Retorika Kritik Arsitektur
Retorika Kritik Arsitektur
ARSITEKTUR
Menurut KBBI :
re.to.ri.ka/rétorika/n 1
keterampilan berbahasa secara
efektif; 2 studi tentang
pemakaian bahasa secara efektif
dalam karang-mengarang; 3 seni
berpidato yang muluk-muluk dan
bombastis
Bahasa kritik pada
dasarnya terbeban dengan
berbagai kesulitan yang
sama seperti halnya
bahasa dalam berbagai
bidang lainnya; yang
dalam hal ini akan
senantiasa bersifat
Nikolaus Pevsner (1951),
telah berupaya sedemikian rupa
sehingga sampai pada kesimpulan
bahwa kritisasi arsitektur adalah
sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan karena tidak adanya
kesepakatan tentang makna dari
bermacam-macam istilah.
Semua kritisasi baik
arsitektur, musik
ataupun karya sastra
akan terkarakterisasi
berdasarkan referensi-
referensi yang tidak
eksplisit.
Sebuah tinjauan
terhadap objek Lincoln
Center, yang dilakukan
oleh Moore dan Canty
(1966), penulis dengan
sengaja menutupi
aspek-aspek
komparatif pemaknaan
objek tersebut.
Dalam tulisan tersebut kita diarahkan
untuk melihat objek tersebut sebagai
sesuatu yang terlalu “terdandani” dan
kurang dialogis, untuk melihat bahwa
drama aktifitas manusia telah
tergantikan oleh drama tentang uang.
Tetapi apa yang menjadi alternatif cara pandang
tentang bagaimana sebaiknya objek itu
“didandani”, dialog dan aktifitas seperti apa yang
seharusnya terungkap, juga tidak dijelaskan
secara pasti. “Dalam hal apa kiranya objek
tersebut dapat dinilai berhasil?”, “Apa
sebenarnya standar yang digunakan untuk
menilai objek tersebut?”, adalah pertanyaan-
pertanyaan yang masih menggantung dalam
kajian tersebut.
Latar belakang standar kritik
yang samar-samar seperti ini
barangkali merupakan
karakteristik utama dari kritik
impresionis dan evokatif, di
mana agar kritisasinya dapat
memberikan efek tertentu,
seorang kritikus kerap kali
membiarkan hal-hal tertentu
tidak terungkap.
Kesulitan yang lain dalam kritisasi adalah
sifatnya yang retoris. Sebuah retorika,
selain merupakan suatu aspek yang
penting dan bervariasi dalam komunikasi,
juga bisa digunakan untuk memanipulasi
dan juga mendorong hadirnya suatu
pemahaman, sedemikian sehingga
penikmat kritisasi perlu diingatkan untuk
lebih mengenal strategi-strategi retoris
yang digunakan
Para kritikus, seperti halnya para
perancang, memiliki ketergantungan
pada berbagai metafora dalam upaya
membentuk alur pikirnya. Kritik singkat
Reyner Banham terhadap bangunan
Seni dan Arsitektur di Universitas Yale,
menunjukkan ketertarikannya untuk
menggunakan sebuah metafora dalam
upayanya menjelaskan suatu bangunan
atau kondisi lingkungan perkotaan.
Studi komparasi terhadap
latarbelakang metafora dalam
berbagai kritisasi terhadap suatu
objek yang sama, merupakan
sesuatu yang informatif dan
menghibur, sekalipun tidak
konklusif.
Praktis tidak ada cara untuk mengetahui sumber dan
motivasi yang melatarbelakangi penggunaan metafora
tertentu, entah berupa kesepakatan terhadap metafora
tertentu untuk mendeskripsikan
sebuah bangunan yang
merepresentasikan
konsensus terkait dengan
makna bangunan, ataupun
ketidaksepakatan yang
menunjukkan tendensi
kompetitif di antara sesama
kritikus.
Teknik retoris lainnya dalam kritik adalah
satire. Satire, dapat dilihat sebagai bentuk
metafora dengan skala yang luas, meliputi
satu daur hidup, dan dapat mencakup
beragam aspek sekaligus. Satire cenderung
menciptakan dunianya sendiri, dan oleh
karenanya dapat menjadi medium yang luar
biasa dalam kritisasi.
Satu syarat penting dari sebuah satire
adalah ketelitian yang tinggi dalam setiap
medium yang digunakan. Sebagai contoh,
Schuyler tidak mengeksploitasi segenap
kemungkinan dalam kedua suratnya
terhadap editor Architectural Record.