Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

SEJARAH PERKEBUNAN KARET DI


INDONESIA
PERANAN KARET BAGI
PEREKONOMIAN INDONESIA
PERKEMBANGAN PERKEBUNAN
KARET DI INDONESIA
Karet adalah polimer hidrokarbon yang terkandung pada beberapa jenis
tumbuhan, dengan ciri umumnya yaitu berwarna putih. Karet pertama kali
dikenal di Eropa, yaitu sejak ditemukannya benua Amerika oleh Christopher
Columbus pada tahun 1476. Orang Eropa yang pertama kali menemukan ialah
Pietro Martyre d’Anghiera yang dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul
De Orbe Novo (Edisi 1530).
Pada tahun 1730-an, para ilmuwan mulai tertarik untuk menyelidiki bahan
(karet) tersebut, hingga akhirnya Charles Goodyear pada tahun 1838
menemukan cara dengan dicampurkannya belerang kemudian dipanaskan
maka karet tersebut menjadi elastis dan tidak terpengaruh lagi oleh cuaca.
Sebagian besar ilmuwan sepakat untuk menetapkan Charles Goodyear
sebagai penemu proses vulkanisasi. Penemuan besar proses vulkanisasi ini
akhirnya disebut sebagai awal dari perkembangan industri karet.

Di Indonesia sendiri, tanaman karet pertama kali diperkenalkanpada waktu


masih jajahan belanda oleh Hofland pada tahun 1864. Awalnya, karet ditanam
di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi dan selanjutnya dikembangkan
menjadi tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah. Jenis yang
pertama kali diuji cobakan adalah species Ficus elastica atau karet rembung.
Jenis karet Havea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bagian timur pada
tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. (Tim Penebar Swadaya, 2008).

Sejarah karet di Indonesia mencapai puncaknya pada periode sebelum Perang


Dunia II hingga tahun 1956. Pada masa itu Indonesia menjadi negara penghasil
karet alam terbesar di dunia. Namun sejak tahun 1957 kedudukan Indonesia
sebagai produsen karet nomor satu digeser oleh Malaysia. Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya mutu produksi karet alam di Indonesia.

Pohon karet memerlukan suhu tinggi yang konstan (26-32 derajat Celsius) dan
lingkungan yang lembab supaya dapat berproduksi maksimal. Kondisi-kondisi
ini ada di Asia Tenggara tempat sebagian besar karet dunia diproduksi.
Sekitar 70 persen dari produksi karet global berasal dari Thailand, Indonesia
dan Malaysia.
Memerlukan waktu tujuh tahun untuk sebatang pohon karet mencapai usia
produksinya. Setelah itu, pohon karet tersebut dapat berproduksi sampai
berumur 25 tahun. Karena siklus yang panjang dari pohon ini, penyesuaian
suplai jangka pendek tidak bisa dilakukan.

1. Negara Produsen Karet Alam Terbesar pada Tahun 2014:


Produksi
Negara (dalam ton)

1. Thailand 4,070,000

2. Indonesia 3,200,000

3. Malaysia 1,043,000

4. Vietnam 1,043,000

5. India 849,000
Sumber: ANRPC
2.

KARET ALAM DI INDONESIA

Produksi dan Ekspor Karet Indonesia

Sebagai produsen karet terbesar kedua di dunia, jumlah suplai karet Indonesia
penting untuk pasar global. Sejak tahun 1980an, industri karet Indonesia telah
mengalami pertumbuhan produksi yang stabil. Kebanyakan hasil produksi
karet negara ini - kira-kira 80 persen - diproduksi oleh para petani kecil. Oleh
karena itu, perkebunan Pemerintah dan swasta memiliki peran yang kecil
dalam industri karet domestik.

Kebanyakan produksi karet Indonesia berasal dari provinsi-provinsi berikut:

1. Sumatra Selatan
2. Sumatra Utara
3. Riau
4. Jambi
5. Kalimantan Barat
Total luas perkebunan karet Indonesia telah meningkat secara stabil selama
satu dekade terakhir. Di tahun 2016, perkebunan karet di negara ini mencapai
luas total 3,64 juta hektar. Karena prospek industri karet positif, telah ada
peralihan dari perkebunan-perkebunan komoditi seperti kakao, kopi dan teh,
menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan karet. Selama beberapa
tahun ini jumlah perkebunan karet milik petani kecil meningkat, sementara
perkebunan Pemerintah sedikit berkurang, kemungkinan karena perpindahan
fokus mereka ke kebun kelapa sawit yang luas. Luasnya kebun karet pemain
swasta besar berkurang di antara tahun 2010 dan 2012, namun naik cukup
cepat mulai dari tahun 2013.

Luas Perkebunan Karet di Indonesia:


2010 2015 2020

Petani Kecil
(dalam ribu ha) 2,922 3,076

Pemerintah
(dalam ribu ha) 239 230

Swasta Besar
(dalam ribu ha) 284 315

Total
3,445 3,621
(dalam ribu ha)

Sumber: Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo)


Sekitar 85 persen dari produksi karet Indonesia diekspor ke luar negeri.
Hampir setengah dari karet yang diekspor ini dikirimkan ke negara-negara
Asia lain, diikuti oleh Amerika Utara dan Eropa. Lima negara yang paling
banyak mengimpor karet dari Indonesia adalah Amerika Serikat (yang
berkonsumsi hampir 22 percent dari total ekspor Indonesia), Republik Rakyat
Tiongkok (RRT), Jepang, Singapura, dan Brazil.

Konsumsi karet domestik di Indonesia kebanyakan diserap oleh industri-


industri manufaktur Indonesia (terutama sektor otomotif). Mengingat industri
manufaktur industri susah berkembang dengan signifikan, konsumsi karet di
pasar domestik hanya tumbuh dengan sedikit saja.

3. Produksi & Ekspor Karet Alam Indonesia:


2014 2015 2016 2017 2018¹ 2019¹

Produksi
(juta ton) 3.18 3.11 3.2 3.6 3.7 3.8

Volume Ekspor
(juta ton) 2.62 2.63 2.58

Nilai Ekspor
(juta Dollar AS) 4.74 3.70 3.37

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Produksi
(juta ton) 2.75 2.44 2.73 3.09 3.04 3.20

Volume Ekspor
(juta ton) 2.30 1.99 2.20 2.55 2.80 2.70

Nilai Ekspor
(juta Dollar AS) n.a. n.a. 7.33 11.76 7.86 6.91

¹ menunjukkan prognosis
Sumber: Association of Natural Rubber Producing Countries, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) & Food and Agriculture
Organization of the United Nations

Dibandingkan dengan negara-negara kompetitor penghasil karet yang lain,


Indonesia memiliki level produktivitas per hektar yang rendah. Hal ini ikut
disebabkan oleh fakta bahwa usia pohon-pohon karet di Indonesia umumnya
sudah tua dikombinasikan dengan kemampian investasi yang rendah dari para
petani kecil, sehingga mengurangi hasil panen. Sementara Thailand
memproduksi 1.800 kilogram (kg) karet per hektar per tahun, Indonesia hanya
berhasil memproduksi 1.080 kg/ha. Baik Vietnam (1.720 kg/ha) maupun
Malaysia (1.510 kg/ha) memiliki produktivitas karet yang lebih tinggi.

Industri hilir karet Indonesia masih belum banyak dikembangkan. Saat ini,
negara ini tergantung pada impor produk-produk karet olahan karena
kurangnya fasilitas pengolahan-pengolahan domestik dan kurangnya industri
manufaktur yang berkembang baik. Rendahnya konsumsi karet domestik
menjadi penyebab mengapa Indonesia mengekspor sekitar 85 persen dari
hasil produksi karetnya. Kendati begitu, di beberapa tahun terakhir tampak ada
perubahan (walaupun lambat) karena jumlah ekspor sedikit menurun akibat
meningkatnya konsumsi domestik. Sekitar setengah dari karet alam yang
diserap secara domestik digunakan oleh industri manufaktur ban, diikuti oleh
sarung tangan karet, benang karet, alas kaki, ban vulkanisir, sarung tangan
medis dan alat-alat lain.

4. Ekspor Karet Indonesia Menurut Jenis Mutu:


Type 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Lateks Pekat
('000 ton) 12.9 9.5 7.6 5.9 0.5 6.4 6.0

Ribbed Smoked Sheet


('000 ton) 60.2 67.3 66.7 69.3 68.3 80.4 78.4

Technically Specified Rubber


('000 ton) 2,279 2,370 n.a. 2,625 2,550 2,539 2,494

Lain
('000 ton) 1.6 4.4 2.3

Sumber: Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo)

Sebagai importir karet terbesar di dunia, kebijakan-kebijakan RRT bisa


memiliki dampak sangat luas bagi industri karet dunia. Di akhir tahun 2014,
Pemerintah RRT memutuskan untuk menyetujui standar baru untuk impor
senyawa karet. Kandungan karet mentah yang diizinkan dalam senyawa karet
yang diimpor dikurangi dari 95-99,5 persen menjadi 88 persen,
mengimplikasikan bahwa impor senyawa karet ke RRT dikenai beacukai impor
20% (tarif yang sama dengan beacukai impor karet alam). Kebijakan RRT
yang baru ini adalah pukulan bagi para suplier karet dari Indonesia karena
menyebabkan penurunan penggunaan senyawa karet di negara dengan
ekonomi terbesar kedua di dunia.

Masalah lain adalah AS memindahkan ban buatan Indonesia dari sistem


preferensi umumnya (generalized system of preference). Program AS ini
didesain untuk mendukung negara-negara berkembang dengan memotong
beacukai impor dan pajak untuk kira-kira 5.000 produk dari 123 negara. Ban
buatan Indonesia dipindahkan dari daftar sistem ini karena AS meyakini bahwa
industri ban Indonesia sudah cukup kompetitif. Ini berarti ekspor ban ke AS
kini dikenai pajak impor 5 persen.

TREN PASAR, TANTANGAN & HARGA KARET ALAM

Penggerak utama untuk pasar karet global adalah kawasan Asia-Pasifik di


mana permintaan akan karet alam tumbuh dengan kuat, dipimpin oleh China,
konsumen karet terkemuka di dunia dan yang diperkirakan akan konsumsi
hampir 40 persen dari total konsumsi karet dunia pada tahun 2021 (sebagian
besar digunakan dalam industri manufaktur ban). Sementara itu, pertumbuhan
yang kuat dalam konsumsi karet juga diperkirakan terjadi di Indonesia, India,
Vietnam, dan Thailand karena industri otomotif yang berkembang di negara-
negara ini.

Seperti kebanyakan komoditas utama lainnya, harga karet internasional telah


mengalami tekanan mulai dari 2011 waktu aktivitas ekonomi global lemah
(yang berdampak negatif pada industri otomotif) serta melimpahnya pasokan
karet alam. Selain itu, harga minyak mentah yang rendah membuat karet
sintetis sangat kompetitif, sehingga harga karet alam turun secara signifikan
antara awal 2011 dan akhir 2017. Sementara itu, kemajuan dalam
pengembangan ban berbasis bio juga menjadi ancaman bagi industri karet.

Grafik pertama di bawah ini menunjukkan penurunan tajam harga karet alam
mulai dari awal 2011 karena melimpahnya pasokan karet, pertumbuhan
ekonomi yang lamban dan persaingan yang ketat dari karet sintetis.

Harga Karet Alam - Grafik I (data dari Bloomberg):

Harga Karet - Grafik II (data dari Bloomberg):


Negara-negara penghasil karet terkemuka di dunia - Thailand, Indonesia dan
Malaysia - juga telah sepakat untuk membatasi ekspor karet mereka melalui
Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) yang disetujui dalam upaya untuk
meningkatkan harga karet alam internasional. Kesepakatan pertama terjadi
akhir tahun 2012. Penurunan permintaan karet Cina adalah salah satu alasan
utama untuk menerapkan AETS.

Luas Lahan Karet Menurut Status Pengusahaan (1970-2019)


Sumber : Kementerian Pertanian, Jun 2019
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas lahan
perkebunan karet nasional mencapai 3,67 juta ha. Luas tersebut meningkat
72% dibanding posisi 1970 yang baru mencapai 1,81 juta ha. Hingga akhir
2019, luas lahan perkebunan sawit diperkirakan mencapai 3,68 juta ha.

Menurut status pengusahaannya, lahan sawit terluas merupakan perkebunan


rakyat (PR), yakni mencapai 3,11 juta ha atau sekitar 84,8% dari total luas
lahan sawit di Indonesia. Adapun lahan sawit yang dimiliki perkebunan besar
swasta (PBS) seluas 324 ribu ha atau sekitar 8,82% dari total dan lahan karet
yang dimiliki perkebunan besar negara (PBN) mencapai 234 ribu ha atau 6,37%
dari total.
Sebagai informasi, karet merupakan salah satu komoditas utama ekspor
nonmigas Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor karet remah
(crumb rubber) pada 2018 mencapai 2,74 juta ton dengan nilai US$ 3,83
miliar setara Rp 53,7 triliun. Nilai tersebut sekitar 2,36% dari total ekspor
nonmigas Indonesia yang mencapai US$ 162,81 miliar.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil karet terbesar di dunia


Bersama Thailand dan Malaysia. Berdasarkan data Kementerian Pertanian,
produksi karet nasional pada 2018 mencapai 3,63 juta ton (angka sementara)
turun 1,36% dibandingkan tahun sebelumnya. Provinsi penghasil karet
terbesar adalah Sumatera Selatan, yang menghasilkan 982 ribu ton atau
sekitar 27% dari total produksi karet nasional. Di urutan kedua, Sumatera Utara
dengan produksi 461 ribu ton atau sekitar 12,7% dari total dan ketiga, Riau
dengan produksi 369 ribu ton atau sekitar 9,5% dari total. Dari 10 provinsi
penghasil karet terbesar, tujuh di antaranya dari Sumatera.

sebanyak 3 juta ton atau lebih dari 80 persen karet Indonesia dihasilkan dari
perkebunan rakyat. Sebanyak 247 ribu ton karet nasional dihasilkan dari
perkebunan besar negara dan 378 ribu ton dari perkebunan swasta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) volume ekspor karetremah


(crumb rubber) Indonesia sepanjang 2016 mencapai 2,49 juta ton, yang berarti
turun 1,9 persen dari tahun sebelumnya 2,54 juta ton. Dari jumlah tersebut
sebanyak 22,8 persen (568 ribu ton) di ekspor ke Amerika Serikat dengan nilai
US$ 729,2 miliar. Ekspor karet terbesar kedua Indonesia adalah ke Jepang,
yakni mencapai 16,6 persen (413 ribu ton) dengan nilai US$ 538,2 miliar.
Sedangkan di urutan ketiga adalah ke Tiongkok, yaitu sebesar 11,76 persn
(293 ribu ton dengan nilai US$ 387,3 miliar. Masih menurut data BPS, luas
perkebunan karet Indonesia mencapai 3,6 juta hektare dengan produksi
mencapai 3,16 juta ton. Sementara jumlah perusahaan karet besar sebanyak
315 perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai