Anda di halaman 1dari 17

KEANEKARAGAMAN VARIASI KEBAHASAAN: KE ARAH PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BAHASA MULTIVARIAN

Oleh: Mahsun & Hartini ABSTRAK Dunia pembelajaran memang telah mengalami perkembangan yang pesat, termasuk dunia pembelajaran bahasa. Berbagai metode/pendekatan telah diintrodusir oleh para pakar. Mulai dari pembelajaran bahasa dengan menggunakan pendekatan/metode klasik (struktural) sampai pada yang modern dengan menggunakan media pembelajaran yang berupa teknologi multimedia. Namun, dibalik berbagai pendekatan/metode yang modern itu, ternyata semuanya bertumpu pada pembelajaran bahasa yang berbasis pada bahasa standar, yang nota bene, bahasa standar itu sendiri adalah salah satu varian yang terdapat dalam bahasa itu, yang diangkat sebagai satu kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar. Pembelajaran bahasa semacam itu, di samping mengabaikan realitas bahasa yang selalu hadir dalam kenaekaragaman variasi kebahasaannya (dialektalnya), juga mengabaikan peran stipulatif konseptual disebut sebagai pembelajaran bahasa multivarian. Kata Kunci: Pengajaran Bahasa Multivarian, Kata Berkerabat, Adaptasi Linguistik, Adaptasi Sosial sosial dalam belajar bahasa. Untuk itu, tulisan ini mencoba membahas satu model pembelajaran bahasa, yang secara

1. Pendahuluan Setakat ini, pembelajaran bahasa manapun di dunia ini selalu bertumpu pada pembelajaran bahasa standar. Padahal konsep bahasa standar itu sendiri merupakan sosok dialek tertentu yang terdapat dalam bahasa itu yang dijadikan dasar acuan dalam berbahasa secara baik dan benar. Padahal, bahasa itu sendiri tidak bersifat homogin. Ia selalu hadir dalam keberagaman variasi, baik yang bersifat geografis maupun social. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa yang demikian mengabaikan adanya varian-varian, terutama yang bersifat dialektal, dalam bahasa yang diajarkan. Pengabaian terhadap dialek lain yang nota bene bukan dialek standar itu tidak jarang menimbulkan persoalan sosiokultural terhadap penerimaan dialek tersebut untuk dijadikan bahan pembelajaran. Cukup banyak contoh yang diperlihatkan bagaimana pelik dan rumitnya masalah pembakuan (standardisasi) bahasa, seperti yang dapat dilihat pada kesulitan yang dialami oleh negara-negara yang tidak memiliki bahasa nasional yang satu dan sama seperti Filipina, Malaysia dll. Pada satu sisi, jenis pembelajaran yang bertitik tolak pada pembelajaran bahasa standar jelas-jelas menekankan pembelajaran bahasa pada upaya penggunaan bahasa itu secara baik dan benar. Pembelajaran bahasa yang bersifat satu tujuan ini, sebenarnya mengabaikan fakta kebahasaan yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memahami dimensi sosiokultural dari masyarakat pemilik bahasa yang dipelajari atau diajarkan itu. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa seperti itu mengabaikan aspek sosial dalam belajar bahasa. Keberadaan modus pembelajaran semacam ini cukup dimaklumi, karena sejauh ini kajian linguistik, terutama yang bersifat intrabahasa itu sendiri, semata-mata baru berkutat pada upaya penyelesaian masalah kebahasaan demi menjawab masalah bahasa itu sendiri secara internal. Belum banyak memanfaatkan (data) bahasa untuk memahami masyarakat pemakaianya, baik dalam hubungan antarsesamanya maupun hubungan dengan penutur bahasa yang lain. Kemajuan yang dicapai oleh linguistik historis komparatif pada penghujung abad ke-19 (Robins, 1992) dan dialektologi diakronis (periksa Mahsun, 1995) yang melalui temuannya berupa korespondensi bunyi telah dimanfaatkan untuk merekonstruksi bentuk purba dari bentuk-bentuk yang berbeda. Hasil yang diperoleh dari kajian kedua subbidang linguistik di atas, yang berupa bentuk-bentuk yang berkerabat baik pada tataran antarbahasa (untuk hasil kajian linguistik historis komparatif) maupun antardialek (sebagai hasil kajian dialektologi diakronis) yang dihubungkan pada sebuah bentuk bahasa purba dapat menjadi bahan informasi bagi pemahaman akan kebinekaan dalam ketunggalikaan. Suatu informasi yang sangat relevan dalam kerangka memahami dinamika makna yang terkandung dalam semboyang Bhinneka Tunggal Ika. Hanya saja, sejauh ini informasi yang diperoleh dari kajian kedua subbidang lingusitik tersebut belum termanfaatkan.

Selain variasi yang bersifat geografis dan historis di atas, terdapat variasi yang bersifat sosial yang salah satu hasilnya berupa deskripsi tentang tingkat tutur dalam bahasa. Varian-varian sejenis ini belum juga termanfaatkan, padahal dengan mengajarkan varian sosial semacam ini nilai-nilai luhur masyarakat pemakai bahasa, misalnya etika yang mengatur hubungan antarsesama dapat diintrodusir bersamaan dengan pembelajaran bahasa tersebut. Kenyataan lain yang belum tersentuh dalam rumusan konsep teoretis dan metodologis, bahkan bahan pembelajarannya adalah pembelajaran bahasa yang mempertimbangkan kondisi kebahasaan di mana bahasa itu diajarkan. Di Indonesia, paling tidak memperlihatkan kondisi kebahasaan yang multilingual. Selain bahasa daerah, yang sebagian besar menjadi bahasa pertama (bahasa ibu) masyarakat Indonesia, juga terdapat bahasa nasional dan bahasa asing. Bahasa nasional, yang dalam hal ini bahasa Indonesia, untuk sebagian masyarakat Indonesia terutama di daerah perkotaan, yang sebagian besar karena perkawinan silang atau karena faktor sosiokultural lainnya, sering pula digunakan sebagai bahasa pertama (ibu). Ketiga jenis bahasa itu, terutama dengan munculnya muatan lokal khsusus yang berupa bahasa daerah, juga diajarkan di sekolah-sekolah. Hanya saja bagaimana rumusan teoretis, metodologis, serta cakupan materi pembelajarannya belum terumuskan dengan baik serta belum terdapat suatu lembaga pendidikan pun yang secara spesifik menghasilkan lulusan yang mumpuni dalam pembelajaran bahasa dengan mempertimbangkan kondisi kebahasaan tersebut. Padahal, materi pembelajaran bahasa pertama, kedua, atau bahasa asing dengan kondisi seperti digambarkan di atas jelasjelas memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Atas dasar itulah, dengan tidak bermaksud mengesampingkan pentingnya membangun kerangka konseptual, metodologis, dan cakupan materi tentang pembelajaran bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing dalam masyarakat pluralis seperti Indonesia, tulisan ini bermaksud menyoroti ihwal pembelajaran bahasa multivarian, dengan titik tumpu pembicaraan terfokus pada konsep-konsep yang berhubungan dengan batasan, tujuan, manfaat pembelajaran bahasa multivarian dalam masyarakat majemuk, serta kerangka konseptual dalam mengembangkan model pembelajarannya. 2. Sekilas tentang Materi, Pendekatan, dan Metode dalam Pembelajaran Bahasa Ketika orang berbicara ihwal pendekatan dan metode dalam pembelajaran bahasa, maka yang tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tersebut adalah masalah materi pembelajaran itu sendiri, karena pemilihan/penggunaan dan atau penamaan pendekatan atau metode tertentu dalam pembelajaran bahasa tidak lepas dari salah satu unsur penentu pemilihan/penggunaan atau penamaan pendekatan atau metode tertentu tersebut yang berupa materi pembelajaran. Sebagai contoh, pemilihan/penggunaan atau penamaan pendekatan dan metode pembelajaran sebagai metode atau pendekatan direct method, karena materi yang diajarkan itu adalah berupa bahasa lisan, sebagai bahasa yang langsung atau pertama-tama

dikuasai manusia sebelum menguasai bahasa tulis. Kemudian, dikatakan sebagai salah satu penentu pemilihan/penggunaan pendekatan atau metode tertentu, selain materi, juga terkait dengan kondisi objek sasaran pembelajaran materi bahasa tersebut, yang tidak lain adalah siswa itu sendiri. Oleh karena itu, dalam seksi ini akan dibicarakan ihwal apa yang dimaksudkan dengana materi, pendekatan, dan metode pembelajaran bahasa, karena ketiga konsep tersebut berhubungan erat dengan konsep pembelajaran bahasa multivarian yang digagas dalam tulisan ini. Dikatakan demikian, karena terminologi Pembelajaran Bahasa Multivarian, di dalamnya, mengandung konsep materi, metode, dan pendekatan yang digunakan. Oleh karena itu, sebelum dibicarakan, ihwal focus pembicaraan tulisan ini, terlebih dahulu ketiga konsep cakupan terminologi pembelajaran bahasa multivarian di atas: materi, metode, dan pendekatan haruslah diberikan batasan yang memadai, terutama yang menyangkut terminology metode dan pendekatan. Terminologi materi pembelajaran bahasa dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang terkait dengan bahan-bahan yang akan diajarkan dalam pembelajaran bahasa. Bahan-bahan tersebut dapat berwujud, bahan yang berupa bahasa tulis atau bahasa lisan, dapat berupa struktur bahasa, gramatika dll.; sedangkan pendekatan dapat didefinisikan sebagai cara materi itu diurut-urutkan atau ditata sebagai bahan yang akan diajarkan dalam pembelajaran. Dalam hal ini, misalnya materi itu dapat berupa gramatika yang diuraikan lebih dahulu baru diikuti oleh struktur bahasa, seperti yaang dianut dalam pendekatan deduktif atau sebaliknya materi itu ditata dengan mendahulukan struktur bahasa, lalu nantinya siswa diharapkan dapat menyimpulkan sendiri kaidah bahasanya, seperti yang dianut dalam pendekatan induktif (periksa Kaswanti Purwo, 1990); atau pendekatan yang menekankan pada materi yang dapat mengembangkan kemampuan komunikatif atau penguasaan bahasa (kompetensi komunikatif), seperti yang dianut dalam pendekatan yang bersifat sintetis; yang dipertentangkan dengan pendekatan yang bersifat analitis, yang menekankan pada pada pengetahuan tata bahasa atau kompetensi gramatika (periksa Wilkins, 1976); serta ada pula pendekatan struktural yang dipertentang dengan pendekatan pragmatik (Kaswanti Purwo, 1990). Pendekatan pembelajaran bahasa yang menekankan pada materi pembelajaran yang berupa struktur bahasa, seperti rumus-rumus, kaidah-kaidah kebahasaan, definisi-definisi, yang siswanya diminta untuk menghafal mentah-mentah tentang konsep-konsep seperti apa itu kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, apa itu S-P-O-K dll.merupakan model pembelajaran yang menekankan pada pendekatan struktural; sedangkan pembelajaran bahasa yang menekankan pada penggunaan bahasa pada perstiwa komunikasi dengan mempertimbangkan konteksnya itulah yang dianut dalam pendekatan pragmatik. Dalam pendekatan ini, struktur bahasa tidaklah menjadi sorotan perhatian utama, namun jika terdapat pokok bahasan mengenai struktur bahasa, misalnya tentang struktur kalimat, maka struktur kalimat tersebut tidaklah dibahas secara berdiri sendiri melainkan dikaitkan dengan konteks

pemakaiannya. Kaswanti Purwo (1990) menjelaskan perbedaan kedua pendekatan ini dengan mengambil contoh pembelajaran tentang kalimat: Sudah jam sembilan. Klaimat ini, jika diajarkan dengan berlandaskan pada pendekatan struktural, maka akan dijelaskan sebagai kalimat yang tidak bersubjek, dan berupa kalimat berita (deklaratif); sedangkan jika diajarkan dengan berlandaskan pada pendekatan pragmatik, maka penjelasannya akan selalu dikaitkan dengan konteks pemakaiannya, seperti siapa yang menggunakan kalimat itu dan dalam konteks bagaimana kalimat tersebut digunakan. Adapun yang disebutkan dengan metode adalah cara materi itu diajarkan. Berbagai cara materi pembelajaran itu diajarkan, misalnya ada yang menggunakan cara terjemahan tata bahasa (grammar translation method), cara langsung (direct method), cara yang menekankan pada latihan pendengaran (audiolingual method), cara yang menekankan pada kemampuan kognitif melalui pembelajaran kaidahkaidah tata bahasa yang secara sadar dilakukan bukan atas dasar analogi (cognitive learning method) dll. Untuk lebih jelasnya, ihwal berbagai metode pembelajaran bahasa yang disebutkan di atas dapat dilihat dalam Kaswanti Purwo (1990). Namun, patut ditambahkan bahwa anatarpendekatan dengan metode relatif bertumpang tindih, karena dalam ihwal cara mengajarkan materi juga tercermin pada cara materi itu ditata atau diurutkan dalam pembelajaran. Dengan demikian, dalam pembicaraan metode tercakup pula pembicaraan ihwal pendekatan. Sehubungan dengan itu, makna konsep metode dan pendekatan yang terkandung dalam konsep dasar Pembelajaran Bahasa Multivarian seperti disebutkan di atas tidaklah dibedakan secara ketat. 3. Ihwal Pembelajaran Bahasa Multivarian Seperti dipaparkan di atas bahwa pergulatan dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran bahasa-bahasa yang telah dilakukan para pakar linguistic dan pembelajaran bahasa lebih bertumpu pada upaya mereduksi bahasa sebagai sesuatu yang bersifat homogin, seragam atau tidak memiliki varian. Meskipun hal ini sangat bertentangan dengan kenyataan yang sepenuhnya disadari oleh para pakar tersebut, yaitu bahwa bahasa-bahasa di dunia ini hadir dalam kondisi heteroginitas/bervariasi, namun kesadaran itu dengan sengaja diabaikan mengingat kepentingan dalam pembelajaran bahasa yang selalu bertumpu pada dua hal berikut ini: a. Pembelajaran bahasa selalu diihtiarkan dalam rangka menumbuhkan pemahaman terhadap bahasa yang dipelajari itu secara baik, sehingga peserta didik diharapkan mampu menggunakan bahasa itu dengan baik dan benar, baik dalam penggunaannya secara lisan maupun tulisan; b. Dalam rangka mengukur tingkat penguasaan bahasa yang telah diajarkan itu, tentu perlu disiapkan parameter keberhasilan/ketidakberhasilan pembelajaran yang berupa suatu kaidah yang menjadi kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar yang menjadi

kesepakatan semua pihak. Kerangka acuan berbahasa secara baik dan benar inilah yang disebut bahasa standar/baku. Dalam pada itu, bahasa baku itu sendiri merupakan salah satu varian yang terdapat dalam bahasa yang diajarkan, yang karena pertimbangan tertentu disepakati menjadi bahasa yang menjadi kerangka acuan dalam penggunaan bahasa secara baik dan benar. Dengan demikian, pembelajaran bahasa selama ini telah mengabaikan keberadaan varian-varian lain yang terdapat dalam bahasa yang diajarkan. Dengan memperhatikan pola pembelajaran bahasa seperti yang diuraikan di atas, jelas-jelas telah terjadi pelanggaran akan hakikat bahasa sebagai sarana komunikasi, yang karena itu melalui bahasa, si pembicara dan mitra wicaranya dapat menjalin kontak, serta memahami pesan yang disampaikan melalui kontak tersebut. Oleh karena itu, keberadaan varian dalam suatu bahasa tidak pernah dapat dilabeli sebagai bentuk bahasa yang tidak baik dan tidak benar, karena antara si pembicara dan mitra wicara yang menggunakan varian dalam bahasa itu dapat menjalin kontak dan mengerti satu sama lain. Dengan kata lain, secara komunikatif, sebenarnya tidak ada konsep bahasa yang baik dan benar, semua bahasa termasuk varian-varian yang terdapat dalam bahasa itu adalah baik dan benar, karena mampu menjalankan fungsi sosialnya sebagai sarana komunikasi. Selain itu, pola pembelajaran yang berorientasi pada bahasa standar telah melakukan diskriminasi terhadap varian (juga termasuk penutur varian bahasa) tertentu. Lebih-lebih, hal ini jika dikaitkan dengan konsep bahasa standar sebagi konsep bahasa yang salah satu pertimbangnya diangkat dari varian yang dipandang lebih berprstise, sedangkan varian lainnya dipandang sebagai sesuatu yang kurang berprestise. Pandangan seperti ini, tentunya menganggap bahasa tidak lagi dapat berfungsi, seperi dinyatakan Sudaryano (1990), sebagai pewujud saling menjadi sesama, malah sebaliknya menjadi pembeda antarsesama (etnik penutur bahasa itu), dan dalam batas tertentu dapat menjadi pemicu ke arah konflik (identitas). Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu model pendekatan pembelajaran bahasa yang mempertimbangkan semua varian yang terdapat dalam bahasa, yang dalam tulisan ini disebut sebagai pembelajaran bahasa multivarian. Namun, oleh karena dalam pembelajaran itu perlu dibuat parameter keberhasilan atau ketidakberhasilan, maka model pendekatan dalam pembelajaran yang multivarian tetap bertumpu pada bahasa standar. Pembelajaran varian lain, selain varian yang telah ditentukan sebagai bahasa standar, dilakukan sebatas memperkenalkan bentuk-bentuk padanan di antara varian-varian tersebut. Padanan yang dimaksud diarahkan pada padanan yang berupa bentuk yang berkerabat (cognate sets), yang dapat menunjukkan bahwa varian-varian itu sesungguh merupakan sesuatu yang berbeda tetapi berasal dari bentuk asal yang sama.

Selain itu, perlu pula diperkenalkan bentuk-bentuk yang merupakan hasil inovasi eksternal (pinjaman) antarbahasa/varian bahasa yang satuu dengan lainnya. Dengan materi inilah, dimensi keanekaragaman dalam kemanunggalan suku bangsa Indonesia dan nilai-nilai kebersamaan yang mencermin adaptasi sosial melalui adaptasi linguistik (bentuk pinjaman) dapat diintrodusir melalui pembelajaran bahasa. Dalam pada itu, pembelajaran bahasa tidak semata-mata bertujuan agar siswa yang diajarkan bahasa tersebut mampu menggunakan bahasa secara baik dan benar, tetapi juga melalui belajar bahasa siswa mampu memahami kondisi keberbedaan dalam kesamaan. Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa pembelajaran bahasa multivarian adalah pembelajaran bahasa yang berbasis pada pembelajaran bahasa standar dengan memperkenalkan variasi dialektal lainnya yang terdapat dalam bahasa yang diajarkan dan atau memperkenalkan variasi dialektal dalam bahasa lain yang memiliki relasi kekerabatan dengan bahasa yang diajarkan. 4. Tujuan Pembelajaran Bahasa Multivarian Berdasarkan batasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa multivarian adalah: a. Di samping memberi bekal pengetahuan kebahasaan tentang bahasa yang diajarkan sehingga dalam penggunaan bahasa tersebut dapat berlangsung secara baik dan benar, juga memperkenalkan varain-varian lain yang terdapat dalam bahasa yang diajarkan, maupun varian yang terdapat dalam bahasa lain yang berkerabat dengannya; b. Memberi pemahaman akan kondisi keberbedaan di antara penutur varian-varian yang terdapat baik dalam bahasa itu sendiri (variasi dialektal/ subdialektal) maupun antarpenutur varian yang terdapat dalam bahasa lain yang berbeda tetapi berkerabat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pembelajaran bahasa multivarian disamping disasarkan pada upaya peningkatan kemampuan berbahasa secara baik dan benar, juga ditujukan pada upaya pemanfaatan pengetahuan akan hakikat bahasa yang berbeda tetapi satu asal itu untuk tujuan membangun kebersamaan dalam keberbedaan, serta menanmkan nilai-nilai etika yang berhubungan dengan pergaulan antarsesama. 5. Manfaat Pembelajaran Bahasa Multivarian Abad ke-20 telah ditandai dengan terjadinya banyak konflik etnik yang didasari penentuan hakhak bahasa asli. Seperti isu etnik lainnya, perbedaan bahasa tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kasus konflik etnis yang kulminasinya berujung pada eksodusnya sebagian besar minoritas Turki ketika pemerintah komunis Bulgaria tahun 1970 mencoba membangun kekuatan Bulgarisasi dengan mengambil nama Turki dan Muslim merupakan contoh persoalan bahasa ikut bermain dalam membina tatanan

kehidupan yang harmoni. Kasus lain, misalnya Latvia yang sejak kemerdekaannya 1991, menghadapi persoalan yang berupa kebutuhannya untuk memperkenalkan kembali bahasa Latvia sebagai bahasa negara dan bahasa pengantar hubungan kemasyarakatan di samping memberi hak bahasa untuk minorita yang lebih kecil, serta dengan tanpa mengurangi hak mereka yang berbahasa Rusia; setelah pada tahun 1988 bahasa Rusia merupakan bahasa yang dominan dan bahasa Latvia jarang sekali digunakan dalam urusan resmi negara dan aktivitas publik. Itu sebabnya, untuk memperbaiki kondisi ini, tahun 1989 bahasa Latvia ditetapkan sebagai bahasa resmi kenegaraan dan secara bertahap mulai diperkenalkan kembali. Negara secara besar-besaran mendukung program belajar bahasa yang dimulai dengan mengajarkan bahasa Latvia pada penduduk Rusia yang pada masa lalu menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa satu-satunya. Berdasarkan contoh-contoh di atas, tentunya masalah kebijakan bahasa pluralis haruslah mendasari segala bentuk pembinaan kehidupan sosial yang majemuk di masa depan (Peter Harris dan Ben Relly, 2000: 245). Sejalan dengan itu, persoalan yang muncul ialah mengapa bahasa dipersoalkan sedemikian rupa ? Pertama, ada peran psikologis yang di dalamnya bahasa ikut bermain, dalam hal ini mengikat dalam penghargaan diri dan kebanggaan kelompok serta individu. Kedua, bahasa sering dilihat sebagai milik utama yang mempunyai signifikansi cultural dan nilai praktis dalam kehidupan. Itu sebabnya ketika suatu komunitas harus menggunakan bahasa lain, bukan bahasa aslinya dalam berinteraksi dengan komunitas lain dalam suatu tatanan kehidupan yang lebih luas (multicultural/multibahasa), maka akan mempengaruhi derajat sukanya atau keterasingannya dari kehidupan tersebut. Namun, peran psikologis dan sosiologis bahasa tidak hanya akan menghasilkan kondisi psikolgis dan sosiologis seperti digambarkan di atas; dapat saja sebaliknya, pemilihan penggunaan unsur-unsur bahasa lain menjadi bagian dari bahasanya, misalnya melalui proses pinjaman, atau peristiwa kontak bahasa lainnya, seperti alih kode dan campur kode, menjadi bagian dari proses pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosiologis. Pemenuhan kebutuhan psikologis di sini menyangkut akan pemenuhan rasa lebih berprestise jika memiliki kemampuan menggunakan unsur-unsur bahasa lain dalam tuturannya; sedangkan pemenuhan kebutuhan sosiologis, menyangkut kebutuhan untuk mengintegrasikan diri dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Dalam pada itu, kedua kebutuhan ini dapat mendorong ke arah kehidupan yang lebih harmonis di antara penutur bahasa yang satu dengan penutur bahasa yang lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan psikologis dan sosiologis melalui penggunaan bahasa lain dalam tuturan yang menggunakan bahasa asli suatu komunitas merupakan salah satu bentuk proses adaptasi sosial yang mengarah pada proses integrasi sosial. Dalam suatu tatanan kehidupan yang pluralistik terdapat dua wujud derajat kemungkinan kondisi kontak antarkomunitas yang saling bertentangan. Kedua wujud derajat kontak antarkomunitas tersebut, pertama adalah bahwa kedua atau salah satu dari komunitas itu akan melakukan suatu proses

penyesuaian diri terhadap yang lain atau saling melakukan penyesuaian satu sama lain, yang dalam terminologi ilmu sosial proses ini disebut sebagai proses asosiatif. Kemungkinan kedua, salah satu atau kedua komunitas itu akan melakukan proses menjauhkan diri satu sama lain atau salah satu di antaranya menjauhkan diri dari yang lain. Kemungkinan kedua ini, dalam terminologi ilmu sosial disebut sebagai proses disosiatif (periksa Soekanto, 2001). Dalam tatanan kehidupan bersama, kedua kemungkinan wujud kontak antarakomunitas tersebut akan melahirkan tatanan kehidupan yang cenderung ke arah harmonis untuk kemungkinan yang pertama dan tatanan kehidupan yang cenderung ke arah disharmonis (berpotensi untuk berkonflik) untuk kemungkinan yang kedua. Selanjutnya, dalam melakukan proses baik asosiatif maupun disosiatif akan selalu terkait dengan identitas atau apa yang menjadi simbol keberadaan masing-masing komunitas. Salah satu yang menjadi simbol atau lambang identitas keberadaan komunitas-komunitas tersebut adalah bahasa. Bahasa merupakan salah satu penanda di antara beberapa penanda komunitas (etnis) yang sangat penting, karena bahasa merupakan tempat terwadahi perubahan (evolusi) dan gambaran situasi (politik) yang terjadi pada masa lampau maupun masa kini (periksa Glazer dan Daniel P. Moynihan, 1975: 470). Dalam hubungan itu pula, Foley (1997: 384) menyebutkan bahwa secara alamiah kontak antardua atau lebih kebudayaan (komunitas) yang berbeda akan selalu termanifestasi dalam wujud perubahan bahasa. Lebih jauh dinyatakannya, bahwa perubahan yang dimaksud dapat berupa proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan proses yang sama (bandingkan dengan McMohan, 1994: 200 dan Labov, 1994). Dalam linguistik, proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tetentu yang dilakukan oleh suatu komunitas tutur disebut konvergensi linguistik. Namun selain itu, dapat saja perubahan bahasa itu tidak berwujud konvergensi tetapi malah sebaliknya berwujud divergensi linguistik, yaitu proses perubahan ciri-ciri bahasa dalam suatu masyarakat tutur yang membuat ciri-ciri kebahasaannya menjadi tidak sama dengan ciri-ciri bahasa yang digunakan oleh komunitas tutur lainnya yang menjadi mitra kontak budayanya, misalnya munculnya varian e-e dalam bahasa Sasak, misalnya pada kata epe apa mete mata dll. Yang diturunkan dari proses konvergensi dengan bentuk yang berkonstruksi a-e: ape apa dan mate mata yang ada sebelumnya. Kedua peristiwa kebahasaan tersebut, konvergensi dan divergensi linguistik, apabila dikaitan dengan terminologi dalam ilmu sosial di atas, maka keduanya masing-masing dapat dipadankan dengan proses asosiasi dan disosiasi. Selanjutnya, oleh karena asosiasi dan disosiasi itu sendiri dapat dihubungkan dengan tatanan kehidupan harmoni dan disharmoni, maka peristiwa kehidupan yang cenderung ke arah harmoni dan disharmoni (konflik) dalam suatu tatanan kehidupan komunitas majemuk dapat ditelusuri melalui kajian konvergensi dan divergensi linguistik. Dalam pada itu, asosiasi dan disosiasi sosial hanya dapat berlangsung tergantung pada ada/tidaknya perasaan kesederajatan/

kesetaraan dan kesamaan di antara dua atau lebih komunitas sosial yang melakukan kontak atau interaksi sosial tersebut. Kesamaan yang dimaksudkan di sini baik karena kesamaan asal maupun karena kesamaan sejarah yang dialami pada fase historis tertentu. Dalam pada itu, kesamaan asal ataupun kesamaan sejarah dapat ditelusuri melalui varian bahasa baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun yang terdapat dalam bahasa yang berbeda, yang berkerabat. Oleh karena itu, melalui pembelajaran bahasa multivarian peserta didik dapat diperkenalkan tentang keberbedaan dalam kesamaan, baik kesamaan asal maupun kesamaan sejarah. Pada gilirannya, akan dapat menjadi media bagi terciptanya ruang dialog sosial, yang tujuan akhirnya untuk saling memahami satu sama lain. Dengan kata lain, pengembangan model pembelajaran bahasa multivarian memiliki manfaat, bagi bangsa yang majemuk khususnya Indonesia, di antaranya: sebagai berikut. a. Menjadi sarana dalam rangka merefleksikan jati diri manusia dan masyarakat Indonesia sebagai sebuah negara nation-state dengan mengacu pada kebudayaan lokal, khususnya yang berkaitan dengan pemahaman akan dinamika makna yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kesadaran akan keanekaragaman dalam kemajemukan budaya bangsa itu diharapkan semakin diyakini mengingat pemahaman itu diperoleh melalui pengetahuan empirik yang berupa evidensi kebahasaan, bukan dalam bentuk indoktrinasi. b. Menjadi salah satu ikhtiar dalam mencegah terbentuknya sikap primordial, sukuisme (etnosentris) yang muncul sebagai akibat pemberian materi muatan lokal, yang nota bene berupa materi yang khas, sesuai kondisi daerah di mana materi itu disajikan, karena model ini di samping memperlihatkan kekhasan bahasa daerah yang diajarkan, juga memperlihatkan keterhubungannya dengan bahasa lain yang berkerabat dengannya, c. Pada gilirannya, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan yang terjadi antarbahasanya dengan bahasa lain hanya karena faktor geografis dan historis yang dialami kedua sukubangsa itu pada masa lampau. Mereeka sesungguhnya pada fase prahistoris terttentu berasal dari moyang yang sama. Dalam pada itu, diharapkan pula dari pengetahuan akan kesatuasalan nenek moyang sukubangsa-sukubangsa tersebut dapat menjadi jembatan bagi upaya memahami keberadaan masingmasing sukubangsa dalam hubungan satu sama lain. Kesadaran inilah nantinya diharapkan menjadi entry point bagi tumbuhnya rasa solidaritas satu sama lain. d. e. Menjadi model bagi pengembangan metode pembelajaran bahasa khususnya, bahasa daerah yang selama ini dipandang kurang bermanfaat bagi kehidupan. Pada skala yang lebih luas model ini dapat ditingkatkan menjadi model yang dapat berlaku pada lintas daerah, misalnya setelah peserta didik mecapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mulai dari kelas III SLTP ke atas, perbandingan dapat diambil pada lintas bahasa, bukan lagi lintas dialek dalam

satu bahasa; sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin banyak bahasa lain yang diketahui berkerabat dengan bahasanya. Dengan demikian, semakin dalam pengetahuan siswa akan dinamika makna yang terkandung dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan lebih jauh dari itu, dapat dijadikan model untuk level nasional, dalam arti sistem pembelajarannya yang bersifat kekerabatan-kontrastif tersebut dapat diambil pada bahan-bahan bahasa lain yang penuturnya lebih banyak dan memiliki tradisi tulis yang kuat, misalnya ketika mengajarkan materi muatan lokal bahasa Sasak di daerah yang berpenutur bahasa Sasak, bentuk kekerabatan dapat dicarikan pada tingkat kekerabatan bahasa yang lebih tinggi seperti tingkat Autronesia Barat, seperti kekerabatan dengan bahasa Bali, dan bahasa Jawa, karena bahasa Sasak, Bahasa Bali, dan bahasa Jawa merupakan bahasa-bahasa yang berkerabat pada level tersebut.

6. Prospek Pengembangan Model Pembelajaran Bahasa Multivarian di Indonesia Ada dua titik pandang yang dapat digunakan untuk menyoroti prospek pengem-bangan materi muatan lokal bahasa daerah yang berdimensi kebinekaan dalam pembelajaran bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kedua titik pandang itu menyangkut bahan baku dan bahan jadi bagi penyusunan materi pembelajaran tersebut. Yang dimaksudkan dengan bahan baku di sini adalah keberadaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia ditinjau dari segi pengelompokan bahasa secara diakronis, sedangkan yang dimaksudkan dengan bahan jadi adalah tinjauan dari ketersedian bahan yang siap dirakit untuk pengembangan materi pembelajaran. Dengan kata lain, yang dimaksudkan dengan bahan jadi adalah ketersediaan hasil-hasil kajian secara dilektologi diakronis dan linguistik historis komparatif dari bahasabahasa daerah yang terdapat di Indonesia. Tinjauan dari sudut pandang bahan baku, menuntun pada upaya menjawab pertanyaan apakah bahasa-bahasa atau sebagian besar bahasa daerah yang terdapat di Indonesia merupakan bahasa yang serumpun atau tidak. Apabila sebagian besar bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia bukanlah bahasa-bahasa yang berasal dari rumpun yang sama, maka gagasan pengembangan materi pembelajaran bahasa multivarian sebagai salah satu upaya memfungsikan bahasa (daerah) sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman akan kondisi kebinekatunggalikaan masyarakat Indonesia kurang prospektif; sebaliknya akan dipandang cukup prospektif jika sebagian besar bahasa-bahasa (daerah) yang terdapat di Indonesia itu berasal dari satu rumpun bahasa yang sama. Berangkat dari titik pandang ini, maka dapat dikatakan bahwa pengembangan materi muatan lokal tersebut memiliki prospek yang cukup baik bagi pembelajaran bahasa-bahasa (daerah) di Indonesia, karena berdasarkan studi yang dilakukan terhadap kelompok bahasa-bahasa yang termasuk rumpun

bahasa Austronesia, Indonesia merupakan tempat yang paling banyak terdapatnya bahasa-bahasa rumpun Austronesia tersebut.

PENGELOMPOKAN BAHASA-BAHASA AUSTRONESIA


PROTO-AUSTRONESIA

ATAYAL PAIWAN POLINESIA

TSOU MELAYU-

MP BARAT

MP TENGAH

MP TIMUR

OSEANIA

HALMAHERA SELATAN IRIAN (BLUST, 1981)

Hanya saja, dalam kaitannya dengan konsep bahan jadi, rupanya kajian secara dialektologis dan historis komparatif belum banyak dilakukan terhadap bahasa-bahasa daerah yang terdapat di Indonesia. Lauder (1997) melaporkan bahwa sampai 1997 penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah secara dialektologis baru mencapai 69 buah penelitian, suatu jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah bahasa daerah yang terdapat di Indonesia. Belum lagi dari jumlah itu dikelompokkan atas penelitian yang dilakukan berdasarkan sudut pandang dialektologi diakronis, yang memang jenis penelitian yang terakhir inilah yang dapat menyiapkan bahan jadi untuk pengembangan materi muatan lokal tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada penelitian dari sudut pandang linguistik historis komparatif terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Menurut Fernandez (1988), bahwa penelitian yang bertujuan melakukan pengelompokan terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia masih sangat

langka. Hal ini tercermin pula dari jumlah dialektolg dan komparativis yang terdapat di Indonesia. Dengan demikian, kiranya dapat dikatakan bahwa meskipun dari sudut pandang bahan baku bagi pengembangan materi muatan lokal bahasa daerah yang berdimensi kebhinnekaan itu cukup tersedia, namun dari sudut pandang bahan jadi sangatlah mengecewakan. Oleh karena itu, langkah awal yang harus segera dilakukan, jika ihtiar untuk memfungsikan bahasa daerah sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman akan kondisi kebhinnekaan dalam ketunggalikaan melalui pembelajaran bahasa, adalah melakukan kajian bahasa-bahasa daerah berdasarkan pendekatan dialektologi diakronis dan linguistik historis komparatif. Meskipun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dalam beberapa tahun terakhir ini telah dan sedang menggalakkan penelitian kekerabatan dan pemetaan bahasabahasa di Indonesia, namun penelitian itu tidaklah dilakukan dalam kerangka kerja dialektologi diakronis (meskipun terdapat kajian dari sudut pandang linguistik historis komparatif). Oleh karena itu, penelitian itu belum dapat membantu menyiapkan bahan jadi bagi pengembangan materi pembelajaran bahasa multivarian. 7. Langkah-langkah dalam Pengembangan Materi Pembelajaran Bahasa Multivarian Batasan di atas memberikan gambaran pada kita bahwa persyaratan yang pertama-tama harus dipenuhi dalam pengembangan materi pembelajaran bahasa multivarian adalah penyediaan bahan jadi pembelajaran yang berupa bentuk-bentuk bahasa yang berkerabat. Bentuk-bentuk bahasa yang berkerabat yang dimaksud baik yang terdapat pada level satu bahasa, jadi, berupa bentuk-bentuk yang berkerabat yang terdapat di antara dialek-dialek bahasa yang diajarkan, maupun bentuk-bentuk yang berkerabat yang terdapat dalam level antarbahasa, khususnya, bentuk yang berkerabat anatara bahasa yang diajarkan dengan bahasa lain yang lebih dekat hubungan kekerabatan dengannya. Hal ini berarti, bahwa dalam rangka pengembangan materi tersebut kajian yang pertama-tama dilakukan adalah kajian dialektologi diakronis dengan sasaran kajiannya adalah identifikasi dialek-dialek yang terdapat dalam bahasa itu dan penentuan bentuk yang berkerabat melalui rekonstruksi bahasa purbanya (prabahasa). Kajian selanjutnya, adalah kajian historis komparatif dengan tujuan menentukan tingkat kekerabatan dan bentuk-bentuk yang berkerabat yang terdapat di antara bahasa yang akan diajarkan dengan bahasa lain yang diduga memiliki hubungan kekerabatan dengannya melalui rekonstruksi bahasa purba (protobahasa) dari bahasa-bahasa tersebut. Berdasarkan hasil kerja di atas dilakukan penetuan bahasa standar melalui kajian secara sosiolinguistis. Hasil kajian secara sosiolinguistis ini selanjutnya dibawa ke dalam forum musyawarah antarpenutur bahasa yang akan diajarkan itu untuk ditentukan secara formal dan atas dasar kesepakatan bersama tentang sosok dialek yang akan dijadikan kerangka acuan dalam berbahasa secara baik dan benar (bahasa standar).

Setelah itu, penyusunan materi dapat dilakukan dengan tetap berpijak pada bahasa standar yang telah ditetapkan itu. Sebagai contoh, akan dipaparkan sebagian hasil penelitian yang telah dilakukan dalam rangka uji coba model pengembangan materi pembelajaran yang dimaksud, yang dilakukan penulis melalui Riset Unggulan Terpadu V, Dewan Riset Nasional, sejak tahun anggaran 1997/1998 s.d 1999/2000 terhadap bahasa Sasak. Dari pelaksanaan riset tahun pertama 1997/1998 dengan menggunakan pendekatan dialektologi diakronis diperoleh gambaran bahwa bahasa Sasak terpilah ke dalam empat dialek, yang secara linguistis ketiga dialek itu disebut dengan dialek a-a, a-e, dan e-e, dan a-o. Di antara ketiga dialek itu telah diidentifikasi beberapa pola bentuk bahasa yang berkerabat berikut ini. 1. Kata berkerabat dengan konstruksi: a-a a-e e-e: apa mata ape mate mame epe mete apo apa mato mata mamo laki-laki dll.

mama

meme

2. Kata berkerabat dengan konstruksi i/u-a i/u-e: lima lime limo lima (k )tuma (k)tume (k)tuma kutu badan dll. 3. Kata Berkerabat dengan konstruksi a-i/u e-i/u E-i/u: ai(q,z) ap(i,)(c,z,r) tali ak(u,)(w,h) kiri gigi kire gige eiq epi teli eku kiric gigic Eiq air Epi api tEli tali Eku aku dll. kiriz kiri gigiz gigi dll. batue batu bulue bulu dll.

4. Kata berkerabat dengan konstruksi: i e ic iz:

5. Kata berkerabat dengan konstruksi u uw w uh ue: b(a,E,)tu bulu akar biwir m p al batuw batw buluw bulw akah akar b(i,e)w(i,e)h bibir dll. m pan mengapung batuh buluh

6. Kata berkerabat dengan konstruksi r h: ti(p,k)(a,)r ti(p.r)ah tikar 7. Kata berkerabat dengan konstruksi l n:

t(o, )k)o, )l tkn duduk tbl] tbn tebal dll. 8. Kata berkerabat dengan konstruksi r : daraq daq darah bart bat/ ba barat urat uat urat. 9. Kata berkerabat dengan konstruksi d r: b(E,i)d(,E) b(E,i)r(,E) hitam pade par(i, e,E) padi. Selanjutnya, pada tahun kedua dilakukan kajian sosiolingusitik untuk penentuan bahasa Sasak Standar. Kajian ini bertumpu pada upaya memperoleh keterangan para penutur dialek-dialek bahasa tersebut tentang masa lampau maupun masa kini dari dialek yang mereka gunakan, pandangan, aspirasi, dan sikap penutur dialek tersebut terhadap dialek yang digunakan atau terhadap dialek lainnya yang terdapat dalam bahasa itu. Dengan mengadopsi teori ranah dan metode analisis kuantitatif yang berupa analisis skala impilkasional bagi pilihan bahasa (implicational scale for language choice) telah berhasil ditentukan bahwa salah satu di antara ketiga dialek itu lebih dimungkinkan untuk diangkat sebagai bahasa standar, karena domein tempat pemakaiannya lebih dominan dibandingkan dengan dua dialek lainnya. Dialek yang dimaksud adalah dialek a-e. Hasil kajian secara sosiolinguistis ini selanjutnya diangkat dalam musyawarah penentuan bahasa Sasak Standar. Selanjutnya, untuk tahun ketiga (1999/200) dilakukan penyusunan materi pelajaran bahasa Sasak yang berdimensi kebhinnekaan untuk siswa kelas I dan II SLTP. Materi disusun berdasarkan dialek bahasa Sasak standar dengan komposisi pembahasan pada empat aspek: kebahasaan, pemahaman, penggunaan, dan sastra. Keempat aspek tersebut merupakan jabaran isi per unit, yang direncanakan terdiri dari sepuluh unit untuk satu paket (per jenjang atau kelas). Untuk materi yang mengandung dimensi kebhinnekaan akan dititipkan pada pembahasan aspek kebahasaan, khususnya pada subtopik pembahasan kosa kata. Materi tersusun berupa teks bacaan dalam dialek bahasa Sasak Standar (dialek a-e) yang di dalamnya sengaja dimasukkan unsur-unsur leksikal yang memiliki relasi kekerabatan dengan unsur-unsur leksikal dialek-dialek lainnya. Pada pembahasan subtopik kosakata, unsur leksikal dialek standar yang memiliki relasi kekerabatan tersebut diangkat kembali untuk ditunjukkan padanannya dalam dialek-dialek bahasa Sasak lainnya. Pada saat itulah guru menjelaskan hakekat perbedaan dari unsur-unsur leksikal tersebut dengan mengaitkannya pada sebuah bentuk asal yang sama. Bersamaan dengan itu pula, pesan keanekaragaman dalam ketunggalikaan dapat disampaikan. Patut ditambahkan, bahwa penyusunan materi muatan lokal

tersebut, untuk kelas I dan II, hanya akan memanfaatkan variasi kebahasaan yang terdapat dalam bahasa Sasak itu sendiri, jadi memanfaatkan variasi dialektal yang memiliki relasi kekerabatan. Selanjutnya, buku pelajaran yang telah tersusun itu akan diuji coba kelayakannya, baik yang menyangkut materi maupun kelayakan metode pembelajarannya. Untuk itu, akan dilakukan pelatihan beberapa orang guru yang mewakili beberapa dialek yang ada dalam bahasa Sasak selama satu minggu. Selain itu, untuk mendukung proses belajar mengajar materi muatan lokal tersebut akan dikembangkan model-model simulasi, yang disebut simulasi kebhinnekaan. Dalam simulasi ini, di samping dimuat hal-hal yang berhubungan dengan masalah kebahasaan juga akan dimuat hal-hal yang berhubungan dengan letak geografis penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang berkerabat tersebut, sehingga siswa selain belajar bahasa sekaligus belajar geografi. Ihwal gambaran secara rinci tentang riset uji coba model ini dapat dilihat dalam Mahsun ( 2000). 8. Catatan Penutup

SUMBER RUJKAN PUSTAKA Fernandez, Inyo Yos. 1988. Rekonstruksi Protobahasa Flores. Yogyakarta: Disertasi Doktor Universitas Gadjah Mada. Foley, William A. 1997. Anthrpolgical Linguistiks: an Introduction. Malden, USA: Blackwell Publishers Inc.

Glazer, Nathan and Daniel P. Moynihan (ed.). 1975. Ethnicity: Theory and Experience. Cambridge, Massachusetts, and London, England: Harvard University Press. Greenfield, L. 1972. Situational Measures of Normative Language Views in Relation to Person, Place, and Topic Among Puerto Rican Bilinguals. Dalam J.A. Fishman ed. (1972). Advences in the Sociology of Language, Vol 2. The Hague: Mouton. Harris, Peter dan Ben Relly. 2000. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. Jakarta: International IDEA. Lauder, Multamia R.M.T. 1997. Tinjauan Pemetaan Bahasa Nusantara di Indonesia. Dalam Mahsun (ed). Proseding Seminar Bahasa dan Budaya di Dunia Melayu. Yogyakarta: Nadi Offset. Labov, William. 1994. Principles of Linguistiks Change. Volume 1: Internal Faktors. Cambridge Blackwell Publishers. Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pembelajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yoyakarta: Gadjah Mada University Press. Mahsun. 2000. Pengembangan Materi Muatan Lokal yang Berdimensi Kebhinnekatunggalikaan dan Pembelajarannya: Penyusunan Materi PelajaranBahasa Sasak dengan Pemanfaatan Variasi Bahasa yang Berkerabat. Laporan Penelitian Tiset Unggulan Terpadu (RUT V). Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional, dan BPPT. McMahon, April M.S. 1994. Understanding Language Change. New York: Cambridge University Press. Robins, R.H. 1992. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.. Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wilkins, David A. 1976. Notional Sylabus: A Taxonomy and its Relevance to Foreign Language Curriculum Development. London: Oxford University.

Anda mungkin juga menyukai