EPIDEMIOLOGI FILARIASIS

DI INDONESIA

BIDANG P2PL DINAS KESEHATAN KAB.BALANGAN

 PENDAHULUAN
FILARIASIS DI INDONESIA DISEBABKAN
OLEH
3 SPESIES CACING FILARIA YAITU :
- Wuchereria Bancrofti
- Brugia malayi
- Brugia timori
PENYEBARANNYA DISELURUH INDONESIA
BAIK DI PEDESAAN MAUPUN DI
PERKOTAAN TERUTAMA DI PEDESAAN
 SECARA EPIDEMIOLOGI
SEPESIES CACING FILARIA
DAPAT DIBAGI MENJADI 6 TIPE

1. Wuchereria bancrofti TIPE URBAN

2. Wuchereria bancrofti TIPE RURAL
3. Brugia malayi, TIPE PERIODIK NOKTURNA
4. Brugia malayi , TIPE SUBPERIODIK NOKTURNA
5. Brugia malayi , TIPE NONPERIODIK
6. Brugia malayi , TIPE PERIODIK NOKTURNA
Mikrofilaria memiliki PERIODISITAS TERTENTU
TERGANTUNG DARI SPESIES DAN TIPENYA.
SECARA UMUM DAUR HIDUP KETIGA SPESIES SAMA
 MORFOLOGI
A. CACING DEWASA ATAU MAKROFILARIA
Bentuk silindris,halus seperti benang, putih dan hidup
di dalam sistem limfatik.
Ukuran 55 100 mm x 0,16 mm
C. jantan lebih kecil dari C. betina: 55 mm x 0,09 mm
Berkembang biak secara OVOVIVIPAR, hasilkan mf
50 ribu / hari

B. MIKROFILARIA
Sekali keluar berjumlah puluhan ribu
Memiliki sarung 200 600 X 8 um
 Morfologi Mikrofilaria
(anak cacing)
No Karakteristik W. bancrofti B. malayi B. timori
1. Gambaran umum dalam Melengkung Melengkung kaku Melengkung kaku
sediaan darah mulus dan patah dan patah

2. Perbandingan lebar dan 1:1 1:2 1:3

panjang ruang kepala

3. Warna sarung Tidak berwarna Merah muda Tidak berwarna

4. Ukuran Panjang (m) 240 300 175 - 230 265 325

5. Inti badan Halus, tersusun Kasar, Kasar,

rapi berkelompok berkelompok

6. Jumlah inti di ujung ekor 0 2 2

7. Gambaran ujung ekor Seperti pita ke Ujung agak Ujung agak
arah ujung tumpul tumpul
 DI DALAM TUBUH
NYAMUK
Mf YANG DIISAP NYAMUK AKAN BERKEMBANG DALAM
OTOT NYAMUK
SETELAH 3 HARI MENJADI LARVA L1
SETELAH 6 HARI MENJADI LARVA L2
SETELAH 8-10 HARI UNTUK BRUGIA ATAU 10 14 HARI UNTUK
WUCHERERIA AKAN MENJADI LARVA L3
LARVA L3 SANGAT AKTIF DAN MERUPAKAN LARVA INFEKTIF.
DITULARKAN KEPADA MANUSIA MELALUI GIGITAN
NYAMUK (TETAPI TDK. SPT MALARIA)
 HOSPES DIFINITIF
MANUSIA MERUPAKAN HOSPES DEFINITIF
HAMPIR SEMUA DAPAT TERTULAR TERUTAMA
PENDATANG DARI DAERAH NON-ENDEMIK
BEBERAPA HEWAN DAPAT BERTINDAK
SEBAGAI HOSPES RESERVOIR
DI INDONESIA HANYA Brugia malayi sub periodik/
non periodik YANG DAPAT MENGINFEKSI HEWAN
HEWAN TERSEBUT ADALAH: LUTUNG (Presbythis
cristata), KERA EKOR PANJANG (Macaca
fascicularis) DAN KUCING (Felis catus)
 Skema Rantai Penularan Filariasis
(B . malayi tipe sub periodik nokturnal dan non periodik)
 VEKTOR
NYAMUK MERUPAKAN VEKTOR FILARIASIS
DI INDONESIA ADA 23 SPESIES NYAMUK YANG
DIKETAHUI BERTINDAK SEBAGAI VEKTOR DAN
POTENSIAL VEKTOR DARI 5 GENUS: MANSONIA, CULEX,
ANOPHELES, AEDES DAN ARMIGERES.
W.BANCROFTI TIPE PERKOTAAN VEKTORNYA CULEX
QUINQUEFASCIATUS
W.BANCROFTI TIPE PEDESAAN: ANOPHELES, AEDES
DAN ARMIGERES
B.MALAYI : MANSONIA SPP, AN.BARBIROSTRIS.
B.TIMORI : AN. BARBIROSTRIS.
 Vektor Penu
NYAMUK PENULAR FILARIASIS LIMFATIK

Semua
Semua nyamuk
nyamuk dptjadi
dpt jadi vektor
vektor penular
penularfilariasis !! !!
filariasis
 LINGKUNGAN
A. LINGKUNGAN FISIK
IKLIM, GEOGRAFIS, AIR DSB.

B. LINGKUNGAN BIOLOGIK
LINGKUNGAN HAYATI YG MEMPENGARUHI PENULARAN;

HUTAN, RESERVOIR, VEKTOR

C. LINGKUNGAN SOSIAL-EKONIMI-BUDAYA
KAP

ADAT ISTIADAT, KEBIASAAN DSB

EKONOMI: CARA BERTANI, MENCARI ROTAN, GETAH DSB

 PENULARAN
PENULARAN DAPAT TERJADI APABILA ADA
LIMA UNSUR UTAMA:

SUMBER PENULAR
(MANUSIA DAN HEWAN)
PARASIT
VEKTOR
MANUSIA YANG RENTAN
LINGKUNGAN (FISIK, BIOLOGIK EKONOMI DAN
SOSIAL-BUDAYA)
 SITUASI FILARIASIS
DI INDONESIA
SURVEI CEPAT 2000 BELUM
MENUNJUKKAN GAMBARAN YG.
SEBENARNYA KARENA BELUM SEMUA
PUSKESMAS MELAPORKAN
HASIL SURVAI DARAH JARI TH 1999 : RATA-
RATA Mf RATE 3,1% (ANTARA 0,5 19,64%)
DENGAN DATA TERSEBUT MENUNJUKKAN
BAHWA PENULARAN FILARIASIS MASIH
TINGGI.
 SITUASI FILARIASIS
DI INDONESIA
SURVEI CEPAT 2000 BELUM MENUNJUKKAN
GAMBARAN YG. SEBENARNYA KARENA
BELUM SEMUA PUSKESMAS MELAPORKAN

HASIL SURVAI DARAH JARI TH 1999 : RATA-

RATA Mf RATE 3,1% (ANTARA 0,5 19,64%)

DENGAN DATA TERSEBUT MENUNJUKKAN

BAHWA PENULARAN FILARIASIS MASIH
TINGGI.
LF endemicity in Indonesia
TERIMA KASIH