Anda di halaman 1dari 14

NS. SAHRIANA, S.KEP.,M.

KEP
 Terapi modalitas adalah berbagai macam
alternatif terapi yang dapat diberikan pada
pasien gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan
berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan
penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya,
diperlukan pengkajian secara mendalam untuk
mendapatkan faktor pencetus dan pemicu
terjadinya gangguan jiwa.
 Masalah kepribadian awal, kondisi fisik pasien,
situasi keluarga, dan masyarakat juga
memengaruhi terjadinya gangguan jiwa.
Penaganan masalah kesehatan jiwa didasarkan
pada penyebabnya. Exp;
 Fisik = neurotransmiter = farmakologi
(somatoterapi)
 Psikologis = pendekatan psikologi
(psikoterapi)
 Lingkungan = manipulasi lingkungan
(lingkungan)
Maramis (1998)
Terapi modalitas dalam keperawatan kesehatan
jiwa terus mengalami perkembangan disesuaikan
dengan masalah yang dialami klien, intervensi
keperawatan disesuaikan dengan penyebab utama
terjadinya masalah keperawatan:
Fisik (sometoterapi)
 Terapi somatik; pengenalan jenis farmakoterapi
yang diberikan, mengidentifikasi efek samping,
dan kolaborasi penanganan efek samping obat.
 Terapi kejang listrik (electroconvulsive therapy—
ECT) ; menyiapkan pasien dan mengevaluasi
kondisi pasien setelah mendapatkan terapi
kejang listrik.
Psikologis (psikoterapi)
 Memberikan berbagai upaya pencegahandan
penanganan perilaku agresif, intervensi
krisis, serta mengembangkan terapi kognitif
(CT), perilaku (CBT), dan berbagai terapi
aktivitas kelompok (TAK).
Lingkungan (sosioterapi)
 Pelaksanaan terapi keluarga, terapi
lingkungan, terapi okupasi, dan rehabilitasi.
Pasien wanita, dewasa muda, belum menikah, dirawat
di rumah sakit jiwa selama dua minggu. Kondisi sudah
stabil dan membaik, sehingga oleh dokter yang
merawat sudah diizinkan pulang. Oleh perawat
dilakukan tindakan persiapan pulang (discharge
planning) untuk menyiapkan berbagai aktivitas dan
keterampilan rutin harian yang harus dilakukan pasien
setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Pasien sudah
siap dan boleh pulang. Hari pertama, pada awalnya
pasien menjalankan aktivitas di rumah tidak ada
kendala. Bangun pagi, mandi, salat, membersihkan
kamar, dan menyapu dalam rumah. Kegiatan
dilanjutkan menyapu halaman, tetapi dilarang oleh
ibunya (ibunya malu takut ketahuan tetangga). Anak
terpaksa harus mengikuti larangan ibunya
Sejenak kemudian, melihat ibunya membawa tas
siap berbelanja ke pasar, anak mencoba
menawarkan untuk membawakan tas belanja.
Namun, lagi-lagi ditolak, serta disuruh menunggu
saja di rumah. Setelah ibu pulang, anak mencoba
membantu masak, tetapi tidak boleh membantu
memotong sayur. Ibu takut jika sang anak (bekas
pasien) membawa pisau dapat melukai orang di
dapur. Selain itu, anak mencoba membantu cuci
piring, tetapi tidak boleh karena takut piringnya
dipecah, dan sebagainya. Kemudian anak
bertanya, “Lha saya harus berbuat apa Bu? Saya
sudah dilatih perawat dan bisa melaksanakan
kegiatan rutin harian.
” Ibu menjawab, “Sudahlah nak, kamu tunggu saja
dalam kamar (duduk manis dalam kamar). Nanti jika
sarapan sudah siap, akan Ibu antar ke kamar.” Saat
makanan sudah siap, makanan diantar ke kamar,
tetapi piring dipilihkan yang tidak dapat pecah (piring
plastik) supaya tidak dibanting, sendok dicarikan yang
bukan dari logam, karena jika dari logam dapat diasah
di lantai menjadi pisau, gelas yang tidak bisa pecah.
Anak makan dengan sedikit berpikir, “Ibuku ini
bagaimana? dibantu cuci piring tidak boleh, aku
dikasih makan dengan piring plastik.” Namun, semua
terpaksa harus dilakukan. Jika membantah ibu, bisa
kena marah dan dianggap belum sembuh.
Sesaat kemudian, ibu dan bapak pamit bekerja.
Anak sudah dipesan harus di dalam kamar saja dan
tidak boleh keluar. Anak bingung, “Lho, saya kan
jadi gak bisa melaksanakan aktivitas yang
bermanfaat. “Gak masalah, yang penting tidak
keluar rumah”, jawab ibu. Anak kembali bertanya,
“Jika ingin kencing atau buang air besar gimana?”
“Panggil pembantu.” jawab ibu. Saat benar-benar
ingin buang air kecil dan buang air besar, anak
mengetuk pintu dan memanggil pembantu,
“Mbak.... pingin kencing”. Pembantu mendengar,
tapi tidak berani membuka karena takut. Beberapa
waktu kemudian, memanggil lagi dengan sedikit
lebih keras, sehingga pembantu tambah takut dan
pergi ke rumah tetangga. Panggilan ketiga lebih
keras lagi, sehingga tetangga bertanya,
“Siapa dari tadi mengetok pintu dan teriak-teriak
itu?”. Pembantu menjawab, “Anak ibu yang baru
pulang dari rumah sakit jiwa.” Saat ibu pulang
disapa oleh tetangga, “Ibu.. maaf, kenapa putrinya
belum sembuh sudah dibawa pulang dari rumah
sakit jiwa?” Ibu terkejut dan balik bertanya, “Putri
yang mana?” “Putri yang tadi teriak-teriak.” jawab
tetangga. Sang ibu bergegas menuju rumah,
dengan menggerutu. Ibu menuju kamar anak dan
membuka kunci pintu kamar. Setelah pintu
terbuka, tercium bau feses dan urin. Spontan ibu
marah, “Nak... apa kataku... kamu belum sembuh
kan.. kenapa kamu tidak nurut sama ibu?”, dan
seterusnya. Apapun penjelasan anak tidak
didengar.
Kasus di atas menunjukkan bahwa pemilihan
orang yang perlu diobati dan terapi apa saja
yang perlu digunakan sangatlah penting. Oleh
karena itu, pasien yang telah mulai membaik
harus mendapat dukungan dari keluarga yang
telah siap dan tidak overprotektif, tetangga
yang siap, dan lingkungan yang kondusif.
Berdasarkan gambaran kasus di atas, pilihan alternatif terapi adalah
sebagai berikut.
1. Apabila pasien dalam kondisi akut dan kritis, lakukan
manajemen krisis, sesuai dengan tindak kegawatdaruratan
yang dialami pasien. Tenangkan pasien dengan psikofarmaka.
Jika sudah memungkinkan, maka lakukan terapi kognitif dan
perilaku. Lanjutkan dengan terapi aktivitas kelompok. Jika
secara psikologis pasien kondusif, maka lakukan rehabilitasi
psikiatri dengan okupasi terapi.
2. Untuk keluarga dan lingkungan, lakukan terapi keluarga agar
dapat mengembangkan koping yang adaptif, siap menerima
pasien, dan menjadi sistem pendukung bagi pasien. Identifikasi
kesiapan lingkungan. Usahakan lingkungan menjadi tempat
yang kondusif untuk melatih aktivitas rutin harian pasien. Jika
memungkinkan, kembangkan bengkel kerja terlindung
(sheltered workshop) untuk menyiapkan pasien kembali hidup
produktif di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai