Anda di halaman 1dari 28

Oleh: M.

Danusiri

, .
. .
. . .
.

. . ,

Paradigma adalah Pernyataan umum yang
dengannya ilmuwan bertindak (Thomas Kuhn)
Pernyataan adalah hubungan subjek dan predikat
yang mengandung kemungkinan salah atau benar.
Maksud benar adalah predikat mengiyakan subjek,
contoh benar
Yulia adalah seorang wanita.
Subjek copula predikat (+)
Contoh salah: Yulia bukan manusia
Subjek copula predikat (-)
Merumuskan konsep
Merumuskan teori
Merumuskan ilmu
Merumuskan teknologi

Merumuskan hukum
yang lima: wajib,
sunnah, haram,
makruh, dan mubah
Realisasi Fikih
Kitab-kitab fikih yang tersusun sejak terbentuknya
ilmu ini, pada awal abad 3 Hijrah hingga sekarang,
mungkin sampai tidak ada lagi yang disebut ilmu,
hanyalah membahas putusan hukum sesuatu
benda atau sesuatu perbutan.
Hasilnya, sesuatu itu: haram, makruh, halal
(mubah) , sunnah, atau wajib.
Keterangan
Di indonesia dilaksanakan oleh NU dengan
melakukan Bahtsul Masaail untuk merumuskan
sesuatu itu hukumnya apa.
Dalam ajaran Islam, setiap orang memasuki usia
baligh (ditandai inzal bagi laki-laki atau haidl bagi
wanita) disebut mukallaf.
Secara praktis, mukallaf berarti terbebani oleh
hukum.
Artinya sepanjang hidup manusia terbebani oleh
hukum sehingga tidak sedetikpun keluar dari
jeratan hukum
Kebanyakan manusia,
sepanjang hidupnya, lebih
enjoy di bilik mubah, makruh,
atau haram. Sangat sedikit
waktu hidupnya berada di
bilik wajib.
alangkah beruntungnya kalau
kita betah di bilik wajib dan
sunnah.

Barang siapa tidak mengetahui perbedaan
pendapat, sesungguhnya ia tidak mengetahui
baunya fikih

Jadi, secara Praktis , Fikih


adalah identik dengan
khilafiyyah

Hasil ijtihad yang satu tidak bisa
ditentang dengan hasil ijtihat yang
lain. Ijtihad adalah mengerahkan
kemampuan (indra, rasio, intuisi, dan
kepemilikan) untuk merumuskan
hukum sesuatu.

Jadi, ulama Fikih sangat


menjunjung tinggi toleransi
Dalam berijtihad, ulama
Fikih tidak memiliki
kepentingan apapun
kecuali agar syariah atas
dasar ridha Allah berlaku
di tengah-tengah
masyarakat.
Putusan hukum atas dasar
Hasil ijtihad bersifat relatif,
bisa berubah karena
perubahan sebab.

1. Memasang gigi tiruan karena gigi asli rusak
dan dicabut secara umum adalah
mubah/halal/alias boleh, baik pemasangan
gigi itu secara permanen atau sementara.
Keputusan ini boleh dikata menjadi ijma
(kemufakatan) para ulama fikih. Demikian
kata Syeikh Shalih Munajid. Prinsip
penetapan hukum ini adalah pengobatan.
Demikian simpul Imam asy-Syaukani.
Sebagian besar ulamak menyatakan bahwa
memasang gigi tiruan sebagai perhiasan, dalam
arti untuk mempercantik atau untuk
mempergantheng diri, hukumnya haram.
Praksisme pemasangan gigi demikian ini melalui
prosedur mencopot gigi asli kemudian
menggantinya gigi tiruan.
Tndakan ini termasuk tidak ridha atas tindakan
Allah sebagai Pencipta makhluk.





"Allah telah mengutuk orang-orang yang membuat tato dan


orang yang minta dibuatkan tato, orang-orang yang
mencabut bulu mata, orang-orang yang minta dicabut bulu
matanya, dan orang-orang yang merenggangkan gigi demi
kecantikan yang merubah ciptaan Allah."(HR. Muslim)
Mengikir gigi (pangur), secara prinsip adalah
memperindah bentuk gigi. Bentuk memperindah
gigi lainnya adalah memasang behel. Dengan
demikian hukumnya juga haram.
Tesis I
Secara Umum, tujuan Islam diturunkan ke bumi
adalah sebagai rahmat, untuk mempermudah
hidup, dan hubungan kemesraan antara Khaliq dan
makhluq. Oleh karena itu, apapun dan berbuat
apapun akan diperbolehkan selagi menunjang
kehidupan kasih sayang, kesejahteraan, kebaikan,
tidak menimbulkan madharat (marabahaya,baik
secara individual, sosial, dunia, akhirat),dan jalinan
kemesraan antara Khaliq dan makhluq.
Karena itu memasang behel maupun memasang
gigi tiruan dalam rangkka asesoris adalah halal.
Hadis riwayat Imam Bukhari, hadis nomor 5660, Imam
Muslim hadis nomor 3264, Imam Ahmad bin Hanbal, hadis
nomor 11883 dan 12698 sebagai berikut:










Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan
kepada kami Syu'bah dari Abu at-Tayyah dia berkata; saya
mendengar Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mudahkanlah setiap
urusan dan janganlah kalian mempersulitnya, buatlah mereka
tenang dan jangan membuat mereka lari."
Jadi,

Untuk meningkatkan
kepercayaan diri dalam bergaul
antar sesama manusia
diperbolehkan menggunakan
perhiasan pada gigi, apakah
memasang behel atau gigi tiruan.
Gigi mrongos termasuk gigi sakit (kelaianan) karena
kurang proporsional dalam simetri wajah. Untuk itu
dipersilahkan berobat:





Wahai sekalian hamba Allah, berobatlah
sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit
melainkan menciptakan juga obat untuknya kecuali
satu penyakit." Mereka bertanya, "Penyakit apakah itu
wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu penyakit
tua (pikun). (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad. Berkata Tirmidzi : Hadits ini Hasan Shahih).
Islam Mengajarkan prinsip tengah-tengah, tidak berlebihan, tidak
ekstrim kanan maupun ekstrim kiri dalam semua hal kecuali takqwa.
Prinsip itu adalah:
Khairul umuuri ausaatuha (sebagai-baik perkara adalah tengah-
tengah)
Khairukum atqaakum (sebaik-baik kamu adalah yang paling taqwa
diantara kamu)

Dengan demikian, berhias dalam gigi


secara berlebihan itu termasuk aliran
setanisme.
Jika gigi tiruan itu masih tertempel di rongga
mulutnya saat pemakai meninggal dunia, maka
hukumnya adalah sebagai berikut:
Jika gigi tiruan itu barang berharga, umpama
emas murni, platina, atau logam mulian lainnya
dan sulit dilepas (merusak tubuh si mayyit) maka
gigi tersebut harus dibiarkan. Ahli waris tidak
boleh memaksakan kehendak untuk mewarisinya.
Keputusan humum ini didasarkan hadisa bahwa
merusdak tubuh si mayyit sama saja merusaknya
ketika masih hidup.
Jika gigi tiruan itu mudah dicopot dari
tempatnya, maka sebaiknya dilepas
sehingga gigi tiruan tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai barang warisan
setelah dipotong hutang atau wasiat
kalau memang masih ada. Jika
hubungan sosial sudah bersih, tidak
mempunyai tanggungan hak anad
Adam, maka gigi tiruan tersebut bisa
langsung dibagi-bagi nominalnya
kepada ahli waris.
Diantara bahan yang digunakan untuk: menambal,
melapisi, atau membuat gigi palsu baik sementara
(menggunakan: semen zinc phosphat, atau zinc eugenol)
maupun permanen adalah:
amalgam (likuid yaitu logam merkuri bubuk yaitu
logam paduan yang kandungan utamanya terdiri dari
perak, timah, dan tembaga)
resin komposit, bahan polimer+partikel anorganik
sebagai penguat. Bila salah prosedur dalam
pemasangan akan menimbulkan kelemahan dalam
estetika dan sensitif terhadap panas. Kelebihannya
sewarna dengan gigi asli),
GIC (Glass Ionomer Cement), komponen
utamanya adalah :Likuid yang merupakan
gabungan air dengan polyacid (asam poliakrilat,
maleat, itakonat, dan tartarat). Penggunaan bahan
ini dipandang cukup baik, kuat, dan madhalartnya
cukup kecil jika prosedur penggunaan benar pada
orang yang benar.
Perkembangan teknologi penggunaan gigfi tiruan,
pelapisan gigi, maupun behel dalam kedokteran
gigi akan terus berlangsung, dan ini tidak boleh
berhenti.perkembangannya harus semakin
sempurna yang maksud praktisnya semakin
memperkecil madharat bagi kesehatan. Karena
itu, prinsipnya adalah:
Pemasangan gigi tiruan, pemasangan behel pada
gigi - secara prinsip bisa disebut menambal
(bridge) atau melapisi gigi, crown (selubung gigi)
semuanya termasuk memasukkan bahan asing
secara permanen atau semi permanin ke dalam
organ mulut.
Bahan-bahan asing ini secara umum harus suci,
tidak najis, tidak mendatangkan madharat (sakit
atau kerusakan). Prisip ini harus dijunjung tinggi
baik oleh pemasang (dokter gigi, tukang ahli gigi),
mapun pemakai (consumer)
Ijtihad dokter gigi maupun ahli tukang
direkomendasikan se-luas-luasnya sejauh
tujuannya adalah ridha Allah.
Gigi tiruan tergolong najis jika bahan bakunya
tergolong najis, umpama tulang sapi, kambing,
kerbagau atau sebangsanya yang model
penyembelihannya tiak halal. Menggunkan bahan
tulang babi, apapun tekniknya tetap najis.
Penggunaan bahan ini diperbolehkan. Tetapi, ketika
beribadah: wudhu, shalat, thawaf, sai haruslah
dilepas.
Lebih bijaksana kalau pemakai itu orang islam, sangat
dihimbau untuk tidak memakainya. Dalam madzhab
syafiiyyah gigi basah oleh air liur bisa menularkan
najis apa saja yang ditelan dan bersentuhan dengan
gigi tiruan yang terpasang dalam mulut itu.
Semua orang normal akan menginginkan bentuk
gigi semacam ini:
Bersyukurlah bagi yang
indah giginya. Berobatlah
jika giginya dipandang
perlu diobati, dan
berhiaslah dengan gigimu
jika kau pandang itu
perlu. Tapi jangan
berlebihan dalam berhias
dengan gigi.

Anda mungkin juga menyukai