Anda di halaman 1dari 13

Sahabat Angin

"Angiiin...ada angiiin...!"

Gaga mendengar suara teman-temannya dari jalan depan rumah. Mereka berlarian sambil
berseru senang. Musim angin telah tiba. Tandanya mereka bisa bermain kincir dengan puas.
Semakin besar angin, semakin kencang putaran kincirnya.

"Bu, Gaga boleh main kincir,ya?" tanya Gaga pada ibu.

Ibu yang sedang membuat teh untuk Bapak memandang Gaga tak percaya. la lalu menarik
nafas panjang.

"Tidak usah, Ga. Kamu di rumah saja, ya!" kata Ibu tegas.

Gaga menunduk kecewa. la kembali ke ruang depan, memandangi teman-temannya yang


berlarian dengan gembira. Kincir di tangan mereka berputar dengan cepat. Tiba-tiba seorang
anak berhenti dan memandang ke arah jendela kaca rumah Gaga. Itu Danu, teman sekelas
Gaga.

"Ga, kamu sendirian? aku temani, ya!" Danu melihat ke dalam.

"Kamu enggak main kincir? anginnya kan besar" tanya Gaga.

"Tadinya sih, aku mau main. Tapi kasihan kamu sendirian," kata Danu.

"Kincir itu kamu bikin sendiri?" tanya Gaga.

"Iya,Ga! Kamu mau aku ajari membuatnya?" tanya Danu "Wahhh, boleh! tapi aku nggak
punya bahannya," kata Gaga "Aku ambil bahan di rumahku dulu ya, Ga!"

"Wah terima kasih Danu."

Ah, Danu memang sahabat yang baik. Gaga senang memiliki sahabat seperti Danu. Tak lama
kemudian, Danu kembali ke rumah Gaga dengan membawa bahan-bahan kincir.

Ada potongan bambu yang lebar, ada yang berbentuk seperti lidi besar, dan ada bambu kecil
dengan diameter sekitar 2 cm. Lalu mereka pindah ke beranda samping rumah untuk
membuatnya. Baling-balingnya dibuat terlebih dahulu. Potongan bambu yang lebar ditipiskan
pada kedua ujungnya. Bagian tengah agak tebal. Setelah diraut sampai halus, bagian tengah
dilubangi.

"Sudah jadi baling-balingnya. Tinggal bikin porosnya," kata Danu.

Mereka membuat poros dari potongan bambu yang berbentuk lidi. Baling-baling yang sudah
dilubangi dipasang pada poros tersebut. Setelah itu dimasukkan pada bambu kecil sampai
bisa berputar dengan lancar. Terakhir, pada kedua ujung poros bagian dalam, dipasang
pengganjal agar kincir tidak lepas.

"Nih, coba pegang!" Danu memberikan kincir itu kepada Gaga.


Gaga juga mencoba mengacungkan kincir itu tinggi tinggi. Sayangnya, ia tidak berhasil
menemukan tiupan angin. Danu memandangnya sedikit prihatin.

"Kamu enggak ingin main kincir di luar, Ga?" tanya Danu.

"Aku ingin sekali. Tapi..." Gaga menunduk sedih memandang kakinya.

Danu mengerti. Sejak lahir, kaki Gaga memang tidak tumbuh normal. Karena itu, ia harus
terus menggunakan kursi roda.

"Engak boleh sama ibumu, ya?" tanya Danu, Gaga mengangguk.

"Bagaimana kalau aku yang mendorong kursi rodamu? Main kincir asyik, lo!" Danu
menawarkan diri

Mata Gaga berbinar, "Benarkah?"

"lya! Tapi, besok ya. Sekarang sudah sore. Aku pulang dulu ya!" kata Danu sekalian
berpamitan.

Malamnya, Gaga tidak bisa tidur. Semoga besok anginnya besar, bisiknya dalam hati. la
meraih spidol dan menuliskan sesuatu pada baling-baling kincir. Sahabat Angin. Gaga
tersenyum puas. la tak sabar menunggu besok.

Keesokan harinya Gaga meminta izin pada ibu "Boleh, ya bu?" pinta Gaga memelas.

Ibu memandang Gaga tak yakin, "Bukannya tidak boleh. Ibu hanya takut terjadi apa-apa," Ibu
tampak khawatir.

"Sama saya kok, tante! Nanti saya yang mendorong kursi roda Gaga dengan hati-hati," Danu
membantu meminta izin.

"Apakah Danu tidak kerepotan?" tanya Ibu Gaga.

"Tidak, Tante! Saya malah senang bisa bermain bersama Gaga," jawab Danu, Ibu menarik
nafas panjang, memandang Gaga dan Danu bergantian. "Baiklah, tapi hati-hati ya," kata ibu
akhirnya.

Gaga bersorak, " Terima kasih Ibu!"

Danu pun segera mendorong kursi roda Gaga ke jalan. Kincir angin yang dibikin kemarin
sudah berada di tangan Gaga. Kincir itu diacungkannya tinggi-tinggi.

"Siap Ga?" Tanya Danu "Siaapppp," jawab Gaga.

Wushhh....! Angin bertiup kencang memutar kincir Gaga. Gaga sangat senang. Sudah lama ia
ingin bermain kincir, menjadi sahabat angin, seperti teman-temannya yang memiliki kaki
normal.
Pit Onta Bapak
Nuri memperhatikan sebuah benda unik yang disimpan di gudang rumahnya. Sebuah sepeda
yang jarang dilihatnya.

"Kuwi pit onta-ne bapakmu, Nur..", Kata ibu membuyarkan lamunan Nuri.

"Biyen bapak nyambut gowe nganggo pit kuwi..", Sambung ibunya.

Akhir-akhir ini sedang ngetrend orang-orang bersepeda. Sepedanya tentu saja keluaran baru.
Bagus-bagus tentu saja. Waktu Nuri minta dibelikan sepeda seperti milik teman-temannya,
ibu malah ngasih tahu kalau ada sepeda bagus di gudang. Alih-alih sepedanya kinclong.
Tidak sama sekali. Sepedanya sudah usang, keluaran lama. Dan tentu saja bentuknya terlihat
aneh.

"Mana mau teman-teman mengajak aku bersepeda kalau sepe- danya seperti itu. Malah bisa
diejek habis-habisan aku..", Batin Nuri.

"Kowe nek arep pit-pitan nganggo pit kuwi ya, le..", Kata ibunya lagi.

"Nggih, bu..", Jawab Nuri singkat.

Nuri memegang handphone milik ibunya. Dia meminjam se- bentar. O iya, Nuri kelas 2
SMP. Bapaknya sudah meninggal saat Nuri kelas 5 SD. Dia mulai browsing. Intinya mau
melihat harga sepeda yang bagus. Siapa tahu harganya murah, batin Nuri. Matanya terbelalak
melihat harga sepeda model baru yang diinginkannya.

"Tidak mungkin ibu membelikan untuk aku. Harganya mahal. Uang bisa dipakai untuk
makan dan sekolah..," gumam Nuri.

Nuri mulai browsing lagi. Tiba-tiba muncul keinginan untuk mengetik " sepeda onta".

"Wah.. Bagus bagus juga kalau dirawat sepeda seperti punya bapak. Harganya juga tidak
kalah dengan sepeda jaman now..,"batinnya.

Nuri asyik mencuci sepeda onta milik bapak. Kemudian dia mengelap sepeda itu.

"Nah, sudah kinclong sepeda ini..," gumam Nuri sambil tersenyum.

Besok Nuri akan ikut bersepeda bersama teman-temannya. Tentu saja dia sangat senang.

"Wah... sepedamu unik, Nur. Boleh pinjam tidak?" pinta Awan kepada Nuri.

"Lha kalau kamu pinjam, aku bagaimana Wan?" jawab Nuri.

"Aku memakai sepedamu, kamu memakai sepedaku, Nur.. Setuju?" ucap Awan.

"Oke, kita bergantian ya. Nanti kalau aku mau memakai sepeda milikku kita gantian lagi..,"
kata Nuri.

Mereka bersepeda dengan gembira.

"Ternyata bersepeda itu tidak harus dengan sepeda baru dan mahal. Cukup dengan sepeda
onta unik saja sudah bahagia banget..," gumam Nuri sambil tersenyum.
Ceroboh
Humoris, ekstrovert, pintar mencairkan suasana, dia adalah Wanda, Teman baikku. Dulu
sejak SMP, aku jarang sekali menemukan teman seperti Wanda.

Saat SMA saja, aku bisa menemukan teman sepertinya, tiap hariku dipenuhi kebahagiaan.
Jika aku ada masalah, Wanda selalu menghiburku, kita sering menghabiskan waktu berdua
mengelilingi kota, pergi bersama di tiap acara sekolah.

Pernah di suatu hari, kita pergi ke suatu mal di Surabaya untuk menemui teman dari beda
kota, berhubung kita menggunakan motor, sebelum masuk ke mal kita pergi ke tempat parkir,
dan mendapat karcis parkir yang harus diberikan ke petugas parkir saat keluar mal, karcisnya
tidak boleh hilang karena jika hilang akan didenda, tapi dengan kecerobohanku ini, aku
menghilangkan karcis tersebut, hingga kita sempat bertengkar hebat.

"Ngel, karcisnya mana??" ucap Wanda saat kita hampir sampai di tempat parkir.

"Loh? Bukanya kamu yang pegang? Tadi aku lihat kamu yang ambil karcisnya," ucapku
sedikit panik.

"Enggak woy! Aku kan sudah kasih kamu waktu kita mengobrol sama Rita tadi?!"
Aku segera meraba kantongku, dan membuka tas kecilku. Aku sangat panik mendapati
bahwa karcisnya tidak ada, untuk memastikan lagi, aku mengeluarkan semua barangku di tas
kecil ini, tapi tetap saja aku tidak mendapati karcis tersebut.

Aku sedikit melirik ke arah Wanda, perasaanku bertambah panik dan sedih ketika melihat
wajah Wanda yang mulai mengerut seakan dia marah.

Aku perlahan mengingat di mana aku meletakkan karcis tersebut, tidak lama kemudian aku
teringat bahwa saat asyik mengobrol dengan temanku tadi, aku melipat lipat karcis tersebut
dan meletakannya di meja kafe yang kita datangi tadi. Dengan rasa panik aku berlari masuk
ke dalam mal dan menuju kafe yang kita datangi tadi.

Betapa paniknya aku mendapati karcisnya sudah tidak ada, aku sudah bertanya ke orang yang
membersihkan tempat itu, katanya juga sudah di buang, mataku mulai berkaca kaca, pikirku
pasti Wanda akan marah sekali.

"Karcisnya hilang nda...maaf," ucapku sedikit gemetar.

"Kan! Makanya jangan ceroboh Ngel!! Dendanya mahal loh! Uangku sudah tinggal sedikit!"
bentak Wanda, wajar sekali dia marah karena aku yang terlalu ceroboh.

"Maaf Nda, aku pinjam dulu ya. Nanti aku kembalikan," badanku gemetar, ingin menangis
rasanya.

"Urus sendiri saja! Aku tunggu di depan, lain kali jangan ceroboh dong Ngel!"

"Ya kalau kamu enggak ngasih karcisnya ke aku, enggak akan kaya gini!!! kamu kan ada tas
juga, kenapa harus dikasih ke aku?! jangan nyalahin aku terus lah!"

Kita bertengkar sekitar 10 menit dan salah satu dari kita mulai mengalah dan meminta maaf,
dengan semua cara yang kita pikirkan, akhirnya kita bisa keluar dari mal itu.

Di sepanjang jalan, kita hening saja dan merenungkan kejadian tadi.

"Maaf ya ngel, aku tadi kasar ke kamu..."

"Gapapa nda, maafin aku juga ya sudah ceroboh enggak hati-hati, maaf sudah bentak kamu
juga."

Setelah itu kita bercanda ria, tertawa sambil di temani sepoi angin, dan cahaya kota. Kita
memang bisa bertengkar hebat seperti ini, tapi kita tetap mempertahankan pertemanan kita
apa pun yang terjadi.
Persahabatan
Ada seorang siswa dari SMA 1 Bangkit yang bernama Sandy. la adalah seseorang yang baik
dan pintar. Di sekolah banyak yang menyukai dia karena dia rendah hati dan suka membantu
temannya yang sedang kesusahan. Selain itu, Sandy juga aktif dalam berorganisasi sehingga
para guru pun ikut menyukai Sandy karena memiliki sikap yang baik.

Selain Sandy, ada juga siswa yang bernama Andi. Andi memiliki sifat yang berbanding
terbalik dengan Sandy. Andi seseorang yang pintar tetapi ia sering menyombongkan hal-hal
yang ia miliki. Selain itu, Andi tidak aktif dalam organisasi sekolah karena ia menganggap
teman-temannya tidal selevel dengan dia.

Suatu hari, ibu guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan pidato pada tingkat
provinsi. Perlombaan itu membuka kesempatan seluas-luasnya untuk seluruh siswa SMA.
Setelah mendengar pemberitahuan itu, Sandy berminat untuk mendaftar perlombaan tersebut.
Andi yang mendengar pemberitahuan itu juga ingin mengikuti perlombaan itu.

Setelah itu, Sandy mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk mengikuti perlombaan.
Mulai dari teks dan pakaian ia persiapkan dari jauh-jauh hari. Hari demi hari Sandy
lalui dengan berlatih berpidato supaya dapat memenangkan perlombaan tersebut. Di sisi lain,
Andi yang merasa sudah bisa berpidato dengan baik. Andi melalui hari demi hari dengan
bermain dan bersantai-santai.

Pada saat di sekolah, Andi suka mengganggu Sandy yang sedang berlatih untuk
mempersiapkan perlombaan. Tentu saja konsentrasi Sandy terganggu. Sandy menghiraukan
gangguan tersebut. Andi berpikir jika dia mengganggu Sandy maka Sandy tidak fokus,
sehingga saat berlatih konsentrasinya terganggu dan berharap tidak maksimal. Tetapi, Sandy
tetap fokus untuk berlatih supaya keinginannya dapat tercapai.

Tiba saat hari lomba, Sandy dan Andi mempersiapkan diri di belakang panggung. Andi
mendapat undian lebih dulu dibandingkan dengan Sandy. Saat di atas panggung, Andi
mendadak lupa tentang isi teks pidato yang ia hafalkan. Hal itu terjadi karena Andi tidak
mempersiapkan perlombaan ini dengan baik. Akhirnya, giliran Sandy pun telah tiba.
Sandy melalui perlombaan ini dengan sangat luar biasa. Sehingga para hadirin yang
menghadiri perlombaan itu terkagum-kagum. Akhirnya, panitia memutuskan untuk
mengundur pengumuman sang juara. Saat keluar dari gedung perlombaan, sepanjang
perjalanan pulang Andi selalu mengejek Sandy. Andi merasa ia lebih baik dari pada Sandy.
Sandy pun hanya diam saja dan tidak menggubris.

Keesokan harinya, Sandy dan Andi berangkat bersama. Setibanya di sana, mereka berdua
duduk bersebelahan. Tiba pada waktunya, MC membacakan sang juara. Tanpa diduga Sandy
menjadi juara 1. Saat mendengar pengumuman juara itu Andi terdiam. Andi kaget mengapa
ia tidak menjadi juara 1. Sandy maju ke atas panggung dengan bangga, karena usahanya yang
selama ini dilakukan tidak sia-sia. Selama perjalanan pulang Andi hanya terdiam, teman-
teman yang tahu sikap yang dilakukan Andi kepada Sandy pun mencemoohnya. Andi hanya
dapat terdiam dan menangis. Tak lama kemudian Sandy datang menghampiri Andi, la
memberi semangat kepada Andi. Andi kagum kepada Sandy, dia berfikir setelah apa yang ia
lakukan kepada Sandy, ia masih bersikap baik. Andi pun akhirnya meminta maaf atas segala
perlakuan yang telah dilakukannya.

Keesokan harinya saat berada di kelas. Andi berinisiatif untuk meminta maaf kepada seluruh
teman kelasnya atas semua yang pernah ia lakukan kepada teman-temannya. Andi berharap
mendapat pemaaf dari teman-temannya dan ia berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan-
perbuatan buruk yang pernah ia lakukan. Teman-teman kelasnya pun berlapang dada. Mereka
akhirnya dapat bermain bersama tanpa dendam.
Tas Baru Zia
"Aku pengen punya tas baru, mak..," pinta Zia kepada mamaknya.

Mamak tetap melanjutkan mencuci baju punya tetangga kaya sebelah rumah,

"Tasku sudah jelek, mak..," lanjut Zia.

"Iya, Zia. Nanti kalau mamak sudah punya uang baru beli ya, nak..," sahut mamaknya.

Mamak memang single parent. Bapak sudah lama meninggal. Sementara adik-adik Zia ada
dua, Raya dan Tia.

Zia sekarang kelas 5, Raya kelas 3. Sementara Tia masih TK. Sore itu Zia sedang momong
dua adiknya. Ya, belajar sambil bermain. Bermain tanah di depan rumah uniknya. Kenapa
Zia menyebut unik? Ya, karena rumahnya hanya beru pa papan sederhana yang disusun
bapak waktu itu dengan rapinya. Rumah yang tak seberapa itu menjadi istana bagi mereka.
Meski di dekat rumah benar-benar ada rumah seperti istana beneran. Besar dan bagus.
Pemiliknya bernama pak Bas.

Sebenarnya pak Bas dan keluarganya sangat baik hati kepada mamak, Zia dan adik-adiknya.
Zia dan adik-adiknya diijinkan bermain di depan rumah bersama Shasha, putri satu-satunya
pak Bas. Sasha-pun sangat baik. Kadang mengijinkan Zia meminjam mainannya. Dan kadang
diberi makan dan kue yang enak sekali. Tapi sore itu Shasha tidak tampak. Kata mamak,
keluarga pak Bas sedang piknik. Wah, pasti senang sekali Shasha diajak piknik bapak dan
ibunya. Zia hanya menelan ludahnya sendiri. Membayangkan jika dirinya bisa piknik kemana
saja seperti Shasha yang baik hati itu. Tapi Zia tidak mau membebani mamaknya sama sekali.
Akhirnya Zia bermain bersama adik-adiknya di depan rumah. Membuat rumah-rumahan di
tanah.

"Mamak ke rumah pak Bas dulu ya, nak," kata mamak kepada Zia.

"Jaga adik-adikmu," kata mamak lagi.

Ya, meski rumah pak Bas dekat, tetapi jika mamak pergi ke rumah pak Bas bisa sampai sore.
Mamak juga membantu bersih-bersih rumah pak Bas, itu dilakukan agar mendapat rezeki dari
pak Bas dan keluarganya.

"Ya, mak.. Aku akan menjaga adik-adik," kata Zia.

Setelah itu, mamak pergi berjalan ke rumah pak Bas. Sambil membawa baju-baju keluarga
pak Bas yang sudah dicuci. Nanti di rumah pak Bas tinggal disetrika. Sore harinya mamak
pulang. Zia melihat mamak membawa dua kantong kresek yang besar. Sepertinya lumayan
berat. Zia berlari membantu mamaknya. Kresek itu ditali dengan kuatnya sehingga Zia tidak
tahu isinya apa.
"Zia, alhamdulillah mamak diberikan ini untuk kita. Mereka memang baik kepada kita, nak,"
kata mamak.

Mamak membuka salah satu plastik. Isinya beras, gula, minyak goreng, telur mentah dan roti.

"Ini rotinya.. kamu bagi dengan adik-adik ya, nak," kata mamak lagi, Zia mengangguk.

"Ya, mak."

Zia dan adik-adiknya menikmati roti itu. Enak sekali. Belum pernah merasakan roti seenak
itu.

"Zia.. ke sini sebentar, nak," panggil mamak.

Zia menghampiri mamaknya. Dilihatnya mamak membuka. satu tas kresek yang belum
dibuka.

"Nak, lihat ini," kata mamak.

Zia melihat kresek itu. Seketika Zia tersenyum bahagia. Dilihatnya sebuah tas yang terlihat
baru. Berwarna pink. Terlihat bagus dan cantik.

"Tas ini dibelikan pak Bas untuk nak Shasha. Tetapi ternyata nak Shasha tidak mau
memakainya. Pak Bas memberikan ini kepa- da mamak. Katanya untuk kamu, Zia," cerita
mamak tentang tas itu.

"Alhamdulillah, mak. Semoga Allah memberikan banyak rezeki untuk pak Bas, ibu dan
Shasha ya, mak," kata Zia.

"Ya, Allah, Berilah rezeki pengganti yang paling baik untuk pak Bas, bu Bas dan Shasha.
Aamiin," ujarnya lagi.

Endog Separo
"Aku mau nambah telur separohnya lagi, bu," rengek Ardi.

"Ardi, tadi kan kamu sudah makan. Jangan terlalu banyak makan ya, nak," cegah ibunya.

Ardi memang banyak makan. Sepiring nasi penuh dan lauk pauknya. Di usianya yang tujuh
tahun tentu saja dia terlihat sangat gemuk. Apalagi bila dibandingkan dengan teman-
temannya. Kalau orang tidak tahu, dikira Ardi sudah kelas empat. Ardi tetap mencomot
separo telur lagi. Kemudian melanjutkan makannya.

"Ardi, besok kita ke panti asuhan ya," ajak bapaknya.

"Mau ngapain, pak?" tanya Ardi.

"Kita akan memberikan ini kepada teman-teman kamu yang kurang beruntung di sana," ucap
bapak.

Dilihatnya lima karton mie instan, minyak goreng, kue-kue dan telur banyak sekali.

"Kita harus berbagi kepada sesama, nak," sambung ibunya.

Keesokan harinya, Ardi bersama bapak dan ibunya ke panti asuhan. Mereka disambut oleh
seorang bapak dan ibu pengasuh di panti itu. Mereka juga dipertemukan dengan anak-anak
panti asuhan. Ya, panti asuhan itu menampung anak-anak yatim piatu dari berbagai daerah.
Anak-anak yatim itu terlihat bahagia dengan kehadiran Ardi dan bapak ibunya.

"Ardi, sana bermain dengan teman-temanmu," kata ibu.

"Iya, jangan hanya di sini saja. Biar kamu tambah teman. Ya, nak," sambung bapaknya.

"Hai, namaku Ardi.. Kamu siapa?", Ardi menyapa seorang anak yang duduk sendirian di
bawah pohon.

"Aku Agus," jawab anak itu.

Mereka kemudian bermain ayunan di dekat pohon itu. Tak berapa lama terdengar suara adzan
Dhuhur.

"Ayo kita shalat berjamaah dulu, Ar," ajak Agus.

Ardi terdiam. Kemudian mengiyakan ajakan Agus. Mereka kemudian mengambil air wudhu
dan masuk ke dalam masjid di lingkungan panti asuhan itu.

"Ayo kita makan, Ar," ajak Agus.

"Makan? Di mana?" tanya Ardi.

"Ayooo. Di sana.. Kita makan bareng teman-teman lainnya..".

Agus menarik tangan Ardi ke ruang makan. Dilihatnya teman-teman Agus sudah mengambil
makan dan lauknya. Ardi mengingat kisahnya bersama Agus dan teman-teman di panti
asuhan. Mereka makan dengan lahapnya. Tidak ada anak. yang berebut mengambil makan,
mereka makan sesuai jatahnya. Tidak minta lebih. Masih dingatnya, di meja makan panti
asuhan itu ada sayur gudheg dan telur yang dipotong menjadi dua bagian. Agus dan teman-
teman mengambil nasi, sayur gudheg dan separo telur.

"Makanan itu harus dibagi, Ar. Bisa makan seperti ini saja. sudah alhamdulillah," kata Agus.

"Kami diajarkan makanlah ketika kamu lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang,"
imbuhnya lagi.

Ya, sejak saat itu, Ardi belajar makan sesuai jatahnya saja. Dan bersyukur diberi makan apa
saja oleh ibunya.

Perjalanan Menuju Tak Terbatas


Senin kedua di bulan Juli tahun 2023, aku yang telah libur sekolah selama dua pekan,
akhirnya bisa sejenak bertemu kembali dengan teman-teman. Rencana pergi liburan dengan
teman sekelas tidak hanya menjadi wacana. Pagi itu pukul 06.00, aku bersiap berangkat ke
sekolah. Sesampainya di sekolah, teman-teman sudah berkumpul di depan bus menunggu
keberangkatan. Setelah 30 menit menunggu, bus pariwisata kami berangkat dari Surabaya
menuju Malang. Selama perjalanan kami menghabiskan waktu dengan bercanda, bernyanyi
bersama, dan mengobrol tanpa merasa lelah.

Tiba di Malang pada waktu siang, destinasi pertama yang kita tuju adalah Alun-Alun Malang.
Melepas penat di sana, beberapa teman beribadah, yang lainnya berselfie dan menikmati
momen bersama. Setelah dua jam berada di Alun-Alun Malang, kita lanjut perjalanan menuju
vila untuk beristirahat. Setibanya di vila, vila yang disewa sungguh sangat nyaman. Fasilitas
vila dilengkapi dengan kolam renang, barbeque set, dapur, beberapa kamar tidur, dan rooftop
untuk menikmati pemandangan.

Kegiatan di vila pada malam harinya, kita berkumpul dan memainkan beberapa games,
berkaraoke, menikmati udara dingin di daerah Batu, Malang. Kami juga memasak barbeque
sembari menghangatkan tubuh, bercerita, tertawa, makan bersama, menjadi momen yang
sangat langka untuk terulang. Kegiatan tersebut membuat kita semakin bonding satu sama
lain. Setelah lelah dengan segala kegiatan, kita masuk ke kamar tidur masing-masing untuk
beristirahat.

Suhu dingin semakin terasa pertanda kabut pagi telah datang, kami mengantre kamar mandi
dan bersiap menuju lokasi wisata Jatim Park 1. Setelah sarapan dan bersiap, kami menuju
Jatim Park 1 dengan penuh riang gembira. Setibanya, kami langsung melihat-lihat berbagai
macam wahana yang tersedia di Jatim Park 1. Aku mencoba wahana Roller Coaster dan
setelah itu merasa pusing dan mual. Tidak hanya itu, aku lanjut memacu adrenalin untuk
memasuki Wahana Rumah Hantu. Tidak seberapa menyeramkan, namun cukup membuat aku
berpegangan erat ke teman. Wahana-wahana yang lain patut dicoba, tapi aku memilih
untuk berselfie saja. Pukul 16.00, kegembiraan di Malang harus berakhir.

Kita segera menuju Surabaya untuk kembali pulang. Dalam perjalanan pulang, di dalam bus
yang penuh rasa suka, kami satu persatu memberikan kesan selama pertemanan di kelas X.1.
Suasana suka lantas berubah sejenak menjadi gloomy mengingat segala perjalanan dan
kenangan yang telah dilewati bersama. Ada suka dan duka tentunya, semoga membuat kita
semakin dewasa dan tidak lupa satu sama lainnya. Perjalanan pulang yang lelah, namun hati
kita full kenangan bahagia yang melimpah.

Anda mungkin juga menyukai