Anda di halaman 1dari 39

FARMAKOVIGILAN

S
KELOMPOK 2

1. Aivi Yola Dwiputri (2121012002)


2. Widya Asteti Putri (2121012004)
3. Rizqa Hasanah (2121012020)
4. Ariesta Kirana Efmisa (2121012026)

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apt. Almahdy A., M.Si


Pokok Pembahasan
01 02

Sejarah dan Ruang Lingkup Mitra Dalam Sistem


Farmakovigilans Farmakovigilans

03 06

Laporan Kasus Kasus dan Post Marketing


Farmakovigilans Survailance & Efek
Samping Obat
K O V I G I L
FARMA
AN ???

Ilmu dan kegiatan yang berhubungan dengan


deteksi, penilaian/evaluasi, pemahaman dan
pencegahan terhadap dampak dari reaksi yang
merugikan atau hal-hal lain yang mungkin terjadi
terkait dengan masalah penggunaan obat (WHO,
2000).
● Sejak Sejarah Farmakovigilans
terjadinya ● The Sixteenth World Health
tragedi yang Assembly tahun 1963
disebabkan mengadopsi resolusi WHA
yang menegaskan kembali
oleh perlunya tindakan awal
thalidomide Pada tahun 1962, berkaitan dengan sosialisasi
pada tahun Amandemen Kefauver yang cepat tentang kejadian
tidak diinginkan dan kemudian
1961, yaitu – Harris disahkan oleh
menjadi cikal bakal
terjadinya US Congress sebagai dibentuknya WHO Pilot
cacat jawaban atas tragedi Research Project for
thalidomide. Peraturan International Drug Monitoring
kongenital pada tahun 1968. Tujuan
ini mengharuskan
pada ribuan adanya pembuktian penelitian ini adalah
bayi yang khasiat dan keamanan mengembangkan suatu sistem,
yang dapat diterapkan secara
dilahirkan obat sebelum internasional, untuk
oleh wanita diedarkan. mengetahui efek samping obat.
yang Laporan teknis WHO
kemudian disusun berdasarkan
menggunakan rapat konsultasi yang
thalidomide diselenggarakan pada tahun
pada masa 1971.
Berikut ini beberapa contoh sistem yang dimaksud:

1) Sistem pemantauan 2) Sistem record linkage


pemberian resep di Amerika Serikat dan
(Prescription Event Kanada
Monitoring System-
PEM) yang
diterapkan di New
Zealand dan Inggris
3) Penelitian/studi kasus
kontrol (case control
study) di Amerika
Serikat
Dari kegiatan awal inilah kemudian timbul praktek dan
ilmu pengetahuan tentang farmakovigilans.

Adanya Pembentukan International Society of


Pharmacoepidemiology (ISPE) pada tahun 1984 dan European
Society of Pharmacovigilance (ESOP – yang kemudian menjadi
ISoP–the International Society of Pharmacovigilance) pada
tahun 1992 menandai pengenalan farmakovigilans secara resmi
ke dalam dunia penelitian dan akademis, dan meningkatkan
integrasinya ke dalam kegiatan/praktek klinis.
KENAPA DI
PERLUKAN ????

1. Mencegah dampak dari reaksi yang merugikan pada manusia akibat


penggunaan produk obat yang secara resmi telah disetujui
peredarannya, baik di dalam maupun di luar otoritas pemasaran, atau
dari paparan lingkungan kerja
2. Untuk meningkatkan produk pengobatan yang aman dan efektif, yaitu
dengan memberikan informasi terkait keamanan produk tsb kepada
pasien, tenaga kesehatan dan masyarakat.

Dengan adanya farmakovigilan, informasi keamanan penggunaan obat


khususnya pada populasi yang rentan dapat diperoleh, termasuk juga
keamanan penggunaan obat pada wanita hamil.
Ruang Lingkup Farmakovigilans
1 Obat
2 Produk biologi (produk darah, vaksin, produk rekombinan
biosimilar)

3 Obat herbal

4 Obat tradisional dan suplemen kesehatan

5 Alat kesehatan
Lanjutan....

Termasuk dalam kegiatan Farmakovigilans adalah pengumpulan laporan


dugaan efek yang tidak diinginkan (suspected adverse reaction).

Adverse reaction adalah respons terhadap produk pengobatan (medical


products) yang berbahaya dan tidak diinginkan, termasuk yang ditimbulkan
pada kondisi penggunaan sesuai izin edar yang disetujui, penggunaan di luar
izin yang disetujui termasuk penggunaan dalam dosis berlebih, penggunaan
di luar indikasi (off-label use), penggunaan yang tidak tepat (misuse),
penyalahgunaan (abuse) dan kesalahan pengobatan (medication error), serta
paparan akibat pekerjaan (occupational exposure).
Mitra Dalam Farmakovigilans
Sentra Farmakovogilans di Tenaga Proseional
Badan Pengawas Obat dan Kesehatan
Makanan (Badan POM) Balai Besar/Balai POM

 Menjalin komunikasi  Mendeteksi, mencatat


kejadian tidak dinginkan dan
 Pusat Farmakovigilans Nasional  Mengumpulkan laporan melakukan penilaian
kejadian tidak diinginkan kausalitas
 Mengembangkan kebijakan dan
rencana kerja nasional dalam  Memantau  Melaporkan setiap kejadian
pelaksanaan
sistem farmakovigilans nasional tidak diinginkan
tindak lanjut regulatori terkait
keamanan obat
 Mengelola laporan  Menyimpan dokumen klinis
farmakovigilans kejadian tidak diinginkan
 Meningkatkan kecepatan
tindak lanjut terkait keamanan  Mengedukasi pasien agar
 Mengelola sistem database obat menginformasikan kepada
tenaga profesional
 Secara berkala melakukan  Meningkatkan koordinasi kesehatan jika diduga
penelusuran literatur ilmiah lintas sektor dan lintas mengalami kejadian tidak
berdasarkan kejadian tidak program diinginkan
diinginkan dari suatu obat
 Merupakan bagian dari tim  Melakukan tindakan yang
pemeriksa farmakovigilans dianjurkan oleh pusat
farmakovigilans nasional
Lanjutan....
Industri Farmasi atau Tim Ahli Pasien/Masyarakat Umum
Pemegang Izin Edar Farmakovigilans

 Membangun sistem
farmakovigilans di industri
farmasi

 Memastikan adanya perjanjian  Penilaian kausalitas dari


 Mematuhi pengobatan yang
pelaksanaan farmakovigilans laporan kejadian tidak sudah ditentukan
dengan pihak lain Mengelola diinginkan
laporan farmakovigilans  Melaporkan kejadian tidak
 Menilai rasio manfaat/risiko diinginkan kepada tenaga
 Melakukan pemantauan, obat dan memberikan profesional kesehatan
pengumpulan, penilaian, dan rekomendasi
pelaporan masalah keamanan  Memberikan informasi
produk  Memberikan bantuan teknis selengkap-lengkapnya,
telaah dan rekomendasi sesuai dengan yang
sesuai bidang keahlian. dibutuhkan untuk dapat
 Menyampaikan informasi ke melakukan analisis.
Badan POM sebelum
inspeksi/audit pemeriksaan
farmakovigilans
Hubungan antara Pemangku Kepentingan dalam Sistem Farmakovigilans di Indonesia
Laporan Farmakovigilans

Laporan farmakofigilance

Individual Case
Pelaporan Safety Report
Periodic Safety Update
Report (PSUR ) /
(PBRER) Periodic Bebefit
spontan (ICSR) Risk Evaluation Report
Pelaporan Spontan
Pelaporan spontan adalah
suatu sistem yang seluruhnya
Pelaporan spontan merupakan bergantung pada motivasi dari
pelaporan kejadian tidak setiap individu untuk mencatat
diinginkan / efek samping obat dan mengirimkan informasi
yang bersifat sukarela ketika tentang sesuatu yang buruk
tenaga profesional kesehatan yang telah terjadi pada pasien
atau pasien memutuskan kepada organisasi yang
melaporkan adanya dampak bertanggungjawab untuk
buruk suatu obat. mengumpulkan laporan atas
akibat yang tidak
diharapkan/dampak buruk.
Individual Case Safety Report (ICSR)

Ddigunakan untuk melaporkan reaksi merugikan yang dicurigai


akibat penggunaan produk obat, yang muncul pada pasien tertentu
pada waktu tertentu kepada Pusat Farmakovigilans Nasional
(Badan POM).
Pemegang izin edar dan tenaga profesional kesehatan hendaknya
memastikan bahwa ICSR selengkap mungkin dan harus
mengkomunikasikan semua pembaruan (update) laporan ke Pusat
Farmakovigilans Nasional (Badan POM) secara akurat dan dapat
diandalkan.
Lanjutan....

ICSR harus memasukkan paling tidak 4 hal sebagai berikut:


1. Pelapor yang terindentifikasi
2. Pasien yang terindentifikasi
3. Reaksi yang tidak diharapkan / merugikan yang diduga
disebabkan obat
4. Produk obat terkait

Pemegang izin Edar dan profesional kesehatan hendaknya


mencatat secara rinci informasi yang diperlukan untuk
mendapatkan informasi lanjutan atas laporan kasus keamanan
individu. Informasi lanjutan tersebut harus didokumentasikan
dengan baik dan benar
informasi yang ada untuk setiap kasus individu, termasuk hal-hal
berikut ini:
a. informasi administratif :
1. jenis laporan
2. tanggal laporan
3. nomor identifikasi kasus yang unik
4. nomor identifikasi pengirim dan jenis pengirim
5. tanggal pertama kali laporan diterima dari sumber
6. tanggal penerimaan informasi yang terbaru (update information)
7. referensi dokumen tambahan (jika dapat dilakukan)
b. informasi tentang sumber utama informasi yang mengindentifikasi kualifikasi dari pelapor
dan tenaga profesional kesehatan
c. informasi pasien (dan orang tua apabila laporan datang dari orang tua pasien) :
1. usia pada saat terjadinya reaksi
2. kelompok umur
3. masa gestasi ketika reaksi / kejadian diobservasi pada janin
4. berat, tinggi atau jenis kelamin
5. tanggal terakhir menstruasi dan / atau masa gestasi pada saat terpapar
d. riwayat kesehatan (medis) yang relevan dan kondisi yang menyertai
e. informasi produk obat yang dicurigai
1. nama produk obat, termasuk bercampurnya produk obat atau, dimana nama produk tidak diketahui
2. zat aktif dan karakter lainnya yang dapat dipakai untuk mengindentifikasi produk obat
3. nama pemegang izin edar, Nomor Ijin Edar
4. bentuk sediaan farmasi dan cara pemberian obat
5. indikasi yang digunakan pada kasus
6. dosis yang digunakan
7. tanggal mulai dan akhir dari pengobatan
8. informasi dechallenge dan rechallenge
f. nomor batch, utamanya untuk produk biologi
g. produk obat yang digunakan bersamaan, diidentifikasi sesuai dengan poin (e)
h. informasi tentang KTD yang dicurigai: \
1. tanggal mulai dan akhir adanya reaksi yang dicurigai atau lamanya
2. tingkat keseriusan dan keparahan KTD
3. waktu onset antara pemberian produk obat yang dicurigai dengan saat pertama munculnya reaksi tersebut
i. hasil uji dan prosedur yang berhubungan dengan penyelidikan terhadap pasien
j. tanggal dan laporan penyebab kematian, termasuk hasil otopsi penyebab kematian pasien
k. narasi kasus, bila memungkinkan, memberikan semua informasi yang relevan untuk kasus individu dengan
pengecualian untuk reaksi yang tidak diharapkan yang tidak terlalu serius/gawat.
Periodic Safety Update Report (PSUR) / Periodic Benefit
Risk Evaluation Report (PBRER)

PSUR dan PBRER adalah dokumen farmakovigilans yang bertujuan


untuk memberikan penilaian atas kesimbangan risiko-manfaat dari
produk obat untuk diserahkan oleh pemegang izin edar pada waktu
yang telah ditentukan selama fase pasca pemasaran.
Tujuan dari PSUR / PBRER Untuk menyajikan analisa yang lengkap dan kritis
terhadap informasi baru atau mulai berkembang berkenaan dengan risiko dan
jika relevan, bukti baru dari manfaat sehingga memungkinkan untuk menilai
manfaat dan risiko secara keseluruhan. Untuk menampung penilaian informasi
baru yang relevan yang tersedia untuk pemegang izin edar selama masa jeda
pelaporan, bila informasi menumpuk:
1) Periksa apakah informasi baru sesuai dengan pemahaman tentang profil
manfaat risiko sebelumnya
2) Ringkas informasi keamanan baru yang relevan yang kemungkinan
berdampak pada profil manfaat risiko
3) Ringkas semua informasi penting berkaitan dengan khasiat dan keefektifan
yang baru
4) Lakukan penilaian manfaat/risiko yang terintegrasi (dimana informasi
penting keamanan baru telah berkembang) Evaluasi penilaian risiko-
manfaat ini harus dilakukan sesuai dengan farmakovigilans dan manajemen
risiko yang berlaku sekarang ini
Pemegang izin edar harus Periode Waktu PSUR / PBRER
menyerahkan PSUR/PBRER harus disiapkan pada masa
untuk: interval berikut ini:

1. Setiap enam bulan


1. Obat-obatan yang selama dua tahun
mengandung zat dan setahun sekali
kimia baru untuk tiga tahun
termasuk produk berikutnya setelah
biosimilar produk obat
mendapatkan izin
2. Obat sesuai edar
dengan permintaan 2. Segera, jika ada
Badan POM permintaan.
Cara melaporkan secara online dapat dilakukan melalui

1. Pelaporan secara online melalui subsite e-meso :


Kunjungi https://e-meso.pom.go.id
Klik ADR online
Petunjuk pengisian tersedia pada halaman website
tersebut.

2. Formulir Pelaporan ESO :


Formulir dapat diunduh di https://e-meso.pom.go.id
Kirim laporan ke :
Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional Direktorat Pengawasan Keamanan,
Mutu, dan Ekspor Impor Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat
Adiktif.
Kasus dan Post Marketing Survailance & Efek Samping
Obat
• Tragedi Thalidomide (1961-1962)
Pada awalnya Thalidomide diperkenalkan
sebagai obat yang aman dan memiliki efek
hipnotis serta anti muntah yang efektif. Dengan
cepat obat ini menjadi populer untuk mengatasi
muntah dan mual pada wanita hamil di awal
kehamilan. Tragisnya obat ini terbukti teratogen
pada manusia yang mengakibatkan bayi lahir
cacat yang diperkirakan menyerang sekitar
10.000 bayi. Fokomelia adalah ciri khas dari
bayi yang terkena teratogen.
• Tragedi Sulfanilamid (1937):
Tragedi keracunan masal yang disebabkan penggunaan eliksir
Sulfanilamid di Amerika Serikat, dalam peristiwa ini lebih dari 100
orang meninggal dunia. Adanya tuntutan dan protes masyarakat atas
kejadian ini dan tragedi serupa, menyebabkan dikeluarkannya
Peraturan Perundang-undangan tentang Makanan, Obat dan Kosmetik
Tahun 1938.
Beberapa Kasus Penarikan Obat di Dunia karena Alasan Keamanan Obat

• Halcion (Triazolam):
Halcion merupakan depresan sistem saraf pusat yang disetujui di Belanda (1977), Inggris
(1979), Jepang (1982) dan USA (1983).
Efek samping yang umum terjadi berupa: berjalan goyah / tidak terkontrol, kehilangan
keseimbangan atau koordinasi, rasa gelisah, kebingungan, pusing, rasa lelah,
mengantuk di siang hari.
Tindak lanjut regulatori yang dilakukan di beberapa negara sebagai berikut :
1) Belanda (1979), Inggris (1991), Jerman (1992) melakukan pembatalan izin edar.
2) Amerika Serikat & Eropa melakukan pembatasan dosis minimum, membatasi periode
penggunaan, membatasi besar kemasan yaitu dengan kemasankecil yang berisi 10 dan
7 tablet, menyiapkan informasi produk (package insert) untuk pasien.
3) Jepang melakukan revisi informasi produk dengan menambahkan peringatan
(warning) (1987), dan menambahkan informasi pencegahan (precaution) (1992)
• Seldane (Terfenadin):
Terfenadin merupakan selektif periferal antihistamin yang disetujui izin edarnya di Amerika
Serikat pada tahun 1985. Efek samping yang umum terjadi berupa gangguan irama
jantung dikarenakan terjadinya interaksi obat, seperti ketokonazol yang merupakan anti
jamur, atau antibiotik erythomicin. Amerika Serikat melakukan pembatalan izin edar pada
1997.
• Vioxx (Rofecoxib):
Rofecoxib suatu penghambat COX-2, merupakan antiinflamasi non-streroid (NSAID). Obat
ini disetujui di Amerika Serikat pada tahun 1999. Efek samping yang umum terjadi berupa
penyakit jantung serius (serangan jantung infark miokardial). Amerika Serikat membatalkan
izin edarnya pada 2004. Pada tanggal 30 September, 2014, Merck menarik rofecoxib dari
pasaran disebabkan kekhawatiran meningkatnya risiko serangan jantung dan stroke yang
terkait dengan lamanya penggunaan obat dan tingginya dosis yang digunakan. Merck
menarik obat tersebut dari peredaran setelah mengungkapkan adanya data yang
menyebutkan risiko dari penggunaan rofecoxib dari para dokter dan pasien selama lebih
dari lima tahun, yang menyebabkan 88.000 sampai dengan 140.000 kasus serius penyakit
jantung. Di Indonesia Vioxx disetujui izin edarnya pada tahun 2001 dan dibatalkan izin
edarnya pada tahun 2004.
• Bextra (Valdecoxib):
Valdecoxib merupakan anti-imflamasi non steroid, golongan Penghambat COX-2, obat ini
disetujui di Amerika Serikat pada tahun 2001. Efek samping yang umum terjadi berupa
serangan jantung, stroke, angina, Stevens-Johnson Syndrome. Pembatalan izin edar
dilakukan pada tahun 2005 di Amerika Serikat.
Post Marketing Survailance

Badan POM merupakan otoritas regulatori obat di Indonesia yang melaksanakan tugas
dan fungsi pengawasan pre dan post market obat yang beredar di Indonesia, yang
bertujuan untuk mengawal aspek khasiat, keamanan, dan mutu obat dalam rangka
melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan daya saing produk Indonesia.
(BPOM, 2020).
Efek Samping Obat

Efek samping obat (ESO) merupakan setiap efek berbahaya yang tidak
diinginkan dan terjadi secara tidak sengaja dari suatu obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan,
diagnosis atau terapi, serta modifikasi fungsi fisiologis (WHO, 2014). Menurut
Sifareina yang menyatakan bahwa Efek Samping Obat merupakan respon suatu
obat yang dapat merugikan yang terjadi pada dosis yang biasa digunakan dalam
pencegahan, diagnosis atau terapi penyakit (Sifareina et al., 2021). Bukti tentang
efek samping obat dapat dicegah, dengan cara menambah pengetahuan, yang
diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran
atau farmakovigilans (BPOM, 2020).
Program farmakovigilans yang digagas oleh WHO merekomendasikan
setiap negara untuk melakukan pelaporan efek samping obat, baik
secara aktif maupun spontan (pasif) dalam upaya mengidentifikasi obat-
bat yang bisa menyebabkan efek samping obat (WHO, 2014).
Farmakovigilans merupakan seluruh kegiatan tentang pendeteksian,
penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat (WHO, 2014). Farmakovigilans
(Pharmacovigilance) merupakan ilmu dan seluruh rangkaian aktivitas
yang berkaitan dengan pendeteksian, memahami dan mencegah efek
samping atau efek yang tidak dikehendaki lainnya (S. Kumar & Pandey,
2013).
Mengapa Post Marketing Surveillance (PMS) dan Pelaporan Efek
Samping Obat (ESO) Sangat Diperlukan ?
Informasi efek samping obat yang dikumpulkan pada fase pengembangan obat dan pada
fase pra pemasaran belum cukup untuk memberikan gambaran profil keamanan obat pada
populasi yang luas. Hal ini disebabkan hal-hal sebagai berikut:
• Uji pra klinik pada hewan tidak mencukupi untuk memberikan gambaran profil
keamanan pada manusia. Subjek yang dilibatkan dalam uji klinik adalah subjek terpilih
dengan kriteria-kriteria tertentu dan jumlahnya terbatas, kondisi penggunaannya
berbeda dengan yang ada dalam praktek klinik, selain itu juga durasi uji klinik sangat
terbatas. Pada umumnya, pada saat pemberian izin edar obat, data penggunaan pada
subjek manusia kurang dari 5000 yang kemungkinan hanya dapat mendeteksi ESO
yang bersifat umum atau frekuensi kejadiannya tinggi.

• Data keamanan obat pada saat pengembangan/penelitian belum dapat menangkap


informasi efek samping yang serius namun jarang, tokisitas kronik, keamanan pada
penggunaan dalam kelompok khusus (seperti anak-anak, usia lanjut atau wanita
hamil/menyusui) atau interaksi obat.
Bagaimana Pelaporan ESO Secara Voluntary dapat
Mempengaruhi Perubahan Informasi Produk Obat?

Laporan ESO memiliki kontribusi yang sangat besar dalam deteksi dini signal
keamanan obat serta dapat digunakan untuk tindakan pencegahan timbulnya
permasalahan risiko pada penggunaan obat. Dengan mengetahui efek samping
atau informasi keamanan obat, diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya diri
tenaga kesehatan serta melindungi masyarakat dari efek samping obat yang
tidak diinginkan.
Industri Farmasi harus memiliki suatu sistem Farmakovigilans yang dapat
menunjang pelaksanaan kewajibannya dalam melakukan pemantauan
keamanan obat yang diedarkan. Sistem Farmakovigilans dimaksud harus
disusun sedemikian rupa untuk merefleksikan tanggung jawab dan kemampuan
Industri Farmasi untuk dapat mengambil tindak lanjut yang diperlukan dalam
rangka menjamin keamanan produk yang diedarkan (BPOM, 2012)
KESIMPULAN
 Thalidomide, terlepas dari banyak penderitaan dan kesedihan yang
ditimbulkan akibat bencana pada awal tahun 60-an tersebut, memicu banyak
pembelajaran. Banyak inisiatif yang dilakukan dalam upaya mempelajari,
memahami dan mencegah terulangnya kejadian sejenis atau yang lebih parah.
 Pada akhirnya keamanan penggunaan suatu obat tergantung dari
kewaspadaan dan kehati-hatian dalam penggunaannya. Penggunaan obat
yang tepat memungkinkan didapatnya manfaat yang lebih besar dibanding
risikonya.
 Dengan pemahaman dan penerapan Farmakovigilans, pemantauan keamanan
penggunaan obat dapat dilakukan dengan lebih baik, sehingga risiko dapat
dideteksi, dinilai, dipahami dan lebih mungkin untuk dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM. (2012). PEDOMAN TEKNIS PENERAPAN
FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI.

BPOM. (2020). Modul Farmakovigilans Dasar. BPOM.

Kemenkes. (2014a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No. 35. Standar Pelayanan kefarmasian di apotek.

Kemenkes. (2014b). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No. 58. Standar Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai