Anda di halaman 1dari 177

SOSIOLOGI HUKUM

PERTEMUAN 1
PEMBUKA MATA KULIAH SOSIOLOGI HUKUM
SAP SOSIOLOGI HUKUM

1. PEMBUKAAN MATA KULIAH


2. SEJARAH PERKEMBANGAN SOSKUM, DEFINISI,LATAR BELAKANG, RUANG
LINGKUP DAN KARAKTERISTIK
3. METODE PENDEKATAN, FUNGSI SOSKUM + FUNGSI HUKUM
4. PARADIGMA SOSKUM (HUKUM SEBAGAI TINGKAH LAKU, HUKUM DAN
KEWENANGAN, KEKUATAN SOSIAL, MANFAAT SOSKUM UNTUK MEMAHAMI
BEKERJANYA HUKUM DI MASYARAKAT)
5. ALIRAN SOSKUM
6. TEORI SOSKUM
7. KETAATAN DAN KESADARAN HUKUM
8. UJIAN TENGAH SEMESTER
9. KEBERADAAN HUKUM + EFEKTIVITAS HUKUM
10. HUKUM DAN MASYARAKAT, SERTA AJARAN YANG MEMPENGARUHI SOSKUM
11. HUBUNGAN NEGARA MODERN DAN SOSKUM
12. HUKUM DAN STRATIFIKASI SOSIAL
13. ARTI SOSIOL DARI HUKUM, PERILAKU SEBAGAI HUKUM, STRUKTUR SOSIAL
14. LEMBAGA HUKUM
15. PENEGAKAN HUKUM + KEPATUHAN HUKUM
Sistematika Ilmu Hukum
Ilmu Tentang Subyek hukum
kaidah yang
menelaah Hak dan Kewajiban
hukum Peristiwa hukum
Ilmu Hukum Ilmu
pengertian Hubungan hukum
Obyek Hukum

Sosiologi Hukum
Ilmu Tentang Antropologi hukum
Kenyataan yang
menyoroti Psikologi hukum
hukum Perbandingan hukum

Sejarah hukum
4
Penjelasan sistematika :
Ilmu Hukum terbagi menjadi Ilmu tentang kaidah yang
menelaah hukum, ilmu pengertian dan ilmu tentang
kenyataan hukum.
Ilmu tentang kaidah yang menelaah hukum dan ilmu
pengertian merupakan bagian dari paradigma
normwetenschap, sedangkan ilmu tentang kenyataan
hukum merupakan bagian dari paradigma
seinwetenschap.
Berdasarkan hal tersebut, maka sosiologi hukum
merupakan sub-bagian ilmu tentang kenyataan hukum
dan sub-sub bagian dari ilmu hukum. 5
Tentang Sosiologi Hukum.
Permasalahan yang dipelajari dalam sosiologi hukum :
1. Hukum dan sistem sosial masyarakat;
2. Persamaan dan pembedaan sistem-sistem hukum;
3. Sifat sistem hukum yang dualistis;
4. Hukum dan kekuasaan;
5. Hukum dan nilai-nilai sosial budaya;
6. Kepastian hukum dan kesebandingan;
7. Peranan hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat ( a tool of social engineering)
6
Secara teoritis, hukum dikonsepsikan ke dalam
5 (lima) Paradigma konsep hukum, yaitu :
a. Hukum diartikan sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan
yang bersifat kodrati dan berlaku secara universal.
b. Hukum diartikan sebagai norma-norma positif di dalam
sistem perundang-undangan hukum nasional.
c. Hukum diartikan sebagai apa yang diputuskan oleh hakim
inconcreto dan tersistematis sebagai yurisprudensi
d. Hukum diartikan sebagai pola-pola perilaku sosial yang
terlembaga dan eksis sebagai variabel sosial yang empirik.
e. Hukum diartikan sebagai manifestasi makna-makna
simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam
interaksi antar mereka.
Berdasarkan konsep tersebut, maka sosiologi Hukum
terdapat dalam konsep d dan e.
7
RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM

1. Pendekatan Instrumental
Sosiologi hukum mempelajari keteraturan dan berfungsinya hukum agar dapat
berfungsi secara efisien.
2. Pendekatan hukum alam dan kritik pendekatan
positivistik
Penelaahan arti legalitas agar dapat menentukan wibawa moralnya dan menjelaskan
peranan ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keadilan.
3. Pendekatan Paradigmatik
Sosiologi hukum bertugas untuk mempelajari dan mengkritik paradigma yang ada
(kalangan profesi hukum dan norma hukum). Mempelajari kenyataan hukum,
mengidentifikasi perbedaan antara kenyataan dengan paradigma yang berlaku dan
mengajukan rekomendasi untuk mengadakan perubahan pada perilaku atau norma dan
mengajukan paradigma-paradigma baru

8
Sosiologi Hukum mempunyai kegunaan antara lain :
a. Memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap
hukum di dalam konteks sosial;
b. Memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa
terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik
sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk
mengubah masyarakat dan sarana untuk mengatur
interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan
sosial tertentu;
c. Memberikan kemungkinan-kemungkinan serta
kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap
efektivitas hukum di dalam masyarakat.
9
PENGANTAR SOSIOLOGI
HUKUM
PERTEMUAN 2
DEFINISI
Sosiologi Hukum Menurut
1. Soerjono Soekanto : suatu cabang ilmu pengetahuan yang
secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala
sosialnya.
2. Satjipto Raharjo : (Sociology of law) adalah pengetahuan
hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks
sosialnya.
3. R. Otje Salman : Ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara hukum dan gejala sosial lainnya secara
empiris-analitis.
SEJARAH SOSIOLOGI HUKUM
 Metode mempelajari hukum berkembang dari waktu ke waktu.
1. Metode Transendental : Ilmu hukum awalnya buka suatu disiplin ilmu yang
otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Metode Transendental-
spekulatif merupakan suatu metode dimana ilmu hukum tidak memiliki sumber
positif (konkrit), hanya sebatas apa yang tertulis di dalam pikiran dan sanubari
manusia.
Tokoh :
Thomas Aquinas : Hukum sebagai peraturan yang berasal dari akal dan kebaikan
umum
Cicero : Hakikat hukum adalah akal yang benar, sesuai dengan alam, ia dapat
diterapkan dimanapun. Tidak berubah dan abadi, ia menuntut kewajiban melalui
perintah dan mencegah perbuatan yang salah melalui larangan.
2. Metode analitis-Dogmatis (yuridis-dogmatis)/metode normatif: Hukum
mengalami puncak perkembangan, akibat dari kemajuan zaman, muncul respon
berupa suatu tatanan hukum dan berpuncak pada kodifikasi hukum.

Ilmu hukum yang mempunyai paham dogmatis ini pada akhirnya tidak lagi menjadi
suatu hal yang bersifat objektif.

Kemudian pad abad 20, perubahan-perubahan EKOSOSPOL mendorong munculnya


studi sosial terhadap hukum, metode ini menjadi alat lain yang digunakan untuk
melihat hukum dan kebenarannya.

Tokoh : Marc Galanter: menggunakan metode sosiologi untuk mengamati dunia


pengadilan.
Yang diamati adalah proses serta aktivirtas nyata yang terjadi di pengadilan.
Dengan demikian proses peradilan tidak dilihati dari kacamata perundang-
undangan melainkan from the other and of the telescope.
PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
1. HUKUM ALAM DAN SOSIOLOGI HUKUM
Hukum alam merupakan based intelektual dari sosiologi hukum dan merupakan
based dari hukum modern yang semakin berkembang sekarang ini.
Menurut Wolfgang Friedmann the history of natural law is a tale of the search of
mankind for absolute justice and of its failure.

Hukum alam tidak dapat dilihat sebagai norma yang absolut dan tidak berubah, ia
berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya beda
dari masa ke masa.
Keadilan = suatu ideal yang isi konkritnya ditentukan oleh keadaan dan pemikiran
jamannya.
Sumbangsih besar hukum alam terhadap sosiologi hukum terletak pada
pembebasannya dari hukum positif.
 2. Alliran sejarah dan sosiologi hukum
 Aliran sejarah dapat dimasukkan dalam pemikiran yang mendahului
sosiologi hukum, karena penolakannya terhadap nasionalisasi hukum,
dimana kenyataan sejarah suatu bangsa diabaikan.

 Hubungan Hukum dan Social based menurut Friedmann


1. Hukum itu tidak dibuat melainkan ditemukan, hukum bukanlah suatu
institusi sendiri melainkan suatu proses dan perilaku masyarakat itu
sendiri.
2. Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang sederhana
pada masyarakat primitif sampai menjadi hukum yang besar dan
kompleks dimasa sekarang.
3. Hukum itu tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang
universal
3. Pengaruh filsafat hukum
Pemikiran-pemikiran filsafat menjadi pembuka jalan bagi
kelahiran sosiologi hukum.
 Didalam kajian filsafat hukum yang menjadi penyebab
lahirnya sosiologi hukum adalah aliran positivisme.
 Hans Kelsen melalui teori Stufenbau des Recht mengatakan
bahwa Hukum itu bersifat hierarki, hukum tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi
derajatnya.
 Startifikasi yang paling dibawah adalah putusan pengadilan
dan yang paling atas adalah GRUNDNORM (dasar atau social
based dari hukum itu sendiri)
Aliran filsafat hukum yang mendorong
tumbuh dan berkembangnya sosiologi hukum

1. Mazhab Sejarah = Carl Von Savigny, Hukum itu tidak dibuat


akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama
dengan masyarakat.
2. Aliran Utility = Jeremy Bentham = The greatest happinnes
for the greatest number.
3. Aliran Sociological Jurisprudence, Eugen Ehrlich = living
law (hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat)
4. Aliran paragmatic legal realism, Roscoe Pound = law as a
tool of social engineering
Perbedaan sociology of law dan
sociological jurisprudence?
 SOL merupakan cabang dari ilmu sosiologi
 SJ merupakan cabang dari ilmu hukum = ilmu hukum sosiologi

 SJ : mazhab dalam filsafat hukum yang melihat adanya


hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat; (HUKUM
KE MASYARAKAT): NORMATIF
 SOL : cabang dari ilmu sosiologi yang mempelajari pengaruh
masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang
ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum dan
menyelidiki pengaruh hukum terhadap masyarakat.
(MASYARAKAT KE HUKUM) : EMPIRIS
TOKOH BESAR SOSIOLOGI HUKUM

1. Eugen Ehrlich = Living Law


2. Emile Durkheim = hukum sebagai suatu fenomena
sosial
3. Max Weber = sosiologi hukum modern
KARAKTERISTIK SOSIOLOGI HUKUM
deskripsi, penjelasan, pengungkapan dan prediksi

1. Sosiologi hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap


praktik-praktik hukum (termasuk berbagai bidang)
2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan (sebab,
perkembangan, efek dari tingkah laku sosial) suatu praktik
hukum
3. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu
peraturan-peraturan hukum, sehingga mampu memprediksi
sesuatu hukum yang sesuai atau tidak sesuai dengan masyarakat
tertentu.
4. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum
(sosiologi hukum dimaksudkan untuk melihat secara objektif).
METODE PENDEKATAN SOSIOLOGI
HUKUM DAN FUNGSI HUKUM
(PERTEMUAN 3)
PENDEKATAN YURIDIS-NORMATIF

 Pengkajian hukum positif, mengkaji sesuatu persoalan tertentu yang terjadi


serta bagaimana melaksanakan atau menerapkan peraturan-peraturan hukum.
PENDEKATAN YURIDIS-EMPIRIS
(SOSIOLOGI HUKUM)
 Selain pendekatan yuridis normatif dalam pengkajian hukum tersebut, hukum
juga masih mempunyai sisinya yang lain, yaitu hukum dalam kenyataannya di
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
 Hukum dalam kenyataan yang dimaksud, bukan kenyataan dari bentuk pasal-
pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu
dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Jika mempelajari
hukum dalam kenyataannya yang demikian itu, maka harus keluar dari batas-
batas peraturan hukum dan mengamati praktik-praktik dan/atau hukum.
PERBANDINGAN YURIDIS EMPIRIS DENGAN
YURIDIS NORMATIF

 Untuk membedakan pendekatan sosiologi hukum atau pendekatan yuridis empiris


(pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat), dengan pendekatan yuridis
normatif, perlu diuraikan lebih dahulu yang dimaksud pendekatan yuridis empiris
atau ilmu kenyataan hukum dalam masyarakat, antara lain akan dijelaskan sebagai
berikut :
 Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
 Antroplogi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan
bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat
modern.
 Psikologi hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia.
 Sejarah hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa
lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang.
 Perbandingan hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang
ada di dalam suatu negara atau antarnegara.
STUDI PERBANDINGAN YURIDIS-EMPIRIS
DAN YURIDIS-NORMATIF
Perbandingan Yuridis Empiris Yuridis Normatif
Objek Sociological model Jurisprudence model
Fokus Social structure Analisis aturan (rules)
Proses Perilaku (behavior) Logika (logic)
Ilmu Pengetahuan
Pilihan (purpose) Praktis (practical)
(scientific)
Penjelasan Pengambilan
Tujuan (goal)
(explanation) keputusan (decision)
3 KONSEP BERDASARKAN OBJEK KAJIAN
SOSIOLOGI HUKUM DI TABEL SEBELUMNYA
1. Model Kemasyarakatan (Sociological Model)
Model kemasyarakatan adalah bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di
dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dimaksud mempunyai beberapa istilah
yang sering di gunakan dalam kajian sosiologi, yaitu (1) interaksi sosial, (2)
sistem sosial, (3) perubahan sosial. Hal itu akan dijelaskan sebagai berikut.

Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah istilah yang dikenal oleh para ahli sosiologi secara umum
sebagai aspek inti bagi berlangsungnya kehidupan bersama. Interaksi sosial
berarti suati kehidupan bersama yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu
masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perkembangan.
Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan
sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorang, antara
kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia.
Sistem Sosial
Sistem sosial dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan elemen atau
bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain, sehingga terbentuk satu
kesatuan atau kesinambungan. Kesinambungan ini senantiasa harus dijaga dan
dipelihara demi menjaga keutuhan sistem. Apabila satu bagian sistem tidak
fungsional terhadap lainnya, sistem tersebut akan rusak dengan sendirinya.

Perubahan Sosial

Perubahan-perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang


telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya
difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu.

Selo Soemarjan mengemukakan seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto :


bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola
perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
2. STRUKTUR SOSIAL

 Struktur sosial adalah suatu jalinan yang secara relatif tetap antara unsur-
unsur sosial. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah sosial,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, kelompol-kelompok sosial dan lapisan-
lapisan sosial.
 Selain itu, sturktur sosial sebagai tujuan pendefinisian dan alat operasional
telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi.
Bahkan, ada sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktus
sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, sehingga
menjadikannya sebagai suatu kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-
teori dalam antroplogi.
Perilaku (Behavior)

 Perilaku, perangai, tabiat, adat istiadat atau yang disebut behavior pada objek
kajian sosiologi hukum di atas, merupakan kenyataan hukum dalam masyarakat,
sehingga terkadang apa yang dicita-citakan oleh masyarakat dalam mewujudkan
kepastian hukum justru tidak sesuai dari apa yang diharapkan. Perangai dimaksud
juga biasa disebut tabiat atau akhlak.
 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi
pekerti atau kelakuan. Akhlak adalah hal ihwal yang melekat dalam jiwa,
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti
oleh manusia. Bila hal ihwal atau tingkah laku itu menimbulkan perbuatan-
perbuatan yang baik lagi terpuji oleh bakal dan syara’, tingkah laku itu dinamakan
akhlak yang baik. Sebaliknya, bila menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk,
tingkah laku itu dinamakan akhlak yang buruk.
 Akhlak atau sistem perilaku dapat diwujudkan melalui sekurang-kurangnya dua
pendekatan , yang antara lain sebagai berikut.
FUNGSI HUKUM SEBAGAI SOSIAL
KONTROL
 Sosial kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik
yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau
bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai-
nilai yang berlaku.

 Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi,


terapi, maupun konsiliasi.
 Standar atau patokan dari pemidanaan adalah
suatu larangan, yang apabila dilanggar akan
mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi
pelanggarnya. Dalam hal ini bila kepentingan-
kepentingan dari suatu kelompok dilanggar,
inisiatif datang dari seluruh warga kelompok (yang
mungkin dikuasakan kepadab pihak tertentu).
 Standar atau patokan pada kompensasi adalah kewajiban, dimana inisiatif
yntuk memperosesnyab ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan
akan meminta ganti rugi, oleh karena pihak lawan melakukan wanprestasi. Di
sini ada pihak yang kalah dan pihak yang menang, seperti halnya dengan
pemidanaan yang sifatnya akusator.
 Berbeda dengan kedua hal di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya
“remedial” artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial) pada keadaan
yang semula. Oleh karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan
siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan yang tidak
menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi, standarnya
adalah normalitas, keserasian, dan kesepadanan yang biasa disebut
keharmonisan.
 Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya
perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang
praktis, antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan
apa yang dalam kenyataan dilakukan. Oleh karena itu fungsi hukum dalam
kelompok yang dimaksud diatas adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial
yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah yang tidak
dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan
eksistensi kelompok itu.
 Suatu kelomopok masyarakat pada suatu tempat tertentu hancur, bercerai-
berai atau punah bukanlah disebabkan hukum gagal difungsikan untuk
melaksanakan tugasnya, melainkan tugas hukum harus dijalankan untuk
menjadi sosial kontrol dan social engineering di dalam kehidupan masyarakat.
HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK
MENGUBAH MASYARAKAT
 Selain sebagai kontrol sosial, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk
mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering. Alat pengubah
masyarakat yang dimaksudkan oleh Roscoe Pound, dianalogikan sebagai suatu
proses mekanik. Hal itu terlihat dengan adanya perkembangan industri dan
transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai dan norma baru. Peran
“pengubah” tersebut dipegang oleh hakim melalui “interpretasi” dalam
mengadili kasus yang dihadapinya secara “seimbang” (balance).
Interpretasi-interpretasi tersebut dapat
dilakukan dengan memperhatikan beberapa
hal berikut ini :
Studi tentang aspek sosial yang aktual dari lembaga hukum;

Tujuan dari pembuat peraturan hukum yang efektif;

Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum;

Studi tentang metodologi hukum;


Sejarah hukum;

Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi darin kasus-kasu individual yang
pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum
yang abstrak.
 Roscoe Pound mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai
agen dalam perubahan sosial atau yang disebutnya dengan agent of social
change yang mana hukum memuat prinsip, konsep atau aturan, standar
tingkah laku, doktrin-doktrin, dan etika profesi, serta semua yang dilakoni
oleh “individu” dalam usaha memuaskan kebutuhan dan “kepentingannya”.
Maka pendapatnya dikuatkan oleh Williams James yang menyatatakan bahwa
“di tengah-tengah dunia yang sangat terbatas dengan kebutuhan
(kepentingan) manusia yang selalu berkembang, maka dunia tidak akan dapat
memuaskan kebutuhan (kepentingan) manusia tersbut. “ Di sini terlihat
bahwa James mengisyaratkan “hak” individu yang selalu dituntut untuk
dipenuhi demi terwujudnya suatu kepuasan, tidak akan pernah terwujud
sepenuhnya, dan akan selalu ada pergeseran-pergeseran antara “hak”
individu yang satu dengan “hak” individu yang lainnya.
 Hukum sebagai social engineering itu sendiri berkaitan dengan fungsi dan
keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat,
maka interpretasi analogi Pound mengemukakan “hak” yang bagaimanakah
yang seharusnya diatur oleh hukum, dan “hak-hak” yang bagaimanakah yang
dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Pound
mengemukakan bahwa yang merupakan “hak” itu adalah kepentingan atau
tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskan, dan dibolehkan secara hukum,
sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yang dimaksud
dengan ketertiban umum.
PARADIGMA SOSIOLOGI
HUKUM
PERTEMUAN 4
Paradigma sosiologi hukum adalah pengaruh
timbal balik antara hukum dengan gejala
sosial lainnya, diantaranya sbb :
1. Kelompok-kelompok Sosial  Hukum
 Kelompok-kelompok sosial yang dimaksud adalah suatu aktivitas yang
dilaksanakan oleh dua orang atau lebih yang diatur oelh suatu hukum .sebagai
contoh yayasan masyarakat indonesia baru (YAMIMBA).hukumnya adalah
anggaran Dasar dan anggaran rumah tangga.

2. Lembaga-lembaga Sosial  Hukum


 Lembaga sosial yang di maksud adalah suatu lembaga yang diakui
keberadaanya didalam masyarakat: contohnya Desa, Perkawinan, Waris, dan
Wakaf
3. Stratifikasi  Hukum
Straifikasi dimaksud adalah pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat. Namun,
stratifikasi dimaksud tetap memperhatikan pasa-pasal dalam peraturan
perundang-undangan mengenai persamaan dihadapan hukum seperti pasal 27
UUD 1945, yaitu hukum tidak membeda-bedakan meskipun kenyataan nya ada
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.

4. Kekuasaan dan Kewenangan  Hukum


Kekuasaan dan kewenangan dimaksud diatur oleh hukum.
Ex: Presiden, kekuasaan dan kewenangannya diatur oleh UUD 1945.
5. Interaksi Sosial  Hukum

Hukum berfungsi untuk memperlancar interaksi sosial.

6. Perubahan-perubahan sosial  Hukum

a. Perubahan sosial mempengaruhi perubahan hukum seperti UUD No 1 Tahun 1974.


b. Perubahan hukum menimbulkan perubahan sosial seperti UUD Narkotika tahun 1976 sebagai
perubahan dari ketentuan peninggalan Belanda, dimana bukan hanya pemadat tetapi juga
penanam dan pengedar mendapat juga hukumman yang berat.

7. Masalah Sosial  Hukum


Masalah sosial dimaksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan hukumnya: KUHP dan
Acara hukum Pidana.
HUKUM SEBAGAI TINGKAH LAKU SOSIAL

Pada suatu daerah tertentu misalnya, memiiki kebiasaan unik tersendiri, dimana
itu mungkin saja merupakan hal yang biasa saja bagi masyarakt setempat, tetapi
ketika orang lain yang melihatnya, dianggap sebagai suatu hal yang tidak teratur,
tidak tertib atau bahkan anarkis.
Namun, Bagi Seorang pengamat yang terlatih seperti Sajipto Raharjo dan Ahmad
Ali, memberikan suatu petunjuk yang tegas mengenai adanya suatu sistem teknik
dan sistem yang kompleks.

Misalnya dalam sistem jual-beli atau perekonomian di suatu daerah yang bisa jadi
dilihat caos tadi, dipandang sebagai sebuah tingkah sosial oleh para pengamat
sosiologi hukum.
 Ternyata penduduk memiliki organisasi yang terperinci dalam mengelompokkan
tugas dan dalam pembagian fungsi sosial yang sudah ditentukan lebih
dahulu.kelompok-kelompok kecil melakukan kegiatan-kegiatan secara bersama
untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama, setiap orang sudah mempunyai peran
khusus tertentu,beberapa tingkah laku ang dilakukan secara berulang-ulang, tetapi
tidak dapat diramalkan sebelumnya mengenai terjadinya ketidakseriusan dalam
melakukan suatu pekerjaan. Oleh karena itu dalam setiap tindakan terhadap suatu
dualisme sosiologis, yaitu disatu pihak yang melakukan tukar menukar jasa dan
fungsi saling mengawasi sarana pemenuhan dan kejujuran tindakan pihak lain.

 Dalam sistem ekonomi dan kegiatan-kegiatan lain merupakan tingkah laku sosial
dari penduduk asli yang didasarkan pada suatu tindakan memberi dan menerima
yang telah dinilai secara seksama, secara mental telah dipilih dan seimbang dalam
jangka panjang.
HUKUM DAN KEWENANGAN

 Bila penyelidikan terhadap hukum didalam masyarakat dimulai dari kelompok


kecil, yaitu yang merupakan molekul-molekul dari kehidupan sosial dan peran
mereka sendiri-sendiri.
 Kemudian diajukan suatu tujuan kelompok yang jelas dalam lingkungan yang
stabil, maka dapat dijumpai pengulangan tingkah laku dan hubungan timbal balik
pada anggota masyarakat dalam jumlah yang tinggi sehingga pola hubungan bal
balik antara peran yang satu dengan peran komplemennya dapat diramalkan.
 Akan tetapi keberadaan suatu kelompok dalam suatu keadaan tertentu adalah
sangat singkat.kelompok itu bergerak dalam tahap-tahap kehidupan,melakukan
penampilan ,mengundurkan diri ketepi ,selanjutnya dari sana terjun kejalan-jalan
yang kemudian membentuk kelompok-kelompok baru yang lain.eksisten yang
berlatar belakang masyarakat diperoleh pada tingkatan yang tinggi dalam interaksi
diantara anggota-anggotanya.sifat instrumental teletak pada saling
ketergantungan dari fungsi-fungsi khusus anggota-anggotanya yang di butuhkan
untuk mencapai suatu tujuan yang di cita-citakan bersama.
 Dapat dilihat dari kenyataan diatas bahwa individu adalah suatu unit terkecil
dalam melanjutkan interaksi dengan yang lain ,mula-mula dalam keluarganya
,dan kemudian sebagai anggota keompoksosial yang lain.sumberdari rasa
terimakasihnya mungkin adalah kegiatan kelompok itu sendiri ,atauhal itu
dapat ditemukan dalam cara kelompok itu mempengaruhi atau mengubah
tempat kelompok itu berfunsi ,apabila akibat yang terakhir adalah tujuan dari
ppartisipasi didalam kelompok.bila dilihat dari aspek tingkah laku manusia
,pelimpahan wewenang mencakup komunikasi antara seorang pemimpin
dengan orang lain berdasarkan keputusan ,bahwa orang lain itu akan
bertanggung jawab untuk mencapai suatu bagian dari tujuan yang luas untuk
menjadi tanggung jawab dari pemimpin itu.
HUKUM DAN KEKUATAN-KEKUATAN
SOSIAL
 Didalam masyarakat terdapat kekuatan –kekuatan sosial (Social Forces) yang
dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan ,tujuan tersebut
dapat bermaksud baik dan tidak baik bagi masyarakat.bagi hukum yang
penting untuk diperhatikan adalah penggunaan kekuatan sosial yang
merugikan negara dan masyarakat.
 1. Kekuatan uang
 2. Kekuatan politik
 3. Kekuatan masa
 4. Teknologi baru
MANFAAT SOSIOLOGI HUKUM UNTUK
MEMAHAMI BEKERJANYA HUKUM DIDALAM
MASYARAKAT
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum tersebut di
dalam masyarakat, beberapa fungsi hukum adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Hukum Sebagai Sosial Kontrol Di Dalam Masyarakat;

2. Fungsi Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat;

3. Fungsi Hukum Sebagai Simbol Pengetahuan;

4. Fungsi Hukum Sebagai Instrumen Politik;

5. Fungsi Hukum Sebagai Alat Integrasi;


FUNGSI HUKUM SEBAGAI SOSIAL
KONTROL
 Fungsi hukum sebagai sosial control merupakan aspek yuridis normatif dari
kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut pemberi definisi dari tingkah
laku yang menyimpang, serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan,
perintah-perintah, pemidanaan dan ganti rugi.
 Sebagai alat pengendal sosial, hukum berfungsi untuk menetapkan tingkah
laku yang baik dan tidak baik atau perilaku yang menyimpang dari hukum dan
sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai perilaku yang menyimpang tsb.
 Tingkah laku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang tergantung
dari kontrol sosial masyarakat. Misalnya perbedaan hukuman untuk zina di
Arab dan Indonesia.
Apa itu Kontrol Sosial????

 Control Social adalah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan


proses yang direncanakan dan yang tidak direncanakan , untuk mendidik dan
mengajak warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-
kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat itu sendiri.

 Hukum dalam tatanan sosial bersifat pasif, yaitu hukum menyesuaikann diri
dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, terlaksana atau
tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendali sosial amat ditentukan oleh
faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.
FUNGSI HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK
MENGUBAH MASYARAKAT

 Roscoe Pound mengatakan “Law is a tool of social engineering”


 Perubahan masyarakat itu terjadi bila seseorang atau sekelompok orang
mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga
masyarakat. Pelopor perubahan tersebut, memimpin masyarakat dalam
mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal tersebut langsung
menekan untuk mengubah dan mungkin juga menyebabkan perubahan pada
lembaga lain.
4 FAKTOR MINIMAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
DALAM PENGGUNAAN HUKUM SEBAGAI ALAT
UNTUK MENGUBAH MASYARAKAT
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran
hukum;
2. Melakukan studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan perundang-
undangan serta dampak yang ditimbulkan dari undang-undang itu.
3. Melakukan studi tentang peraturan perundang-undangan yang efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum tentang bagaimana suatu hukum itu muncul
dan bagaimana diterapkan dalam masyarakat.
FUNGSI HUKUM SEBAGAI SIMBOL

 Fungsi hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang
dari suatu perilaku masyarakat tentang hukum.

 Contoh : Seseorang yang mengambil barang milik orang lain dengan maksud
untuk memiliki, dengan cara yang melawan hukum, oleh hukum pidana
disimbolkan sebagai tindakan pencurian.
 Simbol pencurian-pencuri, berarti orang itu memilikin perilaku menyimpang
dalam bentuk pencurian.
FUNGSI HUKUM SEBAGAI ALAT POLITIK

 Fungsi ini dipahami bahwa dalam sistem hukum di Indonesia peraturan


perundang-undangan merupakan produk bersama DPR dengan Pemerintah,
sehingga antara hukum dan politik susah dipisahkan.
FUNGSI HUKUM SEBAGAI ALAT INTEGRASI

 Setiap masyarakat senantiasa mempunyai berbagai kepentingan dari


warganya. Diantara kepentingan itu ada yang sesuai dengan kepentingan lain
dan ada juga yang tidak sesuai, sehingga menyulut konflik.
 Oleh karena itu, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah terjadi
konflik.

Sebelum : Jual-beli dan ada penyerahan barang dan uang


Sesudah : Jual-beli terjadi penyerahan barang tanpa adaa uang
KESIMPULAN

FUNGSI HUKUM ADALAH UNTUK MENGATUR WARGA MASYARAKAT DALAM


BERINTERAKSI DENGAN SESEORANG/KELOMPOK MASYARAKAT LAIN.
ALIRAN
SOSIOLOGI HUKUM
PERTEMUAN 6
1. Mazhab Formalistis

Kaum Positivis

 berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah
serta harus dipisahkan. Beberapa pendapat para ahli : John Austin (1790 –
1859).
 Bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau dari yg memegang kedaulatan. Bahwa hukum adalah
merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir,
dimana perintah dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan
mempunyai kekuasaan.
 Bahwa hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup,
dan oleh karena itu ajarannya dinamakan analytical jurisprudence.
 Analytical Jurisprudence dibagi dua yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan dan
hukum yang disusun oleh Manusia. Hukum yang disusun oleh manusia
dibedakan menjadi dua, yaitu hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak
sebenarnya.
 Hukum yang sebenarnya :
 hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut- pengikutnya dan hukum yg
disusun oleh individu- individu guna melaksanakan hak- hak yg diberikan
kepadanya. Mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan.
 Hukum yang tidak sebenarnya :
 Bukanlah merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, akan
tetapi merupakan peraturan- peraturan yang disusun oleh perkumpulan-
perkumpulan atau badan- badan tertentu.
Hans Kelsen (Teori Murni tentang Hukum)

 Suatu sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggapan dari kaidah- kaidah ,
dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada
kaidah hukum yg lebih tinggi derajatnya. Kaidah yg merupakan puncak dari
sistem pertanggapan dinamakan kaidah dasar atau Grundnorm. Setiap sistem
hukum merupakan Stunfenbau daripada kaidah- kaidah.
 Penamaan teori murni tentang hukum murni mempunyai makna tersendiri
untuk menyatakan bahwa hukum berdiri sendiri terlepas dari aspek- aspek
kemasyarakatan yang lain. Yang bermaksud menunjukkan bagaimana hukum
itu sebenarnya tanpa memberikan penilaian apakah hukum itu cukup adil atau
kurang adil.
2.Mazhab Sejarah dan Kebudayaan
 Hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan
kebudayaan dimana hukum itu timbul. Beberapa pendapat para ahli :

Friedrich Karl Von Savigny Sir Henry Maine


(ahli ilmu sejarah hukum) (Bukunya Ancient Law)

Teorinya : Teorinya :
Hukum merupakan perwujudan dari Perkembangan hukum dari status ke
Kesadaran hukum Kontrak yang sejalan dengan
masyarakat.(volksgeit) Semua hukum perkembangan masyarakat sederhana
berasal dari adat istiadat dan ke masyarakat yang modern dan
kepercayaan bukan dari pembentuk kompleks. Hubungan-
UU. hubungan hukum yang didasarkan
pada status warga- warga masyarakat
yang masih sederhana, berangsur-
angsur akan hilang apabila
masyarakat tadi berkembang menjadi
masyarakat yang modern dan
kompleks.
3. Aliran Utilitarianism

 Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832).


 Teorinya :
 Bahwa manusia bertindak untukk memperbanyak kebahagiaan dan
mengurangi penderitaan. setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman
yang sesuai dengan kejahatan tersebut, dan derita yang dijatuhkan
tidak lebih dari pada apa yang diperlukan untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi
segenap warga masyarakat secara individiual.[5]
 Kelemahannya :
 Setiap manusia tidak mempunyai ukuran yang Sama mengenai keadilan,
kebahagiaan dan penderitaan.
4. Aliran Sociological Jurisprudence
Eugen Ehrlich Roscoe Pound

1. Pembedaan antara hukum positif dengan 1. Hukum harus dilihat/dipandang sebagai suatu
Hukum yang hidup (living law) atau pembedaan lembaga Kemasyarakatan yang berfungsi untuk
antara kaidah- kaidah hukum dengan kaidah- memenuhi kebutuhan- kebutuhan Sosial,
kaidah sosial lainnya. sedangkan tugas dari ilmu hukum yaitu untuk
memperkembangkan suatu kerangka dimana
2. Bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila kebutuhan- kebutuhan Sosial terpenuhi secara
selaras dengan hukum yang ada dalam maksimal.
masyarakat. Pusat perkembangan dari hukum 2. Konsepnya yg terkenal adalah law as a tool of
bukanlah terletak pada Badan-badan legislatif, Social engineering artinya hukum sebagai alat
keputusan- keputusan Badan yudikatif ataupun untuk mewujudkan perubahan- perubahan di
Ilmu hukum, akan tetapi terletak justru bidang sosial.
terletak dalam masyarakat itusendiri. 3. Maknanya saat itu bahwa fungsi hukum adalah
untuk Merubah perilaku (sikap mental) warga
masyarakat Amerika serikat yg rasial dan
diskriminasi.
5. Aliran Realisme Hukum

 Para tokohnya yaitu, Karl Llewellyn, Jerome Franks, Justice Oliver Mendell.
 Teorinya:
 Konsep yang radikal tentang proses peradilan dengan menyatakan bahwa hakim-
hakim tidak hanya menemukan hukum akan tetapi membentuk hukum.
 Seorang hakim harus selalu memilih, dia yang menentukan prinsip-prinsip mana yg
dipakai dan pihak- pihak mana yang akan menang. Keputusan- keputusan hakim
seringkali mendahului penggunaan prinsip- prinsip hukum yg formal. Keputusan-
keputusan pengadilan dan doktrin hukum Selalu dapat diperkembangkan untak
menunjang perkembangan atau hasil- hasil proses hukum. Karl Llewellyn
mengembangkan teori tentang hubungan antara peraturan- peraturan hukum
dengan perubahan- perubahan sosial yg terjadi dalam masyarakat.
 Pendapatnya bahwa tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta dan
rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkan
terjadinya perselisihan.
Menurut Prof. Satjipto Raharjo

1. Aliran Positif : aliran ini hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat
diamati dari luar secara murni, mereka tidak mau sedikitpun memasukkan hal
yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud, niat dsb.
Tokoh : Donald Black : Dalam artikelnya berjudul “The Boundaries of legal
sociology” menyatakan bahwa terjadi kekaburan antara ilmu hukum (science)
dan (policy) dalam sosiologi hukum. Menurut Black semua yang di diskusikan
bukanlah science tapi policy. Black menentang hal tersebut karena keadaan itu
berarti mereka telah memasukkan dan melibatkan aspek-aspek kejiwaan, dan
seseorang sosiolog hukum tidak pantas berbicara mengenai hal tersebut.

Misalnya : mengenai efektivitas hukum


Dalam bukunya sociological justice

“.. A concern with legal effectiveness obscures the difference between science
and policy. How law should operate is question of value, not fact, and since
sociology can only deal with facts, it cannot assess the effectiveness of law or
anything else. A scientific critique of law is illogical and impossiblle, a
contradiction in terms.. The sociology of law could be truly in spirit and method,
unconcerned with policy and uncontaminated isy practical considerations. Law
could be studied as a natural phenomenon. The goal could be a general theory
capable of predicting and explaining legal behaviour of every kind. This could be
done for its own sake and nothing more . Pure scince...”- Donald Black
CARA KERJA SOSIOLOGI HUKUM

1. Hanya berurusan dengan fakta yang dapat diamati, tidak boleh memikirkan
tentang tujuan hukum, maksud, nilai dsb.

2. Hukum adalah apa yang kita lihat ada dan terjadi dilakukan dalam
masyarakat.

3. Tidak boleh masuk lebih jauh dengan melihat hukum bukan sebagai fakta
melainkan suatu subjektivitas
2. Aliran Normatif: hukum itu bukan hanya fakta yang teramati, tetapi juga
institusi nilai.

 Hukum mengandung nilai-nilai dan hukum bekerja untuk mengekspresikan


nilai tersebut dalam masyarakat.
 Akan hilang dasar atau landasan dari kehadiran suatu hukum dalam
masyarakat, apabila hukum itu tidak dapat dilihat sebagai institusi nilai.
 Tokoh : Philip Selznick, Jerome Skolnick, Philippe Nonet dan Charlin
 Mengembangkan Teori “The Berkeley Perspective” : sosiologi hukum harusnya
mempelajari landasan sosial yang ada dalam ideal legalitas.
 Program Berkeley ini menekankan agar sosiologi hukum memikirkan tentang
ide-ide hukum dengan sungguh-sungguh.
 Menurut aliran ini, kajian sosiologis bersifat derivatif dan karena itu tidak
dapat dipisahkan dari berbagai institusi primer, seperti politik hukum dan
ekonomi
PERTEMUAN 9-15
KESADARAN HUKUM DAN
KEPATUHAN HUKUM
PERTEMUAN 10
Kesadaran hukum menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kesadaran
seseorang akan pengetahuan bahwa suatu perilaku tertentu diatur oleh hukum.

Kesadaran hukum pada titik tertentu diharapkan mampu untuk mendorong


seseorang mematuhi dan melaksanakan atau tidak melaksanakan apa yang
dilarang dan atau apa yang diperintahkan oleh hukum. Oleh karena itu,
peningkatan kesadaran hukum merupakan salah satu bagian penting dalam upaya
untuk mewujudkan penegakan hukum.
 Perihal kata atau pengertian kesadaran, di dalam kamus tercantum tidak kurang dari lima
arti, yaitu (Webster dalam Soerjono Soekanto, 1982: 150):
 1. Awareness esp. Of something within oneself; also: the state or fact of being conscious of
an external object, state or fact.
 2. The state of being characterized by sensation, emotion, volition, ans thought; mind.
 3. The totality of conscious states of an individual.
 4. The normal state of conscious life.
 5. The upper level of mental life as contrassed with unconscious processes.

 Jadi kesadaran sebenarnya menunjuk pada interdependensi mental dan interpenetrasi


mental, yang masing-masing berorientasi pada “aku”nya manusia dan pada “kaminya
(Soerjono Soekanto, 1982: 150-151).
BEDA ANTARA KESADARAN HUKUM DAN
PERASAAN HUKUM
 Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta
merta dari masyarakat. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan
dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukannya
melalui penafsiran-penafsiran secara ilmiah (Schmid dalam Soerjono
Soekanto, 1982: 152),
Kesadaran hukum diartikan secara terpisah dalam bahasa yang kata dasarnya
“sadar” tahu dan mengerti, dan secara keseluruhan merupakan mengetahui dan
mengerti tentang hukum,

menurut Ewick dan Silbey:


“Kesadaran Hukum” mengacu ke cara-cara dimana orang-orang memahami
hukum dan intitusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang
memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang.”
 Menurut Soerjono Soekanto : kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan
ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu
penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang
bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1982: 152).
 Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian Kesadaran Hukum.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa : Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa
yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau
perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita
masing-masing terhadap orang lain.

 Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul Scholten
menyatakan bahwa : Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia
tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup
kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht),
antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan.
 Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang
keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau
sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum,
pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada
atau tentang hukum yang diharapkan oleh masyarakat luas.
 Bagi Ewick dan Silbey, “kesadaran hukum” terbentuk dalam tindakan dan karenannya
merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum
adalah persoalan “hukum sebagai perilaku”, dan bukan “hukum sebagai aturan norma atau
asas”

 Membangun kesadaran hukum tidaklah mudah, tidak semua orang memiliki kesadaran
tersebut. Hukum sebagai Fenomena sosial merupakan institusi dan pengendalian masyarakat.
Didalam masyarakat dijumpai berbagai intitusi yang masing-masing diperlukan didalam
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, oleh karena fungsinya demikian masyarakat perlu
akan kehadiran institusi sebagai pemahaman kesadaran hukum.
INDIKATOR KESADARAN HUKUM

 Hukum merupakan konkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam


masyarakat. Suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian
antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut.
 Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti
dengan perubahan hukum atau di lain pihak hukum harus dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut.
Dengan demikian nyatalah bahwa masalah kesadaran hukum sebetulnya
merupakan masalah nilai-nilai. Maka kesadaran hukum adalah konsepsi-
konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasaian antara ketertiban
dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya .
Indikator-indikator dari masalah kesadaran
hukum tersebut adalah (Kutschincky dalam
Soerjono Soekanto, 1982: 159):
 a. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness)
 b. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquaintance)
 c. Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum (legal attitude)
 d. Pola-pola perikelakuan hukum (legal behavior)

Setiap indikator tersebut di atas menunjuk pada tingkat kesadaran hukum


tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertingg
 Zainudin Ali menyimpulkan bahwa masalah kesadaran hukum warga
masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan
hukum tertentu diketahui, dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga
masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan.
 hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang
memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut legal consciousness
atau knowledge and opinion about law.
Hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran hukum
adalah sebagai berikut :

1. Pengetahuan hukum
Bila suatu perundang-undangan telah diundangkan dan diterbitkan menurut
prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-undangan
itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap
mengetahui adanya undang-undang tersebut
2. Pemahaman hukum

Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu belumlah
memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui
pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujuan peraturan
perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya
diatur oleh peraturan perundangan-undangan dimaksud
3. Penaatan hukum

Seorang warga masyarakat menaati hukum karena berbagai sebab.

Sebab-sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut:


a. Takut karena sanksi negatif, apabila melanggar hukum dilanggar
b. Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa
c. Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya
d. Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut
e. Kepentingannya terjamin
4. Pengharapan terhadap hukum

 Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah
mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat
merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta
ketenteraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi
lahiriah dari manusia, akan tetapi juga dari segi batiniah
5. Peningkatan kesadaran hukum

 Peningkatan kesadaran hukum seyogyanya dilakukan melalui penerangan dan


penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Tujuan
utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga masyarakat
memahami hukum-hukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang
sedang dihadapi pada suatu saat. Penerangan dan penyuluhan hukum menjadi
tugas dari kalangan hukum pada umumnya, dan khususnya mereka yang
mungkin secara langsung berhubungan dengan warga masyarakat, yaitu
petugas hukum
Pentingnya kesadaran membangun masyarakat yang sadar akan hukum inilah
yang diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat menjunjung tinggi
intitusi/ aturan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk mendambakan ketaatan
serta ketertiban hukum.
Peran dan fungsi membangun kesadaran hukum dalam masyarakat pada
umumnya melekat pada intitusi sebagai pelengkap masyarakat dapat dilihat
dengan:
1) Stabilitas,
2) Memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam
masyarakat,
3) Memberikan kerangka sosial institusi berwujud norma-norma
Beberapa faktor yang mempengarui masyarakat tidak sadar akan pentingnya
hukum adalah:
1. Adanya ketidak pastian hukum;
2. Peraturan-peraturan bersifat statis;
3. Tidak efisiennya cara-cara masyarakat untuk mempertahankan peraturan
yang berlaku.
Berlawanan dengan faktor-faktor diatas salah satu menjadi fokus pilihan dalam
kajian tentang kesadaran hukum adalah:
1. Penekanan bahwa hukum sebagai otoritas, sangat berkaitan dengan lokasi
dimana suatu tindakan hukum terjadi;
2. Studi tentang kesadaran hukum tidak harus mengistimewakan hukum sebagai
sebuah sumber otoritas atau motivasi untuk tindakan;
3. Studi tentang kesadaran hukum memerlukan observasi, tidak sekedar
permasalahan sosial dan peranan hukum dalam memperbaiki kehidupan
mereka, tetapi juga apa mereka lakukan.
TAHAP-TAHAP KESADARAN HUKUM

 Kesadaran hukum pada masyarakat bukanlah merupakan proses yang sekali


jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi
tahap sebagai berikut:
1. Tahap pengetahuan hukum

 Dalam hal ini, merupakan pengetahuan seseorang berkenaan dengan perilaku


tertentu yang diatur oleh hukum tertulis, yakni tentang apa yang dilarang
atau apa yang dibolehkan
2. Tahap pemahaman hukum

 Yang dimaksud adalah bahwa sejumlah informasi yang dimiliki seseorang


mengenai isi dari aturan hukum (tertulis), yakni mengenai isi, tujuan, dan
manfaat dari peraturan tersebut.
3. Tahap sikap hukum (legal attitude)

 Merupakan suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak hukum


karena adanya penghargaan atau keinsyafan bahwa hukum tersebut
bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini
sudah ada elemen apresiasi terhadap aturan hukum.
4. Tahap Pola Perilaku Hukum

 Yang dimaksud adalah tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum
dalam masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya
dan sejauh mana masyarakat mematuhinya.
Menurut Prof. Soerjono Soekanto, ada 4 indikator yang membentuk kesadaran
hukum yang secara berurutan (tahap demi tahap) yaitu :

1. Pengetahuan hukum; merupakan pengetahuan seseorang berkenaan dengan


perilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis, yakni tentang apa yang dilarang
dan apa yang diperbolehkan.
2. Pemahaman hukum; sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai isi
dari aturan (tertulis), yakni mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan
tersebut.
3. Sikap hukum (legal attitude); merupakan suatu kecenderungan untuk menerima
atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau keinsyafan bahwa hukum
tersebut bermanfaat bagi kehidupaan manusia. Dalam hal ini sudah ada elemen
apresiasi terhadap aturan hukum.
4. Pola perilaku hukum; tentang berlaku atau tidaknya suatu aturan hukum dalam
masyarakat. Jika berlaku suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya itu dan
sejauh mana masyarakat mematuhinya.
 Soerjono Soekanto juga mengemukakan bahwa efektivitas hukum dalam
masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor yaitu faktor hukumnya sendiri, Faktor
penegak hukum, faktor fasilitas, faktor kesadaran hukum masyarakat, dan faktor
budaya hukum
 Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang
membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.
Kesadaran hukum tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan
hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai
nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang
hukum yang diharapkan ada.
KETAATAN HUKUM

Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran hukum
yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang baik adalah
ketidak taatan. Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan sebagai sebab
dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum.
Sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara kesadaran hukum dan
ketaataan hukum maka beberapa literaur yang di ungkap oleh beberapa pakar
mengenai ketaatan hukum bersumber pada kesadaran hukum, hal tersebut
tercermin dua macam kesadaran, yaitu:
1. Legal consciouness as within the law, kesadaran hukum sebagai ketaatan
hukum, berada dalam hukum, sesuai dengan aturan hukum yang disadari atau
dipahami;
2. Legal consciouness as against the law, kesadaran hukum dalam wujud
menentang hukum atau melanggar hukum
Hukum berbeda dengan ilmu yang lain dalam kehidupan manusia, hukum berbeda
dengan seni, ilmu dan profesionalis lainya, struktur hukum pada dasarnya
berbasis kepada kewajiban dan tidak diatas komitmen. Kewajiban moral untuk
mentaati dan peranan peraturan membentuk karakteristik masyarakat.
Di dalam kenyataannya ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan
sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan
ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan atau dilakukan
maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah yang menjadi
penghakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan didalam hukum cenderung
dipaksakan.
Menurut Robert Biersted (1970: 227-229) dalam bukunya The Social
Order,Proses kepatuhan seseorang terhadap hukum mungkin terjadi
karena beberapa faktor yaitu :

1. Indoctrination (penanaman kepatuhan secara sengaja) yaitu sebuah peraturan


hukum itu menjadi sebuah doktrin yang ditanam secara sengaja kepada
masyarakat. Hal ini dilakukan agar penerapan hukum itu merata sampai keseluruh
lapisan masyarakat, sehingga kepatuhan hukum yang diinginkan dapat terwujud.
2. Habituation (pembiasaan perilaku) yaitu seseorang akan mematuhi peraturan
hukum itu karena rutinitas yang mereka lakukan. Seperti halnya seseorang yang
rutin memakai helm pada saat berkendara sepeda motor.
3. Utility (pemanfaatan dari kaidah yang dipatuhi) yaitu seseorang mematuhi
peraturan hukum itu karena dapat memanfaatkan secara substansif dari peraturan
itu.
4. Group Indentification (mengidentifikasikan dalam kelompok tertentu) yaitu
seseorang akan mematuhi hukum ketika melihat atau mengacu pada kelompok
yang telah melaksanakan.

 Meskipun demikian perlu juga diperhatikan bahwa walaupun suatu norma telah
disosialisasikan sedemikian rupa dan telah melembaga (institutionalized), belum
tentu norma-norma itu telah benar-benar meresap (internalized) pada diri masing-
masing anggota masyarakat itu.
Sementara itu menurut Soerjono Soekanto (1993:112) dalam bukunya Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, kepatuhan hukum masyarakat
tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui suatu proses pentahapan sebagai
berikut :

1. Tahap prakonvensional, yaitu seseorang mematuhi hukum karena ia


memusatkan perhatian pada akibat, apabila ia tidak mematuhi hukum itu.
Tahap ini mencakup :
 a. Tahap kekuatan fisik, yaitu seseorang mematuhi hukum agar terhindar dari
penjatuhan hukuman atau sanksi negatif. Hukuman itu dianggapnya sebagai
suatu siksaan badaniah belaka. Akibatnya proses penegakan hukum harus
senantiasa diawasi oleh petugas-petugas, karena adanya anggapan bahwa
pada petugas dilihat adanya kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat
menjatuhkan hukuman badaniah. Kepatuhan hukum disebabkan oleh faktor
ini, merupakan taraf yang paling rendah.
 b. Tahap hedonistic, yaitu seseorang mematuhi (atau tidak mematuhi) hukum
semata-mata didasarkan untuk kepuasan dirinya sendiri. Terlepas dari cita-
cita keadilan, dengan demikian keputusan untuk patuh atau tidak patuh
terhadap hukum hanya bersifat emosional belaka.
2. Tahap konvensional, yaitu penekanan yang diletakkan pada pengakuan bahwa
hukum berisikan aturan permainan dalam pergaulan yang senantiasa harus ditegakkan.
Tahap ini dibedakan menjadi dua yaitu:
 a. Tahap interpersonal (antar pribadi) yaitu seseorang mematuhi hukum untuk
memelihara hubungan baik dengan pihak lain dan untuk menyenangkan pihak lain
tadi. Proses ini mungkin berlangsung antara pribadi yang mempunyai kedudukan
yang berbeda. Selama hubungan baik tersebut menjadi kepentingan utama, maka
kepatuhan hukum akan terpelihara dengan lancar. Tetapi kalau sudah tidak ada
kepentingan lagi, maka tidak mustahil akan terjadi ketidakpatuhan hukum tanpa
ada rasa bersalah.

 b. Tahap hukum dan ketertiban yaitu membahas masalah kekuasaan dan wewenang
menempati fungsi yang penting dan menonjol. Hukum dipatuhi karena penegak
hukum mempunyai kekuasaan, dan wewenang.
 Kekuasaan dan wewenang tersebut biasanya ditujukan untuk mencapai ketertiban,
yang memang sudah menjadi cita-cita bersama. Pendapat lain menurut Soerjono
Soekanto dan Mustafa Abdullah (1982: 23) dalam bukunya Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, ada suatu kecenderungan yang kuat dalam masyarakat, untuk
mematuhi hukum oleh karena rasa takut terkena sanksi negatif apabila hukum
tersebut dilanggar. Salah satu efek yang negatif adalah, bahwa hukum tersebut
tidak akan dipatuhi apabila tidak ada yang mengawasi pelaksanaannya secara
ketat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum
yaitu :

1. Compliance; kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan


dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan
apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang
ketat terhadap kaidah hukum tersebut.
2. Identification; terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan
karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap
terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk
menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut;
3. Internalization; seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan
secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai
nilainya dari pribadi yang bersangkutan;
4. Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang
ada.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H.C Kelman (1966) dan L.
Pospisil (1971) dalam buku Prof DR. Achmad Ali,SH Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interprestasi Undang-undang
(legisprudence):

1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang menaati suatu


aturan, hanya karena takut terkena sanksi. Kelemahan ketaatan jenis ini,
karena membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu
aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi
rusak.
3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaiutu jika seseorang menaati suatu
aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nila
intristik yang dianutnya
 Jika diurai tentang alasan-alasan mengapa masyarakat tidak menaatai hukum
atau mentaati hukum, ini adalah terjadi karena keragaman kultur dalam
masyarakat.
 Mengapa orang mentaati hukum? Konsep Hermeneutika menjawabnya bahwa
tidak lain, karena hukum secara esensial bersifat relegius atau alami dan
karena itu, tak disangkal membangkitkan keadilan.
 Kewajiban moral masyarakat untuk mentaati hukum, kewajiban tersebut
meskipun memaksa namun dalam penerapan atau prakteknya kewajiban
tersebut merupakan tidak absolut. Kemajemukan budaya yang tumbuh
didalam masyarakat, norma-norma hidup dan tumbuh berkembang dengan
pesat. Kewajiban moral dalam menyelesaikan masalah-masalah dengan
keadaan tertentu.
 Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti
berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus
ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan
penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan.
 Efektivitas mengandung arti keefektifan pengaruh efek keberhasilan
atau kemanjuran/kemujaraban, membicarakan keefektifan hukum
tentu tidak terlepas dari penganalisisan terhadap karakteristik dua
variable terkait yaitu: karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang
dipergunakan.
2 FUNGSI UTAMA HUKUM

 Dalam sosiologi hukum, hukum memiliki fungsi sebagai a tool of social


control yaitu upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam
masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara
stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Selain itu hukum juga
memiliki fungsi lain yaitu sebagai a tool of social engineering yang
maksudnya adalah sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat.
 Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola
pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional atau
modern.Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya
hukum berlaku efektif.
 Ketika berbicara sejauh mana efektivitas hukum maka kita pertama-tama
harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak
ditaati.
 jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi
sasaran ketaatannya maka akan dikatakan aturan hukum yang bersangkutan
adalah efektif.
 Namun demikian, sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi
kita tetap masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya
karena seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada
kepentingannya.
 Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa kepentingan itu
ada bermacam-macam, di antaranya yang bersifat compliance,
identification, internalization.
TEORI EFEKTIVITAS

 Berbeda dengan pendapat dari C.G. Howard & R. S. Mumnresyang


berpendapat bahwa seyogianya yang kita kaji, bukan ketaatan terhadap
hukum pada umumnya, melainkan kataatan terhadap aturan hukum tertentu
saja.
 Achmad Ali sendiri berpendapat bahwa kajian kita tetap dapat dilakukan
terhadap keduanya:
1. Bagaimana ketaatan terhadap hukum secara umum dan faktor-faktor apa
yang mempengaruhinya;
2. Bagaimana ketaatan terhadap suatu aturan hukum tertentu dan faktor-faktor
apa yang mempengaruhinya.
EFEKTIVITAS HUKUM
JIKA KITA INGIN MENGKAJI FAKTOR-FAKTOR APA YANG MEMPENGARUHI KETAATAN TERHADAP HUKUM SECARA UMUM DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA, MENURUT ACHMAD ALI DAN C.G. HOWARD & R. S. MUMNERA DALAM BUKU Law:
it’s Nature and Limits, sbb:

1. Relevansi aturan hukum secara umum, dengan kebutuhan hukum dari orang-orang
yang menjadi target aturan hukum secara umum itu. Oleh karena itu, jika aturan
hukum yang di maksud berbentuk undang-undang, maka pembuat UU dituntut
untuk mampu memahami kebutuhan hukum dari target UUnya.
2. Kejelasan rumusan substansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami oleh target
aturan hukum tsb.
3. Sosialisasi yang optimal kepada seluruh target aturan hukum itu.
4. Jika hukum yang dimaksud adalah perundang-undangan, maka seyogyanya
aturannya bersifat melarang, dan jangan bersifat mengharuskan, sebab hukum
yang bersifat melarang (prohibited) lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum
yang bersifat mengharuskan (mandatur).
5. Sanksi yang diancamkan oleh aturan hukum itu, harus dipadankan dengan sifat
aturan hukum yang dilanggar tersebut. Suatu sanksi yang dapat kita katakan tepat
untuk suatu tujuan tertentu,belum tentu tepat untuk tujuan lain.
6. Berat ringannya sanksi yang diancamkan dalam aturan hukum, harus proporsional
dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
EFEKTIVITAS HUKUM
JIKA KITA INGIN MENGKAJI FAKTOR-FAKTOR APA YANG MEMPENGARUHI KETAATAN TERHADAP HUKUM SECARA UMUM DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA, MENURUT ACHMAD ALI DAN C.G. HOWARD & R. S. MUMNERA DALAM BUKU Law:
it’s Nature and Limits, sbb:

7. Memang memungkinkan bagi penegak hukum untuk memproses jika terjadi


pelanggaran terhadap aturan hukum tersebut. Misalnya mengancamkan sanksi
terhadap tindakan-tindakan gaib atau mistik adalah mustahil untuk efektif,
karena mustahil untuk ditegakkan melalui proses hukum.
8. Aturan hukum yang mengandung norma moral berwujud larangan, relatif akan
jauh lebih efektif ketimbang aturan hukum yang bertentangan dengan nilai
moral yang dianut oleh orang-orang yang menjadi target diberlakukannya
aturan tersebut.
9. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga tergantung pada
optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan
berlakunya aturan hukum tsb.
10. Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga mensyaratkan
adanya pada standar hidup sosio-ekonomi yang minimal didalam masyarakat.
Dan sebelumnya, ketertiban umum sedikit atau banyak, harus telah terjaga,
karena tidak mungkin efektivitas hukum akan terwujud secara optimal, jika
masyarakat dalam keadaan caos ata situasi perang.
EFEKTIVITAS PERUNDANG-UNDANGAN

 Jika yang akan kita kaji adalah efektivitas perundang-undangan, maka kita
dapat mengatakan bahwa tentang efektifnya suatu perundang-undangan,
banyak tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1. Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan.
2. Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
3. Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan didalam
masyarakatnya.
4. Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang tidak boleh
dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan instan (sesaat), yang
diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep, yang memiliki kualitas buruk
dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Bekerjanya Perundang-undangan dapat
ditinjau dari 2 perspektif:
1. Perspektif Organisatoris, yang memandang perUU sebagai “institusi” yang
ditinjau dari ciri-cirinya. Dalam perspektif ini tidak memerhatikan pribadi-
pribadi yang pergaulannya diatur oleh hukum atau UU
2. Perspektif Individu, atau dikenal sebagai ketaatan, yang lebih banyak
berfokus pada segi idnvidu atau pribadi, dimana pergaulan hidupnya diatur
oleh perUU. Persfektif ini berfokus pada pola-pola perilaku masyarakat yang
banyak mempengaruhi keefektifitas uu.
 Menurut Prof. Achmad Ali:
 Pada umumnya faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu perundang-
undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan
fungsi dari penegak hukum, baik didalam menjelaskan tugas yang dibebankan
terhadap dirinya maupun dalam menegakkan uu tsb.
 Yang jelas, bahwa seseorang menaati ketentuan PERUU adalah karena
terpenuhinya suatu kepentingannya oleh UU TSB.
Menurut Soerjono Soekanto

 Derajat dari efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto, ditentukan oleh


taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,termasuk para penegak
hukumnya, sehingga dikenal asumsi bahwa, ”taraf kepatuhan yang tinggi
adalah indikator suatu berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya
hukum merupakan pertanda hukum tersebut mencapai tujuan hukum yaitu
berusaha untuk mempertahankan dan melindungimasyrakat dalam pergaulan
hidup.
Beberapa pendapat tentang teori efektivitas seperti Bronislav Molinoswki,
Clerence J Dias, Allot dan Murmer.

 Bronislav Malinoswki mengemukakan bahwa teori efektivitas pengendalian


sosial at hukum, hukum dalam masyarakat dianalisa dan dibedakan menjadi
dua yaitu:
 (1) masyarakat modern,
 (2) masyarakat primitif, masyarakat modern merupakan masyarakat yang
perekonomiannya berdasarkan pasar yang sangat luas, spesialisasi di bidang
industri dan pemakaian teknologi canggih,didalam masyarakat modern hukum
yang di buat dan ditegakan oleh pejabat yang berwenanga.
Pandangan lain tentang efektivitas hukum oleh Clerence J Dias
mengatakan bahwa :

 An effective legal system may be describe as one in which there exists a high
degree of congruence between legal rule and human conduct. Thus and a
effective legal sytem will be characterized by minimal disparity between the
formal legal system and the operative legal system is secured by
 1. The intelligibility of it legal system.
 2. High level public knowlege of the conten of the legal rules
 3. Efficient and effective mobilization of legal rules:
 a. A commited administration and.
 b. Citizen involvement and participation in the mobilization process
 4. Dispute sattelment mechanisms that are both easily accessible to the public
and effective in their resolution of disputes and.
 5. A widely shere perception by individuals of the effectiveness of the legal rules
and institutions
Pendapat tersebut dijelaskan Clerence J Dias dalam Marcus Priyo Guntarto
sebagai berikut, terdapat 5 (lima) syarat bagi effektif tidaknya satu sistem
hukum meliputi:

1. Mudah atau tidaknya makna isi aturan-aturan itu ditangkap.


2. Luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui isi aturanaturan
yang bersangkutan.
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum dicapai dengan
bantuan aparat administrasi yang menyadari melibatkan dirinya kedalam
usaha mobilisasi yang demikian, dan para warga masyrakat yang terlibat dan
merasa harus berpartisipasi dalam proses mobilisasi hukum.
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus mudah
dihubungi dan dimasukan oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi harus
cukup effektif menyelesaikan sengketa.
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang cukup merata di kalangan warga
masyarakat yang beranggapan bahwa aturan-atauran dan pranata-pranata
hukum itu memang sesungguhnya berdaya mampu efektif.
Marcus Priyo Guntarto yang mengemukakan tentang keberlakuan hukum
dapat efektif apabila :

1. Relevansi aturan hukum dengan kebutuhan orang yang menjadi target


2. Kejelasan dari rumusan subtansi aturan hukum, sehingga mudah dipahami
oleh orang yang menjadi target hukum;
3. Sosialisasi yang optimal kepada semua orang yang menjadi target hukum.
4. Undang-undang sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat mengharuskan.
Pada umumnya hukum prohibitur lebih mudah dilaksanakan daripada hukum
mandatur.
5. Sanksi yang akan diancam dalam undang-undang harus dipadankan dengan
sifat undang-undang yang dilanggar, suatu sanksi yang tepat untuk tujuan
tertentu, mungkin saja tidak tepat untuk tujuan lain. Berat sanksi yang
diancam harus proporsional dan memungkinkan untuk dilaksanakan.
Efektivitas Hukum yang dikemukakan
oleh Anthoni Allot :

 Hukum akan mejadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat
mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan
kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang
dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegelapan maka kemungkinan terjadi
pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau
menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup
menyelesaikan
Keberlakuan hukum berarti bahwa orang bertindak sebagaimana seharusnya
sebagai bentuk kepatuhan dan pelaksana norma jika validitas adalah kualitas
hukum, maka keberlakuan adalah kualitas perbuatan manusia sebenaranya bukan
tentang hukum itu sendiri.
Selain itu wiiliam Chamblish dan Robert B seidman mengungkapkan bahwa
bekerjanya hukum dimasyarakat dipengaruhi oleh all other societal personal
force (semua ketakutan dari individu masyarakat) yang melingkupi seluruh
proses.
Studi Efektivitas Hukum

 Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan


suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu
perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat
jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action ) dengan hukum dalam
teori (law in theory) atau dengan kata lain kegiatan ini akan memperlihatkan
kaitannya antara law in the book dan law in action.
HUBUNGAN KESADARAN/KEPATUHAN
HUKUM DENGAN EFEKTIVITAS HUKUM
 Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa dalam sosiologi hukum masalah
kepatuhan atau ketaatan hukum terhadap kaidah-kaidah hukum pada
umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam mengukur efektif tidaknya
sesuatu yang ditetapkan dalam hukum ini.
PENDAPAT PAKAR MENGENAI FAKTOR-
FAKTOR EFEKTIVITAS HUKUM
 Achmad Ali berpendapat bahwa pada umumnya faktor yang banyak
mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan
optimal pelaksanaaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum,
baik di dalam penjelasan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka
maupun dalam penegakan perundang-undangan tersebut.
 Bustanul Arifin yang dikutip oleh Raida L Tobing dkk, mengatakan bahwa
dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum
apabila didukung oeh tiga pilar, yaitu:
1. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dapat diandalkan;
2. Peraturan hukum yang jelas sistematis;
3. Kesadaran hukum masyarakat tinggi.
FAKTOR-FAKTOR

 Sedangkan Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur efektivitas dalam


penegakan hukum pada lima hal yakni :
1. faktor hukumnya sendiri,
2. faktor penegak hukum,
3. faktor sarana atau fasilitas,
4. faktor masyarakat dan
5. faktor kebudayaan.
1. KAIDAH HUKUM

 Di dalam teori-teori hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai


berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah
ditetapkan.
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.
Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak terima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah
itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
3. Kaidah hukum berlaku secara filsufis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai
nilai positif yang tertinggi.
 Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah
hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab :
 (1) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah
itu merupakan kaidah mati;
 (2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka
kaidah itu menjadi aturan pemaksa;
 (3) apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinnya kaidah itu hanya
merupakan hukum yang dicita-citakan (ius contituendum).
2. PENEGAK HUKUM

 Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup


ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas,
menengah, dan bawah.Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan
hukum, petugas seyogianya harus memiliiki suatu pedoman, diantaranya
peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di
dalam hal penegak hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum
menghadapi hal-hal sebagai berikut :
1. Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
2. Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?
3. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat?
4. Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas
pada wewenangnya?
3. Sarana/Fasilitas

 Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan


tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud yaitu sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung.
 Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik yang
cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu
kejahatan.Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak
dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang
proporsional.Kalau peralatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor
pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting.
 Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan, padahal
fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk
memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan.
 Mungkin ada baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara
resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai
fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada :
1. Apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi;
2. Apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu
pengadaannya;
3. Apa yang kurang, perlu dilengkapi;
4. Apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti;
5. Apa yang macet dilancarkan;
6. Apa yang telah mundur, ditingkatkan.
4. Warga Masyarakat

 Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga


masyarakat.Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu
peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan.Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Contohnya
yaitu :
 Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lalu lintas adalah
tinggi maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi, yaitu mengatur
waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh karena itu, bila rambu-
rambu lalu lintas warna kuning menyalah, para pengemudi diharapkan
memperlambat laju kendaraannya. Namun bila terjadi sebaliknya, kendaraan yang
dikemudikan makin dipercepat lajunya atau tancap gas, besar kemungkinan akan
terjadi tabrakan.
 Berdasarkan contoh di atas, persoalannya adalah :
1. Apabila peraturan baik sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor
apakah yang menyebabkannya?
2. Apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa, fasilitas cukup,
mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan?
TEORI
SOSIOLOGI HUKUM
PERTEMUAN 9
 Sosiologi hukum termasuk kategori teori hukum empiris, karena penjelasan
yang diberikan oleh teori ini selalu dihubungkan dengan kenyataan dalam
masyarakat, baik itu tentang kondisi-kondisi sosial ataupun historis.
 Teori sosiologi hukum berangkat dari pengamatan terhadap fakta dan
kenyataan.
 Teori dalam sosiologi hukum bersifat komprehensif, yaitu memberikan
penjelasan dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya bersifat teknis
(sebab,asal-usul, perkembangan dan efek-efek dsb).
TEORI KLASIK
TOKOHNYA : EUGEN EHRLICH, EMILIE DURKHEIM, MAX WEBER

 Eugen Ehrlich, seorang professor Austria, termasuk sosiologiwan hokum pada


era klasik, besama-sama dengan Durkheim dan Max Weber. Pada tahun 1913,
Ehrlich menulis buku berjudul (diterjemahkan) “Fundamental principles of
Sociology of Law”. ia menjadi terkenal dengan konsep “Living Law” yang
pengertian lengkapnya terdapat pada pendahuluan dari buku tersebut,

 “it is often said that a book must be written in a manner that permits of
summing up its content in a single sentence. if the present volume were to
be subjected to this test, the sentence nigh be the following: At the present
as well as at any other time, the centre of the gravity of legal development
lies noT in legislation, no in juristic science perhaps, contains the substance
of every attempt to state the fundamental principles of the sociology of
law”. (Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, 107-108)
1. Dianggap sebagai pembentuk atau pelopor ilmu hukum sosiologis (sociology
jurisprudence);
2. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan lebih memahami hukum
dalam konteks social.;
3. Meneliti latar belakang aturan formal yang dianggap sebagai hukum;
4. Aturan tersebut merupakan norma social yang actual yang mengatur semua
aspek kemasyarakatan disebut sebagai hukum yang hidup (Living Law) yaitu
hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai lawan dari hukum yang
diterapkan Negara;
5. Hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat;
6. Membedakan hukum positif dengan hukum yang hidup atau suatu perbedaan
antara kaidah-kaidah social;
7. Hukum positif akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat, atau apa yang disebut antropolog sebagai pola kebudayaan
(culture patterns);
8. Pusat perkembangan hukum bukan pada legislative, keputusan yudikatif
ataupun ilmu hukum tetapi justru terletak pada masyarakat itu sendiri.
9. Hukum tunduk pada kekuatan social, hukum tidak mungkin efektif, kalau
nukan karena keterlibatan masyarakat dan didasarkan pada pengakuan social
pada hukum, bukan penerapannya secara resmi oleh Negara.
10. Tertib social berdasarkan fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada
aturan atau norma social yang tercantum dalam sistem hukum
11. HANYA Sebagian kecil segi kehidupan yang diadili oleh pejabat-pejabat resmi
(PN) yang berfungsi menyelesaikan perkara (perselisihan);
12. Mereka yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan
dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan;
13. Diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusannya
jika terjadi sengketa di atas tata tertib masyarakat yang damai dan spontan.
peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan-keputusan menyimpulkan
adanya sengketa antara kelompok atau individu yang ada pembatasan
kepentingan-kepntingan dan kompetensinya. Agar peraturan ini secara jelas
dapat terbebas dari tata tertib masyarakat yang damai dan spontan maka
haruslah terjadi perbedaan antara individu dan kelompok dan haruslah timbul
berbagai kelompok yang sama nilainya.
14. Bahwa apa yang dinamakan ilmu hukum yang diselenggarakan oleh para ahli
hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relative dimaksudkan
untuk mencapai tujuan-tujuan praktis dan sementara waktu berkat
sistematisasi khayali tidak mampu memahami apapun, kecuali kulit yang
paling luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam segala tingkat
kedalamannya disini ehrlich ingin membuktikan bahwa dikalau sosiologi
hukum hanya mengambil sistematisasi ilmu hukum sebagai titik tolak, maka
sosiologi hukum itu tidak akan memahami tujuannya yang sebenarnya, yakni
kenyataan hokum integral yang mentransendenkan semua skema “dalil hukum
bersifat abstrak”
15. Menurut Ehrlich ada suatu hukum yang menguasai masyarakat sebagai tata
tertib perdamaian. Dan hukum ini yang digunakan sebagai dasar untuk segala
peraturan hukum dank arena jauh lebih ebjektif daripada peraturan manapun
juga, hukum ini merupakan tata tertib langsung dari masyarakat. Jadi
menurut Ehrlich perkembangan suatu hukum tidak mesti dicari dalam undang-
undang, jurisprudensi ataupun dalam doktrin, lebih umum lagi dalam sistem
peraturan-pertaturan yang manapun juga tatapi bisa cari dalam masyarakat
itu sendiri.
 Menurut Ehrlich, apa yang bersifat kelembagaan dalam hukum atau spontan
adalah berasal dari masyarakat yang berlawanan dengan negara dan memiliki
cirri-ciri integral law yang menguasai perserikatan –perserikatan. hukum
kontak, hukum kekayaan, dan hukum penguasaan sepihak hanyalah bentuk-
bentuk samaran dari hukum masyarakat serta tata tertib masyarakat,
sedangkan tata tertib objektif dan spontanitas hukum dari individual tidak
ada.
2. TEORI MAKRO
TOKOHNYA : EMILIE DURKHEIM DAN MAX WEBER

 TEORI MAKRO: DURKHEIM DAN MAX WEBER


 (Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Hal. 108-113)
 Teori makro menjelaskan hubungan atau kaitan antara hukum dengan bidang-
bidang lain diluarnya, seperti budaya, politik, dan ekonomi. Dengan
memberikan penjelasan tersebut, teori makro ini memberi tahu kepada kita
bahwa tempat hukum adalah dalam konteks yang luas yaitu hukum tidak
dapat dibicarakan terlepas dari korelat-korelat hukum tersebut. Hukum
memiliki habitat dan kenyataan ini tidak ditinggalkan dalam kajian sosilogi
hukum.
 Karya-karya Durkheim dan Weber merupakan contoh klasik makro, kedua
pemikir tersebut melihat sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat
sebagai suatu keseluruhan, sehingga pengkajian mengenai hukum juga
ditempatkan kerangka pemahaman yang demikian itu.
EMILIE DURKHEIM

 Durkheim menjelaskan bahwa hukum muncul sebagai institusi yang spesialistis


bagian dari proses perubahan dalam masyarakat yang dipolakan sebagai proses
diferensiasi sosial. Proses pembagian kerja dalam masyarakat (division du travail
social) itu pada akhirnya memberi akibat serta cap di bidang hukum, yang
kemudian muncul sebagai institusi yang berdiri sendiri melalui semua sifat spesial
tersebut.
 Durkheim terobsesi oleh keinginan untuk menjelaskan, mengapa manusia hidup
bermasyarakat, sedang pada dasarnya dilahirkan sebagai
individu.
 Teori Durkheim untuk menjelaskan fenomena tersebut mengajukan konsep
solidaritas yang mendasari pembentukan masyarakat manusia. Setiap tipe
masyarakat berkorespondensi dengan hukum yang digunakan waktu itu. “Manusia
hanya dapat disebut sebagai demikian karena ia hgidup dalam masyarakat”. Kehid,
yang kehidupan kolektif tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi justru
sebaliknya yang kedua itulah yang dilahirkan dari yang pertama.
Teori Durkheim mengatakan, hukum yang dipakai oleh masyarakat
berpadanan dengan tipe solidaritas masyarakat disitu.

Solidaritas ada dua macam, yaitu

1. Solidaritas mekanik
 Solidaritas mekanik mensyaratkan ada suatu ikatan yang bersifat mekanis antara
para warga masyarakat. Solidaritas ini menjadi landasan kehidupan bersama.
Tanpa ada ikatan seperti itu kehidupan bersama tidak ada, karena seperti
dikatakan di atas, yang asli adalah individu. Tipe hukum yang sesuai untuk itu
adalah yang bersifat keras, yang tidak membiarkan sama sekali terjadi perilaku
menyimpang anggota masyarakat. Hukum disini bekerja sebagai alat pidana.
2. Solidaritas organik
 Solidaritas organik memberikan kelonggaran terhadap masing-masing anggota
masyarakat un tuk menjalin hubungan satu sama lain, tanpa ada campur tangan.
Pikiran dasar di situ mengatakan, mkehidupan bersama akan terbina dengan
memberikan kebebasab terhadap para anggota untuk bekerja dan menjalin
hubungan dengan orang lain. Hukum baru turut campur apabila terjadi
ketidakadilan dalam hubungan tersebut. Sifat pengaturan adalah perdata.
MAX WEBER

 Karya terpenting Max Weber tentang sosiologi hukum, tertuang dalam


bukunya “Wirtschaft und Gesellschaft” (1925). Pikiran Weber di bidang
sosiologi hukum sampai sekarang masih sering menjadi acuan. Pikiran
tersebut merupakan hal yang sentral dalam sosiologi Weber.
 Sosiologi hukum Weber dimulai dengan menghadapkan atau
mempertentangkan “Orde Ekonomi” dengan “Orde Hukum”. Perbedaan
antara keduanya menjadi landasan bagi Weber untuk memasuki sosiologi
hukum sebagai suatu pembicaraan hukum dalam realitas tatanan ekonomi.
Oleh Weber hukum di konsepkan secara positivitis, yaitu sebagai sistem
peraturan. Optik yuridis atau dogmatik hukum ini memikirkan tentang hukum
sebagai bangunan peraturan yang memiliki koherensi logis, bebas dari
kontradiksi internal. Yang dilakukan adalah mencari arti yang tepat dari
peraturan yang berisi patokan bagi perilaku tertentu. Ia memeriksa apakah
fakta sudah hukum secara tepat oleh peraturan. Optik yuridis tidak
merisaukan validitas empirik dari peraturan hukum. Ideal dari tatanan hukum
seperti itu tidak ada urusan dan tidak ingin berurusan dengan kenyataan
perilaku yang menjadi landasan tatanan ekonomi.
3. TEORI EMPIRIK
TOKOHNYA : DONALD BLACK

 Hukum adalah sesuatu yang dapat diamati secara ekternal. Dalam posisi
seperti itu, yaitu seorang positivis-empirisis, Black harus membangun dari
bawah dimulai dengan konsepnya mengenai hukum. Misalnya ia
mengatakan, hukum dilihat dari persfektif kuantitatif menjadi lebih
banyak atau lebih sedikit hukum. Lebih sering orang mengangkat telepon
berarti lebih banyak hukum daripada sebaliknya. Pikiran dan pendekatan
tersebut dipraktekkan lebih lanjut pada waktu Black membangun postulat
yang diangkat dari pengamatan empirik.
 Pendapat Black mengenai teori adalah, bahwa teori menjelaskan fakta itu
saja yang boleh menjadi bahan penyusun prosposisi. Prosposisi
menegaskan hubungan antara hukum dan aspek kemasyarakatan, yaitu
Stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi atau kontrol sosial.
Berikut ini beberapa proposisi yang dibangun oleh Black
berdasarkan pengamatan dan kuantifikasi data empirik:

1. Hukum akan lebih beraksi apabila seseorang dengan status tinggi


memperkarakan orang lain dari status yang lebih rendah, daripada
sebaliknya.
2. Hukum berbeda-beda menurut jarak sosial. Hukum makin berperan
dalam masyarakat dengan tingkat keintiman yang lemah dibanding
sebaliknya.
3. Apakah seorang polisi akanmelakukan penahanan ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu ras tersangka, berat ringanya kejadian, barang
bukti yang didapat, sikap terhadap polisi dan lain-lain.
4. Jumlah peraturan bagi golongan dengan status tinggi lebih besar
daripada bagi golongan lebih rendah.
NEGARA MODERN
DAN
SOSIOLOGI HUKUM
PERTEMUAN 11
ISTILAH

 Negara modern adalah suatu institusi yang memiliki arsitektur rasional


melalui pembentukan struktur penataan yang rasional. Negara modern
melahirkan suatu kehidupan dan tatanan dengan struktur yang rigid yang
belum dikenal sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia.
Diantaranya adalah dengan mengadakan strukturalisasi hukum menjadi badan
legislatif, eksekutif, yudikatif.
NEGARA MODERN

 Hukum modern sebagai suatu tipe hukum, muncul dan terbentuk dalam kaitan
yang erat dengan munculnya negara modern.
 Negara modern muncul di Eropa sekitar abad ke-18.
 Gianfranco Poggi, membagi pertumbuhan negara modern ke dalam beberapa
masa, yaitu:
1. Feodalisme;
2. Staertdestact;
3. Absolutisme;
4. Masyarakat sipil;
5. Negara Konstitusional.
Faktor-Faktor Kekuatan Sosial

 Sistem hukum yang berlaku saling berkaitan dengan struktur sosial yang ada
pada masyarakat.
 Misalnya pada zaman dulu, peranan golongan borjouis dalam munculnya
hukum modern cukup besar. Kaum borjuis terdiri dari para pengusaha
kapitalis yang mengalami kemajuan besar pada jamannya.
 Struktur sosial waktu itu bersifat lebih otoriter, karena ada unsur disiplin yang
memaksakan kepada anggotanya, dan pada saat kaum borjouis mulai muncul,
mereka menghendaki suasana kompetitif diantara anggotanya.
 Kemudian kita bisa melihat pergeseran negara eropa yang masyarakatnya
berubah dari masyarakat pertanian menjadi industri dan perdagangan,
kehidupan mulai bergerak dari desa ke kota.
 Kota-kota di eropa muncul tidak hanya sebagai tempat pemukiman melainkan
memiliki peranan dalam melakukan reformasi politik.
 DI kota, orang-orang mulai belajar membangun suatu komunitas baru, dimana
warga kota dapat mengajukan dan membela kepentingannya berhadapan
dengan penguasa kota. Kota disebut sebagai LABORATORIUM DEMOKRASI.
 Maraknya Industrialisasi dan berkembangnya perdagangan menciptakan jenis-
jenis pekerjaan baru dan juga menimbulkan golongan baru pula. Jika dalam
suasana feodal hanya dikenal konfigurasi RAJA_HAMBA, maka sekarang
muncul pula golongan baru misalnya pedagang, ahli hukum, dokter dll /
(profesi)
 Kemunculan golongan borjuis dan kekuatannya dalam mendorong kelahiran
hukum modern menjelaskan kepada kita bahwa hukum itu berubah dan
dibentuk oleh kekuatan-kekuatan dalam masyarakat.
 Hukum sebagai institusi yang memberikan keadilan (dispensing justice)
mengalami redefinisi sesuai dengan kekuatan sosial yang membentuknya.
 Golongan borjuis tadi menjadi salah satu kekuatan penting dibelakang
pembentukan hukum modern tersebut memasukkan kepentingan dan ide-
idenya kedalam hukum. Redefinisi tersebut meliputi konseptualisasi tentang
keadilan, asas dan doktrin, sampai ke metode kerja dan administrasinya.
Karakteristik Hukum Modern

 Hukum modern sangat berbeda dengan negara hukum tradisional yang


digantikannya.
 Unger bahkan berpendapat bahwa sistem hukum yang sebenarnya (the legal
system, the legal order) baru muncul dengan munculnya hukum modern.
Maka sistem hukum sebelumnya belum layak disebut sebagai suatu sistem
hukum.
 Karakteristik Hukum Modern:
1. Bersifat publik, dikaitkan dengan kekuasaan terpusat;
2. Bersifat Positif, merupakan kaidah yang di positifkan;
3. Bersifat Umum, untuk semua golongan dalam masyarakat;
4. Bersifat Otonom secara: Substantif, Institusional, Metodologis dan
Okupasional.
 Hukum modern menuntut banyak persyaratan dan kesiapan struktural dan
administratif.
 Hal tersebut berarti bahwa hanya dalam dan dengan tingkat kesiapan
tertentu saja hukum modern dapat dilaksanakan dengan baik.
 Keadaan yang demikian itu tercermin dengan klasifikasi Phillip Nonet dan
Phillip Selznick yang menggolongkan hukum menurut sifatnya, yaitu:
1. Hukum Koersif;
2. Hukum Otonom;
3. Hukum Responsif.
 Ketidaksiapan struktural dan administratif menyebabkan hukum bersifat
koersif, meskipun negara merupakan negara hukum. Hal ini disebabkan
karena kelangkaan tenaga hukum yang terampil dan administrasi yang mapan,
maka hukum masih lebih banyak harus bertumpu pada penggunaan paksaan
(coercion).
 Semua penjelasan tentang perubahan-perubahan tersebut ingin menunjukkan,
betapa eratnya kaitan antara suatu tipe dan sistem hukum dengan kehadiran
kekuatan-kekuatan tertentu dalam masyarakat. Dikatakan secara lain,
kehadiran dari suatu sistem hukum merupakan fungsi dari konfigurasi
kekuatan sosial dalam masyarakat. Perubahana-perubahan dalam kekuatan
yang mempu mengakomodasi perubahan tersebut.
HUKUM BERKEMBANG SEJALAN DENGAN
PERKEMBANGAN MASYARAKAT
 Dari sejarah perkembangan hukum diketahui bahwa perkembangan hukum
modern di Eropa berjalan sistematis, yaitu sejalan dengan perkembangan
masyarakat dan sesuai pula dengan perkembangan kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat yang menjadi pendukung dari sistem yang dipakai.
HUKUM DAN HABITATNYA

 Secara sosiologis kita berbicara mengenai habitat hukum, yaitu lingkungan


yang memungkinkan suatu tipe hukum muncul dan bekerja.
 Suatu tipe hukum membutuhkan habitat tertentu dan berbeda antara satu
dan yang lainnya.
 Kita menyaksikan bahwa dibutuhkan waktu lebih dari satu abad sebelum
kelahiran tipe dan sistem hukum modern, selama itu hukum berubah dari tipe
ke tipe, sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat Eropa.
 Tingkat perkembangan tersebut juga dapat kita sebut sebagai tingkat
kesiapan masyarakat untuk menggunakan satu atau lain sistem hukum. Ke
dalam tingkat kesiapan masyarakat tersebut dimasukkan, perkembangan
sistem produksi, pendidikan, kualitas manusia, serta nilai-nilai tradisi
SISTEM PRODUKSI ORGANISASI SOSIAL SISTEM HUKUM
PERTANIAN INFORMASI SISTEM
FEODAL
ALAT BANTU BUKAN MESIN PERSONAL
PRA-INDUSTRI STAENDESTAAT HUKUM BIROKRATIK
INDUSTRI NEGARA MODERN SISTEM ABSOLUT
NEGARA KONSTITUSIONAL HUKUM MODERN
RULE OF LAW
 Berhadapan dengan perkembangan yang teratur tersebut, maka
perkembangan hukum tahap kedua berlangsung melalui pola yang berbeda.
 Perkembangan tahap kedua ini dipakai untuk melukiskan meluasnya
penerimaan dan penggunaan hukum modern ke luar dari daratan Eropa.
 Apabila perkembangan hukum mengikuti pola perkembangan dari dalam maka
pada tahap kedua tersebut perkembangan hukum akan mengalami
perkembangan dari luar, artinya negara-negara diluar eropa yang
mengggunakan hukum modern, telah mengimpor suatu institusi yang berasal
dari luar negerinya.
HUKUM MODERN DI LUAR EROPA

 Apabila suatu tipe hukum itu memiliki habitatnya sendiri, maka pada waktu
hukum modern disebarkan di Eropa itu meluas dan dipakai oleh bangsa lain,
muncullah kejadian atau perkembangan yang karakteristik yang disebabkan
oleh perbedaan habitat tersebut.
 Perkembangan tersebut menimbulkan persoalan tersendiri yang khas,
khususnya pada bangsa-bangsa di kawasa asia.
 Di Asia dapat diamati, ternyata predisposisi budaya memainkan peranan yang
penting.
 Khususnya di Asia Timur, sistem hukum modern sebagaimana dilambangkan
dalam rule of law adalah suatu perkembangan dengan muatan nilai atau
budaya yang khas.
 Hukum modern melembagakan suatu perkembangan ideologi pembebasan
individu.
 Hal itu dapat kita catat dalam penyebutan periode sejarah eropa, mulai dari
abad kegelapan, feodal, pertengahan, pencerahan dan terakhir moden yang
menunjukkan adanya akselerasi menuju pembebasan individu. Dengan
demikian, dapat kita ketahui bahwa perkembangan menuju doktrin RULE OF
LAW adalah sisi lain dari perkembangan individu menuju pembebasannya.
 Dilihat dari perspektif Asia Timur, perkembangan sebagaimana tsb diatas
dihadapkan kepada suatu predisposisi budaya tertentu yang berbeda.
 Di china dijumpai predisposisi yang lebih menekankan pada komunalitas
daripada individualitas. Kita tidak menyaksikan sejarah tentang pembebasan
individu dikawasan tsb. Keadaan yang berbeda tsb akan senantiasa menjadi
faktor dalam menjelaskan penerimaan dan penggunaan hukum modern di
kawasan asia timur.
 Perkembangan hukum yang tidak didukung oleh ketersediaan sumber daya
akan menghasilkan praktik hukum modern yang berbeda.
 Di Korea; Pada waktu Han Pyong-Choon memberi penyebutan terhadap
praktik hukum modern di Korea, Guru besar tsb merumuskan apa yang terjadi
di Korea sebagai “medievalization of modern institutions of the west”
 Mempraktikan hukum modern dengan cara abad pertengahan.
 Secara sosiologis kita dapat mengatakan, hukum hanya dapat dijalankan
dengan modal tertentu yang dimiliki suatu bangsa atau komunitas. Inti
permasalahannya ada di predisposisi budaya suatu bangsa.
 Hal ini juga terjadi di JEPANG.
 Jepang juga harus berjuang untuk menanamkan hukum modern ke dalam
masyarakatnya.
 Pada waktu jepang membuka diri terhadap BARAT, bangsa tsb menyadari
bahwa ia harus memakai hukum barat bila ingin benar-benar sejajar dengan
Barat.
 Hukum jepang selama ini memakai hukum dari pemerintahan TOKUGAWA
terlalu feodal, dan kurang dapat diterima logika.
 Watak Bangsa jepang yang kita kenal pekerja keras mempunyai andil yang
cukup besar dalam proses transformasi dan transplantasi hukum modern di
dalam kehidupan mereka tsb.
 “They had to start from scratch, understanding, and digesting, not only the
technical legal language of the west, but associated concepts reflecting an
alien philosophy and tradition. A large number of few words had to be
invented simply because the traditional japanese language offered no
equivalents... It is no surprise, then, that the japanese word KENRI for
‘RIGHT’ had to be invited by the meiji legal experts drafting modern codes,
SUCH A WORD DID NOT EXIST IN TRADITIONAL JAPAN..” (OZAKI, 1978;122)
 Maka tidaklah mengherankan apabila isi kaidah hukum modern tidak
bersambungan dengan substansi kehidupan jepang. Setelah introduksi hukum
barat tsb, selama bertahun-tahun rakyat di pedesaan masih tetap hidup
dengan kebiasaan tradisionalnya yang sudah berusia ratusan tahun itu.
SOSIOLOGI DARI HUKUM MODERN

 Dapat dikatakan bahwa hukum modern, sesungguhnya menciptakan sosiologi


hukumnya sendiri.
 Misalnya saat kita mengatakan bahwa hukum modern itu bersifat euro-sentris
dan kemudian menyebar ke bagian-bagian dunia lain, maka dapat dipastikan
akan timbul persoalan-persoalan sosiologis.
 Demikian pula halnya hukum modern yang sudah menjadi semakin spesialis
yang mengalami isolasi sosial, juga dipastikan akan menimbulkan persoalan
sosiologis.
 Membandingkan secara ekstrim antara hukum modern dan hukum kuno,
memberikan perspektif sosiologis tersendiri.
 Hukum kuno muncul secara spontan melalui perilaku dan interaksi antara para
anggota masyarakat. Hampir tidak ada kesenjangan apa yang diatur dan
dikerjakan oleh masyarakat.
 Keadaan seperti itu tidak dijumpai pada hukum modern yang dibuat secara
sengaja oleh badan tertentu untuk tujuan tertentu yang telah ditentukan oleh
badan tersebut (legislatif).
 Hukum modern memiliki semua kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat
bertindak secara jauh lebih keras daripada hukum kuno, mulai dari badan
legislatif, yudikatif, eksekutif, penegak hukum dsb.
 Kesenjangan antara hukum dan perilaku nyata dalam masyarakat menjadi
pemandangan sehari-hari.
 Kita mengenal istilah law in the books and law in action.
 Sosiologi hukum menempati kedudukan yaitu untuk memperhatikan sisi lain
dari hukum sebagai peraturan dengan cara memperhatikan apa yang terjadi
dan bukan apa yang tercantum dalam naskah undang-undang, maka sosiologi
hukum menjadi ilmu kritis yang berhadapan dengan ilmu normatif.
 Masalah lain yang berhubungan dengan kehadiran sosiologi hukum ditengah-
tengah hukum modern : bahwa sudah kita ketahui bahwa hukum modern
tampil dengan bentuknya yang khas, yaitu otonom, publik, dan positif.
 Otonomi hukum modern meliputi substansi, institusi, metodologi dan okupasi.
 Otonomi dalam substansi dicapai melalui pengaturan materi hukum secara
mandiri, artinya tidak mengikuti begitu saja apa yang menjadi substansi
bidang lain dalam masyarakat, seperti ekonomi dan politik
 Institusi : karena hukum terpisah dari lembaga lain, seperti eksekutif,
 Metodologi : hukum memiliki metodologi yang khas.
 Occupation : menuntut keahlian khusus bagi mereka yang menjabat
pekerjaan-pekerjaan hukum.
 Sejak hukum memiliki kualitas yang disebutkan diatas, maka ia menjadi bidang
yang esoterik dan menjadikan hukum sebagai bidang yang sangat kompleks dan
terstruktur, dari posisinya itu, maka hukum menjadi suatu institusi terasing,
artinya terpisah dari kehidupan sosial yang penuh (dunia sosial dan dunia hukum).
 Keadaan yang seperti ini yang menjadikan proses hukum seperti penyelesaian
perkara dan pencarian keadilan menjadi sesuatu yang hanya bisa ditempuh melalui
cara yang spesifik.
 Tidak semua persoalan sosial dapat menemukan jalannya untuk masuk ke dalam
jalur hukum yang semestinya, dan tidak semua rakyat yang punya
masalah/persoalan, tahu hukum.
 Kemudian format hukum yang sudah terstruktur dengan ketat juga tidak mudah
untuk menampung semua persoalan yang seharusnya diselesaikan, meskipun
tertampung, dalam penyelesaiannya bisa panjang dan lama yang menimbulkan
komplikasi sosial lain seperti munculnya praktik-praktik diluar jalur hukum,
misalnya debt collector
 Dalam keadaan yang demikian itu, pengamatan sosiologis akan menunjukan
bahwa masyarakat berusaha untuk “menemukan jalannya sendiri untuk
menangani persoalan-persoalan yang dihadapinya”
 Maksudnya, meskipun suatu negara itu menyatakan dirinya sebagai negara
berdasarkan hukum, tapi tidak semua persoalan dapat diselesaikan melalui
jalan atau intitusi hukum, hal inilah yang memunculkan “institusi tandingan”,
atau menurut Sally Falk Moore menyebutnya sebagai semi-autonomous social
fields.
 Sosiologi hukum yang lebih melihat kenyataan daripada struktur atau institusi
formal menemukan bahwa hukum itu dapat juga bekerja tanpa memakai
legitimasi yuridis formal. Artinya, dalam masyarakat dapat ditemukan bdan-
badan yang sebenarnya menjalankan fungsi-fungsi hukum tanpa memiliki
legitimasi yang sah secara hukum untuk itu.
 Menurut kacamata sosiologi hukum, hal tsb sudah cukup untuk mengatakan
bahwa ada suatu sistem hukum di masyarakat atau lingkungan kehidupan
tertentu.
 Sosiologi hukum W. M. Evan mengatakan suatu sistem hukum itu dapat
dikatakan ada apabila ditemukan :
1. Suatu sistem peraturan yang menjadikan acuan perbuatan dan harapan dari
para anggota suatu sistem sosial;
2. Spesialisasi posisi-posisi yang dipercaya mengemban fungsi-fungsi normatif
INTINYA...

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas dapat dikatakan, bahwa munculnya


hal-hal sosiologis ditengah-tengah berlakunya hukum modern dapat disebabkan
oleh kekakuan struktur formal hukum itu sendiri, sehingga menyebabkan
sempitnya access ke dalam hukum, serta kekurangan hukum itu sendiri.
STRUKTUR SOSIAL
DAN
HUKUM
PERTEMUAN 12
HUKUM SEBAGAI
KERANGKA SOSIAL
(living law)
PERTEMUAN 13
HUKUM PROGRESIF
PERTEMUAN 15

Anda mungkin juga menyukai