Anda di halaman 1dari 6

Nama : Farhan Adli, S.Pd.,M.

Pd
1. Apa makna syahadat Laa ilaaha illallooh wa anna Muhammad Rosulullooh dan apa
konsekwensinya?
2. Apa syarat ibadah?
3. Sebutkan pengertian tauhid dan syririk?
4. Bagaimana cara kita memahami al Qur'an dan hadits?
5. Bolehkah kita menggantungkan jimat2 agar dilancarkan rizki dan dilindungi dari bahaya?
Kenapa?
6. Bolehkah kita meminta atau berdoa kepada orang sholeh yang sudah meninggal agar dilancarkan
rizki dan dilindungi dari bahaya? Kenapa?
7. Apakah Allah punya wajah? Bagaimana wajah Allah?
8. Dimana Allah?
9. Bagaimana sikap kita kepada pemimpin muslim yang menzolimi rakyatnya? Apakah kita tetap
wajib taat?
10. Bolehkah melakukan demonstrasi?
11. Apa pendapat anda tentang Abu Bakar dan Umar?
12. Apa pengertian bid'ah? Apakah mobil, motor pesawat termasuk bidah? Kenapa?
13. Apa hukum tahlilan?
14. Apa hukum musik?
15. Apa hukum gambar atau menggambar/ melukis makhluk hidup?
16. Apa pendapat anda tentang janggut, celana di atas mata kaki dan cadar (penutup muka wanita)?
17. Berapa lama anda sudah mengaji manhaj salaf?
18. Ustadz siapakah yang biasa anda dengarkan kajiannya
19. Apa motivasi anda menjadi dosen/ pengajar ?
20. Apakah anda bersedia menerima honor sederhana ?

Jawab:
1. Merujuk pada literatur islam, bahwa makna syahadat mengandung persaksian dan pengakuan,
dimana menjadikan seseorang akan memeluk agama islam sebagai pedoman hidupnya sekaligus
konsekuensi dengan menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim. Tentu hal ini dapat kita
artikan bahwa kalimat asyhadu alla ilaaha illallah bukanlah kalimat yang dapat dipermainkan
tanpa ada konsekuensi apapun. Sehingga dalam memaknai kalimat tauhid sebagai bentuk
penyaksian terhadap Tuhan yang harus diesakan dan tidak menyekutukan-Nya dalam hal apapun.
Syahadat tauhid akan menjadikan manusia sepenuhnya yakin bahwa Allah sang pencipta dan
pengatur alam semesta dengan segala nama dan sifatNya dan sebagai satu-satunya muara
ibadahh manusia. Dalam memahami syahadat tauhid, perlu ditanamkan dua rukun yang harus
dipenuhi yaitu Al-Nafyu (peniadaan) dan Al-Itsbat (penetapan). Al-Nafyu berarti bahwa kalimat
laailaha yang membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap
segala yang disembah selain Allah Swt. Al-istbat berarti bahwa pada kalimat laailaha
menetapkan tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai
dengan konsekuensinya. Sedangkan syahadat Rasul berarti menyaksikan dan mengakui kerasulan
Nabi Muhammad Saw, dimana tidak sebatas pada mengakui saja, tetapi menuntut kesediaan
manusia untuk menjadikan Rasulullah sebagai teladan serta memiliki rasa cinta yang
dimanifestasikan dalam amal perbuatan dan perkataan. Syahadat Rasul memiliki dua rukun yaitu
mengakui Nabi Muhammad sebagai hamba Allah dan utusan Allah. Kedua rukunn ini
menandakan status Nabi Muhammad yang juga memiliki kewajiban untuk menghamba kepada
Rabb-Nya sekaligus mengemban amanah kerasulan.
Adapun yang menjadi konsekuensi syahadatain dalam kehidupan adalah: 1) Harus meninggalkan
segala bentuk ibadah kepada selain Allah, 2) Memiliki kecintaan kepada Allah, tunduk
kepadaNya, merendahkan diri kepada-Nya, kepatuhan penuh dalam mentaatiNya, memurnikan
ibadah hanya kepadaNya dan mengharap ridhoNya dengan segenap perkataan dan perbuatan, 3)
Mengikuti setiap ajaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai petunjuk dalam
kehidupan.
Kesimpulannya adalah Syahadatain bukanlah ucapan lisan yang dapat disamakan dengan
ucapan lainnya, syahadatain mengangandung makna sakral dan bukanlah ucapan yang
mengandung candaan. Kalimat syahadatain adalah kalimat persaksian seorang manusia kepada
Sang Pencipta dan persaksian manusia kepada utusan Sang Pencipta. Konsekuensi pengucapan
syahadatain adalah konsekuensi yang melahirkan kesatuan dari tiga unsur yaitu lisan, hati dan
perbuatan, tidak hanya satu unsur atau dua unsur saja, melaiankan harus sinergi antara ketiga
unsur. Pemahaman akan konsep dan konsekuensi terhadap pengucapan syahadatain atau sering
disebut dnegan kalimat tauhid menjadi penting dikaji, mengingat sakral dan pentingnya kalimat
syahdatain dalam menentukan sah dan batalnya rukun Islam.
2. Syarat-syarat Ibadah
a. Bahwa ibadah adalah tauqifiyah yang artinya tidak ada celah bagi akal untuk ikut campur
didakamnya, yang memiliki otoritas untuk membuat syariat hanyalah Allah Swt yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw
b. Ibadah harus Ikhlas karena mengharap ridho Akkag SWT
c. Harus menjadikan Rasulullah Saw sebagai tauladan dan pemberi penjelasan tentang ibadah
d. Harus memahami batasan waktu dan ukuran yang tidak boleh dilewatkan
e. Ibadah harus dibangun berdasarkan kecintaan kepada Allah SWT, menghinakan diri kepada-
Nya, takut dan mengarap kepada-Nya.
3. Tauhid adalah mengesakan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan Allah. Tauhid dibagi
menjadi tiga, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhud Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa sifat. Tauhid
Rububiyah merupakan tauhid yang mempercayai bahwa pencipta alam semesta ini adalah Esa,
tiada sekutu bagi-Nya, sedangkan Tauhid Uluhiyah adalah tauhid yang mengarahkan seorang
muslim untuk hanya menyembah kepada Allah dan tidak menyembah selain-Nya atau
mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub yang disyariatkan
seperti doa, nadzar, kurban, raja’, tawakkal, taqwa, ibadah dan inâbah (kembali/taubat). Tauẖîd
ini terkandung di dalamnya tauẖîd yang pertama, maka setiap tauẖîd uluhiyah adalah tauẖîd
rububiyah dan bukan sebaliknya. Dengan ketentuan seperti ini maka jika seseorang telah
melafadzkan kalimat tauẖîd lâ ilâha illallah, maka ia tidak boleh menyekutukan Allah dengan
yang lain dalam beribadah. Adapun Tauhid Asma wa Sifat adalah mempercayai bahwa hanya
Allah yang memiliki asma’ dan sifat-sifat yang maha sempurna. Ibn Taimiyah berpendapat
bahwa seorang muslim wajib mengimani dan menetapkan asma’ dan sifat-sifat Allah sesuai
dengan apa yang ditetapkan oleh Allah tentang diri-Nya di dalam al-Qur’an, dan yang ditetapkan
oleh Rasul-Nya di dalam hadits.
Sementara syirik bermakna menyekutukan Allah dengan melakukan perbuatan atau amalan
yang sepatutnya ditujukan kepada Allah, akan tetapi ditujukan kepada yang lain selain dari-Nya,
menjadikan Tuhan selain Allah, menyembahnya, mentaatinya, meminta pertolongan kepadanya,
dan mencintainya, atau melakukan perbuatan lain seperti itu yang tidak boleh dilakukan kecuali
kepada Allah saja. Itulah yang disebut syirik besar yang mengakibatkan amal kebaikannya tidak
diterima atau sia-sia.
4. Dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits yang mengandung pesan-pesan universal dan kompleks
perlu menggunakan berbagai pendekatan untuk merefleksikan pesan-pesan yang ada di dalamnya
yaitu dengan pendekatan tekstual dan kontekstual. Pendekatan tekstual lebih berorientasi pada
teks yang ada, sedangkan pendekatan kontekstual melibatkan pemahaman ekstra-teks bukan
intra-teks. Pendekatan tekstual biasanya memfokuskan pembahasannya pada kinerja gramatikal,
melalui pemahaman harfiah, sehingga cenderung menggunakan analisis yang bergerak dari
refleksi [teks] ke praksis [konteks]. Sedangkan kinerja pendekatan kontekstual berusaha
memahami suatu teks dengan cara melacak konteks penggunaannya pada masa ketika teks itu
muncul, termasuk situasi dan kondisi di mana ayat Alquran dan hadits diturunkan dan juga
diucapkan, kemudian dipahami secara interdisiplin dengan ilmu-ilmu yang berkembang saat ini.
5. Tidak diperbolehkan, karena sebagaimana yang telah dikaji sebelumnya bahwa sebagai orang
yang telah bertauhid, tentu memiliki pendirian yang teguh dan pemahaman yang baik bahwa
jimat tidak akan pernah memberikan manfaat dan akan mendatangkan mudharat. Hamka
menjelaskan dalam Tafsir Al-Azhar jilid 2 bahwa jimat merupakan bagian dari perbuatan syirik
yang sama sekali tidak akan pernah mendatangkan manfaat.
6. Dalam menjawab ini, yang perlu digaris bawahi adalah meminta doa kepada orang shalih dalam
hal agar diampuni dosanya adalah boleh, sebagaimana dalam kisah Uwais Al-Qarni, dengan tetap
melandaskan pada keyakinan bahwa Allah Swt tetap yang akan mengabulkan doa-doa. Lantas,
bagaimana jika meminta doa kepada orang shalih yang sudah meninggal? Dianjurkan untuk lebih
baik tidak dilakukan, untuk menjaga diri agar tidak masuk pada kategori atau wilayah syirik.
7. Di antara aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa
Ta’ala memiliki wajah. Hal ini tentu saja berdasarkan dalil Al-Quran dan hadits sahih yang
jumlahnya sangatlah banyak. Adapun dalil di Al-Quran adalah sebagai berikut: 1)Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Q.S.
Al-Qiyaamah : 22-23), 2) Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga)
dan tambahannya (melihat wajah Allah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak
(pula) ckehinaan. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Yunus : 26),
3) Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan. (Q.S. Ar-Rahmaan : 26-27).
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah di zamannya,
menegaskan ideologi Ahlussunnah yang agung ini dalam ucapan beliau, “(Termasuk prinsip-
prinsip dasar Ahlussunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat
(wajah Allah Ta’ala yang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih” (dalam Kitab
“Ushuulus sunnah”). Sedangkan, Al-Imam Al-Hafidz Abul Fida Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di
surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling
agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga. Mereka
berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka,
tetapi karena karunia dan rahmat Allah”. (Kitab Tafsir Al-Quranul 'Adzhim karya Al-Hafidz Ibnu
Katsir, (4/262). Sehingga, jelaslah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mempunyai wajah.
Namun sekali lagi, wajah Allah berbeda dengan wajah manusia. Karena Allah Ta’ala berbeda
dengan makhluk-Nya.
8. Sesungguhnya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan Ahlus Sunnah, bahwa Allâh Azza wa
Jalla itu Maha Tinggi. Dia berada di tempat yang tinggi, di atas langit, di atas ‘arsy-Nya. Dalil
tentang sifat tinggi bagi Allâh Azza wa Jalla sangat banyak, sampai sebagian Ulama mengatakan,
“Di dalam al-Qur’an terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allâh Maha
Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya dan bahwa Dia berada di atas para hamba-Nya”.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫الَّرْح َٰم ُن َع َلى اْلَعْر ِش اْس َتَو ٰى‬

Rabb yang Maha Pemurah berada di atas ‘Arsy. [Thȃha/20: 5


9. Secara zahir (tekstual) Hadits ini memerintahkan umat Islam taat kepada pemimpin meski
mereka bermaksiat kepada Allah SWT dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada
Allah SWT. Ini berdasar sabda Nabi SAW dari Hudzaifah bin Al-Yaman. Nabi SAW bersabda,

‫ َق اَل ُقْلُت‬.» ‫َيُك وُن َبْع ِد ى َأِئَّم ٌة َال َيْهَتُد وَن ِبُهَداَى َو َال َيْس َتُّنوَن ِبُس َّنِتى َو َس َيُقوُم ِفيِهْم ِرَج اٌل ُقُل وُبُهْم ُقُل وُب الَّش َياِط يِن ِفى ُج ْثَم اِن ِإْنٍس‬
‫َكْيَف َأْص َنُع َيا َر ُسوَل ِهَّللا ِإْن َأْد َر ْكُت َذ ِلَك َقاَل « َتْس َم ُع َو ُتِط يُع ِلَألِم يِر َوِإْن ُض ِرَب َظْهُرَك َو ُأِخ َذ َم اُلَك َفاْس َم ْع َو َأِط ْع‬

“Nanti setelah aku ka nada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu)
dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti ka nada di tengah-tengah mereka
orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.” Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Nabi SAW bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa
punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat kepada mereka.” (Riwayat
Muslim).
Menurut Ibnu Abi ‘Izz, hukum mentaati ulil amri adalah wajib walaupun mereka berbuat zalim.
Karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat
ganda dibanding dengan kezaliman penguasa itu sendiri. Bahkan, bersabar terhadap kezaliman
mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak
menjadikan mereka berbuat zalim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita
juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan.
10. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), demonstrasi adalah pernyataan protes yang
dikemukakan secara massal, baik protes itu ditujukan kepada seseorang maupun kelompok atau
pemerintahan. Sedangkan kata demonstrasi dalam bahasa Arab menurut Faizin Muhith seorang
mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar dan Mufti di Darul Ifta’ Mesir diterjemahkan
dengan muzhaharat (demonstrasi) dan juga masirah (long-march). Menurutnya, dua kata tersebut
hampir mirip tetapi dalam pandangan Islam memiliki muatan hukum yang tidak sama. Jika yang
pertama sering mendekati pada hukum haram (hurmah), tetapi yang kedua seakan sangat jelas
dibolehkan (ibahah). Keduanya dibedakan dari tindakan-tindakan para demonstran ketika
menyampaikan suara dan juga bentuk tuntutan atau protes itu sendiri. Secara singkat Islam
membolehkan demonstrasi sepanjang tidak keluar dari koridor Al-Qur’an dan Hadis. Namun
kalau kita perhatikan dalam surat An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS An-Nahl [16]: 125).
Dari ayat tersebut, jelas cara menyeru kepada jalan Tuhan (kebenaran) adalah dengan cara yang
baik dan hikmah atau bijaksana. Begitu pula jika ingin membantah suatu kebijakan, maka tetap
harus dilakukan dengan cara yang baik.
11. Yang terlintas dalam benak dan fikiran saya ketika membaca kedua nama tersebut adalah
pejuang yang menemani Rasulullah Saw dengan setia, meskipunn memiliki perbedaan sifat.
Termasuk dalam khualafur rasyidin. Dimana Abu Bakar terkenal dengan sifat yang lemah
lembut, sedangkan Umar bin Khattab cenderung keras dan tegas (julukan Al-Faruq). Dua
manusia mulia yang hidup dengan sangat sederhana.
12. Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Setelah
mengetahui definisi bid’ah dan mengetahui bahwa setiap bid’ah adalah tercela dan amalannya
tertolak, masih ada suatu kerancuan di tengah-tengah masyarakat bahwa berbagai kemajuan
teknologi saat ini seperti mobil, motor, dan pesawat dianggap sebagai bid’ah yang tercela. Di
antara mereka mengatakan, “Kalau memang bid’ah itu terlarang, kita seharusnya memakai unta
saja sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Menurut saya, perkataan ini
muncul karena tidak memahami bid’ah dengan benar. Perlu sekali ditegaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan bid’ah yang tercela sehingga membuat amalannya tertolak adalah bid’ah
dalam agama dan bukanlah perkara baru dalam urusan dunia yang tidak ada contoh sebelumnya
seperti mobil, motor dan pesawat. Suatu kaedah yang perlu diketahui bahwa untuk perkara non
ibadah (‘adat), hukum asalnya adalah tidak terlarang (mubah) sampai terdapat larangan. Hal
inilah yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (sebagaimana dalam Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/86) dan ulama lainnya.
13. Hukum tahlilan menurut empat madzhab adalah boleh. Hal ini dikarenakan tahlilan merupakan
kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan
takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan
oleh pembaca atau oleh pemilik hajat. Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu,
seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya.
Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan
kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu,
yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya.
Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan
apabila dilihat dari segi historisnya, Awalmula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan
(baca: selamatan) nenekmoyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan
Buddha.Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang
meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnyawaktu tahlilan. Namun,
acara tahlilan berbeda dengan prosesi selamatan agamalain yaitu dengan cara mengganti dzikir-
dzikir dan doa-doa ala agama laindengan bacaan dari al-Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan doa-
doa ala Islammenurut mereka. Dari aspek historis ini, bisa dikatakan bahwa sebenarnya
acaratahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) denganagama
lain.Dalam konteks dakwah penyebaran Islam, seharusnya mampu mem-posisikan diri sebagai
orang yang bisa menerima kehadiran agama dan nilai-nilailuhur suatu budaya secara
proporsional, dan jangan sampai memposisikan dirisebagai orang yang hanya mengakui nilai-
nilai agama sebagai satu-satunyakonsep yang mengarahkan perilakunya tanpa peduli pada nilai-
nilai budayalingkungan sekitar.
14. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya – Al-Misbah tidak mengharamkan musik. ia lebih
melihat musik pada dampak konten musik itu sendiri, jika kontennya postif maka dibolehkan,
jika kontennya negative maka tidak dibolehkan. sebagaimana mengutip tayangan video youtube
M. Quraish Shihab menjelaskan, “Pada dasarnya tidak ada larangan untuk menyanyi dan
menggunakan musik, bahkan Nabi pernah hadir di rumahnya dua penyanyi. Sayyidina Abu Bakar
masuk ke rumah itu, kenapa ada orang bernyanyi? Biarkan Abu Bakar, ini hari lebaran, silahkan
orang bernyanyi, kata Rasulullah. Tapi begitu ada konten yang tidak benar Nabi luruskan.
Dengan demikian pendapat penulis tentang musik atau nyanyian itu sendiri lebih mengedepankan
sifat moderat (mengambil jalan tengah) yakni bahwa hukum musik boleh (halal), dengan
beberapa syarat tertentu: (1) Syair lagu tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam (2) Gaya
menyanyikan lagu tidak mengandung maksiat yang membuat pendengar diahlikahkan ke dalam
perbuatan maksiat. (3) Nyanyian tidak di barengi dengan sesuatu yang diharamkan seperti
minum miras dan lain sebagainya. (4) Dan tidak berlebihan dalam mendengarkannya.
15. hukum menggambar dan melukis makhluk hidup dalam Islam adalah haram jika gambar atau
lukisan tersebut menyerupai ciptaan Allah SWT tanpa memiliki kemampuan untuk memberikan
ruh atau hidup kepada gambar tersebut. Hal ini karena dapat menimbulkan kesyirikan dan
kesombongan. Namun demikian, ada juga beberapa ulama yang memberikan pengecualian atau
keringanan terhadap hukum ini dengan memperhatikan konteks zaman dan tujuan dari
menggambar dan melukis. Jika tujuannya baik dan bermanfaat bagi agama atau dunia, maka
hukumnya menjadi mubah atau boleh. Namun jika tujuannya buruk dan merusak bagi agama
atau dunia, maka hukumnya menjadi haram.
16. Menurut saya janggut, celana di atas mata kaki dan cadar (penutup muka Wanita) adalah baik dan
semua memiliki dasar. Contoh, janggut dalam pandangan madzhab syafi’i, Ada dari kalangan
ulama Asy Syafi’iyyah yang menghukumi bahwa memelihara jenggot hukumnya wajib, sehingga
memangkasnya diharamkan, kecuali jika tumbuhnya melebihi kebiasaan boleh dipangkas dan
dari mereka ada yang menyatakan bahwa hukum memelihara jenggot sunnah.
sedangkan celana diatas mata kaki, ada perbedaan pendapat empat madzhab, seperti penjelasan
mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Syafi’i, dan sebagian ulama
mazhab Hanbali menyatakan, memanjangkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya mubah.
Adapun sebagian ulama mazhab Maliki dan sebagian ulama mazhab Hanbali yang lain,
menegaskan bahwa memanjangkan pakaian melebihi mata kaki hukumnya makruh.
Terkait dengan cadar, ada perbedaan pendapat juga dalam melihat aspek wajib dan tidaknya,
seperti mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, ulama mazhab Maliki, sebagian besar
ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan, wajah perempuan tidak termasuk
aurat, sehingga tidak wajib ditutupi. Sedangkan ulama mazhab Maliki menyatakan, memakai
cadar hukumnya makruh karena termasuk berlebih-lebihan dalam beragama.
17. Saya mengaji manhaj salaf sudah sejak smp, sekitar 13 tahun yang lalu. Dan sampai sekarang
masih aktif mengikuti kajian.
18. Ustadz Khalid Basalamah
19. Yang menjadi motivasi saya tertarik menjadi dosen/pengajar adalah adanya kesadaran dalam diri
untuk membagikan ilmu pengetahuan yang telah saya dapatkan ke siapapun, salah satunya
melalui jalan menjadi seorang dosen/pengajar. Selain itu, saya ingin menebar manfaat lebih luas
lagi agar dapat berkontribusi untuk membentuk insan cendekia.
20. Ya, saya bersedia. Dan, saya rasa apabila diberikan kesempatan untuk membagikan ilmu di STAI
Abu Bakar ini, terkait dengan honor bisa dibicarakan lebih lanjut lagi. Terimakasih Bapak/Ibu.

Anda mungkin juga menyukai