Makalah Mediasi
Makalah Mediasi
MEDIASI
Dosen Pengajar
Bapak Muhammad Firliadi Nur Salim, SS, MSI
Disusun Oleh:
Muhammad Ihsan Maulidinnor
NIM. 2021140211
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan peradaban tersebut terjadi karena pada setiap diri manusia
dilengkapi oleh daya cipta, rasa,dan karsa. Penerapan interaksi sosial dalam
kehidupan bermasyarakat tidak selamanya berjalan selaras dan harmonis.
Seringkali yang terjadi adalah perbedaan pemikiran, pendapat, dan keinginan
antar manusia yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini kemudian menjadi cikal
bakal lahirnya sengketa atau konflik dalam masyarakat. Konflik ini pun senantiasa
berkembang mengikuti perkembangan peradaban masyarakat atau suatu bangsa.
Hal tersebut kemudian mendorong bagi yang mulai berpikir modern untuk
membentuk suatu mekanisme penyelesaian konflik (sengketa) mulai dari bentuk
yang paling sederhana hingga menjadi suatu sistem yang kini disebut sebagai
sistem peradilan yang senantiasa mengacu pada hukum positif dan norma-norma
atau kaidah-kaidah dalam masyarakat.
Sistem peradilan yang dimiliki oleh setiap negara dipandang sebagai jalan
terbaik dalam menyelesaikan sengketa. Sehingga setiap kali muncul konflik maka
yang timbul dalam pikiran adalah penyelesaiannya harus melalui pengadilan
(litigasi) padahal dalam proses pengadilan terdapat banyak tahap dan segudang
aturan main yang harus dipenuhi. Belum lagi apabila kasus tersebut berlarut-larut
dan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja penyelesaiannya memakan
waktu yang lama dan biaya yang besar bagi setiap pencari keadilan.
Dari beberapa permasalahan tersebut, muncullah pemikiran untuk
melahirkan sebuah bentuk alternatif dispute resolution (ADR), termasuk di
Indonesia. Hadirnya ADR tersebut bukan untuk mengacaukan pelaksanaan hukum
acara sebagai hukum formil dari hukum publik dan hukum privat yang berlaku.
Hal tersebut membuka pintu baru bagi masyarakat selaku pencari keadilan, agar
setiap sengketa tidak selalu diproses di pengadilan dengan waktu yang lama dan
biaya yang mahal serta untuk tetap membantu pencapaian tujuan hukum
1
(keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.) Maka dikeluarkanlah beberapa peraturan
yang secara khusus mengatur tentang alternative penyelesaian sengketa.
Misalnya undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa. Dalam pasal 1 angka 10 dan alinea kedua dari
penjelasan undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa masyarakat
dimungkinkan memakai alternatif lain dalam usaha penyelesaian sengketa, antara
lain dengan cara : konsultasi, negosiasi, mediasi, dan konsiliasi atau penilaian ahli.
Hal ini kemudian semakin dipertegas dengan dikeluarkannya peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan.
Makalah ini secara tuntas akan membahas mengenai Mediasi sebagai salah
satu solusi jalan keluar penyelesaian hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari mediasi?
2. Apa saja dasar hukum mediasi?
3. Apa saja jenis-jenis mediasi?
4. Apa saja tugas dan fungsi mediator?
5. Bagaimana proses mediasi di pengadilan negeri?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami pengertian mediasi
2. Mengetahui dan memahami dasar hukum mediasi
3. Mengetahui dan memahami jenis- jenis mediasi
4. Mengetahui dan memahami tugas dan fungsi mediator
5. Mengetahui dan memahami proses mediasi di pengadilan negeri
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mediasi
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, yaitu mediare
yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukan kepada peran yang
bertindak sebagai mediator. Mediator dalam menjalankan tugasnya berada di
tengah-tengah para pihak yang bersengketa, berada pada posisi netral serta tidak
memihak dalam menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan
pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan
kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.1
Selain itu kata mediasi juga berasal dari bahasa inggris “mediation” yang
artiya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ke tiga sebagai penengah,
atau penyelesain sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan
mediator atau orang yang menjadi penengah. Dalam proses mediasi ini terjadi
permufakatan di antara para pihak yang bersengketa, yang merupakan
kesepakatan (konsensus) bersama yang diterima para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi dilakukan oleh para pihak
yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator. Mediator di sini hendaknya
berperan secara aktif dengan berupaya menemukan berbagai pilihan solusi
penyelesaian sengketa, yang akan diputuskan oleh para pihak yang bersengketa
secara bersama-sama. Penyelesaian sengketa melalui mediasi tersebut, hasilnya
dituangkan dalam kesepakatan tertulis, yang juga besifat final dengan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan i‟tikad baik.2
Dalam kamus besar bahasa indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai
penasehat.3
1
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), h. 2.
2
?
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), h. 24
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Iindonesia (Jakarta: departemen pendidikan dan kebudayaan, 1988), h. 569.
3
Pengertian mediasi yang diberikan kamus bahasa indonesia mengandung 3
unsur penting.
1. Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau
sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih.
2. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-
pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa.
3. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak
sebagai penasehat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam
pengambilan keputusan.
4
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum adat, dan Hukum Nasional
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 5
5
Garry Goopaster, Negoisasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negoisasi dan Penyelesaian
Sengketa Melalui Negoisasi (Jakarta: ELIPS Project. 1993), h. 201
4
dengan pihak yang bersangkutan dan mencoba mencari kemungkinan
penyelesasian dari sengketa yang dimaksudkan.6
Menurut perma no 1 tahun 2016 bahwa Mediasi merupakan cara
penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses
yang lebih luas kepada Para Pihak untuk memperoleh penyelesaian yang
memuaskan serta berkeadilan.
Dengan demikian, dari definisi atau pengertian mediasi ini dapat
didefinisikan unsur-unsur esensial mediasi, yaitu:
1. Mediasi merupakancara penyelesaian sengketa melalui perundingan
berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak.
2. Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang
disebut mediator.
3. Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu
para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang diterima
para pihak.
5
B. Dasar Hukum Mediasi
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur
pengintegrasian mediasi kedalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak
pada ketentuan pasal 130 HIR maupun pasal 154 R.Bg. 8
Untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung
menuangkan ketentuan tersebut ke dalan suatu bentuk yang bersifat memaksa,
yaitu dengan mengaturnya kedalam UU No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur
mediasi. Namun belakangan Mahkamah Agung menyadari bahwa Perma tersebut
kurang teraplikasikan sebagai landasan hukum mediasi karena tidak tampak
perubahan sistem dan prosedural perkara masih berlangsung secara konvensional
melalui proses litigasi.
8
Muhammad Saifullah, Mediasi Peradilan, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), h. 24-31
6
Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam
bentuk tertulis. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam
lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan.
Dalam Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi
menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani
oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul
pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai [pasal 17 ayat (1)
dan (6)].
7
3. Mediasi – Arbitrase
Mediasi- Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa
yang merupakan kombinasi antara mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk
ini, seorang yang netral diberi kewenangan untuk mengadakan mediasi,
namun demikian ia pun mempunyai kewenangan untuk memutuskan
setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan
menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan
mediasi, dan jika tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan
arbitrase yang putusannya final mengikat.
9
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
h. 279-280.
9
Menurut Fuller4 salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi
dari seorang mediator ada 7, yakni:
1. Sebagai “katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator
dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang
konstruktif bagi diskusi.
2. Sebagai “pendidik”, berarti seorang harus berusaha memahami aspirasi,
prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para puhak.
3. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan
dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya
melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran
yang dicapai oleh pengusul.
4. Sebagai “nara sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan
sumber-sumber informasi yang tersedia.
5. Sebagai “penyandang berita jelek”, berarti seorang mediator harus
menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap
emosional. Untuk itu, mediator harus mengadakan pertemuan terpisah
dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
6. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberikan
pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak
mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
7. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan,
misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
11
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.
ke-3, (Jakarta; Pernada Media, 2005), h. 159
12
a) Bila mediasi dilakukan ditempat lain, biaya ditanggung oleh
para pihak berdasarkan kesepakatan.
b) Bila mediator yang disepakati bukan hakim tetapi berasal dari
luar lingkup daftar mediator yang ada di pengadilan, biaya
mediator tersebut ditanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan para pihak. 12
12
Pasal 17 Ayat 1 PERMA NO 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
13
pula memilih mediator dari daftar pengadilan dalam waktu satu
hari kerja sebagai tindak lanjut dari kegagalan pertama maka
penunjukan mediator dilimpahkan kewenangannya kepada ketua
majelis hakim yang memriksa perkara secara ex-officio, yang
dituangkan ke dalam penetapan.
3. Tahap Mediasi
Tahap mediasi terdiri atas:
a. Para Pihak Wajib Menyerahkan Foto Kopi Dokumen
Setelah mediator terpilih atau ditunjuk, para pihak wajib
menyerahkan foto kopi dokumen yang memuat duduk perkara dan
fotokopi surat-surat yang diperlukan paling lambat dalam jangka
waktu tujuh hari kerja terhitung dari tanggal para pihak memilih
mediator atau ketua mejelis menunjuk mediator. Penyerahan dokumen
ini tidak hanya kepada mediator tetapi juga kepada pihak lain, artinya
para pihak secara timbale balik saling menyerahkan dikumen dan
surat-surat yang dimaksud.
13
Syahrizal Abbas,Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.28-31.
14
Setelah para pihak saling memberikan dokumen perkara,
selanjutnya adalah mediator menentukan jadwal pertemuan yang
benar-benar realistis dan harus dihadiri oleh para pihak dengan atau
tanpa di dampingi oleh kuasa hukum mereka. Mediator juga dapat
melakukan kaukus apabila dianggap perlu dan mengundang ahli
dengan syarat-syarat disetujui oleh para pihak.
14
Pasal 17 Ayat 1 PERMA NO 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
15
tersebut diperiksa oleh mediator untuk menghindari terjadinya
kesepakatan yang betentangan dengan hukum. Dalam kesepakatan ini,
wajib dicantumkan klausula-klusula pencabutan perkara atau
pernyataan perkara telah selesai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
Pasal 17 Ayat 1 PERMA NO 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan
16
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak
ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang
diterima oleh kedua belah pihak.
Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan
anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama
dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau
ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.
Pengertian mediasi yaitu suatu proses damai dimana para pihak yang
bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang
yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih yg bersengketa) untuk mencapai
hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima
sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga (mediator)
berperan sebagai pendamping dan penasihat. Sebagai salah satu mekanisme
menyelesaikan sengketa, mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan
kepada berbagai kasus konflik.
B. Saran
Para ahli dalam mediasi seperti para mediator non hakim atau mediator
professional seharusnya mempunyai standar kompetensi, keahlian dan etik
sehingga bisa menjadi dasar pijakan oleh para pihak yang bersengketa dalam
berunding untuk memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketanya.
DAFTAR PUSTAKA
17
Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum adat, dan Hukum
Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009.
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, Cet. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
18