Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PROSPEK PENGADILAN AGAMA / MAHKAMAH SYARIAH

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia

Dosen Pengampu
Akhmad Fauzan S.H, M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 14
Muhammad Rizqy NIM. 2022110884
Salahuddin NIM. 2021110874

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUL ULUM KANDANGAN


JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN 2024 M/ 1445 H
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan segenap karunia-Nya. Salawat serta salam
semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. beserta ahlul bait,
para sahabatnya dan semoga kita termasuk umat beliau yang mendapat syafaat
kelak dihari kiamat.
Makalah yang berjudul “PROSPEK PENGADILAN AGAMA /
MAHKAMAH SYARIAH” ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Peradilan
Agama di Indonesia yang diajarkan oleh Bapak Dosen Akhmad Fauzan S.H, M.H.
Penulis banyak mendapat masukan dan arahan dalam penulisan makalah
ini dan kami mengucapkan terimakasi kepada semua pihak yang sudah membantu
baik secara moril maupun non moril sehingga makalah ini bisa selesai dengan
tepat waktu.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menjadi salah satu sumber
rujukan bahan bacaan dan bisa menambah khazanah wawasan kita mengenai
pengadilan agama khususnya pengadilan agama di Indonesia.

Kandangan, Mei 2024


Penulis

Kelompok 14

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................................


i
KATA PENGANTAR ................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah ………………………………… 3
B. Kedudukan Dan Eksistensi Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Pada Era
Reformasi ………………………………………………………………………….. 5
C. Peluang Dan Tantangan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Pada
Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
Sebagai Institusi Terhormat 8
………………………………………………………………....
BAB III PENUTUP
A. Simpulan ..........................................................................................................................
12
B. Saran-saran ……………………………………………………………………………..
13
DAFTAR PUSTAKA 14

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
diubah untuk kedua kalinya dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009.
Pengadilan Agama Bangko selaku pengadilan tingkat pertama mempunyai tugas
pokok dan fungsi memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang- orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Era reformasi yang mewarnai kehidupan bernegara di Indonesia telah
banyak membawa berbagai perubahan, tidak terkecuali reformasi dan perubahan
di bidang Kekuasaan Kehakiman. Arus reformasi, keinginan, dan desakan untuk
melakukan perubahan terhadap beberapa peraturan perundang-undangan di bidang
Kekuasaan Kehakiman dan amandemen terhadap Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah banyak membawa perubahan dalam pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Makalah ini akan membahas mengenai Peradilan Agama / Mahkamah
Syariah pada masa reformasi beserta dengan peluang dan tantangannya dalam
mewujudkan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Sebagai Institusi
Terhormat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari pengadilan agama / mahkamah syariah?
2. Bagaimana kedudukan dan eksistensi pengadilan agama / mahkamah
syariah pada era reformasi?
3. Apa saja peluang dan tantangan pengadilan agama / mahkamah syariah
pada upaya-upaya konkrit menjadikan pengadilan agama / mahkamah
syariah sebagai institusi terhormat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami pengertian pengadilan agama / mahkamah
syariah
2. Mengetahui dan memahami kedudukan dan eksistensi pengadilan agama /
mahkamah syariah pada era reformasi
3. Mengetahui dan memahami peluang dan tantangan pengadilan agama /
mahkamah syariah pada upaya-upaya konkrit menjadikan pengadilan
agama / mahkamah syariah sebagai institusi terhormat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah


Pengadilan menurut bahasa adalah dewan atau majelis yang mengadili
perkara, mahkamah, proses mengadili keputusan hakim ketika mengadili perkara
(bangunan tempat mengadili perkara).1 Sedangkan pengadilan agama merupakan
terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak yang berarti Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama adalah daya upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian
perselisisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan – peraturan dalam
agama.2
Pengadilan agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara
empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di
Indonesia. Pengadilan Agama juga salah satu diantara tiga peradilan khusus di
Indonesia . dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Pengadilan Agama
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (yang
beragama Islam).3
Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu
saja, tidak dalam bidang pidana dan juga hanya untuk orang-orang beragama
Islam di Indonesia. Dan juga dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu saja.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dalam
Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “ Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang –
orang yang beragama Islam.

Dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama adalah salah satu dari


peradilan negara Indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang
1
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h.7.
2
M Idris Ramulyo, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama,
(Jakarta:Ind Hill Co, 1999), h.12.
3
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000), h.5
3
berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, hanya untuk orang-orang
yang beragama Islam.
Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat
lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia
dan juga salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu.
Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja
dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.
Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah
di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan
beraneka ragam sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama,
Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi, Godsdients
Beamte, Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli, Hof voor
Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam Tinggi, dan
sebagainya.4
Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada tahun
1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama yang
dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah dan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi.
Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping sebagai
Peradilan khusus yakni sebagai Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi
wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan
hukum materiil Islam dalam batas-batas kekuasaannya.
Pada masa orde lama yakni mulai tahun 1957-1974 ada 4 hal yang perlu kita
ketahui mengenai lahirnya dasar hukum Pengadilan Agama yang bertujuan untuk
mempertahankan keeksistensian Pengadilan Agama di Indonesia, yakni PP No. 29
Tahun 1957, PP No. 45 Tahun 1957, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
B. Kedudukan Dan Eksistensi Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah
Pada Era Reformasi

4
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), h.17.
4
Era Reformasi di Indonesia ditandai dengan adanya kondisi krisis multi
dimensi di era tersebut yang menuntut pemerintah segera mereformasi
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat menuntut agar
pemerintah mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis dan mempercepat
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sejak itu, berbagai perubahan penting terjadi
sebagai tonggak dimulainya era Reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi dan
birokrasi. Fase ini juga dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Salah satu
agenda reformasi adalah reformasi birokrasi.
Khusus tentang reformasi kekuasaan kehakiman disini perubahannya pada
pelaksanaan reformasi di berbagai bidang yang termasuk di dalamnya adalah
reformasi birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman di Indonesia, selain Mahkamah Konstitusi .5
Latar belakang Reformasi Birokrasi tidak lain karena krisis multi dimensi
yang dialami Indonesia tahun 1997-1998
Dengan amandemen undang-undang tersebut di atas, maka MA merupakan
salah satu puncak kekuasaan kehakiman serta peradilan negara tertinggi. MA
sebagai peradilan tertinggi bagi peradilan yang berada di bawahnya mempunyai
posisi dan peran strategis di bidang kekuasaan kehakiman. Hal ini dikarenakan
MA tidak hanya membawahi empat lingkungan peradilan, tetapi juga sebagai
puncak manajemen di bidang administrasi, personil dan finansial, serta sarana dan
prasarana keempat lembaga peradilan (UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 21 jo. UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 13 ayat (1) jo.
UU No. 35 Tahun 1999, Pasal 11).

Pada era reformasi terjadi perubahan secara besar-besaran pada lembaga


peradilan khususnya peradillan agama, dimana peradilan agama harus
menundukkan diri kepada Undang Undang satu atap yaitu Undang Undang

5
Taufiq Hamami, Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan. Kehakiman di
Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2013), h. 247
5
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung RI dan Undang Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun hal terjadi lagi perubahan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004
diganti dengan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
kehakiman sementara itu Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 diubah menjadi
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Demikian pula dikeluarkannya dan berlakunya Undang Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Dengan tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan
bangsa, Negara dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan.
Bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan dibawah Mahkamah
Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, namun hal
ini terjadi perubahan kembali yaitu dikeluarkannya Undang Undang Nomor 3
Tahun 2006 masih perlu disempurnakan kembali yaitu dengan mengadakan
perubahan kedua yakni Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Demikian juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu tentang Pengadilan
Agama memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal penentuan awal bulan pada tahun
Hijriah yakni kewenangan baru peradilan agama. Dengan bersumber pada Undang
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Adapun berlakunya Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 nomor 22


tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama adalah : Pasal 1 dalam Undang Undang ini yang dimaksud
6
dengan (1) Pengadilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama
Islam. (2) Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama (3) Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan
hakim pada pengadilan tinggi agama (4) Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai
pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama (5) Juru Sita dan/atau Juru Sita
Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan agama.
Dalam pembahasan rancangan Undang-Undang tentang Perbankan Syari’ah
yang kemudian ditetapkkan menjadi Undang Undang Nomor 21 Tahun 2008 telah
terjadi hubungan kerja yang intens antara Mahkamah Agung c.q. Ditjen Badan
Peradilan Agama dengan Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia. Hal
tersebut terjadi karena kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pada
perbankan syari’ah yang merupakan salah satu dari 11 cabang ekonomi syari’ah
yang disebutkan dan ditetapkan menjadi kewenangan Peradilan Agama oleh
Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam DIM (Daftar Isian Masalah) yang
disampaikan oleh pemerintah terhadap Rancangan Undang Undang inisiatif DPR
RI tersebut dialihkan ke Peradilan Umum.
Hubungan kerja tersebut harus terus berlanjut karena masih banyak tugas-
tugas lain yang sebenarnya merupakan tugas bersama yang harus diselesaikan
antara lain pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang Undang tentang
Hukum Materil Peradilan Agama (HMPA) bidang perkawinan. 6

C. Peluang Dan Tantangan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah Pada


Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan Pengadilan Agama / Mahkamah
Syariah Sebagai Institusi Terhormat

6
Ibid.
7
Pengadilan Agama merupakan simbol hukum Islam sesuai dengan ruang
lingkup dan kewenangannya. Diperluasnya kekuasaan Pengadilan Agama melalui
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 berarti sebuah pengakuan yuridis dari negara
terhadap berlakunya hukum Islam tersebut. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan
dan peluang bagi para hakim untuk mengembangkan pengabdiannya.7
Untuk mengembangkan pengabdian tersebut, diperlukan ilmu dan keahlian
(keterampilan yang memadai). Pada umumnya para hakim di Pengadilan Agama
disamping memiliki potensi akademik yang standar, juga memiliki kemampuan
yang kuat untuk meningkatkan diri dengan belajar dan berlatih. Potensi mereka
pada umumnya kuat untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan tenaga
professional.
Peluang lain yang juga terbuka dan berpotensi merubah ciri Pengadilan
Agama yang selama ini dianggap peradilan orang Islam yaitu terkait dengan
hukum keluarga, pada akhirnya citra ini akan mengalami pergeseran dengan
memberlakukan asas personalitas dan asas penundukan diri : “setiap orang yang
melakukan tindakan atau akad ekonomi syariah, maka secara sukarela telah
menundukkan diri kepada ketentuan syariah.8
Begitu besarnya peluang bagi Pengadilan Agama, maka sudah seharusnya
peluang tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan cara memfungsikan
Peradilan Agama sesuai tugas dan kewenangannya secara optimal.

Adapun cara agar sebuah sistem peradilan dapat berfungsi optimal


diperlakukan seperangkat syarat, sebagaimana gagasan yang dikemukakan
Lawrence Friedman yang terdiri dari tiga aspek, yaitu:

7
A. Mukti Arto, “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap Perluasan
Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989” ,
Makalah Seminar Nasional Jurusan Muamalat Fakultas Syariah UIN Sunan Kaligaja Yogyakarta,
20 Mei 2006, h. 7.
8
Nur A. Fadhil Lubis, “Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam Menyelesaikan
Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006”, Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, kerjasama Fakultas Syariah IAIN
Sumatera Utara dengan MA. RI, Medan, 27 Oktober 2007, h. 12
8
1. Pertama, substansi hukum, melingkupi adanya aturan perundang-undangan
baik formal maupun material, yang jelas, tegas, lengkap dan sistematik.
2. Kedua, struktur hukum, melingkupi tersedianya sumber daya manusia,
lembaga, sarana dan prasarana yang mendukung berjalannya dengan baik
seluruh proses yudisial.
3. Ketiga, kultur hukum adalah eksis dan berkembangnya budaya hukum
yang kondusif bagi tegaknya sistem yudisial yang ideal.9

Dibalik peluang dengan diperluasnya kewenangan Pengadilan Agama,


tentunya banyak juga hal yang merupakan tantangan dan rintangan yang harus
dijawab dalam rangka menyukseskan tugas-tugas baru dari Pengadilan Agama
tersebut, tidak saja tantangan yang bersifat intern, yaitu yang berasal dari individu
hakim berupa profesionalitas dalam menangani berbagai perkara ekonomi syariah
yang timbul tapi juga tantangan yang bersifat ekstern, yaitu yang datang dari luar
diri hakim misalnya virus mafia peradilan.
Virus mafia peradilan dalam perkembangan dunia peradilan di Indonesia
akhir-akhir ini semakin merajalela yang ditandai dengan terbongkarnya kasus-
kasus mafia peradilan, dapat saja berpengaruh terhadap Peradilan Agama. Hal ini
tidak mustahil dapat masuk di tubuh Peradilan Agama. Lebih-lebih dengan telah
satu atapnya Peradilan Agama dengan lingkungan peradilan lain di bawah
Mahkamah Agung. Sebuah pertanyaan besar, mampukah Peradilan Agama
membentengi diri mencegah masuknya virus mafia peradilan. Apalagi
kewenangan baru Peradilan Agama tersebut pada umumnya berkaitan dengan
kebendaan yang dapat memancing para hakim dan pegawai PA untuk melakukan
atau terlibat dalam mafia peradilan untuk mencapai sesuatu yang keuntungan
materi.
Terkait dengan hal ini diperlukan imunisasi sejak dini agar para hakim PA
kebal terhadap virus mafia peradilan. 10 Demikian pula dengan semakin luasnya
kekuasaan Peradilan Agama, maka tidak menutup kemungkinan masuknya
9
Ibid, h.13.
10
A. Mukti Arto, op.cit. h. 8.

9
berbagai kepentingan lain yang pada gilirannya akan berusaha mempengaruhi
kemandirian hakim.
Tantangan besar lainnya yang dihadapi oleh jajaran Peradilan Agama dalam
mengemban wewenang baru adalah tantangan yang terkait dengan penerapan
ekonomi syariah pada umumnya di negeri-negeri Muslim kontemporer, termasuk
Indonesia. Bukan saja aspek-aspek non ekonomis, seperti politik, sosial, budaya,
hukum, pemerintah, pertahanan, dan keamanan yang tidak selamanya mendukung,
bahkan justru menghadang terlaksananya idealism ekonomi tersebut, akan tetapi
juga apa yang dikatakan ekonomi Islam (syariah) hanya memainkan peran
“minor” , sehingga dimungkinkan dalam dataran hipotesis, bahwa bank-bank
yang berdasarkan syariah itu bangkrut, bukan karena kesalahan konsep
syariahnya, tetapi karena dilumpuhkan oleh sistem ekonomi “mainstream” yang
dominan. Namun demikian, tetap saja bank-bank syariah yang dipersalahkan dan
mendapat predikat gagal. Jika hal ini terjadi, Peradilan Agama kemungkinan besar
juga terkena dampaknya.11
Tantangan lain yang juga harus dihadapi oleh Peradilan Agama terkait
dengan ketentuan penjelasan pasal 49 UUPA yang selain memberikan peluang
begitu luas terhadap Peradilan Agama, namun ketentuan ini ternyata juga
menyisakan banyak pertanyaan. Di antara pertanyaan tersebut adalah adanya
ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa yang selama ini dipahami bahwa
pengadilan yang menangani perkara ekonomi (Islam/Syariah) adalah pengadilan
di lingkungan peradilan umum, termasuk yang menerima lembar putusan arbitse
dan eksekusinya jika diminta para pihak.

Hal ini bisa dijawab dengan menerapkan kaidah nasikh-mansukh, bahwa


ketentuan perundangan yang terbarulah yang dijalankan. Namun demikian, untuk
memperkuat eksistensi Peradilan Agama terutama dalam ekonomi kaitannya
dengan sengketa ekonomi syariah sudah seharusnya dilakukan sinkronisasi dan
harmonisasi undang-undang yang dijadikan dasar bagi penyelesaian sengketa

11
Nur A. Fadhil Lubis, op.cit, h. 14
10
ekonomi syariah, termasuk ketersediaan hukum materil syariah, seperti halnya
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang sudah diterbitkan, merupakan
payung hukum dan pedoman bagi para hakim dalam memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ekonomi syariah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

11
Keberadaan Peraadilan Agama sudah ada sebelum kedatangan para penjajah
Belanda. Peradilan Agama mengalami pengalaman dinamika yang berbeda
dengan peradilan lainnya, dimana Peradilan Agama membutuhkan proses yang
panjang untuk memperkuat eksistensinya di Negara Indonesia, khususnya pada
masa orde lama yang melahirkan UU No. 14 Tahun 1970 yang memperkuat
wewenang Peradilan Agama, dimana kedudukannya sama seperti 3 peradilan
yang lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pada era reformasi, Peradilan Agama harus menundukkan diri kepada
Undang-Undang satu atap yaitu Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung dan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, juga terdapat penambahan pasal 52a yaitu pengadillan agama
memberikan itsbat kesaksian ru’yat hilal. Dalam pembahasan Rancangan Undang
Undang tentang perbank-an syari’ah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang
Undang Nomor 21 Tahun 2008 telah terjadi hubungan kerja yang intens antara
Mahkamah Agung c.q. Ditjen Badan Peradilan Agama dengan Departemen
Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Beberapa peluang yang dimiliki oleh Pengadilan Agama masa sekarang
diantaranya adalah diperluasnya kewenangan Pengadilan Agama.
Adapun tantangannya terbagi menjadi:
1. Tantangan yang bersifat intern, yaitu yang berasal dari individu hakim
berupa profesionalitas dalam menangani berbagai perkara ekonomi syariah
yang timbul.
2. Tantangan yang bersifat ekstern, yaitu yang datang dari luar diri hakim
misalnya virus mafia peradilan.
3. Hal-hal yang berkaitan dengan penerapan ekonomi syariah pada
umumnya di negeri-negeri Muslim kontemporer, termasuk Indonesia dan
masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pengadilan yang
menangani perkara ekonomi (Islam/Syariah) adalah pengadilan di
lingkungan peradilan umum

12
B. Saran
1. Dengan semakin luasnya ruang lingkup kewenangan peradilan agama,
khususnya dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi seluruh bidang
perdata, maka Mahkamah Agung khususnya, perlu segera mungkin untuk
melakukan berbagai upaya guna meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan para hakim di peradilan agama mengenai perkara-perkara
bidang ekonomi syariah.
2. Dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat dalam
proses dan prosedur penyelesaian ekonomi syariah perlu dioptimalkan
pelaksanaan kegiatan sosialisasi peraturan-peraturan hukum materiil
ekonomi syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Arto, A. Mukti “Peluang dan Tantangan Praktisi Hukum Terhadap Perluasan


Kewenangan Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang No. 7

13
Tahun 1989” , Makalah Seminar Nasional Jurusan Muamalat Fakultas
Syariah UIN Sunan Kaligaja Yogyakarta, 20 Mei 2006.

Hamami, Taufiq. Peradilan Agama Dalam Reformasi Kekuasaan. Kehakiman di


Indonesia. Jakarta: Tatanusa, 2013.

Lubis, Nur A. Fadhil. Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam


Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Lahirnya UU No. 3 Tahun
2006”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah, kerjasama Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara dengan
MA. RI, Medan, 27 Oktober 2007.

Ramulyo, M Idris. Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan


Agama. Jakarta:Ind Hill Co, 1999.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo,


2000.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar


Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

14

Anda mungkin juga menyukai