan sebanyak 466 kasus (Dinkes Kab. Lampung Timur,

2020). Jumlah ini meningkat hampir 50 % dari jumlah penderita Diabetes militus di wilayah

kerja Purbolinggo. Selain itu, wilayah kerja Puskesmas Purbolinggo juga adalah salah satu

wilayah kerja yang cukup luas, yaitu 60,6 km2 yang terdiri dari 12 desa. Oleh karena itu,

penulis memilih Wilayah Kerja Puskesmas Purbolinggo sebagai tempat penelitian.

Diabetes mellitus (DM) sendiri diklasifikasikan menjadi 2 yaitu diabetes mellitus tipe 1

atau diabetes yang bergantung insulin dan diabetes tipe 2 atau diabetes yang tidak bergantung

insulin. Dari dua tipe tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah DM tipe 2 yaitu terjadi

sekitar 90% dari seluruh penderita diabetes (Black & Hawks, 2014b). Dampak meningkatnya

angka kejadian diabetes mellitus baik tipe 1 maupun tipe 2 akan menyebabkan tingginya

angka kematian di dunia, karena diabetes mellitus memiliki berbagai komplikasi yang

mengancam jiwa seperti gangguan pada sistem kardiovaskular. Perubahan sistem vascular

meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang penyakit arteri koroner, penyakit vascular

serebral dan penyakit vascular perifer. Penyandang DM yang mengalami infark miokard

lebih rentan terhadap terjadinya gagal jantung kongestif sebagai komplikasi infark dan juga

cenderung jarang bertahan hidup pada periode segera setelah mengalami infark (LeMone,

Burke, & Bauldoff, 2016)

Penyebab tingginya angka kejadian diabetes mellitus sampai saat ini belum diketahui

secara pasti, namun beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian diabetes

mellitus adalah adanya riwayat keluarga, lingkungan, usia, obesitas, etnik, hipertensi,

perilaku makan, dan kurang olah raga (Tarwoto dkk., 2012). Terbatasnya informasi mengenai

penyakit diabetes mellitus, para penderita diabetes pada tahun-tahun awal akan mengalami

2
ansietas yang didefinisikan sebagai kebingungan yang kemudian dicirikan dengan perasaan

tidak yakin, putus asa, perasaan tertekan, bimbang dan gugup. (Novitasari R, 2012)

Ansietas adalah kebingungan atau kekhawatiran, ketidakberdayaan dan

ketidaknyamanan pada sesuatu yang terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan

dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. Ansietas dapat di atasi

dengan beberapa teknik relaksasi, diantara teknik relaksasi yang diyakini dapat menurunkan

ansieatas adalah relaksasi otot progresif, yaitu salah satu teknik pengelolaan diri yang

didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Relaksasi otot

progresif bertujuan untuk mengatasi berbagai macam permasalahan dalam mengatasi stres,

kecemasan, insomnia, dan juga dapat membangun emosi positif dari emosi negatif (Triyanto,

2014).

Penelitian yang dilakukan rahayu et al (2014) dengan desain penelitian onegroup

pretest-posttest design jumlah sampel 40 responden menggunakan teknik cluster sampling.

Sebelum dilakukan terapi relaksasi otot progresif didapatkan jumlah klien yang mengalami

kecemasan terbanyak adalah kecemasan berat 25 orang (62,5%), dan terkecil adalah

kecemasan berat sekali/panik sebanyak 4 orang (10%). Setelah dilakukan terapi relaksasi otot

progresif bahwa jumlah klien yang mengalami kecemasan terbanyak adalah kecemasan

sedang sebanyak 12 orang (30%), jumlah klien yang mengalami kecemasan terkecil adalah

kecemasan berat sebanyak 6 orang (15%). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka

dapat disimpulkan, bahwa ada pengaruh terapi relaksasi otot progresif terhadap penuranan

tingkat kecemasan pada klien diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas

Karangdoro Semarang (ρ < 0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Antoni dan Diningsih

didapatkan relaksasi otot progresif dapat digunakan sebagai terapi komplementer dalam

mengelola stres fisiologis dan sres psikologis pada klien dengan diabetes melitus. Kadar

glukosa darah sebelum 293 mg/dl dan sesudah 267,65 mg/dl. Skor fatigue sebelum diperoleh

4,45 dan sesudah 2,60. Skor kecemasan dari 36,05 menjadi 32,60.

3
Berdasarkan hasil prasurvey dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) untuk

mengukur tingkat stress terhadap 10 orang penderita diabetes mellitus, ditemukan sebanyak 8

orang (80%) yang mengalami tanda-tanda kecemasan seperti kurang tidur dan gelisah, dan 2

orang (20%) lainnya tidak mengalami tanda-tanda kecemasan. Oleh karena itu, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Relaksasi Otot Progresif (Progressive

Muscle Relaxation) Terhadap Tingkat Ansietas Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Di

Wilayah Kerja Puskesmas Purbolinggo tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit yang terus mengalami peningkatan

baik di dunia maupun di Indonesia. Diabetes sendiri merupakan salah satu penyakit yang

memiliki banyak komplikasi dan termasuk penyebab angka kematian di dunia. Penderita

diabetes dapat mengalami Gangguan tingkat Ansietas karena adanya gejala yang dirasakan

seperti, kecemasan, depresi, dan nyeri akibat neuropati. Peningkatan tingkat ansietas akan

memperburuk kadar gula darah penderita diabetes.

Upaya untuk menurunkan tingkat ansietas pada penderita diabetes sangat penting

diantaranya melalui teknik relaksasi otot progresif yang diyakini mampu menurunkan tingkat

ansietas. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian yaitu ialah adakah pengaruh

relaksasi otot progresif terhadap tingkat ansietas penderita diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah

Kerja Puskesmas Purbolinggo tahun 2022?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah diketahuinya pengaruh relaksasi otot

progresif terhadap tingkat ansietas penderita diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Kerja

Puskesmas Purbolinggo tahun 2022.

4
2. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Diketahuinya distribusi frekuensi karakteristik responden (umur, jenis kelamin,

pekerjaan, dan pendidikan) penderita diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Kerja

Puskesmas Purbolinggo tahun 2022.

b. Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat ansietas penderita diabetes sebelum

pemberian (pretest) relaksasi otot progresif di Wilayah Kerja Puskesmas

Purbolinggo tahun 2022

c. Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat ansietas penderita diabetes setelah

pemberian (posttest) relaksasi otot progresif tipe 2 di Wilayah Puskesmas

Purbolinggo tahun 2022.

d. Diketahuinya pengaruh relaksasi otot progresif terhadap ansietas penderita

diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Purbolinggo tahun 2022

D. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif studi quasi

experiment design, rancangan Nonequivalent control group design/non randomized control

group pretest posttest design dengan uji paired t test. Objek penelitiannya yaitu pengaruh

relaksasi otot progresif terhadap ansietas penderita diabetes mellitus, sedangkan sebagai

subjek penelitian ini adalah pasien diabetes tipe 2. Penelitian ini akan dilaksanakan di

Wilayah Kerja Puskesmas Purbolinggo.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang pengaruh relaksasi otot

progresif terhadap tingkat ansietas penderita diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Kerja

Puskesmas Purbolinggo .

5
2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Masyarakat

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi yang

berkaitan dengan upaya menurunkan gangguan tingkat ansietas bagi penderita

diabetes mellitus melalui pendekatan terapi komplementer yaitu menggunakan

terapi relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation).

b. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan yang bersifat

membangun bagi tenaga kesehatan dalam upaya memberikan intervensi yang

tepat guna menurunkan gangguan tingkat ansietas penderita diabetes mellitus

melalui terapi relaksasi otot progresif.

c. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam mengembangkan

penelitian yang lebih lanjut serta dapat menjadi data awal untuk melakukan

penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan upaya menurunkan gangguan

tingkat ansietas bagi penderita diabetes mellitus.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang ditandai

peningkatan gula darah (Hiperglikemia), disebabkan karena ketidakseimbangan suplai dan

kebutuhan insulin. Insulin dalam tubuh dibutuhkan untuk memfasilitasi masuknya glukosa

dalam sel agar dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau

tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan didalam darah dan kekurangan glukosa

yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto dkk., 2012).

Diabetes mellitus tipe 2 sebelumnya disebut Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(NIDDM) atau diabetes mellitus onset-dewasa adalah gangguan yang melibatkan baik genetic

dan faktor lingkungan. Sedangkan diabetes Tipe 1 atau sebelumnya disebut Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus onset anak-anak adalah diabetes

yang ditandai dengan destruksi sel beta pancreas yang mengakibatkan defisiensi insulin

absolut (Black & Hawks, 2014b).

Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan

peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja

insulin, atau keduanya (Smeltzer, 2018). Diabetes mellitus merupakan penyakit yang

disebabkan oleh adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin

dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu : rusaknya sel-sel  pankreas karena pengaruh dari luar

(virus, zat kimia tertentu, dll). Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar

pankreas. Desensitas/kerusakan reseptor insulin (down reglukosation) di jaringan parifer

(Hasdianah, 2012).

7
Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan

cukup insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang

dihasilkan. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah

(hiperglikemia). Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak

menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Perubahan seperti sering buang air

kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), banyak makan/mudah lapar (polifagia) dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas. Diabetes merupakan penyakit yang dapat mematikan

karena pengaruhnya menyebar ke sistem tubuh yang lain, kondisi ini meliputi resistensi

insulin, kadar kolesterol yang tinggi dan tekanan darah tinggi. Mereka yang memiliki tekanan

darah yang lebih tinggi 3 kali lebih besar ditemukan pada penderita diabetes mellitus

(Apriyanti, 2014).

2. Kriteria Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association 2010 (ADA) (dalam Tarwoto dkk., 2012)

untuk menentukan diagnosa dan kriteria diabetes mellitus, memenuhi 2 di antara 3 kriteria

sebagai berikut:

a. Adanya tanda dan gejala Diabetes mellitus ditambah kadar gula darah acak atau

random lebih atau sama dengan 200 mg/dl.

b. Gula darah puasa atau Fasting Blood Sugar (FBS) lebih besar atau sama dengan

126 mg/dl (puasa sekurangnya 8 jam).

c. Hasil Glucose Tolerant Test (GTT) lebih besar atau sama dengan 200 mg/dl, 2

jam sesudah beban.

Sedangkan pre diabetes mellitus

d. Impaired glucose tolerance (IGT) jika berhasil pemeriksaan 2 jam sesudah beban

glukosa >140 s.d <200 mg/dl

8
e. Impaired fasting glucose (IFG), jika berhasil pemeriksaan gula darah puasa >110

s.d <126 mg/dl)

Tabel 2.1
Kriteria Diabetes Mellitus (ADA, 2010).
Belum
Kadar Bukan
pasti DIABETE
gula DIABETE
DIABETE S
darah S
S MELLIT
(mg/dl MELLIT
MELLIT US
) US
US
Sewak Plas <100 100-199 ≥ 200
tu ma mg/dL mg/dL mg/dL
vena
Dara <90 90-199 ≥ 200
h mg/Dl mg/dL mg/dL
kapil
er
Puasa Plas <100 100-125 ≥ 120
ma mg/dL mg/dL mg/dL
vena
Dara <90 90-99 ≥ 100
h mg/dL mg/dL mg/dL
kapil
er

(American Diabetes Association 2010 dalam Tarwoto dkk., 2012).

3. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut WHO dan American Diabetes Association (dalam Tarwoto dkk., 2012),

penyakit diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi :

a. Diabetes mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (INDDM) yaitu

diabetes mellitus yang bergantung insulin. Diabetes tipe ini terjadi pada 5% s.d

9
10% penderita diabetes mellitus. Pasien sangat tergantung insulin melalui

penyuntikan untuk mengendalikan gula darah. Diabetes tipe 1 disebabkan karena

kerusakan sel beta pankreas yang menghasilkan insulin. Hal ini berhubungan

dengan kombinasi antara faktor genetik, imunologi dan kemungkinan lingkungan,

seperti virus. Terdapat juga hubungan terjadinya diabetes tipe 1 dengan beberapa

antigen leukosit manusia (HLAs) dan adanya autoimun antibody sel islet (ICAs)

yang dapat merusak sel-sel beta pankreas. Bagaimana proses terjadinya kerusakan

sel beta itu ini tidak jelas. Ketidakmampuan sel beta menghasilkan insulin

mengakibatkan glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam

hati dan tetap berada dalam darah sehingga menimbulkan hiperglikemia. Pada

diabetes tipe 1 sangat beresiko terjadinya koma diabetikum, akibat adanya

ketoasidosis. Keadaan ini disebabkan karena adanya akselerasi katabolisme

lemak, disertai peningkatan pembentukan badan keton dan penurunan sintesis

asam lemak dan trigliserida.

b. Diabetes mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

yaitu diabetes mellitus yang tidak tergantung pada insulin. Kurang lebih 90 %-95

% penderita diabetes mellitus adalah diabetes tipe ini. Diabetes mellitus tipe 2

terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau

akibat penurunan produksi insulin. Normalnya insulin terikat oleh reseptor khusus

pada permukaan sel dan mulai terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme

glukosa. Pada diabetes tipe 2 reaksi dalam sel kurang efektif karena kurangnya

insulin yang berperan dalam menstimulasi glukosa masuk ke jaringan dan

pengaturan pelepasan glukosa dihati. Adanya insulin juga dapat mencegah

pemecahan lemak yang menghasilkan badan keton. Diabetes mellitus tipe 2

banyak terjadi pada usia dewasa lebih dari 45 tahun, karena perkembangan

10
lambat dan terkadang tidak terdeteksi, tetapi jika gula darah tinggi baru dapat

dirasakan seperti kelemahan, iritabilitas, poliura, polidipsi, proses penyembuhan

luka yang lama, infeksi vagina, kelainan penglihatan.

c. Diabetes karena malnutrisi. Golongan diabetes ini terjadi akibat malnutrisi,

biasanya pada penduduk yang miskin. Diabetes tipe ini dapat ditegakkan jika ada

3 gejala dari gejala yang mungkin yaitu:

1) Adanya gejala malnutrisi seperti badan kurus, berat badan kurang dari 80%

berat badan ideal

2) Adanya tanda-tanda malabsorpsi makanan

3) Usia antara 15-40 tahun

4) Memerlukan insulin untuk reglukosasi diabetes mellitus dan menaikkan berat

badan.

5) Nyeri perut berulang.

d. Diabetes sekunder yaitu diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau

penyakit tertentu, misalnya penyakit pankreas (pankreatitis, neoplasma,

trauma/panreatectomy), endokrinopati (akromegali, Cushing’s syndrome,

pheochromacytoma, hyperthyroidism), obat-obatan atau zat kimia

(glukokortikoid, hormon tiroid, infeksi cytomegalovirus, serta syndrome genetic

diabetes seperti Syndrome Down.

e. Diabetes mellitus gestasional yaitu diabetes mellitus yang terjadi pada masa

kehamilan, dapat di diagnosa dengan menggunakan test toleran glukosa, terjadi

pada kira-kira 24 minggu kehamilan. Individu dengan diabetes mellitus

gestasional 25% akan berkembang menjadi diabetes mellitus.

11
Tabel 2.2
Perbedaan Ciri-Ciri Dari Diabetes Mellitus Tipe 1 Dan 2
Ciri-ciri Tipe 1 Tipe 2
Nama lain Insulin dependent Non insulin
diabetes mellitus dependent diabetes
(IDDM), juvenile mellitus (NIDDM)
diabetes.
Umur Umumnya terjadi Biasanya terjadi
kejadian pada usia 30 tahun, setelah umur 30
tetapi dapat terjadi tahun, tetapi dapat
pada semua umur terjadi pada masa
anak-anak
Insiden Kurang dari 10% Sampai dengan 90%
Tipe Biasanya berat, Mungkin
kejadian dengan cepat terjadi asimtomatik,
hiperglikemia kejadian berlahan,
tubuh beradaptasi
terhadap keadaan
hiperglikemia
Produksi Sedikit atau tidak ada Dibawah normal,
insulin normal atau diatas
normal
Berat badan Ideal atau kurus 85% obesitas, dapat
saat kejadian pula terjadi pada
berat badan ideal
Ketosis Mudah terjadi Resisten terhadap
ketosis, jarang terjadi ketosis, dapat terjadi
jika terkontrol jika disertai infeksi
atau stres
Manifestasi Poliuria, polidipsia, Jarang terjadi,
polyphagia, manifestasi ringan
kelemahan dari hiperglikemia
Manajemen Penting dan utama Penting dan utama
diet
Manajemen Penting dan utama Penting dan utama
aktifitas
Pemberian Tergantung insulin 20-30% pasien
insulin untuk membutuhkan

12
mempertahankan insulin
hidup
Pemberian Tidak efektif Efektif
agen oral
hipoglikemi
k
(Tarwoto dkk., 2012)

4. Etiologi dan Faktor Resiko

Nabyl (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang bisa dianggap sebagai

kemungkinan penyebab diabetes antara lain :

a. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel

beta melepas insulin.

b. Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang

dapat menimbulkan infeksi, diet di mana pemasukan karbohidrat dan glukosa

yang diproses secara berlebihan, obesitas, dan kehamilan.

c. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang

disertai pembentukan sel-sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan

kerusakan sel-sel yang melakukan sekresi insulin, kemudian peningkatan

kepekaan sel beta oleh virus.

d. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan

terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran

sel yang merespons insulin.

Adapun gambaran patologis dari diabetes sebagai salah satu efek utama akibat

kurangnya insulin adalah :

a. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya

konsentrasi gula darah setinggi 300-1200 mg/dl.

13
b. Peningkatan mobilitas lemak dari daerah penyimpanan lemak yang abnormal

disertai endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.

c. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

Adapun beberapa faktor risiko utama diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

a. Faktor risiko yang dapat diubah

1) Berat badan berlebih dan obesitas. Kegemukan atau kelebihan berat badan

minimal 20% lebih berat dari berat badan yang diharapkan atau memiliki

indeks massa tubuh (IMT) minimal 27 kg/m2. Kegemukan, khususnya

kegemukan viseral (lemak abdomen), dikaitkan dengan peningkatan

resistensi insulin (LeMone et al., 2016).

2) Gula darah tinggi. Gula darah tinggi yang tidak ditatalaksana dapat

menyebabkan kerusakan saraf, masalah ginjal atau mata, penyakit jantung,

serta stroke. Hal-hal yang dapat meningkatkan gula darah adalah: Makanan

atau snack dengan karbohidrat yang lebih banyak dari biasanya, kurangi

aktifitas fisik, infeksi atau penyakit lain, perubahan hormon misalnya selama

menstruasi, stres (Nabyl, 2012).

3) Hipertensi. Jika tekanan darah tinggi maka jantung akan bekerja lebih keras

dan risiko untuk penyakit jantung dan diabetes pun lebih tinggi. Seseorang

dikatakan memiliki tekanan darah tinggi apabila berada dalam kisaran >

140/90 mmHg (LeMone et al., 2016).

4) Kadar kolesterol tinggi. Kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl, dan atau kadar

trigliserida ≥ 250 mgg/dl (LeMone et al., 2016).

5) Kurang Aktivitas Fisik.

6) Kebiasaan diet yang buruk. Pola makan yang buruk seperti terlalu banyak

makan makanan yang berlemak, mengandung tinggi gula, terlalu sering

14
mengkonsumsi makanan yang menandung bahan pengawet merupakan faktor

risiko diabetes mellitus (Tarwoto dkk., 2012).

7) Perilaku Merokok. Selain berbahaya bagi paru, rokok juga berbahaya bagi

jantung karena dapat menurunkan jumlah oksigen yang mencapai organ

tubuh sehingga dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke,

meningkatkan kadar kolesterol dan kadar lemak lain dalam tubuh sehingga

dapat meningkatkan risiko serangan jantung, meningkatkan tekanan darah.

8) Lingkungan seperti virus (cytomegalovirus, mumps, rubella) yang dapat

memicu terjadinya autoimun dan menghancurkan sel-sel beta pankreas, obat-

obatan dan zat kimia seperti alloxan, streptozotocin, pentamidine (Tarwoto

dkk., 2012).

9) Stres. Stres berkepanjangan bisa memicu keluhan fisik dan psikis. Namun,

untuk penderita diabetes, stres bisa berakibat lebih merugikan bagi tubuh

karena akan memacu metabolisme gula darah. Secara fisiologis stres akan

menyebabkan perubahan faal pada tubuh, misalnya gangguan hormonal,

gangguan sistem imunitas atau sistem pencernaan menjadi tidak menentu.

Pada penderita diabetes, stres akan menyebabkan gula darah menjadi lebih

tidak terkontrol (Apriyanti, 2014).

b. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1) Usia. Seiring bertambahnya usia, risiko deabetes dan penyakit jantung

semakin meningkat. Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes

adalah usia lebih dari 45 tahun (Nabyl, 2012).

2) Ras dan Suku Bangsa. Suku bangsa afron-Amerika. Meksiko-Amerika, India

Amerika, Hawaii, dan sebagian asia-Amerika memiliki risiko diabetes dan

penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh

15
tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes, dan pola

populasi tersebut (Nabyl, 2012).

3) Jenis kelamin. Kemungkinan laki-laki menderita penyakit jantung lebih besar

daripada perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka

kemungkinan menderita penyakit jantung dan diabetes pun ikut meningkat

meskipun prevalensilnya tidak setinggi laki-laki (Nabyl, 2012).

4) Riwayat gestasional diabetes mellitus. Pada wanita, riwayat diabetes

gestasional, sindrom ovarium polikistik atau melahirkan bayi dengan berat

lebih dari 4,5 kg berisiko mengalami diabetes mellitus (LeMone et al., 2016).

5) Sindrom metabolik, kumpulkan manifestasi yang terkait dengan diabetes tipe

II. Hipertensi, kegemukan viseral, kadar rendah dari lipoprotein densitas

tinggi, kadar tinggi dari trigliserida, protein reaktif C naik, dan gula darah

puasa lebih dari 110 mg/dl meningkatkan risiko diabetes mellitus, penyakit

jantung koroner dan stroke (Lemone, et al 2016).

6) Riwayat keluarga. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang

menyandang diabetes maka kemungkinan anda untuk menyandang pun

meningkat. Riwayat keturunan dengan diabetes, misalnya pada diabetes

mellitus tipe 1 diturunkan sebagai sifat heterogen, mutigenik. Kembar identik

mempunyai resiko 25%-50%, sementara saudara kandung beresiko 6% dan

anak beresiko 5% (Tarwoto dkk., 2012).

5. Patofisiologi

Diabetes mellitus merupakan kumpulan gejala yang kronik dan bersifat sistemik

dengan karakteristik peningkatan gula darah/glukosa atau hiperglikemia yang disebabkan

menurunnya sekresi atau aktivitas dari insulin sehingga mengakibatkan terhambatnya

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Glukosa secara normal bersikulasi dalam

16
jumlah tertentu dalam darah dan sangat dibutuhkan untuk kebutuhan sel dan jaringan.

Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang dikonsumsi.

Makanan yang masuk sebagian digunakan untuk kebutuhan energi dan sebagian lagi

disimpan dalam bentuk glikogen dihati dan jaringan lainnya dengan bantuan insulin. Insulin

merupakan hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau langerhans pankreas yang kemudian

produksinya masuk dalam darah dengan jumlah sedikit kemudian meningkat jika terdapat

makanan yang masuk. Pada orang dewasa rata-rata diproduksi 40-50 unit, untuk

mempertahankan gula darah tetap stabil antara 70-120 mg/dl.

Insulin disekresi oleh sel beta, satu diantara empat sel pulau langerhans pankreas.

Insulin merupakan hormon anabolik, hormon yang dapat membantu memindahkan glukosa

dari darah ke otot, hati dan sel lemak. Pada diabetes berkurangnya insulin atau tidak adanya

insulin berakibat pada gangguan tiga metabolisme yaitu menurunnya penggunaan glukosa,

meningkatnya mobilisasi lemak dan meningkatnya penggunaan protein.

Pada DM tipe 2 masalah utama adalah berhubungan dengan resistensi insulin dan

gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin menunjukkan penurunan sensitifitas jaringan

pada insulin. Normalnya insulin mengikat reseptor khusus pada permukaan sel dan

mengawali rangkaian reaksi meliputi metabolisme glukosa. Pada DM tipe 2, reaksi

intraselular dikurangi,sehingga menyebabkan efektivitas insulin menurun dalam

menstimulasi penyerapan glukosa oleh jaringan dan pada pengaturan pembebasan oleh hati.

Mekanisme pasti yang menjadi penyebab utama resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin pada DM tipe 2 tidak diketahui, meskipun faktor genetik berperan utama.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah penumpukkan glukosa dalam darah,

peningkatan sejumlah insulin harus disekresi dalam mengatur kadar glukosa darah dalam

batas normal atau sedikit lebih tinggi kadarnya. Namun, jika sel beta tidak dapat menjaga

17
dengan meningkatkan kebutuhan insulin, mengakibatkan kadar glukosa meningkat, dan DM

tipe 2 berkembang (Tarwoto dkk., 2012).

6. Tanda dan Gejala

Beberapa tanda dan gejala pada penderita diabetes mellitus yaitu sebagai berikut:

a. Sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria).

Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal

bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan

reabsorpsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka

diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat (Tarwoto

dkk., 2012). Karena sifatnya, kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan

banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat

mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari (Wijaya & Putri, 2013).

b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia).

Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini

merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus (Tarwoto

dkk., 2012). Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikiranya sebab rasa

haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan

rasa haus itu penderita banyak minum (Wijaya & Putri, 2013).

c. Meningkatnya rasa lapar (poliphagia).

Meningkatnya metabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan

cadangan energi berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar (Tarwoto dkk.,

2012). Rasa lapar yang semakin besar sering timbul pada penderita diabetes

mellitus sehingga untuk menghilangkan rasa lapar itu penderita banyak makan

(Wijaya & Putri, 2013).

d. Penurunan berat badan dan rasa lemas.

18
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam relatif singkat harus

menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat

masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan

tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari

cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan

lemak dan otot sehingga menjadi kurus (Wijaya & Putri, 2013). Kelemahan dan

keletihan terjadi karena kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel,

kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah lelah dan letih (Tarwoto dkk.,

2012).

e. Gangguan saraf tepi/kesemutan.

Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu

malam hari sehingga mengganggu tidur (Wijaya & Putri, 2013).

f. Gangguan penglihatan.

Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi

lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat

merusak retina serta kekeruhan pada lensa (Tarwoto dkk., 2012). Pada fase awal

diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang mendorong penderita untuk

mengganti kacamatanya berulangkali agar tetap dapat melihat dengan baik

(Wijaya & Putri, 2013).

g. Gatal/bisul.

Peningkatan gula darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga

menjadi gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang (Tarwoto dkk., 2012).

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan dan daerah

lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan

timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul karena

19
akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti

(Wijaya & Putri, 2013).

h. Gangguan ereksi pada laki-laki dan keputihan pada wanita.

Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara

terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat

yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyakit

kemampuan atau kejantanan seseorang. Pada wanita, keputihan dan gatal

merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-

satunya gejala yang dirasakan (Wijaya & Putri, 2013).

i. Terkadang tanpa gejala.

Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan gula

darah sehingga tidak muncul gejala (Tarwoto dkk., 2012).

7. Komplikasi

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang mampu menurunkan tingkat kekebalan

tubuh dan memiliki banyak komplikasi, adapaun komplikasi pada penderita diabetes mellitus

adalah sebagai berikut:

a. Komplikasi akut

1) Hiperglikemia

Hiperglikemia menstimulasi hormon kontraregulator, yang menstimulasi

glukoneogenesis dan glikogenolisis dan juga menghambat pemakaian

glukosa perifer. Hal ini dapat menyebabkan resistensi insulin selama 12-48

jam. Ketika tidak diobati, kekurangan insulin menyebabkan cadangan lemak

dipecah untuk menyediakan energi yang menghasilkan hiperglikemia

berkelanjutan dan mobilisasi asam lemak dengan ketosis bertahap.

Ketoasidosis diabetik terjadi bila terdapat kekurangan insulin mutlak dan

20
peningkatan hormone kontraregulator terstimulasi (kortisol). Produksi

glukosa oleh hati meningkat, pemakaian glukosa perifer berkurang,

mobilisasi lemak meningkat dan ketogenesis (pembentukan keton)

dirangsang. Peningkatan kadar glukagon mengaktifkan jalur glukoneogenesis

dan ketogenesis di hati.

Pada keadaan kekurangan insulin, produksi berlebihan beta-hidroksibutirat

dan asam asetoasetat (badan keton) oleh hati menyebabkan peningkatan

konsentrasi keton dan peningkatan pelepasan asam lemak bebas. Sebagai

akibat dari kehilangan bikarbonat (yang terjadi bila terbentuk keton)

penyangga bikarbonat tidak terjadi dan terjadi asidosis metabolik, disebut

ketoasidosis diabetik. Depresi sistem saraf pusat akibat penumpukan keton

dan asidosis yang terjadi dapat menyebabkan koma dan kematian jika tidak

ditangani. Ketoasidosis diabetik juga dapat terjadi pada orang yang

terdiagnosa diabetes saat kebutuhan tenaga meningkat selama stres fisik atau

emosi. Keadaan stres memicu pelepasan hormone glukoneogenik yang

menghasilkan pembentukan karbohidrat dari protein atau lemak (LeMone et

al., 2016).

Koma hiperglikemia di sebabkan kadar glukosa sangat tinggi biasanya terjadi

pada Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Ketoasidosis atau

keracunan zat keton sebagai hasil metabolime lemak dan protein terutama

terjadi pada Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Koma

hipoglikemia akibat terapi insulin yang berlebihan atau tidak terkontrol

(Tarwoto dkk., 2012).

b. Komplikasi kronik

1) Perubahan pada sistem kardiovaskular

21
Makrosirkulasi (pembuluh darah besar) pada penyandang DM mengalami

perubahan akibat arterosklerosis; trombosit, sel darah merah dan faktor

pembekuan yang tidak normal; dan perubahan dinding arteri. Telah

ditetapkan bahwa arterosklerosis mengalami peningkatan insidensi dan usia

awitan penyandang DM menjadi lebih dini. Faktor risiko lain yang

menimbulkan perkembangan penyakit makrovaskular pada DM adalah

hipertensi, hiperlipedemia, merokok, dan kegemukan. Perubahan sistem

vascular meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang penyakit arteri

koroner, penyakit vascular serebral dan penyakit vascular perifer (LeMone et

al., 2016).

2) Penyakit arteri koroner

Penyakit arteri koroner merupakan faktor risiko utama terjadinya infark

miokard pada penyandang DM, khususnya pada DM tipe 2 usia paruh baya

hingga lansia. Penyakit arteri koroner merupakan penyebab terbanyak

kematian pada penyandang DM tipe 2. Penyandang DM yang mengalami

infark miokard lebih rentan terhadap terjadinya gagal jantung kongestif

sebagai komplikasi infark dan juga cenderung jarang bertahan hidup pada

periode segera setelah mengalami infark (LeMone et al., 2016).

3) Hipertensi

Hipertensi merupakan komplikasi umum pada penderita DM yaitu

menyerang 75% penyandang DM dan merupakan faktor risiko utama pada

penyakit kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular, seperti retinopati dan

nefropati (LeMone et al., 2016).

4) Penyakit vascular perifer

22
Penyakit vascular perifer di ekstremitas bawah menyertai kedua tipe DM,

tetapi insidennya lebih besar pada penyandang DM tipe 2. Arterosklerosis

pembuluh darah tungkai pada penyandang DM mulai pada usia dini,

berkembang dengan cepat, dan frekuensinya sama pada pria dan wanita.

Kerusakan sirkulasi vascular perifer menyebabkan insufisiensi vascular

perifer dengan klaudikasi (nyeri) intermiten di tungkai bawah dan ulkus pada

kaki. Sumbatan dan trombosis di pembuluh darah besar dan arteri kecil dan

arteriol, serta perubahan fungsi neurologis infeksi, mengakibatkan gangrene

(nekrosis atau kematian jaringan). Gangrene akibat DM merupakan penyebab

terbanyak amputasi non-traumatik di tungkai bawah. Pada penyandang DM,

gangrene kering paling banyak terjadi, yang dimanifestasikan dengan

jaringan yang dingin, kering, mengerut dan berwarna hitam di jari kaki dan

kaki. Gangrene biasanya mulai dari ibu jari kaki dan bergerak ke arah

proksimal kaki (LeMone et al., 2016).

5) Retinopati diabetik

Retinopati diabetik adalah nama untuk perubahan di retina yang terjadi pada

penyandang DM. struktur kapiler retina mengalami perubahan aliran darah,

yang menyebabkan iskemia retina dan kerusakan sawar retina-darah.

Retinopati diabetik merupakan penyebab terbanyak kebutaan pada orang

yang berusia 20 sampai 74 tahun. Setelah 20 tahun mengalami DM, hampir

semua pasien DM tipe 1 dan lebih dari 60% pasien DM tipe 2 akan

mengalami beberapa derajat retinopati, pada sebagian besar kasus tanpa

kehilangan penglihatan. Jika eksudat, edema, perdarahan atau iskemia terjadi

di dekat fovea maka orang tersebut akan mengalami kerusakan penglihatan di

tiap tahap. Selain itu, penyandang DM terisiko tinggi mengalami katarak

23
sebagai akibat peningkatan kadar glukosa dalam lensa itu sendiri (LeMone et

al., 2016).

6) Nefropati diabetik

Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan adanya

albumin dalam ruine, hipertensi, edema dan insufisiensi ginjal progresif.

Nefropati terjadi pada 30%-40% penyandang DM tipe 1 dan 15%-20%

dengan DM tipe 2. Asal patologi pasti nefropati diabetik tidak diketahui,

tetapi diketahuinya bahwa penebalan membrane basalis glomerulus akhirnya

merusak fungsi gijal. Diperkirakan bahwa peningkatan konsentrasi glukosa

intraselular mendukung pembentukan glikoprotein tidak normal di membrane

basalis dan mesangium. Penumpukan protein dalam jumlah besar ini

menstimulasi glomerulosklerosis (fibrosis jaringan glomerular).

Glomerulosklerosis menebalkan membrane basalis dan secara simultan

membuat fungsinya bocor, yang memungkinkan molekul besar seperti

protein dibuang dalam urine (LeMone et al., 2016).

7) Perubahan Mood

Penyandang DM baik tipe 1 maupun tipe 2 menjalani ktegangan kronik

hidup dengan perawatan diri kompleks dan berisiko tinggi mengalami

depresi distress emosional spesifik karena DM. Depresi mayor dan gejala

depresi mempengaruhi 20% penyandang DM yang membuatnya menjadi dua

kali lebih sering terjadi di kalangan penyandang DM dibanding populasi

umum (LeMone et al., 2016).

8) Perubahan pada Sistem Saraf Perifer dan Otonom (Neuropati)

Neuropati perifer dan viseral adalah penyakit pada saraf perifer dan sistem

saraf otonomi. Pada penyandang DM, penyakit ini seringkali disebut

24
neuropati diabetik. Etiologi neuropati diabetes mencakup 1_ penebalan

dinding pembuluh darah yang memasok saraf, yang menyebabkan penurunan

nutrient; 2) demielinisasi sel-sel Schwann yang mengelilingi dan menyekat

saraf, yang memperlambat hantaran saraf; dan 3) pembentukan dan

penumpukan sorbitor dalam sel-sel Schwann, yang merusak hantaran saraf.

Neuropati perifer (juga disebut neuropati somatic) mencakup polineuropati

dan mononeuropati. Polineuropati DM, merupakan gangguan sensorik

bilateral. Manifestasi pertama kali terlihat pada jari kaki dan bergerak ke

atas. Jari tangan dan tangan juga dapat terkena. Manifestasi polineuropati

bergantung pada serabut saraf yang terkena, dan untuk alasan ini, penderita

diabetes harus diberitahu untuk memeriksa kaki dan tungkai mereka setiap

hari, melihat tanda-tanda cedera. Penderita polineuropati biasanya

mengalami parestesia distal (perubahan sensasi, misalnya kebas atau

kesemutan) nyeri yang digambarkan, seperti sakit, terbakar, atau dapat

berupa kerusakan sensasi nyeri, sentuhan ringan sulit membedakan dua titik

dan vibrasi (LeMone et al., 2016).

9) Neuropati viseral (juga disebut neuropati otonomi) menyebabkan berbagai

manifestasi, bergantung pada area yang terkena. Neuropati ini dapat

mencakup: gangguan berkeringat,fungsi pupil tidak normal,gangguan

kardiovaskular; gangguan gastrointestinal,gangguan genitourinary (LeMone

et al., 2016)

8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Black & Hawks (2014) mengungkapkan bahwa penatalaksanaan bagi penderita

diabetes mellitus berfokus pada upaya untuk mengembalikan dan memelihara kadar glukosa

senormal mungkin melalui berbagai manajemen diabetes mellitus seperti diet seimbang,

25
olahraga, terapi alternatif & komplementer, serta penggunaan obat hipoglikemia oral (OHO)

atau insulin.

a. Pengobatan farmakologi

Intervensi farmakologi harus dipertimbangkan ketika penderita DM tidak dapat

mencapai kadar glukosa darah normal atau hampir normal. Obat antidiabetes

termasuk sulfoniurea, biguanid, meglitinid, tiazolidinedion, inhibitor alfa-

glukosidase, inkretin mimetic, dan amylonomimetik. Pengobatan oral bertujuan

untuk mencapai pengendalian glikemik optimal. Penderita DM tipe 1 tidak

menghasilkan cukup insulin untuk menopang kehidupan, penderita bergantung

pada pemberian insulin eksogen harian. Sementara penderita DM tipe 1 tidak

bergantung pada insulin eksogen untuk bertahan hidup. Namun penderita DM

tipe 2 membutuhkan insulin guna mengendalikan glukosa adekuat, khususnya

pada saat stres dan sakit (Black & Hawks, 2014b).

b. Terapi Pembedahan

Penatalaksanaan pembedahan pada diabetes mellitus mencakup perbaikan saluran

glukosa lewat pembedahan serta mengganti atau mencangkok pancreas, sel-sel

pankreas, atau sel-sel beta. Meskipun ini masih dalam tahap penelitian, banyak

peneliti percaya bahwa pencangkokan ekor (ujung) pancreas adalah teknik yang

paling menjanjikan untuk mencapai kontrol penyakit jangka panjang.

Pencangkokan sel-sel islet memiliki tingkat keberhasilan moderat dan penelitian

terus dilanjutkan. Penderita diabetes dapat menerima bagian pancreas dari kerabat

yang masih hidup, seringkali sebagai bagian dari cangkok ginjal. Pancreas yang

dicangkok dapat melindungi ginjal baru dari kerusakan. Penelitian lain tengah

dilakukan terhadap penggunaan pancreas buatan yang ditanam secara internal

atau sel-sel beta buatan closed-loop (LeMone et al., 2016).

26
Transplantasi pancreas pertama sempurna tahun 1966. Sekitar 80% prosedur

transplantasi pancreas sekarang dilakukan bersamaan tranplantasi ginjal. Pancreas

penderita seluruhnya berada di sebelah kiri dan pancreas baru ditempatkan pada

arteri dan vena iliaka, dimana insulin dapat masuk ke dalam jalur sistemik.

Pancreas baru ditempatkan di dalam ruang pelvis bagian bawah, dan duktus

dihubungkan ke kandung kemih. Sekresi eksokrin pancreas baru kemudian

mengalir ke dalam kandung kemih dan tidak diserap. Prosedur bedah mumnya

berakhir 4-6 jam. Tranplantasi pancreas setelah ginjal dan tranplantasi pancreas

saja terhitung menyisakan 20% prosedur transplantasi pancreas. Komplikasi

utama dari transplantasi pancreas termasuk trombosis pembuluh darah dan infeksi

(Black & Hawks, 2014b).

c. Pengaturan diet

Tujuan rencana diet adalah memperbaiki kadar glukosa darah, memperbaiki

kesehatan secara menyeluruh, mencegah atau menunda komplikasi dan mencapai

atau mempertahankan berat badan ideal karena mayoritas penderita diabetes

mengalami kelebihan berat badan, ataupun penurunan berat (LeMone et al.,

2016). Sementara Black & Hawks (2014) menjelaskan bahwa tujuan umum dari

penatalaksanaan diet adalah membantu penderita diabetes mellitus meningkatkan

pengendalian metabolisme dengan mengubah perilaku makan. Secara khusus

tujuan diet meliputi: memperbaiki kadar lemak dan glukosa,menyediakan asupan

makanan hari ke hari secara konsisten, memfasilitasi pengelolaan berat badan,dan

memberikan nutrisi adekuat untuk seluruh tahap kehidupan. Tidak ada panduan

khusus untuk diet diabetes tipe 2, tetapi selain mengurangi kilo kalori, pasien

dianjurkan mengonsumsi tiga kali makan dengan ukuran yang sama, berjarak

sekitar 4-5 jam setiap kali makan, dengan satu atau dua kali kudapan. Penyandang

27
DM tipe 2 juga harus mengurangi asupan lemak. Rencana makanan penderita DM

berfokus pada kandungan karbohidrat. Pasien makan jumlah karbohidrat yang

hampir sama pada setiap kali makan atau kudapan setiap hari, berdasarkan pada

program gizi individual dan piramida panduan makanan, karbohidrat dalam

makanan memiliki efek terbesar dalam kadar glukosa darah pasca prandial

(sesudah makan). Karbohidrat juga menentukan hingga derajat tertentu dibanding

protein, lemak, dan kebutuhan insulin sebelum makan (LeMone et al., 2016).

d. Aktivitas fisik (olahraga)

Program aktivitas fisik terencana adalah bagian penting rencana asuhan pada

penderita diabetes mellitus. Aktivitas fisik menurunkan kadar glukosa darah

dengan meningkatkan metabolisme karbohidrat, membantu menjaga dan

menurunkan BB, meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan kadar high-

density lipoprotein (HDL), menurunkan kadar trigliserid, menurunkan tekanan

darah, serta mengurangi ketegangan dan stres (Black & Hawks, 2014b). Program

olahraga teratur bagi penderita diabetes mellitus setidaknya 150 menit per

minggu. Pada penyandang diabetes, olahraga rutin meningkatkan ambilan

glukosa oleh sel otot, yang kemungkinan mengurangi kebutuhan akan insulin dan

mengunragi kolesterol serta trigliserida sehingga dapat menurunkan risiko

penyakit kardiovaskular (LeMone et al., 2016).

e. Terapi alternatif dan komplementer

Perawat memiliki peranan sebagai terapis dibeberapa tatanan pelayanan

kesehatan dan dapat melaksanakan bermacam pengobatan alternatif dan

komplementer seperti teknik relaksasi. Latihan relaksasi seringkali digunakan

dalam manajemen stress yang ditujukan untuk menurunkan ketegangan pada otot-

28
otot tubuh menjadi rileks, menurunkan tekanan darah, menurunkan nyeri,

memudahkan tidur (Nurgiwiati, 2015).

B. Kecemasan

1. Definisi

Kecemasan dalam bahasa inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang

berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Konsep kecemasan memegang peranan

yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stress dan penyesuaian diri (Mubarak,

Indrawati & Susanto, 2015).

Kecemasan adalah rasa takut yang tidak jelas disertai dengan perasaan ketidakpastian,

ketidakberdayaan, isolasi, dan ketidakamanan. Seseorang merasa dirinya sedang terancam.

Pengalaman kecemasan dimulai pada masa bayi berlanjut sepanjang hidup. Pengalaman

sesorang diketahui dengan rasa takut terbesar pada kematian (Stuart, 2016).

Kecemasan atau ansietas adalah kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu

terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan

individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman (Tim Pokja SDKI, 2016).

2. Tanda dan Gejala Kecemasan

a. Subjektif

1) Merasa bingung

2) Merasa khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi

3) Sulit berkonsentrasi

4) Mengeluh pusing

29
5) Anoreksia

6) Palpitasi

7) Merasa tidak berdaya

b. Objektif

1) Tampak gelisah

2) Tampak tegang

3) Sulit tidur

4) Frekuensi nafas meningkat

5) Frekuensi nadi meningkat

6) Tekanan darah meningkat

7) Tremor

8) Muka tampak pucat

9) Suara bergetar

10) Sering berkemih

11) Berorientasi pada masalalu

(Tim Pokja SDKI, 2016)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Tidak semua kecemasan dapat dikatakan bersifat patologis ada juga kecemasan yang

bersifat normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan menurut Mubarak,

Indrawati & Susanto (2015), yaitu sebagai berikut :

a. Faktor Internal

1) Usia

Permintaan bantuan dari sekeliling menurun dengan bertambahnya usia,

pertolongan diminta bila ada kebutuhan akan kenyamanan, reassurance, dan

nasehat-nasehat.

30
2) Pengalaman

Individu yang mempunyai modal kemampuan pengalaman menghadapi stres

dan punya cara menghadapinya akan cenderung lebih menganggap stres yang

berapapun sebagai masalah yang bisa diselesaikan. Tiap pengalaman

merupakan sesuatu yang berharga dan belajar dari pengalaman dapat

meningkatkan keterampilan menghadapi stres.

3) Aset fisik

Orang dengan asek fisik yang besar, kuat, dan garang akan menggunakan

aset ini untuk menghalau stres yang datang mengganggu.

b. Faktor Eksternal

Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan kemmapuan intelektual akan

dapat meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam menghadapi stres

mengikuti berbagai kegiatan untuk meningkatkan kemampuan diri akan banyak

menolong individu tersebut.

1) Pendidikan

Peningkatan pendidikan dapat pula mengurangi rasa tidak mampu untuk

menghadapi stres. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan mudah dan

semakin mampu menghadapi stres yang ada.

2) Finansial atau Material

Aset berupa harta yang berlimpah tidak akan menyebabkan individu tersebut

mengalami stres berupa kekacauan finansial, bila hal ini terjadi dibandingkan

orang lain yang aset finansialnya terbatas.

3) Keluarga

Lingkungan kecil dimulai dari lingkungan keluarga, peran pasangan dalam

hal ini sangat berarti dalam memberi dukungan. Istri dan anak yang penuh

31
pengertian serta dapat mengimbangi kesulitan yang dihadapi suami akan

dapat memberikan bumper kepada kondisi stres suaminya.

4) Obat

Dalam bidang psikiatri dikenal obat-obatan yang tergolong dalam kelompok

antiansietas. Obat-obat ini mempunyai khasiat mengatasi ansietas sehingga

penderitanya cukup tenang.

5) Dukungan Sosial Budaya

Dukungan sosial dan sumber-sumber masyarakat serta lingkungan sekitar

individu akan sangat membantu seseorang dalam menghadapi stresor,

pemecahan masalah bersama-sama dan tukar pendapat dengan orang lain

disekitarnya akan membuat situasi individu lebih siap mengahadapi stres

yang akan datang.

4. Karakteristik Kecemasan

Kecemasan merupakan keadaan emosional dan pengalaman subjektif individu.

Keduanya adalah energi yang tidak dapat diamati secara langsung. Seorang perawat menilai

klien kecemasan berdasarkan perubahan perilaku tertentu. Perawat perlu memvalidasi

kesimpulannya pada klien (Stuart, 2016).

a. Kecemasan adalah emosi tanpa objek tertentu

Hal ini dipicu oleh hal yang tidak diketahui dan menyertai semua pengalaman

baru, seperti masuk sekolah. Memulai pekerjaan baru atau melahirkan anak.

Karakteristik kecemasan ini yang membedakan dari rasa takut.Ketakuatan

memiliki sumber atau objek tertentu dimana seseorang dapat mengidentifikasi

dan menjelaskan Rasa takut melibatkan penilaian kognitif dari stimulus yang

mengancam, kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian tersebut.

32
Takut disebabkan oleh paparan fisik atau psikologis dari situasi yang mengancam

sehingga takut menghasilkan kecemasan.

b. Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal

Jika seorang perawat bebicara dengan klien yang kecemasan dalam waktu singkat

perawat juga akan mengalami perasaan kecemasan. Demikian pula, jika perawat

mengalami kecemasan dalam situasi tertentu kecemasan ini akan

dikomunikasikan kepada klien.

c. Kecemasan adalah tentang pemeliharaan diri

Hal ini terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap kepribadian seseorang. Haga

diri atau identitas. Kecemasan ini hasil dari ancaman terhadap sesuatu yang

merupakan pusat kepribadian seseorang dan penting bagi keberadaan dan

keamanan akan hukumman,ketidaksetujuan, penarikan cinta, gangguan

hubungan, isolasi atau kehilangan fungsi tubuh.

d. Budaya terkait dengan kecemasan

Karena budaya dapat mempengaruhi nilai-nilai yang dianggap paling penting.

Penting diingat bahwa kecemasan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Kecemasan adalah dasar kondisi manusia dan memberikan peringatan yang

berharga untuk hidup. Selain itu, seseorang dapat tumbuh dari kecemasan jika

seseorang berhasil berhadapan dan belajar dari menciptakan pengalaman

kecemasan (Stuart, 2016).

5. Tingkat Kecemasan

Menurut Mubarak, Indrawati & Susanto (2015) menyatakan bahwa ada dua tingkatan

kecemasan yaitu antara laim:

a. Kecemasan normal, yaitu pada saat individu masih menyadari konflik-konflik

dalam diri yang menyebabkan cemas

33
b. Kecemasan neurosis, ketika individu tidak menyadari adanya konflik dan tidak

mengetahui penyebab cemas, kecemasan kemudian dapat menjadi bentuk

pertahanan diri.

Menurut Mubarak, Indrawati & Susanto (2015) Tingkat kecemasan di golongkan

beberapa tingkat, yaitu:

a. Kecemasan Ringan. Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-

hari menyebabkan seseorang jadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya.

Kecemasan dapat memotivasi belajar serta menghasilkan kreativitas.

b. Kecemasan Sedang. Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal

penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami

perhatian selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

c. Kecemasan Berat. Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

cenderung untuk memusatkan sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat

berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukan untuk mengurangi

ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

memusatkan pada orang lain.

d. Panik. Berhubugnan dengan ketakutan dan teror, karena mengalami kehilangan

kendali. Orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian, peningkatan

aktivitas motorik, menurunya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,

persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat

kecemasan tidak sebagian sejalan dengan kehidupan dan jika berlangsung terus

dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan.

6. Skala Kecemasan

34
Rentang respon kecemasan dapat ditentukan dengan gejala yang ada dengan

menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang terdiri atas 14 komponen yaitu

sebagai berikut:

a. Perasaan cemas (ansietas) firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

b. Ketegangan merasa tegang, lesu, tidak bias istirahat tenang, mudah terkejut,

mudah menangis, gemetar, gelisah.

c. Ketakutan yang ditandai pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada

binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan orang banyak.

d. Gangguan tidur yang ditandai sukar masuk tidur, terbangun malam hari, tidur

tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-mimpi, mimpi buruk, mimpi

menakutkan.

e. Gangguan kecerdasan yang ditandai sukar konsentrasi, daya ingat menurun, daya

ingat buruk.

f. Perasaan depresi yang ditandai hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

g. Gejala somatik/fisik (otot) yang ditandai sakit dan nyeri di otot-otot, kaku,

kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.

h. Gejala somatik/fisik (sensorik) yang ditandai tinitus (telinga berdenging),

pengelihatan kabur, muka merah/pucat, merasa lemas, perasaan ditusuk-tusuk.

i. Gejala kardiovaskuler (jantungdan pembuluh darah) yang ditandai takikardia

(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa

lesu/lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang (berhenti sekejap).

j. Gejala respiratori (pernafasan) yang ditandai rasa tertekan atau sempit di dada,

rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek/sesak.

35
k. Gejala gastrointestinal (pencernaan) yang ditandai sulit menelan, perut melilit,

gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar

diperut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, buang air besar lembek, sukar

buang air besar (konstipasi), kehilangan berat badan.

l. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) yang ditandai sering buang air kecil,

tidak dapat menahan air seni, tidak datang bulan (tidakada haid), darah haid

berlebihan, darah haid amat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid amat

pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin (frigid), ejakulasi dini,

ereksi melemah, ereksi hilang, impotensi.

m. Gejala autonom yang ditandai mulut kering, muka merah, mudah berkeringat,

kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri.

n. Tingkah laku (sikap) pada wawancara yang ditandai gelisah, tidak tenang, jari

gemetar, kerut kening, muka tegang, otot tegang/mengeras, nafas pendek dan

cepat, muka merah.

Adapun cara penilaiannya adalah dengan sistem skoring yaitu sebagai berikut :

Skor :

0 = 0% gejala yang timbul pada tiap kelompok

1 = 1-25% gejala yang timbul pada tiap kelompok

2 = 26-50% gejala yang timbul pada tiap kelompok

3 = 51-75% gejala yang timbul pada tiap kelompok

4 = 76-100% gejala yang timbul pada tiap kelompok

36
Apabila :

Skor <14 = tidak ada kecemasan.

Skor 14 - 20 = kecemasan ringan.

Skor 21 – 27 = kecemasan sedang.

Skor 28 – 41 = kecemasan berat.

Skor 42 – 56 = kecemasan berat sekali.

(Hawari, 2011).

C. Relaksasi Otot Progresif (Progressive muscle relaxation)

1. Definisi Relaksasi

Relaksasi atau teknik relaksasi adalah metode, proses, prosedur, kegiatan yang dapat

membantu seseorang menjadi rileks, meningkatkan ketenangan, menurunkan cemas dan

menurunkan tingkat stress (Nurgiwiati, 2015). Relaksasi otot progresif merupakan salah satu

teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatetis dan

parasimpatetis. Teknik relaksasi menghasilkan respon fisiologis yang terintegrasi dan juga

mengganggu bagian dari kesadaran yang dikenal sebagai ”respon relaksasi Benson”. Respon

relaksasi diperkirakan menghambat sistem saraf otonom dan sistem saraf pusat dan

meningkatkan aktivitas parasimpatis yang dikarakteristikkan dengan menurunnya otot

rangka, tonus otot jantung dan mengganggu fungsi neuroendokrin (Triyanto, 2014).

2. Manfaat Relaksasi Otot Progresif

Beberapa manfaat terapi relaksasi otot progresif menurut Setyoadi & Kushariyadi

(2011) adalah sebagai berikut:

37
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung, tekanan

darah tinggi, frekuensi jantung, laju metabolik.

b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen

c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar dan tidak

memfokuskan perhatian serta rileks.

d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi

e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres

f. Mengatasi insomnia, depresi, keletihan, iritabilitas, spasme otot, fobia ringan,

gagap ringan dan membangun emosi positif dan emosi negatif.

3. Mekanisme Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat kecemasan

Relaksasi otot progresif diciptakan setelah mempelajari sistem kerja saraf manusia,

yang terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Sistem saraf pusat berfungsi

mengendalikan gerakan-gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan

jari-jari pada saat tubuh melakukan tugas tertentu. Sebaliknya, sistem saraf otonom berfungsi

mengendalikan gerakan-gerakan yang otomatis (self governing), misalnya otot-otot halus

(pengontrol pupil dan akomodasi lensa mata, dan gairah seksual), proses kardiovaskuler, dan

aktivitas berbagai kelenjar dalam tubuh (Carlson, 1994 dalam Ramdhani & Putra, 2010).

Sistem saraf otonom ini terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatetis dan

sistem saraf parasimpatetis yang kerjanya saling berlawanan. Sistem saraf simpatetis lebih

banyak aktif ketika tubuh membutuhkan energi. Misalnya pada saat terkejut, takut, cemas,

atau berada dalam keadaan tegang. Pada kondisi seperti ini, sistem syaraf akan memacu

aliran darah ke otot-otot skeletal, meningkatkan detak jantung dan kadar gula. Sebaliknya,

sistem saraf parasimpatetis mengontrol aktivitas yang berlangsung selama penenangan tubuh,

misalnya penurunan denyut jantung setelah fase ketegangan dan menaikkan aliran darah ke

sistem gastrointestinal (Carlson, 1994 dalam Ramdhani & Putra, 2010).

38
Sementara dengan melakukan teknik relaksasi maka tubuh akan menghasilkan respon

fisiologis yang terintegrasi dan juga mengganggu bagian dari kesadaran yang dikenal sebagai

”respon relaksasi Benson”. Respon relaksasi diperkirakan menghambat sistem saraf otonom

dan sistem saraf pusat dan meningkatkan aktivitas parasimpatis yang dikarakteristikkan

dengan menurunnya otot rangka, tonus otot jantung dan mengganggu fungsi neuroendokrin

(Triyanto, 2014).

Gerakan kontraksi dan relaksasi otot menstimulasi respon relaksasi baik fisik maupun

psikologis. Respon tersebut terjadi karena rangsangan aktivitas sistem syaraf otonom

parasimpatis yaitu nuclei rafe yang terletak pada separuh bagian bawah pons dan medulla;

akibatnya terjadi penurunan pada metabolisme tubuh, denyut nadi, tekanan darah dan

frekuensi pernafasan.

Selain itu juga relaksasi otot progresif melibatkan peningkatan sekresi serotonin

sehingga tubuh menjadi tenang dan lebih mudah untuk tidur. Pada saat yang sama, ketika

melakukan gerakan relaksasi otot, sebuah sel syaraf juga mengeluarkan opiate peptides yang

merupakan saripati kenikmatan dan dialirkan keseluruh tubuh sehingga yang dirasakan

adalah rasa nikmat dan rileks (Persson, et al., 2008, dalam Sulidah dkk, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Sulidah dkk., (2016) tentang pengaruh relaksasi otot

progresif terhadap tingkat kecemasan yang melibatkan 25 responden yang diberikan

perlakuan relaksasi otot progresif 1 kali sehari menjelang tidur selama 4 minggu dan

dilakukan 3 kali pengukuran posttest yaitu pada minggu ke 2, minggu ke 3 dan minggu ke 4.

Pada hasil analisis didapatkan bahwa relaksasi otot progresif terbukti efektif meningkatkan

tingkat kecemasan lansia (p-value 0,000) baik pada pengukuran minggu kedua maupun

minggu terakhir intervensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Djawa, Hariyanto, & Ardiyani (2017) tentang

perbedaan tingkat kecemasan lansia sebelum dan sesudah melakukan relaksasi otot progresif

39
menunjukkan rata-rata skor tingkat kecemasan sebelum intervensi adalah 12,82,45 dan

setelah intervensi yang diukur pada hari ke 8 terjadi perubahan skor tingkat kecemasan

dengan rata-rata 4,530,99. Pada hasil uji statistik didapatkan p-value 0,000 (p<0,05) artinya

terdapat perbedaan bermakna skor tingkat kecemasan antara sebelum dan setelah pemberian

relaksasi otot progresif, dimana setelah pemberian relaksasi otot progresif selama 7 hari yang

dilakukan 1 kali sehari menjelang tidur malam, tingkat kecemasan responden mengalami

peningkatan signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Rudy (2017) menunjukkan bahwa

relaksasi otot progresif terbukti efektif dalam meningkatkan tingkat kecemasan pasien DM

tipe 2 dengan nilai signifikansi 0,010 (p<0,05).

4. Langkah-langkah Relaksasi Otot Progresif

a. Persiapan

1) Persiapan alat dan lingkungan: kursi, bantal, serta lingkungan yang tenang dan

sunyi.

2) Persiapan klien

 Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian lembar persetujuan

terapi kepada klien;

 Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu berbaring dengan mata tertutup

menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut atau duduk di kursi dengan

kepala di topang, hindari posisi berdiri;

 Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu

 Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya

mengikat ketat.

b. Pelaksanaan

1) Gerakan pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan

cara menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.

40
Klien diminta membuat kepalan ini semakin kuat (gambar 2.1), sambil

merasakan sensasi ketegangan yang terjadi. Pada saat kepalan dilepaskan,

klien dipandu untuk merasakan rileks selama 10 detik. Gerakan pada tangan

kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara

ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami. Prosedur serupa juga

dilatihkan pada tangan kanan.

Gambar 2.1 Gerakan 1 mengepalkan tangan bagian bawah

2) Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang.

Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada

pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan

bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit (gambar 2.2).

Gambar 2.2 Gerakan 2 untuk tangan bagian belakang

3) Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot biceps.

41
Otot biceps adalah otot besar yang terdapat di bagian atas pangkal lengan.

Gerakan ini diawali dengan menggenggam kedua tangan sehingga menjadi

kepalan kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot

biceps akan menjadi tegang.

Gambar 2.3 Gerakan 3 otot-otot biceps dan gerakan 4 untuk otot bahu

4) Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Relaksasi untuk 

mengendurkan bagian otot-otot bahu dapat dilakukan dengan cara mengangkat

kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa hingga

menyentuh kedua telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras

ketegangan yang terjadi di bahu, punggung atas, dan leher.

5) Gerakan kelima, keenam sampai kedelapan adalah gerakan-gerakan yang

ditujukan untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih

adalah otot-otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat

dilakukan dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai otot-ototnya  terasa

dan kulitnya keriput. Gerakan yang ditujukan untuk mengendurkan otot-otot

mata diawali dengan menutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan

ketegangan di sekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata

42
Gambar 2.4 Gerakan-gerakan untuk otot-otot wajah

6) Gerakan keenam bertujuan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami

oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan

menggigit gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot rahang.

7) Gerakan ketujuh ini dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.

Bibir  dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di

sekitar mulut.

8) Gerakan kedelapan dan gerakan kesepuluh ditujukan untuk merilekskan otot-

otot leher bagian depan maupun belakang. Gerakan diawali dengan otot leher

bagian belakang baru kemudian otot leher bagian depan. Klien dipandu

meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat, kemudian diminta untuk

menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa sehingga

43
klien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang leher dan punggung

atas.

Gambar 2.5 Gerakan melatih otot leher, punggung dan otot dada

9) Gerakan kesembilan bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan (lihat

gambar 2.5). Gerakan ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka,

kemudian klien diminta untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga

dapat merasakan ketegangan di daerah leher bagian muka.

10) Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot-otot punggung. Gerakan ini

dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi, kemudian

punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada sehingga tampak seperti pada

gambar 6. Kondisi tegang dipertahankan selama 10 detik, kemudian rileks.

Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke kursi, sambil membiarkan otot-otot

menjadi lemas.

11) Gerakan kesebelas, dilakukan untuk melemaskan otot-otot dada. Pada gerakan

ini, klien diminta untuk menarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru

44
dengan udara sebanyak-banyaknya. Posisi ini ditahan selama beberapa saat,

sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian turun ke perut. Pada

saat ketegangan dilepas, klien dapat bernafas normal dengan lega.

Sebagaimana dengan gerakan yang lain, gerakan ini diulangi sekali lagi

sehingga dapat dirasakan perbedaan antara kondisi tegang dan rileks.

12) Gerakan keduabelas. Setelah latihan otot-otot dada, gerakan

keduabelas bertujuan untuk melatih otot-otot perut. Gerakan ini dilakukan

dengan cara menarik kuat-kuat perut ke dalam, kemudian menahannya sampai

perut menjadi kencang dank eras. Setelah 10 detik dilepaskan bebas, kemudian

diulang kembali seperti gerakan awal untuk perut ini. Gerakan 14 dan 15

adalah gerakan-gerakan untuk otot-otot kaki. Gerakan ini dilakukan secara

berurutan.

13) Gerakan ketiga belas bertujuan untuk melatih otot-otot paha, dilakukan dengan

cara meluruskan kedua belah  telapak kaki (lihat gambar delapan) sehingga

otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan dengan mengunci lutut,

sedemikian sehingga ketegangan pidah ke otot-otot betis. Sebagaimana

prosedur relaksasi otot, klien harus menahan posisi tegang selama 10 detik

baru setelah itu melepaskannya.

14) Setiap gerakan dilakukan masing-masing dua kali.

(Setyoadi & Kushariyadi, 2011).

D. Kerangka Teori

Kerangka teori pada dasarnya adalah hubungan antara konsep-konsep yang ingin

diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat digambarkan kerangka teori

yaitu sebagai berikut:

45
Faktor Risiko
Kecemasan(Ansietas) Intervensi

- Status kesehatan/ Non Farmakologi


penyakit
- Usia Kecemasan Relaksasi otot
- Lingkungan progresif (progressive
- Kelelahan (ansietas)
muscle relaxation)
- Gaya hidup
- Stres/kecemasan
- Alkohol Terdapat Tidak ada
- Diet/nutrisi tanda tanda Gejala
- Rokok Gejala Kecemasan
- Obat-obatan Kecemasan

Gambar 2.1 Kerangka Teori (Mubarak dkk, 2015; Triyanto, 2014; Nurgiwiati, 2015;
Setyoadi & Kushariyadi, 2011)

E. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antar konsep-

konsep atau variable yang diambil (diukur) melalui penelitian - penelitian yang dilakukan

(Notoatmodjo, 2012). Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :

Independen Dependen

Relaksasi Otot Progresif Tingkat Kecemasan (Ansietas)

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Yang Akan Diteliti


F. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, bisa

berupa pernyataan tentang hubungan dua variabel atau lebih, perbandingan (komparasi) atau

variabel mandiri (Sugiyono, 2010). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:

46
Ha : Ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap Tingkat Kecemasan ( ansietas)

diabetes mellitus tipe 2 di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Purbolinggo tahun 2022.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya berupa

angka-angka (score, nilai) atau pernyataan yang diangkakan dan dianalisis dengan analisis

statistik. Studi yang digunakan adalah studi eksperimen atau percobaan (experimental

research) yaitu suatu penelitian dengan melakukan kegiatan percobaan (experiment) yang

bertujuan untuk mengetahui gejala atau pengaruh yang timbul sebagai akibat dari adanya

perlakuan tertentu atau eksperimen tersebut (Notoatmodjo, 2012). Bentuk eksperimen yang

digunakan adalah quasi experiment design dengan rancangan Nonequivalent control group

design/non randomized control group pretest posttest design yaitu penelitian eksperimen

yang dilakukan dengan cara memilih dua kelompok dalam kelompok studi tetapi tidak

dilakukan randomisasi kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal lalu

diberikan perlakuan yang selanjutnya peneliti melakukan post test untuk melihat efek dari

perlakuan yang diberikan (Budiman, 2011). Bentuk rancangan ini adalah sebagai berikut:

Kelompok Pretest Intervensi Posttest

Eksperimen 01 x 02
Kontrol 01 - 02

Keterangan:
01 : Pengukuran sebelum perlakuan

02 : Pengukuran setelah diberi perlakuan

X : Diberi Perlakuan relaksasi otot progresif

- : Tidak diberi perlakuan.

47
B. Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki

atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu (Notoatmojo,

2018). Penelitan ini memiliki 2 (dua) variabel. Variabel Independen dan Variabel Dependen.

Berikut uraian variabel-variabel dalam penelitian:

1. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas atau variabel yang dapat mempengaruhi dalam penelitian ini adalah

teknik relaksasi otot progresif.

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi dalam penelitian ini adalah Tingkat

Kecemasan penderita diabetes mellitus tipe 2.

C. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian variabel-variabel

diamati atau diteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut diberi batasan. Definisi

operasional ini juga bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan

terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur

(Notoatmojo, 2018).

48
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi
No Variabel Alat ukur Cara ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
1 Dependen Sebuah ukuran Kuesioner Membagikan Skor HARS Numerik
Tingkat Rentang respon Hamilton kuesioner/ 0-21
Kecemasan kecemasan sesuai Anxiety wawancara Skor <14 =
diabetes dengan gejala Rating Scale tidak ada
mellitus tipe yang dialami (HARS) yang kecemasan.
2 penderita Diabetes terdiri atas 14 Skor 14 - 20 =
mellitus Tipe 2. komponen kecemasan
ringan.
Skor 21 – 27 =
kecemasan
sedang.
Skor 28 – 41 =
kecemasan
berat.
Skor 42 – 56 =
kecemasan
berat sekali

2 Independen Teknik relaksasi Lembar - - -


Relaksasi yang dilakukan observasi
otot dengan
progresif mengombinasikan
latihan napas
dalam dan
serangkaian
gerakan untuk
merelaksasikan
otot tertentu
sebagai upaya
menurunkan
tingkat kecemasan
penderita diabetes
mellitus.

49
D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah pelaksanaan suatu penelitian yang selalu berhadapan dengan objek

yang diteliti atau diselidiki. Objek tersebut dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-

tumbuhan, benda-benda mati lainnya, serta peristiwa dan gejala yang terjadi di dalam

masyarakat atau di dalam alam (Notoatmodjo, 2018).. Populasi dalam penelitian ini

adalah penderita diabetes mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas

Purbolinggo yang berjumlah 2219 orang.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi penelitian

(Notoatmodjo, 2018). Penetapan besarnya atau jumlah sampel suatu penelitian

tergantung pada dua hal, yaitu adanya sumber-sumber yang dapat digunakan untuk

menentukan batas maksimal dari besarnya sampel dan kebutuhan dari rencana analisis

yang menentukan batas minimal dari besarnya sampel. Besar sampel yang digunakan

dalam penelitian ini memiliki tingkat kesalahan 5% dengan menggunakan rumus

sebagai berikut :

N
n
1 + N e2
2219
n
1 + 2219 (0,052)
2219
n
1 + 2219 (0,0025)

n 338,9 atau dibulatkan menjadi 339

50
Keterangan :

n : Besar Sampel (339 Penderita diabetes Tipe II)

N : Besar Populasi (2219)

d : Tingkat kesalahan (0,05)

Berdasarkan rumus diatas maka jumlah sampel penelitian ini berjumlah 339 Orang

penderita diabetes mellitus tipe 2.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik cluster

sampling. Cluster random sampling adalah suatu jenis teknik sampling dimana

seorang peneliti membagi populasi menjadi beberapa kelompok yang terpisah yang

disebut sebagai cluster. Dari beberapa cluster ini diambil beberapa sampel yang

dipilih secara random atau acak. Analisis penelitian dari teknik cluster random

sampling ini diambil dari data sampel cluster-cluster tersebut. Adapun kriteria

sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kriteria

1) Bersedia menjadi responden

2) Penderita DM tipe 2 yang terdiagnosa pada tahun 2022

3) Mampu berkomunikasi dengan baik

4) Mampu membaca dan menulis

E. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Purbolinggo

Tahun 2022 .

51
F. Etika Penelitian

Pelaku penelitian atau penelitian dalam menjalankan tugas meneliti atau melakukan

penelitian hendaknya memegang teguh sikap ilmiah (scientific attitude) serta berpegang

teguh pada etika penelitian meskipun penelitian yang dilakukan tidak merugikan atau

membahayakan bagi subjek penelitian. Secara garis besar menurut Milton (2019 dikutip

Palestin dalam Notoatmodjo, 2012) menjelaskan ada empat prinsip dasar etika penelitian,

meliputi:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Peneliti harus mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan

informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut. Disamping itu,

peneliti juga harus memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan

informasi atau tidak. Bentuk menghormati harkat dan martabat subjek penelitian,

peneliti harus mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform consent) yang

mencakup:

a. Penjelasan manfaat penelitian

b. Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan

c. Penjelasan manfaat yang didapatkan

d. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek

berkaitan dengan prosedur penelitian

e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian kapan saja

f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang

diberikan responden.

g. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and

confidentiality)

52
h. Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan

individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk tidak

memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh karena itu, penelitian

ini tidak menampilkan informasi yang bersifat rahasia dan mencukupkan

menggunakan coding ataupun inisial sebagai pengganti identitas responden.

i. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an inclusiveness)

j. Prinsip keterbukaan dan adil harus dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,

keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian perlu

dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan menjelaskan

prosedur penelitian.

k. Mempertimbangkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms

and benefits)

Sebuah penelitian harus memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi

masyarakat pada umumnya dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti

hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek.

G. Instrumen dan Metode Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data.

Instrumen penelitian dapat berupa kuesioner (daftar pertanyaan), formulir observasi yang

berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya. Apabila data yang akan dikumpulkan

adalah data yang menyangkut pemeriksaan fisik maka instrumen penelitian dapat berupa

stetoskop, tensimeter, timbangan, meteran atau alat lainnya (Notoatmodjo, 2012). Adapun

instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan penderita diabetes mellitus

dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang

terdiri atas 14 komponen.

53
a. Perasaan cemas (ansietas) firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

b. Ketegangan merasa tegang, lesu, tidak bias istirahat tenang, mudah terkejut,

mudah menangis, gemetar, gelisah.

c. Ketakutan yang ditandai pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada

binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan orang banyak.

d. Gangguan tidur yang ditandai sukar masuk tidur, terbangun malam hari, tidur

tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi-mimpi, mimpi buruk, mimpi

menakutkan.

e. Gangguan kecerdasan yang ditandai sukar konsentrasi, daya ingat menurun, daya

ingat buruk.

f. Perasaan depresi yang ditandai hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-ubah sepanjang hari.

g. Gejala somatik/fisik (otot) yang ditandai sakit dan nyeri di otot-otot, kaku,

kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.

h. Gejala somatik/fisik (sensorik) yang ditandai tinitus (telinga berdenging),

pengelihatan kabur, muka merah/pucat, merasa lemas, perasaan ditusuk-tusuk.

i. Gejala kardiovaskuler (jantungdan pembuluh darah) yang ditandai takikardia

(denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa

lesu/lemas seperti mau pingsan, detak jantung menghilang (berhenti sekejap).

j. Gejala respiratori (pernafasan) yang ditandai rasa tertekan atau sempit di dada,

rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek/sesak.

k. Gejala gastrointestinal (pencernaan) yang ditandai sulit menelan, perut melilit,

gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar

54
diperut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, buang air besar lembek, sukar

buang air besar (konstipasi), kehilangan berat badan.

l. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) yang ditandai sering buang air kecil,

tidak dapat menahan air seni, tidak datang bulan (tidakada haid), darah haid

berlebihan, darah haid amat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid amat

pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin (frigid), ejakulasi dini,

ereksi melemah, ereksi hilang, impotensi.

m. Gejala autonom yang ditandai mulut kering, muka merah, mudah berkeringat,

kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri.

n. Tingkah laku (sikap) pada wawancara yang ditandai gelisah, tidak tenang, jari

gemetar, kerut kening, muka tegang, otot tegang/mengeras, nafas pendek dan

cepat, muka merah.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian meliputi data primer yaitu data yang

diambil langsung dari responden dan skunder yaitu data yang berbentuk dokumentasi. Data

primer dalam penelitian diambil langsung dari responden melalui kuesioner Hamilton Anxiety

Rating Scale (HARS) untuk mengetahui tingkat kecemasan diabetes mellitus. Sedangkan data

skunder dalam penelitian ini berupa data-data angka kejadian diabetes mellitus yang tercatat

dalam laporan penyakit tidak menular (PTM) UPTD Purbolinggo sebagai data awal.

3. Pengolahan dan Analisa Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui empat tahap sebagai

berikut:

55
1) Editing yaitu melakukan pengecekan biodata responden, kuesioner Hamilton

Anxiety Rating Scale (HARS) hasil pengukuran tingkat Kecemasan, dan

pengumpulan data apakah sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.

2) Coding yaitu mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka

atau bilangan guna mempermudah pada saat analisis data. Pada penelitian ini

data yang diolah berupa data numerik sehingga tidak banyak pengkodean.

Terlebih lagi program SPSS saat ini sudah lebih canggih sehingga sangat

mempermudah peneliti dalam analisis data.

3) Prosesing yaitu memasukkan data dari masing-masing responden ke dalam

program komputer yaitu Microsoft Excel dan dianalisis dengan menggunakan

program SPSS 2.4.Cleaning yaitu kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah ada, baik missing, variasi, maupun konsistensi data (Notoatmodjo,

2012). Dari hasil analisis data tidak didapatkan missing data, dan semua data

berdistribusi normal.

b. Analisa Data

1) Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hasil

skor rata-rata tingkat kecemasan pasien diabetes mellitus baik sebelum

(pretest) maupun sesudah (posttest) intervensi, serta untuk mengetahui

distribusi karakteristik responden.

2) Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot

progresif terhadap tingkat kecemasan pasien diabetes mellitus. Pada

penelitian ini kedua kelompok data berdistribusi normal (uji Shapiro-Wilk p-

value >  0,05), maka analisis data dilakukan dengan menggunakan uji

56
statistik parametrik dua kelompok berpasangan yaitu uji paired t-test dan uji

dua kelompok tidak berpasangan yaitu uji t-test independent. Analisis ini

dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS, keputusan uji

statistik menggunakan derajat kemaknaan 95% dan tingkat kesalahan (α) =

5%, dan hasilnya adalah p value ≤ nilai α (0,05), maka Ho ditolak (ada

pengaruh).

4. Jalannya Penelitian

Jalannya penelitian ini akan dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu sebagai

berikut:

1) Tahap Awal

Tahap awal dalam proses penelitian ini yaitu mengamati fenomena ataupun

masalah-masalah kesehatan yang banyak ditemukan di masyarakat, serta

mengamati penyebab maupun upaya mengatasinya sebagai data awal untuk

merumuskan judul penelitian. Setelah rumusan judul disetujui, selanjutnya

peneliti melakukan tahap penyusunan proposal yang diawali dengan

mengajukan permohonan izin pra survey kepada institusi terkait yang

digunakan peneliti sebagai lokasi penelitian, mengumpulkan konsep teori

yang menunjang sesuai dengan masalah yang ditemukan, menyusun latar

belakang masalah, merumuskan masalah penelitian, tujuan, manfaat, dan

ruang lingkup serta desain penelitian yang akan digunakan. Setelah proposal

disetujui dan telah diseminarkan kemudian peneliti mengajukan pemohonan

uji etik dan penelitian ini telah dinyatakan lulus uji etik. Setelah mendapatkan

surat izin penelitian dari Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung

dan izin dari UPTD Puskesmas Purbolinggo untuk peneliti melaksanakan

pengumpulan data

57
Adapun pelaksanaan penelitian ini akan dilakukan melalui tahapan sebagai

berikut:

 Peneliti mendatangi rumah-rumah responden dengan didampingi oleh

kader setempat sebagai fasilitator.

 Peneliti menjelaskan kepada calon responden yang telah memenuhi

kriteria sampel tentang tujuan, manfaat, prosedur pengumpulan data serta

menanyakan kesediaan calon responden. Bagi yang bersedia menjadi

responden, peneliti memberikan informed consent dan responden diminta

untuk menandatanganinya. Selain itu, responden juga diminta untuk

mengisi data diri sebagai gambaran karakteristik responden.

 Peneliti juga melibatkan keluarga responden sebagai sumber data pada

saat melakukan penelitian ini.

 Peneliti melakukan pengukuran pertama (pretest) tingkat kecemasan pada

kelompok intervensi maupun kelompok kontrol.

 Selanjutnya, peneliti mengajarkan cara melakukan relaksasi otot progresif

kepada kelompok intervensi sesuai dengan standar operasional prosedur

secara langsung dan melalui video hingga responden bisa

mempraktekkannya secara mandiri.

 Kemudian peneliti meminta responden untuk menerapkannya 1 kali sehari

menjelang tidur selama 7 hari berturut-turut dan mengisi lembar ceklist

jadwal latihan.

 Pada kelompok kontrol peneliti akan memberikan leaflet yang berisi

informasi tentang diabetes mellitus dan SPO relaksasi otot progresif.

 Setelah responden menerapkan relaksasi otot progresif sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan, peneliti melakukan pengukuran kembali

(posttest) tingkat kecemasan pada kelompok intervensi maupun pada

58
kelompok kontrol dan data yang telah terkumpul selanjutnya akan

dilakukan pengolahan data.

2) Tahap Akhir

 Melakukan pengolahan dan analisa data hasil penelitian,

menginterprestasikan serta melakukan pembahasan sesuai temuan hasil

penelitian yang dikolaborasikan dengan teori maupun penelitian terkait.

 Penyajian hasil penelitian dalam bentuk tertulis yang dilanjutkan dengan

ujian pendadaran dan melakukan revisi sesuai saran penguji.

 Menyerahkan laporan hasil penelitian kepada Program Studi Ilmu

Keperawatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

59
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanti, M. (2014). Meracik Sendiri Obat & Menu Sehat Bagi Penderita Diabetes Melitus.
Yogyakarta: Pustaka Baru Press..

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014a). Keperawatan Medikal Bedah: manajemen klinis untuk
hasil yang diharapkan. (A. Suslia & P. P. Lestari, Ed., R. A. Nampira, Yudhistira, & S.
citra Eka, Penerj.) (Edisi 8, Vol. 1). Singapura: Elsevier Inc.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014b). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. (A. Suslia & P. P. Lestari, Ed., R. A. Nampira, Yudhistira, & S.
citra Eka, Penerj.) (Edisi 8, Vol. 2). Singapura: Elsevier Inc.

Budiman. (2011). Penelitian Kesehatan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Hasdianah. (2012). Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak-anak dengan
Solusi Herbal. Yogyakarta: Nuha Medika.

Hidayat, A. A. A. (2014). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. (Nurchasanah,


Ed.) (Edisi 1). Jakarta: Salemba Medika.

LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
(M. T. Iskandar, Ed., B. Angelina, E. K. Yudha, P. E. Karyuni, & N. B. Subekti, Penerj.)
(Edisi 5, Vol. 2). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Mubarak, W. I., Indrawati, L., & Susanto, J. (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. (A.
Suslia, Ed.), Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.

Nabyl, R. A. (2012). Panduan Hidup Sehat Mencegah dan Mengobati Diabetes Mellitus.
Yogyakarta: Aulia Publishing.

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

Nurgiwiati, E. (2015). Terapi Alternatif & Komplementer Dalam Bidang Keperawatan.


Bogor: In Media.

Setyoadi, & Kushariyadi. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan Pada Klien Psikogeriatrik.
(A. Suslia, Ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, S. C. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. (E. A. Mardella,
Ed., D. Yulianti & A. Kimin, Penerj.) (Edisi 12). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Smyth, C. (2012). The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). The Hartford Institute for
Geriatric Nursing, 155(6.1), 86.

Sugiyono. (2010). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Tarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.

60
Tarwoto, Wartonah, Taufiq, I., & Mulyati, L. (2012). Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: CV. Trans Info Media.

Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Dinkes Lampung Timur

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB2 Keperawatan Medikal Bedah: keperawatan
dewasa. Buku 2 (Edisi 1). Yogyakarta: Nuha Medika.

. (2021). Laporan Penyakit Tidak Menular (PTM) Kabupaten Lampung Timur. Lampung
Timur Lampung.

Kemenkes RI. (2016). Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kemenskes RI.

WHO. (2018). Diabetes. Diambil 11 Desember 2021, dari https://www.who.int/en/news-


room/fact-sheets/detail/diabetes.

Endah Sri Rahayu, D. H. (2014). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif Terhadap

Penurunan Tingkat Kecemasan Pada Klien Diabetes Mellitus Tipe 2. Keywords:

progressive muscle relaxation, anxiety.

Tim pokja SDKI DPP PPNI.(2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi

Dan Indicator Diagnostic Edisi I. Jakarta Selatan:Dewan Pengurus Pusat Persatuan

Perawat Nasional Indonesia

61
LAMPIRAN

62
LAMPIRAN 1

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)


UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN
(INFORMED CONSENT)

Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari, mengerti, dan
memahami tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin timbul dalam penelitian, serta
telah diberi kesempatan untuk bertanya dan telah dijawab dengan memuaskan, juga sewaktu-
waktu dapat mengundurkan diri dari keikut sertaannya, maka saya setuju/tidak setuju*) ikut
dalam penelitian ini, yang berjudul:

Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tingkat Ansietas Penderita Diabetes


Mellitus Tipe II Di Wilayah Kerja Puskesmas Purbolinggo2022

Saya dengan sukarela memilih untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa tekanan/paksaan
siapapun. Saya akan diberikan salinan lembar penjelasan dan formulir persetujuan yang telah
saya tandatangani untuk arsip saya.

Saya setuju:
Ya/Tidak*)

Tanda Tangan
Tanggal (Bila tidak bisa dapat
digunakan cap jempol)
Nama Peserta (diisi inisial)
Usia
Alamat

Nama Peneliti Dwi Hartanto

Nama Saksi

*) coret yang tidak perlu

vi
LAMPIRAN 2

KUESIONER KECEMASAN HAMILTON ANXIETY RATING SCALE (HARS)

A. Penilaian :
0 : Tidak ada (Tidak ada gejala sama sekali)
1 : Ringan (Satu gejala dari pilihan yang ada)
2 : Sedang (Separuh dari gejala yang ada)
3 : Berat (Lebih dari separuh dari gejala yang ada)
4 : Sangat berat (Semua gejala ada)

B. Penilaian derajat kecemasan


Skor
6 < (Tidak ada kecemasan)
6-14 (Kecemasan ringan)
15-27 (Kecemasan sedang)
28-36 (Kecemasan berat)

C. Berilah tanda Check list (√) pada jawaban yang paling sesuai dengan pendapat ibu

No Komponen Ceck list (√)


1 Perasaan Cemas

Firasat buruk

Takut akan pikiran sendiri

Mudah tersinggung

Mudah emosi

2 Ketegangan

Merasa tegang

Lesu

Mudah terkejut

Tidak dapat istirahat dengan tenang

Mudah menangis

Gemetar

Gelisah

3 Ketakutan

Pada gelap

Ditinggal sendiri

Pada orang asing

vii
Pada kerumunan banyak orang

4 Gangguan tidur

Sukar memulai tidur

Terbangun malam hari

Mimpi buruk

Mimpi yang menakutkan

5 Gangguan kecerdasan

Daya ingat buruk

Sulit berkonsentrasi

Sering bingung

Banyak Pertimbangan

6 Perasaan depresi

Kehilangan minat

Sedih

Berkurangnya kesukaan pada hobi

Perasaan berubah-ubah

7 Gejala somatik (otot-otot)

Nyeri otot

Kaku

Kedutan otot

Gigi gemertak

Suara tak stabil

8 Gejala sensorik

Telinga berdengung

Penglihatan kabur

Muka merah dan pucat

Merasa lemah

9 Gejala kardiovaskuler

Denyut nadi cepat

viii
Berdebar-debar

Nyeri dada

Rasa lemah seperti mau pingsan

10 Gejala pernafasan

Rasa tertekan di dada

Perasaan tercekik

Merasa nafas pendek/sesak

Sering menarik nafas panjang

11 Gejala gastrointestinal

Sulit menelan

Mual muntah

Perut terasa penuh dan kembung

Nyeri lambung sebelum makan dan sesudah

12 Gejala urogenitalia

Sering kencing

Tidak dapat menahan kencing

13 Gejala otonom

Mulut kering

Muka kering

Mudah berkeringat

Sakit kepala

Bulu roma berdiri

14 Apakah anda merasakan

Gelisah

Tidak terang

Mengerutkan dahi muka tegang

Nafas pendek dan cepat

ix

Anda mungkin juga menyukai