Anda di halaman 1dari 27

BIOTA LAUT SPONS

Farmasi Kelautan

NOVA PUSPITA SARI


201751423
Klasifikasi
Berdasarkan klasifikasi (Hooper 2000) spons laut Petrosia
nigricans adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Porifera
Kelas : Demospongiae
Ordo : Haplosclerida
Famili : Petrosidae
Genus : Petrosia
Spesies : Petrosia nigricans
Petrosidae memiliki karakteristik berbentuk
kompak, seperti kawah gunung atau vas bunga,
mengerak, membulat atau bercabang. Teksturnya keras
dan rapuh, mencerminkan sebagian besar spesies ini
memiliki spikula yang tersusun atas silikat dibandingkan
spongin. Rangka luar seperti jala terdiri dari spikul
tunggal atau bidang spikul yang membentuk kulit yang
mengeras dan membuat penampilan luarnya terlihat
halus. Rangka bagian tengah kurang lebih seperti jala
yang merupakan jalur-jalur spikul. Perkembangbiakan
secara ovivar. Famili Petrosidae saat ini diketahui
memiliki tiga genus yaitu Petrosia, Strongylophora dan
Xestospongia (Hooper 2000).
Morfologi Spons
Spons adalah hewan yang termasuk Filum
Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu:
Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood
dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan Budiyanto 1996;
Rachmat 1996; Romimohtarto dan Juwana 1999),
sedangkan menurut (Warren 1982); Ruppert dan
Barnes 1991) Filum Porifera terdiri dari empat kelas,
yaitu Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan
Sclerospongia.
Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi
oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya.
Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan
berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya
atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis
yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada
perairan yang lebih dalam dan berarus tenang,
pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada
perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki
tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai
akibat dari kondisi lingkungan yang lebih stabil jika
dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada
perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan
Budiyanto 1996).
Spons merupakan hewan multiseluler
sederhana dan memiliki bentuk yang bervariasi.
Bentuknya dipengaruhi oleh lingkungan kimia
dan lingkungan fisik seperti kedalaman, arus,
ombak dan sedimentasi (Rachmat et al. 2001).
Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan
dinding tipis, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur.
Banyak spons juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu
bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang,
tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain
mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar
perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang
dimiliki spons dapat beragam. Beberapa jenis bercabang seperti
pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan
atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis
berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang
ukuran garis tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenis-jenis
spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya
menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto dan Juwana
1999).
Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung
dengan dinding tipis seperti yang dijumpai pada marga
leucosolenia, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Spons
juga banyak terdiri dari segumpal jaringan yang tidak tentu
bentuknya, mengkerak pada batu, cangkang, tonggak, atau
tumbuh-tumbuhan dan pada benda-benda inilah mereka
menempel (Rigby et al. 1993
Makan dan Cara Makan
Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder)
yang menetap. Spons memperoleh makanan dalam
bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti
bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-
pori arus masuk (ostia) yang terbuka dalam air, dan di
bawa ke dalam rongga lambung atau ruang-ruang
berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran
dari spons diciptakan oleh flagella choanocytes yang
memukul-mukul secara terus menerus. Choanocytes juga
mencerna partikel makanan, baik disebelah maupun di
dalam sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan
terbentuk dan di vakuola ini pencernaan terjadi.
Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari
dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel
ke sel lain dan barangkali diedarkan dalam batas tertentu oleh
sel-sel amebocytes yang terdapat di lapisan tengah. Penting bagi
spons untuk hidup dalam air bersirkulasi, karenanya kita
temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya air yang
keruh. Karena arus air yang lewat melalui spons membawa serta
zat buangan dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar
melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak
berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan
sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut
(Romimohtarto dan Juwana 1999).
Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang
tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978).
Partikel yang berukuran antara 2-5 μm (protozoa, ultraplankton,
detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes, yang bergerak ke
batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel
yang berukuran antara 0.1-1.5 μm (bakteri, molekul organik)
ditangkap oleh flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak
pada gerakan sel leher (collars) menangkap partikel makanan
dan dibawa ke sel tubuh choanocytes, dimana mereka dicerna
secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil
dalam jumlah yang signifikan bahan organik terlarut (dissolved
organic matter, DOM) secara pinositosis dari dalam air pada
sistem saluran (Brusca dan Brusca 1990)
Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif
besar. Menurut (Schmidt 1970, diacu dalam Brusca dan
Brusca 1990) jenis Epydatia fluvialis mempunyai jumlah
choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh
spons. Setiap rongga choanocytes dapat memompa air
sekitar 1200 kali dari volume
tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe
leuconoid mempunyai jumlah choanocytes yang lebih
besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik.
Kualitas Air
1. Suhu
Perubahan suhu air secara nyata akan mempengaruhi
hampir seluruh proses-proses biokimia, proses fisilogis dan
ekologis dari spons laut. Pertumbuhan spons berhubungan
dengan suhu air laut untuk beberapa spesies daerah empat
musim. Pertumbuhan spons Latrunculia wellingtonensis lebih
besar pada musim dingin dan Polymastia croceus pada musim
semi (Duckworth dan Battershill 2001). Suhu air pada
penelitian transplantasi spons jenis Auletta sp di Teluk
Labuange Kabupaten Barru Sulawesi berkisar 29.9-31.5oC
(Masak 2003). Penelitian tranplantasi spons jenis A. aaptos di
terumbu karang Pulau Barrang Lompo, Makasar, suhu
perairan yang terukur berkisar 26.3-29.7oC (Rani dan Haris
2005).
2. Salinitas
Salinitas merupakan salah satu variabel yang
menentukan kehidupan organisme akuatik terutama berkaitan
dengan keseimbangan osmotik antara protoplasma medium
air lingkungannya. Penelitian Masak (2003) salinitas air laut
pada transplantasi spons jenis Auletta sp di Teluk Labuange
Kabupaten Barru di Sulawesi berkisar 30.50-33.10‰.
Penelitian Rani dan Haris (2005) tranplantasi spons jenis
Aaptos aaptos di terumbu karang Pulau Barrang Lompo,
Makasar, salinitas perairan yang terukur berkisar 29.0-32.3‰.
Penelitian Voogd (2005) tentang distribusi bioaktif spons di
Kepulauan Spermonde bahwa kelimpahan spons dengan
kelompok bioaktif kuat berbeda nyata dan berasosiasi negatif
dengan fluktuasi tingkat salinitas. Salinitas di daerah
penelitian berkisar antara 28-34 ‰.
3. Bahan Organik
Bahan organik terlarut berkisar antara 12.21-
23.31mg/l yang cukup tinggi berasosiasi dengan tingginya
pertumbuhan transplantasi spons jenis A. aaptos (Rani
dan Haris 2005). Total bahan organik dari hasil penelitian
(Suharyanto 2001) pada penelitian beberapa aspek
biologi spons di Perairan Pulau Barrang Lompo berkisar
antara 0.6-4.1 mg/l. Menurut Brusca dan Brusca (1990),
spons dapat mengkonsumsi bahan organik terlarut dalam
jumlah yang signifikan pada sistem saluran airnya.
Ketersediaan makanan yang banyak dalam bentuk bahan
organik terlarut akan memicu pertumbuhan spons yang
lebih tinggi.
4. Kecepatan arus
Tingkat arus laut mempunyai pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan dan biomassa spons yang
ditransplantasikan. Setelah 9 bulan ditransplantasikan, spons
jenis Latrunculia wellingtonensis di pesisir selatan Wellington,
New Zealand, pada lokasi yang terbuka dengan kecepatan
arus 0.19-0.46 m/detik dan pada lokasi yang terlindung
dengan kecepatan arus 0.13 m/detik. Jenis spons yang
ditransplantasikan pada perairan terbuka mempunyai
biomassa dan pertumbuhan mendekati tiga kali lebih besar
dari pada lokasi terlindung (Duckworth dan Battershill 2003).
Tingginya pergerakan air umumnya mempengaruhi
pertumbuhan spons dan berpengaruh terhadap ketersediaan
makanan (Duckworth et al. 2004).
5. Fosfat dan Nitrat
Kandungan fosfat dalam air laut dari hasil
penelitian (Suharyanto 2001) pada penelitian beberapa
aspek biologi spons di Perairan Pulau Barrang Lompo
berkisar antara 0.866-0.1814 mg/l, sedangkan
kandungan nitrat 0.0132-0.0478 mg/l. Pada penelitian
(Rani dan Haris 2005) tingginya pertumbuhan spons A.
aaptos pada konsentrasi nitrat (0.908-1.967mg/l) dan
fosfat (1.824-2.189mg/l) yang tinggi diduga berhubungan
dengan mikrosimbionnya. Nitrat dan fosfat secara
bersama-sama dibutuhkan oleh mikrosimbion spons
untuk pertumbuhan dan multiaplikasinya. Mikro
simbiotik pada spons terdiri dari bakteri heterotropik,
cyanobakteri dan alga uniselular.
6. Kedalaman Perairan
Penelitian tentang makanan dan pertumbuhan spons
Callyspongia vaginalis, Angelas conifera dan Aplysina fistularis
dari Florida dan Bahama terdapat perbedaan yang nyata dan
lebih besar hasil transplantasi spons terhadap biomassa,
pertumbuhan dan makanan dengan bertambahnya
kedalaman. Penelitian dilakukan di kedalaman 7 m, 15 m, 23
m dan 30 m. Spons mengkonsumsi 65-93% partikel bahan
organik dari makanannya dari semua stasiun penelitian.
Spons bertambah ukuran dan pertumbuhannya dengan
bertambahnya kedalaman, hal ini dikarenakan adanya
bertambahnya ketersediaan makanan dan berbeda nyata
proses- proses di dasar perairan yang pada akhirnya akan
mempengaruhi pertumbuhan spons (Lesser 2005).
Transplantasi Spons
Metode transplantasi spons telah dilakukan
oleh Duckworth et al. (1999) terhadap spons laut
Latrunculia brevis dan Polymastia croceus. Spons ini
dipotong secara in situ dan disisakan sekitar 30%
dari volume awal, untuk memberikan kesempatan
beregenerasi. Semua spons dikumpulkan dan
dipotong pada air laut mengalir di laboratorium.
Fragmen dipotong berbentuk kubus dengan ukuran
sekitar 27 cm3 dan berat sekitar 16 gram. Semua
fragmen paling sedikit mempunyai satu sisi yang
tidak terpotong, dengan seluruh pinacoderm dan
oskula.
Tiga metode yang digunakan oleh (Duckworth et al. 1999)
pada setiap jenis spons, yaitu:
(1) fragmen ditempatkan pada jaring;
(2) fragmen ditempelkan secara langsung pada tali
(3) fragmen dengan tali benang kecil melaluinya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, dari ketiga
metode tersebut, laju pertumbuhan antar metode transplantasi tidak
berbeda nyata pada kedua jenis spons tersebut, sedangkan
sintasannya berbeda nyata, dimana sintasan tertinggi didapatkan pada
metode pertama, yaitu fragmen ditempatkan pada jaring. Laju
pertumbuhan pada kedua jenis spons, yang didapatkan pada metode
pertama relatif bagus dengan pertumbuhan berat rata-rata 1.2 gram
selama 95 hari penelitian, dan sintasan mencapai 100 % pada L. brevis
dan 97.5 % pada P. croceus (40 fragmen).
Pertumbuhan Transplantasi Spons
Penelitian budidaya spons sebagai spons bahan
antikanker, antibakteri dan antitumor di Selandia Baru dengan
jenis Latrunculia wellingtonensis dan Polymastia croceus pada
perairan yang terbuka dan terlindung dengan volume awal
rata-rata 25.0 cm3 dan 23.4 cm3. Hasil penelitian menyatakan
pertumbuhan (biomassa) berbeda nyata dipengaruhi oleh
lokasi dan metode transplantasi. Pertumbuhan rata-rata spons
L. wellingtonensis metode tali pada perairan yang terbuka
selama 9 bulan sebesar 241 cm3 atau terjadi peningkatan
volume awal 960%. Sedangkan spons P. croceus pada metode
tali pada perairan terbuka setelah 9 bulan penelitian
mencapai pertumbuhan volume sebesar 170 cm3 terjadi
peningkatan volume 730% (Duckworth dan Battershill 2003).
Komponen Bioaktif dari Spons
Penelitian di bidang bahan alami laut telah
berkembang pada sekitar tiga puluh tahun terakhir ini. Dari
sekedar isolasi dan karakterisasi metabolit sekunder sampai
kepada isolasi senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas
atau farmakologi seringkali diikuti oleh uji toksisitas untuk
menentukan keamanan penggunaan senyawa-senyawa
tersebut untuk obat. Laporan Faulkner (1998) menyatakan
bahwa sampai tahun 1996, kimia produk alam laut telah
sangat berkembang dan telah sampai kepada sintesis
senyawa-senyawa aktif yang secara mendalam telah diteliti
sifat biologinya, termasuk aktivitas atau efek farmakologinya,
dan sifat ekologinya. Laporan itu telah menyatakan tentang
produk alam laut baru yang mempunyai sifat biologi dan
farmasetika yang menarik.
Spons secara alami mengeluarkan metabolit
sekunder sebagai respon terhadap lingkungan. Harper
et al. (2001) dalam dekade terakhir, dilaporkan bahwa
sebanyak 50% senyawa bioaktif yang ditemukan dalam
invertebrata berasal dari filum porifera. Produksi
metabolit sekunder dari spons merupakan kompensasi
akibat interaksi dengan lingkungan biotik, abiotik dan
sebagai senjata kimia terhadap predator. Salah satu
pemicu produksi senyawa terpen, poliketida dan
alkoloid oleh spons adalah kompetisi dengan koral dan
untuk mencegah infeksi bakteri. Senyawa 7-
deacetoxyolepupuane dari spons Dysidea sp
menyebabkan kematian spons Cacospongia sp dan
senjata kimia terhadap predator ikan Promacanthus
imperator.

Anda mungkin juga menyukai