Anda di halaman 1dari 18

JUVENILE ANGIOFIBROMA

NASOFARING
Oleh : Rakhmad Triharsadi

Pembimbing :
dr.dendy Muhono, Sp.R
dr.farid Wajdi Hafidzm Sp.R
Pendahuluan
• Angiofibroma pertama kali dijelaskan oleh Hippocrates pada abad
ke-5 SM, namun Friedberg pertama kali menggunakan istilah
angiofibroma pada tahun 1940

• Angiofibroma berasal dari dua kata, yaitu angioma dan fibroma


Angioma adalah malformasi arteriovenosa kongenital yang diderita
sejak lahir dan lambat laun membesar
fibroma merupakan tumor yang terutama terdiri dari jaringan
fibrosa atau jaringan penyambung yang berkembang secara
sempurna
Tinjauan Pustaka
-Anatomi

• Faring dibagi menjadi tiga bagian


utama yaitu
• sepertiga bagian proksimal, dibatasi
oleh palatum mole disebut nasofaring
• dua per tiga bagian distal dibagi
secara imaginer menjadi orofaring
(mesofaring) dan laringofaring
(hipofaring)
Definisi juvenile angiofibroma nasofaring

• Tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histologik jinak


namun secara klinis bersifat ganas

• Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT

• Diperkirakan hanya merupakan 0,05% dari tumor leher dan kepala.

• Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun.
Jarang terjadi pada usia di atas 25 tahun
Etiologi

• Penyebab dari angiofibroma nasofaring juvenil belum dapat


diketahui secara pasti

• Teori jaringan asal pertumbuhan abnormal jaringan


fibrokartilago embrional  daerah oksipitalis os sfenoidalis
• Teori ketidakseimbangan hormonal aktivitas pituitari
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon
androgen dan atau kelebihan hormon estrogen.
Patofisiologi dan manifestasi klinis

• Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di


tepi sebelah posterior dan lateral koana di atas
nasofaringTumor akan tumbuh besar dan meluas
di bawah mukosameluas ke arah bawah
membentuk tonjolan massa di atas rongga hidung
posterior. Perluasan ke arah anterior diawali dari
bagian bawah selaput lendir nasofaring ke
anterior dan inferior ruang postnasal. Akhirnya,
rongga hidung akan terisi pada satu sisi, dan
septum akan menyimpang ke sisi lain.
• Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding posterior sinus
maksila.
• Bila meluas terus akan masuk ke fossa intratemporal lalu menyusuri rahang atas
bagian belakang masuk ke jaringan lunak antara otot maseter dan businator yang
akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah.
• Apabila tumor telah meluas hingga fisura orbitalis, maka tumor akan mendorong
salah satu atau kedua bola mata sehingga mengakibatkan terjadinya proptosis
• Penyumbatan tumor pada ostium tuba eustachius dapat
menimbulkan otitis media.
• Bila tumor meluas ke rongga hidung dapat menimbulkan
penyumbatan pada ostium sinus sehingga terjadi sinusitis.
• Perluasan tumor ke arah orofaring dapat menekan palatum molle
sehingga menimbulkan disfagia yang lambat laun juga akan
menyebabkan sumbatan jalan napas.
Diagnosis

• Anamnesis : Diketahui adanya trias gejala berupa epistaksis masif


yang berulang, rasa sumbatan pada hidung dan rasa penuh pada
wajah

• rinoskopi posterior : terlihat massa tumor yang konsistensinya


kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda,
dengan konsistensi kenyal dan permukaan licin
Radioanatomi
• Ket:Gambaran normal nasofaring, sinus maksilaris dan fossa
infratemporal.
• A. CT scan aksial melalui porsi tengah dari sinus maksilaris (M)
dan bagian atas dari prosesus odontoid (13) menunjukan septum
nasal, turbinate inferior (1), nasofaring (NP), otot temporalis (2),
prosesus coronoid (3), zigoma (4), otot masseter (5), glandula
parotis (6), prosesus styloid (7), otot longus kapitis (8), tonus
tubarius (9), otot tensor veli palatini (10), plate pterygoid lateral
(11), dan otot pterygoid lateral (12). Densitas yang terlihat di
belakang torus sebagian besar disebabkan oleh otot levator veli
palatini. Tensor veli palatini jarang terlihat sebagai muscle
bundle yang berbeda. Sebagian dari densitas yang terlihat dari
medial ke lateral pterygoid plate disebabkan oleh otot tensor veli
palatini. (10). Dari medial ke lobus dalam glandula parotid (6),
ruang simetris densitas rendah parafaring terlihat. Pada posterior
prosesus styloid terlihat densitas stuktur neurovascular
petrostyloid.
• B. Scan axial proton-weighed magnetic resonance menunjukan
otot quadratus labii superior (open arrow), otot orbicularis oculi
dan zigomatikus (white and black arrows), vena angularis (white
arrows), tulang zigomatikum (Z), antrum maksilaris (*), turbinasi
nasal (N), otot masseter (M), otot pterygoid (P), mandibular
(curved arrow), vena retromadibular (arrowhead), arteri veterbra
(white and black arrows), otot longus colli (L), eksterna(e) and
interna (I), arteri carotis, vena jugularis (J) dan otot temporalis
(T).
Pemeriksaan penunjang

• foto polos
• Foto polos lateral menunjukkan adanya
massa besar di nasofaring yang menggeser
diding antral posterior ke anterior (tanda
panah). Massa tersebut juga meluas ke
sinus sphenoid.
CT scan  Pemeriksaan ini akan memberikan gambaran adanya massa di daerah
posterior rongga hidung dan fossa pterigopalatina serta adanya erosi tulang di belakang
foramen spenopalatina.

• CT scan axial dengan kontras


memperlihatkan massa di nasofaring
kiri dan fossa nasal yang telah
meluas ke antrum kiri, melebar ke
fossa pterigopalatina kiri, dan
meluas ke fossa infratemporal kiri
(tanda panah).
• Angiofibroma nasofaring juvenil
meluas ke fossa pterigopalatina. CT
scan memperlihatkan pembesaran
dari fossa pterigopalatina (small
black arrowheads) oleh massa yang
meluas. Terdapat perubahan bentuk
yang mendorong dinding posterior
sinus maksilaris ke anterior. Plat
pterigoid terdorong sedikit ke
posterior.
MRI

• Gambaran MRI dari seorang laki-


laki dengan angofibroma
nasofaring juvenil. Metalic dental
braces menyebabkan struktur
facial anterior mengalami distorsi
pada gambaran T1-weighted yang
mengisi kavum nasi (tanda panah)
dan nasofaring. Maksilaris
anterior dan sebagian dari hidung
telah terdistorsi
Angiografi

• Pemeriksaan angiografi (arteriografi)


bertujuan melihat pembuluh darah
pemasok utama (feeding vessel)
untuk tumor serta mengevaluasi besar
dan perluasan tumor.

A. Angiografi pada arteri maksilaris interna


memperlihatkan tumor blush. B. Gambaran
angiografi post-embolisasi
Stadium

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut: Klasifikasi menurut Fisch:


Stage IA : Tumor terbatas di nares posterior
dan atau nasofaringeal voult Stage I : Tumor terbatas di rongga
Stage IB : Tumor meliputi nares posterior dan hidung, nasofaring tanpa mendestruksi
atau nasofaringeal voult dengan meluas tulang.
sedikitnya 1 sinus paranasal. Stage II : Tumor menginvasi fossa
Stage IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan
pterigomaksila destruksi tulang.
Stage IIB : Tumor memenuhi fossa
Stage III : Tumor menginvasi fossa infra
pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita.
Stage IIIA : Tumor telah mengerosi dasar
temporal, orbita dengan atau regio
tengkorak dan meluas sedikit ke intrakranial parasellar.
Stage IIIB : Tumor telah meluas ke Stage IV : Tumor menginvasi sinus
intrakranial dengan atau tanpa meluas ke kavernosus, regio chiasma optik dan
sinus kavernosus. atau fossa pituitari.
Penatalaksanaan

• Operasi  merupakan tindakan utama untuk menentukan secara


pasti dimana lokasi tumor, perluasannya dan cara pembedahannya

• Radioterapi  merupakan terapi pilihan terutama bagi angiofibroma


nasofaring yang rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang
mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko yang tinggi
terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan
pembedahan

• Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II


dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid)
Prognosis

• Prognosis angiofibroma pada penderita dimana angka kekambuhan


setelah terapi dilaporkan bervariasi antara 6 % hingga 57%.Salah
satu penelitian menyebutkan angka rekuren 2,5% dari 19-40
penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang ada
mengalami kekambuhan sampai 12 kali. Angka mortalitas penyakit
ini sekitar 3%.

Anda mungkin juga menyukai