S
KELOMPOK 2
03 06
3 Obat herbal
5 Alat kesehatan
Lanjutan....
Membangun sistem
farmakovigilans di industri
farmasi
Laporan farmakofigilance
Individual Case
Pelaporan Safety Report
Periodic Safety Update
Report (PSUR ) /
(PBRER) Periodic Bebefit
spontan (ICSR) Risk Evaluation Report
Pelaporan Spontan
Pelaporan spontan adalah
suatu sistem yang seluruhnya
Pelaporan spontan merupakan bergantung pada motivasi dari
pelaporan kejadian tidak setiap individu untuk mencatat
diinginkan / efek samping obat dan mengirimkan informasi
yang bersifat sukarela ketika tentang sesuatu yang buruk
tenaga profesional kesehatan yang telah terjadi pada pasien
atau pasien memutuskan kepada organisasi yang
melaporkan adanya dampak bertanggungjawab untuk
buruk suatu obat. mengumpulkan laporan atas
akibat yang tidak
diharapkan/dampak buruk.
Individual Case Safety Report (ICSR)
• Halcion (Triazolam):
Halcion merupakan depresan sistem saraf pusat yang disetujui di Belanda (1977), Inggris
(1979), Jepang (1982) dan USA (1983).
Efek samping yang umum terjadi berupa: berjalan goyah / tidak terkontrol, kehilangan
keseimbangan atau koordinasi, rasa gelisah, kebingungan, pusing, rasa lelah,
mengantuk di siang hari.
Tindak lanjut regulatori yang dilakukan di beberapa negara sebagai berikut :
1) Belanda (1979), Inggris (1991), Jerman (1992) melakukan pembatalan izin edar.
2) Amerika Serikat & Eropa melakukan pembatasan dosis minimum, membatasi periode
penggunaan, membatasi besar kemasan yaitu dengan kemasankecil yang berisi 10 dan
7 tablet, menyiapkan informasi produk (package insert) untuk pasien.
3) Jepang melakukan revisi informasi produk dengan menambahkan peringatan
(warning) (1987), dan menambahkan informasi pencegahan (precaution) (1992)
• Seldane (Terfenadin):
Terfenadin merupakan selektif periferal antihistamin yang disetujui izin edarnya di Amerika
Serikat pada tahun 1985. Efek samping yang umum terjadi berupa gangguan irama
jantung dikarenakan terjadinya interaksi obat, seperti ketokonazol yang merupakan anti
jamur, atau antibiotik erythomicin. Amerika Serikat melakukan pembatalan izin edar pada
1997.
• Vioxx (Rofecoxib):
Rofecoxib suatu penghambat COX-2, merupakan antiinflamasi non-streroid (NSAID). Obat
ini disetujui di Amerika Serikat pada tahun 1999. Efek samping yang umum terjadi berupa
penyakit jantung serius (serangan jantung infark miokardial). Amerika Serikat membatalkan
izin edarnya pada 2004. Pada tanggal 30 September, 2014, Merck menarik rofecoxib dari
pasaran disebabkan kekhawatiran meningkatnya risiko serangan jantung dan stroke yang
terkait dengan lamanya penggunaan obat dan tingginya dosis yang digunakan. Merck
menarik obat tersebut dari peredaran setelah mengungkapkan adanya data yang
menyebutkan risiko dari penggunaan rofecoxib dari para dokter dan pasien selama lebih
dari lima tahun, yang menyebabkan 88.000 sampai dengan 140.000 kasus serius penyakit
jantung. Di Indonesia Vioxx disetujui izin edarnya pada tahun 2001 dan dibatalkan izin
edarnya pada tahun 2004.
• Bextra (Valdecoxib):
Valdecoxib merupakan anti-imflamasi non steroid, golongan Penghambat COX-2, obat ini
disetujui di Amerika Serikat pada tahun 2001. Efek samping yang umum terjadi berupa
serangan jantung, stroke, angina, Stevens-Johnson Syndrome. Pembatalan izin edar
dilakukan pada tahun 2005 di Amerika Serikat.
Post Marketing Survailance
Badan POM merupakan otoritas regulatori obat di Indonesia yang melaksanakan tugas
dan fungsi pengawasan pre dan post market obat yang beredar di Indonesia, yang
bertujuan untuk mengawal aspek khasiat, keamanan, dan mutu obat dalam rangka
melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan daya saing produk Indonesia.
(BPOM, 2020).
Efek Samping Obat
Efek samping obat (ESO) merupakan setiap efek berbahaya yang tidak
diinginkan dan terjadi secara tidak sengaja dari suatu obat yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis normal pada manusia untuk tujuan pencegahan,
diagnosis atau terapi, serta modifikasi fungsi fisiologis (WHO, 2014). Menurut
Sifareina yang menyatakan bahwa Efek Samping Obat merupakan respon suatu
obat yang dapat merugikan yang terjadi pada dosis yang biasa digunakan dalam
pencegahan, diagnosis atau terapi penyakit (Sifareina et al., 2021). Bukti tentang
efek samping obat dapat dicegah, dengan cara menambah pengetahuan, yang
diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran
atau farmakovigilans (BPOM, 2020).
Program farmakovigilans yang digagas oleh WHO merekomendasikan
setiap negara untuk melakukan pelaporan efek samping obat, baik
secara aktif maupun spontan (pasif) dalam upaya mengidentifikasi obat-
bat yang bisa menyebabkan efek samping obat (WHO, 2014).
Farmakovigilans merupakan seluruh kegiatan tentang pendeteksian,
penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat (WHO, 2014). Farmakovigilans
(Pharmacovigilance) merupakan ilmu dan seluruh rangkaian aktivitas
yang berkaitan dengan pendeteksian, memahami dan mencegah efek
samping atau efek yang tidak dikehendaki lainnya (S. Kumar & Pandey,
2013).
Mengapa Post Marketing Surveillance (PMS) dan Pelaporan Efek
Samping Obat (ESO) Sangat Diperlukan ?
Informasi efek samping obat yang dikumpulkan pada fase pengembangan obat dan pada
fase pra pemasaran belum cukup untuk memberikan gambaran profil keamanan obat pada
populasi yang luas. Hal ini disebabkan hal-hal sebagai berikut:
• Uji pra klinik pada hewan tidak mencukupi untuk memberikan gambaran profil
keamanan pada manusia. Subjek yang dilibatkan dalam uji klinik adalah subjek terpilih
dengan kriteria-kriteria tertentu dan jumlahnya terbatas, kondisi penggunaannya
berbeda dengan yang ada dalam praktek klinik, selain itu juga durasi uji klinik sangat
terbatas. Pada umumnya, pada saat pemberian izin edar obat, data penggunaan pada
subjek manusia kurang dari 5000 yang kemungkinan hanya dapat mendeteksi ESO
yang bersifat umum atau frekuensi kejadiannya tinggi.
Laporan ESO memiliki kontribusi yang sangat besar dalam deteksi dini signal
keamanan obat serta dapat digunakan untuk tindakan pencegahan timbulnya
permasalahan risiko pada penggunaan obat. Dengan mengetahui efek samping
atau informasi keamanan obat, diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya diri
tenaga kesehatan serta melindungi masyarakat dari efek samping obat yang
tidak diinginkan.
Industri Farmasi harus memiliki suatu sistem Farmakovigilans yang dapat
menunjang pelaksanaan kewajibannya dalam melakukan pemantauan
keamanan obat yang diedarkan. Sistem Farmakovigilans dimaksud harus
disusun sedemikian rupa untuk merefleksikan tanggung jawab dan kemampuan
Industri Farmasi untuk dapat mengambil tindak lanjut yang diperlukan dalam
rangka menjamin keamanan produk yang diedarkan (BPOM, 2012)
KESIMPULAN
Thalidomide, terlepas dari banyak penderitaan dan kesedihan yang
ditimbulkan akibat bencana pada awal tahun 60-an tersebut, memicu banyak
pembelajaran. Banyak inisiatif yang dilakukan dalam upaya mempelajari,
memahami dan mencegah terulangnya kejadian sejenis atau yang lebih parah.
Pada akhirnya keamanan penggunaan suatu obat tergantung dari
kewaspadaan dan kehati-hatian dalam penggunaannya. Penggunaan obat
yang tepat memungkinkan didapatnya manfaat yang lebih besar dibanding
risikonya.
Dengan pemahaman dan penerapan Farmakovigilans, pemantauan keamanan
penggunaan obat dapat dilakukan dengan lebih baik, sehingga risiko dapat
dideteksi, dinilai, dipahami dan lebih mungkin untuk dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
BPOM. (2012). PEDOMAN TEKNIS PENERAPAN
FARMAKOVIGILANS BAGI INDUSTRI FARMASI.