Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

Effectiveness of Simple Individual


Psychoeducation for Bipolar II disorder

Vidiarti Rahayu
1810221012
Pendahuluan
 Gangguan bipolar II didefinisikan sebagai keadaan klinis dari episode mood
berulang yang terdiri dari setidaknya episode depresif dan setidaknya episode
hipomanik.
 Pasien dengan gangguan bipolar II memiliki kesadaran yang sangat
dangkal/buruk mengenai penyakit mereka sendiri (tilikan sangat kecil),
sehingga episode hipomanik biasanya tidak cukup parah untuk membuat
gangguan berat terhadap fungsi sosial.
 Tilikan yang rendah ini mungkin terjadi akibat terlalu lamanya pasien ini
didiagnosis dengan gangguan bipolar II
 Terapi yang paling sering untuk bipolar II adalah obat obatan, termasuk
stabilizer mood dan antipsikotik. beberapa penelitian menyatakan bahwa
psikoterapi mungkin dapat menurunkan gejala serta mencegah kekambuhan
pada gangguan bipolar II.

 Psikoedukasi adalah salah satu dari psikoterapi yang paling sering diteliti dan
direkomendasikan oleh beberapa pedoman sebagai pilihan lini pertama untuk
terapi pemeliharaan gangguan bipolar
 Penelitian terbaru, sebuah penelitian terandomisasi menunjukkan bahwa
ritme biologi cenderung dapat memperbaiki pasien dengan bipolar II setelah
mengikuti kelompok psikoedukasi selama 6 sesi.
 Berdasarkan berbagai hasil ini, psikoedukasi mungkin bermanfaat dalam
rangka menstabilkan regularitas gaya hidup dan pencegahan terhadap
kekambuhan pasien dengan bipolar II
 Sesi psikoedukasi berada di ruang tunggu sebelum pemeriksaan medis dimulai.
Durasi sesinya adalah selama 20 menit, setidaknya 1 minggu sekali. Pada sesi
ini, buku mengenai hidup dengan gangguan bipolar, termasuk gejala,
psikofarmasi, psikoterapi, dan kemungkin faktor resiko dari gangguan bipolar,
dibaca sekencang kencangnya oleh pasien bersama dengan psikoterapi.
 Pada laporan ini, kami menjabarkan sebuah kasus pasien yang alami bipolar II
yang mana pemberian psikoedukasi individu sederhana ternyata sangat
bermanfaat untuk dirinya.
PRESENTASI KASUS
 Pasien adalah seorang ibu rumah tangga berusia 64 tahun. Selama ini diterapi
karena depresinya selama kurun waktu 24 tahun. Sekitar 1 tahun yang lalu,
dia menjadi sangat sering bicara dan mudah marah serta sering cekcok
dengan staf medis dan keluarganya. Karena dokter menolak meresepkan obat
yang ia inginkan, dia pun pindah ke rumah sakit lain. Meskipun begitu, dia
tetap merasa tidak nyaman dengan terapi yang ia jalani di rumah sakit ini lalu
meninggalkan jadwal terapi sesuai kemauannya. Setelah keluar dari rumah
sakit, dia sering kali mengunjungi IGD dengan gejala nyeri pada perutnya.
Hasil pemeriksaan fisik tidak menemukan adanya kelainan apapun, dan staff
IGD secara tegas merekomendasikan wanita ini untuk segera mengunjungi
dokter ahli jiwa.
 Dia pun mengunjungi klinik kami. Pada saat pemeriksaan medis perrtama kali,
dia tampak hipomanik, sangat sering bicara, dan terkadang mudah marah. Dia
didiagnosis dengan bipolar II, sesuai dengan penilaian DSM-IV TR, dan
diagnosis ini kemudian diberitahukan kepada wanita ini. Dia berkata dia tidak
peduli dengan penyakit yang kami jelaskan dan meminta dokter untuk segera
mengobati nya sehingga ia dapat kembali bahagia dan gembira, yang
kemudian secara medis didiagnosis sebagai hipomanik. Obat paroxetine
kemudian diberhentikan dan olanzapine ditingkatkan pemberiannya. Meskipun
telah diobati, dia tetap mengunjungi dokter hampir setiap hari, tanpa adanya
janji sebelumnya dan terus kali mengeluhkan tentang obat yang ia dapatkan
selama sebulan. Setelah 6 bulan, mood nya menjadi eutimik, dan dia mampu
untuk terus difollow up mengenai penyakit yang ia derita. Meskipun begitu,
dia meminta untuk diberikan kembali obat paroxetine. Dia pikir dia masih
depresi karena dia merasa memakan obat obatan yang salah. Oleh karena itu
direkomendasikanlah program psikoedukasi untuk wanita ini.
Setelah sesi pertama dari psikoedukasi tingkat pengertian dia terhadap gangguan
bipolarnya kemudian dinilai menggunakan kuisioner buatan sendiri (self-made
questionaire), Jawaban dia benar pada :
- 100% pertanyaan tentang kesadaran akan gangguan bipolar
- 66.7% terhadap gejala
- 60% terhadap pengobatan
- 50% terhadap patogenesis.
Pengetahuan mengenai gangguan bipolar mungkin didapatkan dari penjelasan
selama pemeriksaan medis selama 6 bulan sebelumnya.
 selain itu, mood nya dinilai menggunakan skala keadaan internal/internal
state scale (ISS)  suatu penilaian yang dilaporkan sendiri, terdiri dari 17
item yang dinilai menggunakan skala visual analog dengan angka mulai dari 0
hingga 100, untuk menentukan keadaan mood berdasarkan skoring algoritma
menggunakan subskala ISS.
 Meskipun begitu, dia bersikeras bahwa dia selalu saja depresi. Dia mengaku
bahwa rasa cepat marah dan mudah terpicu untuk bertengkar, yang dinilai
sebagai keadaan manik/hipomanik berdasarkan skoring ISS, adalah karena
keadaan depresinya.
 Dia menyatakan bahwa dia merasa mudah marah karena dia tidak mampu
melakukan segalanya dengan baik seperti sebelumnya karena depresi dan dia
mudah sekali berkelahi/cekcok dengan keluarganya karena dia tidak dapat
melakukan urusan rumah tangga dengan baik dan juga akibat depresinya
tersebut.
 Pada sesi ini, dia membaca dengan sekencang kencangnya bagian buku
mengenai prevalensi dan diagnosis dari gangguan bipolar. Tampaknya dia
merasa tidak nyaman menjalani sesi ini.
Pada sesi psikoedukasi yang kedua

dia membaca sekencang kencangnya sesi pada text book mengenai


manik/hipomanik, dan gejala depresi pada gangguan bipolar. Dia tidak dapat
memahami bahwa keadaan hipomanik adalah keadaan patologis juga. Dia
masih meyakini bahwa keadaan hipomanik adalah suatu keadaan ideal yang
dia harus bisa berada pada keadaan tersebut saat proses penyembuhan. Dia
percaya bahwa dia harus terus banyak berbicara semampu yang ia bisa
karena dia mengaku setiap orang sangat senang dengan pembicaraan yang
lucu dan menyenangkan. Akhirnya, dia menyimpulkan bahwa dia tidak
mengalami gangguan bipolar karena dia tidak pernah mengalami fase manik /
hipomanik seperti yang dijelaskan dalam buku teks yang ia baca sekencang
kencangnya tersebut.
Pada sesi ketiga dari psikoedukasi

dia membaca sesi pada textbook mengenai keadaan campuran dari gangguan
bipolar dan proses berjalannya gangguan ini. Setelah membaca mengenai
keadaan campuran, persepsinya mengenai penyakit yang ia alami secara
dramatis berubah, dan dia mulai berpikir bahwa deskripsi yang ia baca
mungkin menjelaskan mood yang ia alami. Dia pun mulai memahami bahwa
rasa cepat marahnya bukan karena depresi atau obat obatan yang ia
konsumsi, melainkan karena ketidakstabilan mood dan buruknya komunikasi
ia dengan keluarganya. Dia sadar bahwa selama ini ia menganggu semua
orang karena ia terlalu banyak bicara dan hal tersebut merupakan salah satu
dari gejala penyakit yang ia derita. Dia berkata “psikoedukasi membuat ku
dapat menghadapi penyakit ini, aku ingin tahu mengenai mood yang kualami
secara objektif dan aku mau untuk mengontrolnya”.
Saat psikoedukasi yang ke 4

dia membaca dengan keras sesi mengenai bagaimana cara mengontrol


pertukaran emosi yang cepat pada gangguan bipolar, pentingnya
pengobatan, serta tujuan terapi. Dia mengatakan bahwa dia ingin
keluarganya memahami gejala dari gangguan bipolar dan memberikan
dia saran mengenai keadaan moodnya, karena akan sangat bermanfaat
sekali untuk secara objektif paham mengenai mood yang ia alami dan
bagaimana cara mengontrolnya.
Pada psikoedukasi sesi ke 5

dia membaca sesi mengenai bagaimana mengontrol ritme kehidupan sehari


hari, bagaimana cara menghadapi stres sehari hari, dan sistem kesejahteraan.
Dia mengatakan, “tekadang aku merasa dapat bekerja lebih akitf, aku sering
kali ingin keluar, namun aku mencoba untuk tetap mengikuti irama kehidupan
ku sehari hari, sebagai contoh tetap mengerjakan pekerjaan rumah dengan
mudah dan tetap berada didalam rumah”. Ia pun secara sukarela menulis diary
untuk secara objektif meneliti dan memahami moodnya.

Pada psikoedukasi sesi ke 6

dia membaca sekencang kencangnya materi tentang terapi


farmakologi untuk psikologi. Tampaknya ia yakin akan efikasi
dari pengobatan olanzapine, dan dia berhenti meminta
dokter untuk meresepkannya paroxetine. Dia pun
melanjutkan tulisan di diary yang ia punya dan mengontrol
hidupnya sehari hari sebagai sebuah bagian dari psikoterapi,
meksipun dia merasa ia masih depresi.
Pada psikoedukasi sesi ke 6

dia membaca dengan keras materi tentang patologi dan penelitian terbaru
mengenai gangguan bipolar. Dia pun sadar akan mekanisme biologi dari suatu
perubahan mood yang cepat. Selama sesi ini, pemahamannya mengenai
gangguan bipolar dan moodnya dinilai lagi menggunakan skala ISS. Dia
menjawab :
- 33,3% pertanyaan dengan benar mengenai gangguan bipolar
- 100% mengenai gejala
- 100% mengenai terapi
- 100% mengenai patogenesis.
ISS mengindikasikan bahwa mood nya sekarang berada di fase
manik/hipomanik (tabel 1). Namun tidak ada perbedaan pendapat yang
ditemukan antara keadaan mood berdasarkan ISS dan persepsi subjektif yang
ia alami.
KESIMPULAN
Program psikoedukasi memperbaiki pemahaman dia akan gangguan bipolar dan
persepsinya mengenai keadaan mood. Hasilnya, dia lebih mampu berkomunikasi
baik dengan keluarganya dan staf medis, serta kualitas hidupnya semakin
meningkat.
Pemahaman dirinya secara umum mengenai penyakit tidak secara signifikan
berubah setelah psikoedukasi, yang mana dapat dijelaskan karena dia memang
sudah memahami secara umum mengenai penyakitnya sebelum diterapi dengan
psikoedukasi.
ISS mengindikasikan bahwa moodnya berdasarkan ISS adalah masuk fase
campuran pada saat kunjungan pertama dan menjadi fase manik/hipomanik saat
kunjungan terakhir. Saat permulaan psikoedukasi, terdapat ketidak sesuaian
antara skoring mood yang ia miliki berdasarkan ISS dengan persepsi subjektif
dirinya, mungkin karena dia memang tidak mengerti tentang keadaan campuran.
Program psikoedukasi individu sederhana mungkin bermanfaat dan layak
digunakan pada keadaan klinis untuk menterapi pasien dengan gangguan bipolar
tipe II.

Anda mungkin juga menyukai