Anda di halaman 1dari 64

SEPSIS

Disusun oleh:
Muhammad Rifan Hidayat – 130100058
Andro Winardo Sinaga – 130100015
Adibah Binti Abd Latif – 130100365
Ida Sharina Binti Razali – 130100433
Febrina Setiawan – 120100229
Luthfi Mahfuzh – 130100152
Aprilia Prafita S. R. – 120100137
Sepsis
Definisi

Sepsis adalah sindroma respon inflamasi sistemik (systemic


inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba
yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu
tubuh yang abnormal (>38oC atau <36oC); takikardi; asidosis
metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik
terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan
jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh
infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia.
Septikemia (nama lain untuk blood poisoning) mengacu pada
infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya terbatas pada
darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk
organ-organ.
Epidemiologi

 Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama


kematian di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian
pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit
perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama
tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab
yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat
kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus
(240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per
tahun di Amerika Serikat.
 Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di
Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan
dengan sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar
kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan
pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien
rawat inap tersebut.
Etiologi
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang
paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan
panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
 Infeksi paru-paru (pneumonia)
 Flu (influenza)
 Appendiksitis
 Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
 Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
 Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
 Infeksi pasca operasi
 Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis

Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.
Patofisiologi Sepsis

Toksin akan direspon oleh sitokin yang mengaktivasi respon


imun. Pada fase awal tumor necrosis factor (TNF) α,
Interleukin -1, Interleukin -6, Interleukin -8 dan platelet
agregating factor (PAF) berperan dalam proses terjadinya
respon imun sistemik.
• Toksin akan direspon oleh sitokin yang mengaktivasi respon imun.
Pada fase awal tumor necrosis factor (TNF) α, Interleukin -1,
Interleukin -6, Interleukin -8 dan platelet agregating factor (PAF)
berperan dalam proses terjadinya respon imun sistemik.
• Interleukin-6 dan granulosite colony stimulating factor (G-CSF)
mulai berperan dalam memproduksi immunoglobulin sel B aktif,
differensiasi sel T, sintesis C-Reactive Protein (CRP).
• Reaksi tubuh (host) terhadap infeksi tergantung pada kombinasi
yang kompleks dari imunitas adaptif. Imunitas adaptif bergantung
pada sebagian besar reseptor antigen spesifik yang ada pada
memori patogen yang sebelumnya ditemui, sedangkan imunitas
bawaan menggambarkan respon host terhadap komponen molekul
tertentu untuk dapat menyerang patogen, hal ini termasuk
lipopolisakarida (LPS) dan peptidoglikan bakteri, serta glikolipid
RNA mikrobakteri.
• Imunitas bawaan mempunyai peran penting dalam menandakan
adanya inisiasi reaksi immuno-inflamasi serta infeksi gram-negatif
(60 % dari kasus sepsis) yang dipicu oleh endotoksin
(lipopolisakarida) dan infeksi gram-positif (40% dari kasus sepsis)
yang terjadi baik akibat produksi eksotoksin atau karena fragmen
membran sel
Manifestasi Klinis

• Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons


inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia,
takipnea, leukositosis)
• berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan
hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah
jantung)
• atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak
yang biru atau putih dingin).
• Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan
gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten
dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan
terapi dapat dimulai secara dini.
Diagnosis
Sesuai konsensus sepsis yang telah disusun oleh ACCP dan SCCM, maka
kriteria diagnosis sepsis dapat diklasifikasikan sesuai dengan tahapan
perkembangannya sebagai berikut :
-Bakteremia : Adanya bakteri dalam darah, yang di buktikan dengan kultur
darah positif
-Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) : Respon tubuh
terhadap inflamasi sistemik, ditandai dengan dua atau lebih keadaan berikut
: - Suhu > 380 C atau < 360 C.
- Takikardi (HR > 90 kali/menit)
- Takipnoe (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg
- Leukosit darah > 12.000/µL, < 4.000/µL atau neutrofil batang > 10%

-Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya adalah kuman

-Sepsis berat (severe sepsis) : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi (tekanan sistolik <90mmHg atau terjadi penurunan
>40mmHg dari keadaan sebelumnya tanpa penyebab yang lain) termasuk
asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran
-Septik syok : Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan
secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ
-Hipotensi : Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan
darah normal pasien
-Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) : Disfungsi dari satu organ atau lebih,
memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostatis

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi :


• mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau hapus gram dari
buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme.
• Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses
dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk
menentukan organisme.
• Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil
ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan.
Klasifikasi Sepsis
Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria
Temperatyr >380C atau > 360C
Laju Nadi > 90x/ menit
SIRS Hiperventilasi dengan laju nafas
> 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL
atau < 4000 sel/ uL
Sepsis SIRS dengan adanya infeksi
(diduga atau sudah terbukti)
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ
Syok septik Sepsis dengan hipotensi
walaupun sudah diberikan
resusitasi yang adekuat
Diagnosis banding

 infeksi seperti toksin,


 salisilat,
 kokain,
 badai tiroid,
 sindrom neuroleptik maligna,
 heat stroke,
 demam sentral.
Tatalaksana Sepsis

 Talak gawat darurat :


 ABC
 Pantau vital sign
 Perbaikan hemodinamik : penurunan tekanan darah
 Cairan koloid dan kristaloid (NaCl) 1-1,5 l dalam waktu 1-2
jam
 Dopamin (Jika tidak membaik dg cairan) vasopressor 5-10
ug/kgBB/menit
 Antibiotik untuk gram positif dan negatif
 Pertahankan kadar glukosa 150mg/dl
Prognosis

Pada sepsis penyebab kematian biasanya dikarenakan


kegagalan organ yang multipel. kegagalan organ ini
bermula dari kerusakan atau Pada awalnya akan terjadi
kelainan dari fungsi sistem respirasi dan kardiovaskular,
sehingga hemodinamik terganggu yang kemudian akan
diikuti disfungsi hepar, renal, gastrointestinal, dan sistem
saraf pusat.
Komplikasi

 Kardiovaskular
 Respiratori
 Kolaps alveolar, perdarahan, edema
 Koagulasi
 Sepsis-associated encephalopathy (SAE)
Klasifikasi Pneumonia
Klasifikasi Keterangan

Pneumonia Komunitas (PK) Sporadis, muda atau tua, didapat


sebelum adanya perawatan dari
rumah sakit
Pneumonia nosokomial (PN) Didapat dengan didahului
perawatan di rumah sakit

Pneumonia pada gangguan imun Pada pasien keganasan, HIV/AIDS

Pneumonia aspirasi Sering pada pasien alkoholik dan


lanjut
usia
Epidemiologi
 Penyakit infeksi traktus respiratorius bagian bawah masih menjadi penyebab
kematian yang tinggi di dunia, yaitu pada urutan ke-4 dengan jumlah kematian 3,1
juta orang pada tahun 2012.

 menurut provinsi, Riskesdas 2007 dan 2013.3 Terlihat bahwa sebagian besar provinsi
mengalami penurunan period prevalence pneumonia pada tahun 2013 dibandingkan
tahun 2007. Terdapat 11 provinsi (33,3) yang mengalami kenaikan period
prevalence pneumonia pada tahun 2013.
 Menurut data WHO, jumlah anak balita dengan gejala
infeksi traktus respiratorius akut yang dibawa ke
institusi kesehatan adalah 75,3 % di Indonesia pada
tahun 2012.
 Sesuai dengan hasil Riskesdas 2013, terdapat 571,541
balita di Indonesia yang terdiagnosis pneumonia, dengan
55,932 (0,1 %) balita berasal dari Jawa Tengah. Jumlah
balita yang mengalami kematian karena pneumonia
pada tahun 2013 di Indonesia adalah 6774 dengan 67
balita (0,01 %) berasal dari Jawa Tengah. Case Fatality
Rate pneumonia pada balita di Indonesia adalah 1,19 %.
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas
yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram
positif, sedangkan pneumonia rumah sakit banyak disebabkan
gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia ditemukan
dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri gram
negatif.
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat
dan nosokomial:
 Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia,
Mycoplasma pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella
pneumophila, Chlamydia pneumonia, anaerob oral, adenovirus,
influenza tipe A dan B.
 Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, anaerob oral.
Patofisiologi

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu :


• keaadan (imunitas) pasien,
• mikroorganisme yang menyerang pasien
• lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:


-Inokulasi langsung;
-Penyebaran melalui darah;
-Inhalasi bahan aerosol, dan
-Kolonosiasi di permukaan mukosa.
• Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli
disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi.
• Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses
fagositosis.
• Pada waktu terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka
akan nampak empat zona (Gambar 3) pada daerah pasitik
parasitik terset yaitu :
• Zona luar (edama): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan
edema;
• Zona permulaan konsolidasi (red hepatization): terdiri dari PMN
dan beberapa eksudasi sel darah merah;
• Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat
terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak;
• Zona resolusi E: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah :
• demam,
• menggigil,
• berkeringat,
• batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan
sputum berlendir, purulen, atau bercak darah),
• sakit dada karena pleuritis dan sesak.
• Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding
dada bagian bawah saat pernafas,
• takipneu,
• kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
• perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau
terdapat cairan pleura,
• ronki,
• suara pernafasan bronkial,
• pleural friction rub.
Diagnosis
Adanya 2 gejala atau lebih gejala di bawah ini:
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak/purulen
• Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
• Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pneumonia:

• Radiologi
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral)
merupakan pemeriksaan penunjang utama (gold standard)
untuk menegakkan diagnosis pneumonia.
• Laboratorium
Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 -
40.000 /ul, Leukosit polimorfonuklear dengan banyak
bentuk.
• Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan
kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia.
• AGDA
Ditemukan hipoksemia sedang atau berat.
Diagnosis Banding
 Tuberkulosis Paru (TB),
 Atelektasis
 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD),
 Bronkitis
 Asma bronkial
Tatalaksana Pneumoni
 Prinsipnya:
 Pengobatan kausal dg antibiotik
 Penisilin, ampisilin, kloramfenikol
 Aminoglikosida
 Makrolid ( roksitromisin, klaritromisin, azitromisin)
P. atipikal
 Sevotaksim dan amikasin (untuk HAP)
 tindakan suportif
 Resusitasi IV
 Terapi Oksigen
 Koreksi keseimbangan asam basa
 Pengobatan simptomatik
 Nyeri analgetik
 Demam antipiretik
Prognosis
 Secara umum, angka kematian pneumonia
oleh pneumokokkus adalah sebesar 5%, namun
dapat meningkat pada lanjut usia dengan
kondisi yang buruk.
 Pneumonia dengan influenza di Amerika
Serikat merupakan penyebab kematian
terbesar ke-6 dengan kejadian sebesar 59%.
Sebagian besar pada lanjut usia, yaitu sebesar
89%.
 Mortalitas pasien PK yang dirawat di ICU
adalah sebesar 20%.
Komplikasi
 Sepsis
 Abses Paru
 Efusi pleura
 Kesulitan bernapas
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Definisi

 Diseminated intravascular coaguation (DIC) merupakan


suatu sindroma dimana homeostatik normal dalam
mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi
keadaan yang patologik.
 Aktivasi koagulasi terjadi secara berlebihan sehingga
terbentuk sumbatan pada mikrovaskular secara luas, hal
ini mempengaruhi suplai darah ke organ, sehingga
terjadi kekacauan metabolik dan berkontribusi
terjadinya kegagalan organ multipel. Pada saat yang
bersamaan itu pula terjadi koagulopati konsumtif
sehingga mudah perdarahan hebat.
Epidemiologi

Kondisi ini lebih terjadi sebagai respon


terhadap factor lain dibandingkan sebagai
kondisi primer. Tidak ditemukan factor
predisposisi yang berhubungan dengan umur,
jenis kelamin, ataupun ras.
Etiologi
Berbagai keadaan patologis lainnya yang memiliki risiko untuk
menimbulkan sindroma DIC baik yang akut maupun kronik
diantaranya:
Akut =
 Bakterial (gram-negatif pada sepsis, infeksi gram positif,
ricketsia)
 Virus (HIV, cytomegalovirus, varicella-zooster virus, hepatitis
virus)
 Fungi (histoplasma)
 Parasit (malaria)
 Maligna
 Hematologi (acute myelocytic leukimia)
 Metastasis (musin-sekresi adenokarsinoma)
 Komplikasi obsterik
 Terlepasnya jaringan plasenta
 Emboli cairan amnion
 Trauma
 Luka bakar
 Kecelakaan kendaraan bermotor
 Keracunan ular berbisa
 Transfusi
 Reaksi hemolitik

 Kronis =
 Malignansi
o Tumor solid
o Leukimia
 Obstetrik
o Retained dead fetus syndrome
o Retained products of conception
 Hematologi
o Myeloproliferative syndrome
o Vaskular
o Rheumatoid arthritis
o Raymaud disease
 Kardiovaskular
 Infark miokard
 Inflamasi
o Kolitis ulseratif
o Crohn disease
o Sarkoidosis DIC lokal
o Aneurisma aorta
o Hemangioma yang besar (Kasabach-Merritt syndrome)
o Penolakan transplantasi ginjal
Patofisiologi

Secara garis besar patogenesis DIC meliputi


disregulasi berbagai mekanisme homeostatik
secera serentak meliputi:

• Pengaktifan sistem koagulasi berlebihan


• Hambatan sistem inhibitor koagulasi
• Hambatan fibrinolisis
Manifestasi Klinis
DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor
jaringan) memasuki sirkulasi pada jangka waktu yang singkat
(beberapa jam hingga beberapa hari), sangat besar kemampuan
tubuh untuk mengisi faktor koagulasi dan predisposisi pasien
terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia, trauma
jaringan luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau
terlepasnya jaringan plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita
dengan hipotensi atau syok oleh berbagai sebab (misalnya pada
tindakan operasi, stroke luas, atau serangan jantung.

DIC kronik biasanya berkembang secara perlahan dalam waktu


berminggu-minggu hingga berbulan-bulan dengan manifestasi klinik
lebih bersifat trombotik. DIC kronik sring terjadi pada penyakit
kanker (sindroma trousseau), aneurisme aorta, dan penyakit
inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker, faktor
resiko yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan
nekrosis pada tumor. Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penederita
kanker jenis adenokarsinoma paru, payudara, prostat atau
kolorektal.
Diagnosis
• Diagnosis DIC ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
dan temuan laboratoriumnya. Berdasar patogenesisnya
gambaran klinik DIC dapat terjadi trombosis, perdarahan,
atau keduanya sekaligus sesuai dengan etiologi yang
mendasarinya. Namun, sebagian besar ditandai dengan
timbulnya tromboemboli.
• Biasanya gejala yang timbul baru bisa dilihat apabila
telah mengalami disfungsi organ, seperti ARDS (acute
respiratory distress syndrome), gagal ginjal akut,
disfungsi serebral, gagal hati, dan lain-lain
• Tidak ada pemeriksaan laboratorium tunggal yang spesifik
dan sensitif untuk menegakkan DIC, disamping harus ada
kondisi klinik yang berhubungan dengan DIC, seperti
sepsis, malignansi, trauma, luka bakar dan lain-lain, ISTH
mengajukan model sistem skor diagnostik dari tes
koagulasi yang dilakukan secara luas. Tes tersebut
meliputi: prothrombin time (PT) atau Activated Partial
Thromboplastin Time (APTT), hitung trombosit, kadar
fibrinogen, dan kadar FDP atau D-dimer.
Bila didapatkan skor ≥ 5 dan dianjurkan menilai skor
setiap hari. Jika ≤5 maka diduga non-overt DIC, skor harus
diulang dlam waktu 1-2 hari. Pada sistem skor yang curiga
non-overt DIC perlu ditambah pemeriksaan koagulasi
spesifik seperti kompleks trombin-antitrombin (TATc),
protein C, antitrombin.
Klasifikasi DIC
• DIC akut (overt DIC), adalah kondisi dimana
pembuluh darah dan darah serta komponennya
tidak dapat mengkompensasi atau mengembalikan
homeostasis dalam merespon injury. Ditandai
dengan abnormalitas dari parameter koagulasi.
Akibatnya terjadi trombosis dan/atau perdarahan
yang berujung kegagalan organ multipel.
• DIC kronik (non-overt DIC), adalah kondisi klinik
dari kerusakan pembuluh darah yang memperberat
sistem koagulasi. Namun respon tubuh masih
dapat menjaga agar tidak terjadi pengaktifan lebih
lanjut dari sistem hemostasis dan inflamasi.
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding DIC adalah;
 Dysfibrinogenemia
 Hemolytic-Uremic Syndrome
 Heparin-Induced Thrombocytopenia
 Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) in
Emergency Medicine
 Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP)
Tatalaksana DIC
 Penghilangan faktor pencetus
 Tindakan pendukung seperti oksigen suplemen dan
cairan IV untuk mempertahankan tekanan darah
 Terapi heparin : heparin dapat diberikan 200 U/kg
BB IV tiap 4-6 jam
 Terapi pengganti : darah atau PRC diberikan untuk
mengganti darah yang keluar, tranfsue trombosit, dan
plasma beku segar untuk mengontrol pendarahan
 Obat penghambat fibrinolitik (amicar) yang memblok
akumulasi produk degradasi fibrin dan harus diberikan
setelah terapi heparin.
 Dapat diberikan plasma yang mengadung faktor VIII, sel
darah merah, dan trombosit
Komplikasi DIC

 Gagal ginjal akut


 Perubahan status mental
 Disfungsi pernapasan
 Disfungsi hati
 Syok
Status Orang Sakit

 Nama : Bujur Br. Sembiring


 Umur : 63tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Alamat : Jl. Bunga Rampai No. 195
 No. MR : 07.89.34
 Tanggal Masuk : 9 Maret 2019
Anamnesa

 Keluhan utama: Batuk


 Telaah:
 Batuk dijumpai sejak kira-kira 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit, terjadi secara terus menerus, dan tidak
muncul pada waktu-waktu tertentu. Batuk disertai
dengan adanya dahak yang keluar setiap kali pasien
batuk, dahak berwarna kuning pucat dan kental.
Keluhan batuk berdarah tidak dijumpai. Riwayat
penggunaan obat batuk tidak dijumpai. Riwayat
penggunaan OAT tidak dijumpai.
 Demam dijumpai sejak kira-kira 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit, demam dirasakan pasien cukup
tinggi hingga membuat pasien menggigil, demam
turun dengan pemberian obat penurun panas.
Riwayat demam sebelumnya tidak dijumpai.
 Sesak nafas dijumpai sejak kira-kira 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit dan memberat dalam
kira-kira 3 hari. Sesak nafas tidak berhubungan
dengan perubahan posisi atau pun berhubungan
dengan cuaca. Sesak nafas dipengaruhi oleh
aktivitas, sesak nafas juga dirasakan saat pasien
beristirahat. Riwayat sesak nafas tidak dijumpai.
Riwayat alergi tidak dijumpai.
 Nafas berbunyi dijumpai sejak kira-kira 1-2 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Nafas berbunyi
dijumpai dengan suara seperti mendecit, dengan
frekuensi cukup sering, namun tidak terjadi secara
terus menerus. Riwayat nafas berbunyi sebelumnya
tidak dijumpai.
 Nyeri dada tidak dijumpai. Riwayat nyeri dada
dijumpai kira-kira setahun sebelum masuk rumah
sakit, bersifat hilang timbul, dirasakan seperti
tertusuk-tusuk dengan durasi ±10 menit, tidak
menjalar, hilang ketika pasien beristirahat. Riwayat
jantung berdebar tidak dijumpai. Riwayat kaki
bengkak tidak dijumpai.
 Keluhan mual muntah tidak dijumpai. Keluhan sesak
nafas tidak dijumpai. Keluhan gusi berdarah tidak
dijumpai. Keluhan mimisan tidak dijumpai.
 BAB dalam batas normal. BAK dalam batas normal.
 Riwayat hipertensi dijumpai dengan TD sistol
tertinggi 180 mmHg, namun pasien tidak rutin
minum obat. Pasien lupa nama obat-obatan yang
diberikan untuk hipertensi dan pasien tidak
membawa obat-obatan untuk hipertensi pasien ke
rumah sakit.
 Riwayat penyakit DM tidak dijumpai. Riwayat
merokok tidak dijumpai.
Anamnesa Organ

 Jantung
 Sesak nafas (+)
 Angina pektoris (+)
 Saluran pernafasan
 Batuk-batuk (+)
 Dahak (+)
 Nafas berbunyi
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum
 Sens : CM
 TD : 160/80 mmHg
 HR : 125 x/i
 RR : 24 x/i
 T : 36.20C
 Keadaan gizi
 TB : 155 cm
 BB : 57 kg
 BW : 103%
 Kepala  Dalam batas normal
 Dalam batas normal  Pinggang
 Leher  Dalam batas normal
 Dalam batas normal  Inguinal
 Thorax depan  Dalam batas normal
 Batas kiri jantung: LMCS ICS  Genitalia luar
IV 1 cm lateral
 Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi; sp: bronkial; st:
mengi (+/+), ronki (+/+)  RT

 Thorax belakang  Tidak dilakukan pemeriksaan

 Auskultasi; sp: bronkial; st:  Anggota gerak


mengi (+/+), ronki (+/+)  Dalam batas normal
 Abdomen
Pemeriksaan Lab Rutin
Darah Kemih
Hb : 7,4 g% Warna : kemerahan
Eritrosit : 2,5x106 /mm3 Protein : +2
Leukosit : 9,14 x103 /mm3 Reduksi : -
Trombosit : 380 x103 /mm3 Bilirubin : -
Ht : 21,5% Urobilinogen : Normal
Hitung jenis Sedimen
Eosinofil : 2,2% Eritrosit 150-200/lpb
Basofil : 0,1% Leukosit : 100-120/lpb
Neutrofil absolut : 5,96/µL Silinder : -

Neutrofil segmen : 65,2% Epitel : 2-3

Limfosit : 17%
Monosit : 15,5%
Na/K/Cl : 129/4,73/102 mmol/L
Diagnosa Banding

 Pneumonia + susp. sepsis ec. pneumonia + CHF fc. III


ec HHD
 TB paru + Pseudosepsis + ADHF
 PPOK eksaserbasi berat + miokard infark
Diagnosis Kerja

 Pneumonia + susp. sepsis ec. pneumonia + CHF fc. III


Terapi
 Tirah baring
 Diet MB
 IVFD RL 20 gtt/i makro
 Inj. Ceftriaxone 2 g/12 jam
 Inj. Ciprofloxacin 400 mg/24 jam
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
 Inj. Metilprednisolon 62.5 mg/8 jam
 Inj. Lovenox 60 mg/24 jam
 Inj. Furosemid 40 mg/6 jam
 Drip Paracetamol 1000 mg/8 jam
 Nebul Combivent 1 vial/8 jam
 Amlodipin 1x10 mg
Penjajakan

 Cek darah rutin /24 jam


 Foto thorax
 Cek sputum
 BTA
 EKG
 ECG
Follow Up 10/03/19
 Batuk, sesak nafas, demam  AGDA:

 Sens: CM  pH/pCO2/pO2/HCO3/TCO2/BE/satO2:

 KU: Lemah 7,38/40/101/23/26,1/-1/99

 TD: 160/80 mmHg  Procalcitonin: 13,42 ng/mL

 HR: 125 x/i Diagnosis

 RR: 28 x/i  Pneumonia dd TB paru


 Susp. Sepsis ec pneumonia
 T: 38,7oC
 PPOK eksaserbasi akut
Hasil Lab:  Hipertensi stg II
 Trombositopenia ec consumptive
 ur/cr: 53,7/1,1 coagulopathy

 Na/K/Cl: 129/4,73/102
Terapi:
 Tirah baring
 Diet MB
 Oksigen 2-4 L via n.c
 IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit
 Nebule Ventolin 1 amp/8 jam
 Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
 Amlodipin 1x10 mg
 Paracetamol tab 3x500 mg

Rencana:
• Cek darah rutin ulang
• Pemeriksaan PT,TT, aPTT, fibrinogen, dan D-dimer
• Konsul kardiologi
Follow Up 11/03/19
 Sesak nafas berkurang, batuk (+), mg/dL
demam (+)
 D-dimer:>4000 ng/mL
 Sens: CM
 TD:110/70 mmHg Diagnosis
 HR: 130 x/i
 Sepsis ec pneumonia
 RR: 24 x/i
 PPOK eksaserbasi berat
o
 T: 37,8 C
 Hipertensi stg II
Hasil lab:  Trombositopenia ec consumptive
coagulopathy
 PT pasien/kontrol: 12,5/13,4 detik
 CHF Fc III ec HHD
 INR: 0,85

 APTT pasien/kontrol: 32,4/29,4 detik

 TT pasien/kontrol: 19,2/19,6 detik

 Fibrinogen pasien/kontrol: 261/223


Terapi
 Sama dengan sebelumnya
Tambahan:
 Oksigen oksigen 2-4 L via n.c
 IVFD NaCl 0,9% + NTG 1 amp 20 gtt/menit
 Drips Ciprofloxacin 400 mg/24 jam
 Inj. Furosemide 40 mg/6 jam
 Inj. Metilprednisolon 125 mg/8 jam
 Spironolakton 100 mg
 Valsartan 2x80 mg
 Clopidogrel 1x75 mg
 Amlodipin 1x10 mg

Rencana:
 Echocardiography
 Konsul divisi HOM
 Pantau urine output dan TD
Follow Up 12/03/19

 Batuk, sesak, perdarahan spontan  -Tampak ada LVH konsentrik


(-), lebam (-)  Kesimpulan: Hypertensive heart
failure
 Sens: CM

 KU: Lemah Diagnosis:


 Sepsis ec pneumonia
 TD: 130/80 mmHg  PPOK eksaserbasi akut
 Hipertensi stg II
 HR: 92 x/i  DIC
 CHF Fc III ec HHD
 RR: 24 x/i
 T: 36,1oC Terapi:
 Sama dengan sebelumnya
 Urine output: 1200/12 jam (+) Inj. Lovenox 0,6 mL/sc /24 jam
Rencana:
Hasil Echocardiography: - Cek ulang D-dimer
 -Katup-katup normal
 -Fungsi sistolik LV normal,
- Periksa SGOT, SGPT
fungsi diastolik LV tergangggu
DISKUSI STATUS Pasien
Teori-Anamnesis • Demam dialami pasien sejak kira-kira 1
minggu sebelum masuk rumah sakit, demam
dirasakan pasien cukup tinggi hingga
 Anamnesis dan pemeriksaan
membuat pasien menggigil, demam turun
fisik merupakan hal yang dengan pemberian obat penurun panas.
Riwayat demam sebelumnya tidak dijumpai.
sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan • Batuk dijumpai sejak kira-kira 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit, terjadi secara
dugaan sepsis. Riwayat terus menerus, dan tidak muncul pada
penyakit sebelumnya waktu-waktu tertentu. Batuk disertai dengan
adanya dahak yang keluar setiap kali pasien
merupakan hal penting karena batuk, dahak berwarna kuning pucat dan
dapat diketahui faktor resiko. kental.
• Nafas berbunyi dijumpai sejak kira-kira 1-2
minggu sebelum masuk rumah sakit, namun
pasien menyangkal adanya sesak nafas. Nafas
berbunyi dijumpai dengan suara seperti
mendecit, dengan frekuensi cukup sering,
namun tidak terjadi secara terus menerus.
Riwayat nafas berbunyi sebelumnya tidak
dijumpai.
• Riwayat hipertensi dijumpai dengan TD sistol
tertinggi 180 mmHg, namun pasien tidak
rutin minum obat.
Teori-Pemeriksaan Fisik Pasien

 Sensorium : Compos Mentis


 Pemeriksaan fisik meliputi
pemeriksaan tanda vital  Tekanan Darah : 160/80 mmHg

untuk melihat ada tidaknya  Nadi : 125 kali/menit


 Pernafasan : 24
sepsis, pemeriksaan
kali/menit
sistematik organ untuk  Temperatur : 38.7oC
mencari komplikasi atau et  Thorax
causa penyakit yang lain.  Perkusi : Sonor memendek
 Saluran Pernapasan
 Batuk (+), Dahak (+), Mengi (+)
 Ektremitas Inferior
 Edema (+)
Teori-Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium menunjang Pasien
untuk diagnosis Penyakit Ginjal Kronis.
 Hb : 11.4 g%
 Darah Rutin
 Eritrosit : 3.7x106
 Elektrolit /mm3
 Urinalisa  Leukosit : 4.97x103
 Pengenalan dini dan teliti dari tanda
/mm3
dan gejala sepsis penting dalam  Trombosit : 93x103
penegakkan diagnosis pasien disamping /mm3
faktor resiko seperti umur, jenis
kelamin, ras, status imunocompromise  Ht : 33.6%
dan pemakaian alat-alat invasif atau
 LED :-
kondisi lain yang dapat menyebabkan
kolonisasi bakteri. Demam adalah salah  Hitung jenis
satu tanda infeksi walaupun hipotermia
dapat terjadi pada pasien-pasien
tertentu. Tanda-tanda non spesifik  Eosinofil : 0%
lainnya seperti takipneu dan hipotensi  Basofil : 2.2%
juga harus di curigai serta dapat di
lengkapi dengan pemeriksaan  Neutrofil absolut :
penunnjang seperti x-ray, CT scan, atau 3.17x103/µL
USG
 Neutrofil segmen: 63.8%
 Tujuan utama dari pemeriksaan
penunjang adalah untuk menegakkan
 Limfosit : 29.2%
diagnosis secara cepat dan aman,  Monosit : 4.8%
oleh karena itu kombinasi dari hasil
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan  Na/K/Cl
hematologi dan biokimia. :140/5.17/106 mmol/L
Teori- Penatalaksanaan Pasien

 Tatalaksana yang diberi ke


 Tatalaksana dari sepsis menggunakan pasien ini meliputi;

protokol yang dikeluarkan oleh SCCM  Tirah baring


 Diet MB
dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis
 Oksigen 2-4 L via n.c
Guidelines”. Surviving Sepsis
 IVFD NaCl 0,9% 10
Guidelines pertama kali dipublikasi gtt/menit

pada tahun 2004, dengan revisi pada  Nebule Ventolin 1 amp/8


jam
tahun 2008 dan 2012. Komponen dasar
 Inj. Ceftriaxone 2gr /12
dari penanganan sepsis dan syok septik jam
 Inj. Ciprofloxacin
adalah resusitasi awal, vasopressor/ 400mg/24 jam
inotropik, dukungan hemodinamik,  Amlodipin 1x10 mg
pemberian antibiotik awal, kontrol  Paracetamol tab 3x500 mg

sumber infeksi, diagnosis (kultur dan  Rencana:


 Cek darah rutin ulang
pemeriksaan radiologi), tata laksana
 Pemeriksaan PT,TT, aPTT,
suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) fibrinogen, dan D-dimer
dan pencegahan infeksi  Konsul kardiologi
Kesimpulan
Seorang pasien laki-laki dengan inisial BS , 64
tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan laboratorium didiagnosa
dengan Sepsis ec Pneumonia + DIC.
Penatalaksanaan yang diberikan selama pasien
dirawat yaitu tirah baring, diet MB, IVFD NaCl
0,9% 10 gtt/menit, nabule ventolin 1 amp/8
jam, Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam, Inj.
Ciprofloxacin 400 mg/12 jam, Inj. Furosemide
40mg/6 jam, Inj. Metilprednisolon 125 mg/8
jam, Inj. Lovenox 0,6mg/sc/24 jam.
Spironlakton 100 mg, Valsartan 2x80 mg,
Clopidogrel 1x75 mg, Amlodipin 1x10 mg,
paracetamol tab 3x500 mg. Rencana : cek darah
rutin, AGDA, dan elektrolit ulang.

Anda mungkin juga menyukai