Anda di halaman 1dari 157

Dermatosis Vesiko Bulosa Kronik

Salsa Ardhillah Fitiah


102119029
Pembimbing :
Dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2021
Penyakit vesiko-bulosa adalah kelainan kulit yang ditandai dengan timbulnya ruam primer berupa vesikel
dan bula

Klasifikasi menurut Benny E wiryadi (1987) yaitu :


1. Pemfigus
a. Pemfigus Vulgaris
b. Pemfigus Eritomatosus/ Sindrom senear usher
c. Pemfigus Foliaseus
d. Pemfigus Vegetans
i. Pemfigus Vegetans tipe Neuman
ii. Pemfigus Vegetans Tipe halopeu
2. Pemfigoid Bulosa
3. Dermatitis Herpetiformis /(Morbus Duhring)
4. Chronic Bullous Disease of Childhood (CBDC) /Dermatosis igA Linear
5. Pemfigoid sikatrikal
6. Pemfigoid Gestasionis

(Menaldi,2017)
(Muhammad abror,2017)

2
pemfigus vulgaris
1
DEFENISI

salah satu penyakit berlepuh


dengan pembentukan bula di
atas kulit normal dan selaput
lendir

.(Menaldi,2017)
4
2.
ETIOLOGI

Penyebab yang pasti belum diketahui


diduga berhubungan dengan autoimun.

.(Siregar,2014))
5
3.
EPIDEMIOLOGI

Pemfigus vulgaris (P.V) merupakan bentuk


yang tersering dijumpai (80% semua
kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh
dunia dan dapat mengenai semua bangsa
dan ras.

.(Andriana,2019)
6
4.
FAKTOR RESIKO

obat (drug-induced pemphigus),misalnya


D-penisilamin dan kaptopril

.(Siregar,2014))
7
5.
CARA PENEGAkKAN
DIAGNOSIS

I. ANAMNESIS II. PEMERIKSAN FISIK

Keadaan umum penderita Lokalisasi : Generalisata.


Efloresensi/sifat-sifutnya : Bula
biasanya buruk. Enam puluh
berdinding kendur, eritema, krusta,
persen lesi biasanya pada erosi, dan hipo/hiperpigmentasi
kepala berambut dan
mukosa mulut.

.(Siregar,2014))
8
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi

Ditemukan antibodi interselular


tipe lgG dan C3

2. Pemeriksaan Histopatologi

Ditemukan bula intrapidennal


suprabasal dan sel-sel epitel
yang mengalami akantolisis
pada dasar bula 9 (Hendri Tanojo,2016)
6 PATOGENESIS

Menyebabkan Adanya antibodi lgG


Hilangnya kohesi sel-sel terhadap antigen
suprabasal epidermis determinan

(akantolisis).
Kemudian

akan terjadi
keratinosit
berdiferensiasi.

(Menaldi, 2017)
10
7 PATOfisiologi

Menyebabkan Perubahan transmembran


reaksi autoimun terhadap glikoprotein dengan berat pada
molekul 130 kD
antigen Pemfigus Vulgaris
Kemudian

Akan menyebabkan reaksi


lepuh

(Menaldi, 2017)
11
8 DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis herpetiformis: Keadaan umum


penderita baik, keluhannya sangat gatal;
letak bula subepidermal.

Pemfigoidbulosa; keadaan umum baik,


dinding bula tegang terletak subepidermal;
terdapat IgG liniar

(Menaldi, 2017)
12
9
PENATALAKSANAAN

II. Farmakologi
I. Non Farmakologi

A. Sistemik
Tidak ada • Obat utama kortikosteroid, prednison 60-150
mg/hari atau deksametason dosis tinggi .
Setelah ada perbaikan dosis diturunkan secara
logaritmik.
• Antibiotik spektrum luas untuk melindungi
terhadap infeksi ,cefotaxim 1 gr/12 jam
gentamycin inj 80mg/12 jam

GUNAWAN,,2016)
(Menaldi,2017)
13
10 Komunikasi dan edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan


penyakit yang dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat
luka untuk mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang
harus dijalaninya beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.
4. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa perlu dilakukan
rawat inap untuk mengontrol penyakit ini

(Menaldi,2017)
14
11 Komplikasi

Sepsis, infeksi sekunder yang disebabkan oleh


penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang

Suniti,2018

(Menaldi,2017)
15
12 prognosis

Dengan ditemukannya kortikosteroid dan imunostatik, maka


prognosis pemfigus vulgaris sekarang ini lebih baik

Menaldi,2017

(Menaldi,2017)
16
13 profesionalisme

1. Membantu mengontrol kesembuhan pasien


dengan pemberian dosis, dan penjelasan tata
cara pengobatan dengan benar.
2. Kontrol jika ada keluhan lain rujuk ke dokter
spesialis kulit dan kelamin

(Menaldi,2017)
17
14 KESIMPULAN

1. DEFINISI salah satu penyakit berlepuh dengan pembentukan bula di atas kulit normal dan selaput lendir

2. Anamnesa:Keadaan umum penderita biasanya buruk. Enam puluh persen lesi biasanya pada
PENEGAKKAN
DIAGNOSA kepala berambut dan mukosa mulut.
Pemeriksaan Fisik:
Lokalisasi : Generalisata.
Efloresensi/sifat-sifutnya : Bula berdinding kendur, eritema, krusta, erosi, dan
hipo/hiperpigmentasi
Pemeriksaan Penunjang:Imunoefloresensi dan histopatologi
3. TERAPI
A. Sistemik
• Obat utama kortikosteroid, prednison 60-150 mg/hari atau deksametason dosis tinggi .
• Antibiotik spektrum luas untuk melindungi terhadap infeksi

18
3. EDUKASI & 1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan penyakit yang
KOMUNIKASI dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat luka untuk
mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang harus dijalaninya
beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

4. KOMPLIKASI Sepsis, infeksi sekunder yang disebabkan oleh


penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang

5. PROGNOSIS Dengan ditemukannya kortikosteroid dan imunostatik, maka prognosis pemfigus vulgaris
sekarang ini lebih baik

19
pemfigus Eritomatosus
1 Definisi

Pemfigus Eritematosus (sindrom


senear-usher) adalah salah satu
bentuk pemfigus dengan gejala klinis
yang lebih jinak, serta tidak
memengaruhi keadaan umum.

(Siregar,2014))
21
2 Etiologi

Pemfigus Eritematosus diduga berkaitan dengan proses autoimun


dikaitkan oleh autoantibodi terhadap desmoglein 1.

(Rhakes,2018)
22
3 epidemiologi

 Insiden pemfigus adalah 0,5-3,2 kasus per 100.000


populasi per tahun
 Di India dilaporkan prevalensi tinggi (4,4 kasus per
juta penduduk).

meningkat pada pasien yang memiliki haplotipe human leukocyte antigen


(HLA) spesifik..

Laporan umumnya tidak menemukan perbedaan terjadinya pemfigus


eritematosus pada jenis kelamin.

Lebih sering terjadi pada orang dewasa.


(Rhakes,2018
23
4
Faktor resiko

1. Terpapar sinar matahari berlebih


2. Usia (40-50 tahun)

(Windi, 2016)
5
CARA MENEGAKKAN DIAGNOSIS

I.ANAMNESIS II. PEMERIKSAAN FISIK

  Lokalisasi :
Pada anamnesa pasien Kedua sisi batang dan pipi, mirip gambar
didapatkan gambaran keadaan kupu-kupu; juga dada, punggung, kulit
umum baik. Lesi biasanya kepala dan ekstremitas.
memiliki keluhan rasa panas dan
nyeri, gatal. lesi mula-mula Efloresensi:
sedikit, dapat berlangsung Eritema berbatas tegas dengan skuama
berbulan-bulan dan mengalami tebal disertai eksudasi dan krusta yang
remisi. berwarna kuning kecoklatan.
(Siregar, 2014)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi

deposit linier dari IgG dan C3


terdapat di ruang antar sel
epidermis.

2. Pemeriksaan Histopatologi

Ditemukan acantholysis di lapisan


granular atau subcorneal, dan
hiperkeratosis folikular

26 (Hendri Tanojo,2016)
6 PATOGENESIS

Mekanisme kekebalan yang


menyebabkan hilangnya toleransi
terhadap desmoglein 1

menargetkan

domain ekstraseluler
desmoglein yang diperkirakan
membentuk antarmuka
transadesif antar sel (Menaldi, 2017)
27
7 PATOFISIOLOGI

adanya pensinyalan keratinosit


diaktifkan
protein kinase
seperti p38 mitogen
mengatur

dapat
berkontribusi pada patologi internalisasi permukaan sel
penyakit desmoglein

(Menaldi, 2017)
28
8 DIAGNOSIS BANDING

Sistemic Lupus Erythematosus

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun


multisystem di mana organ, jaringan, dan sel mengalami
kerusakan yang dimediasi oleh autoantibodi pengikat jaringan
dan kompleks imun.Gambaran klinis SLE dapat berubah, baik
dalam hal aktivitas penyakit maupun keterlibatan

Dermatitis Herpetiformis
(DH) atau dikenal juga sebagai morbus Duhring adalah penyakit
kulit autoimun yang bersifat kronik dan sangat gatal, disertai
timbulnya lesi papulovesikular yang berulang. Penyakit ini
ditandai dengan papul, vesikel, plak, urtika, eritema dan
kelompok ekskoriasi di daerah ekstensor, siku, lutut, bokong dan
punggung yang terdistribusi secara simetris
(Menaldi, 2017)
29
9 Penatalaksanaan

FARMAKOLOGI
NON-FARMAKOLOGI
• Terapi Topikal
Kompres bagian tubuh Kortikosteroid topical: fluosinolon asetonida
yang terjadi lesi erosif 0,25 %, klobetason 0,01 % boleh diulang.
• Terapi Sistemik
dengan larutan asam
 Sulfonamide ¨
salisilat 0,1% dan NaCl  Dosis dewasa: 4–8 gram per hari, dibagi
0,9% menjadi 4–6 dosis.
 Dosis anak-anak >2 bulan: 75 mg/kgBB per
hari, dibagi menjadi 4–6 dosis
 Minosiklin dosis yang dapat diberikan yaitu
50-100 mg  per oral terbagi dalam 2 dosis
perhari
 Prednisone 60-120 mg perhari sampai lesi-
lesi berkurang. Setelah penyembuhan klinis,
(Didona dkk, 2019) dosis diturunkan
10 Komunikasi dan edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan


penyakit yang dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat
luka untuk mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang
harus dijalaninya beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

(Menaldi,2017)
31
11 Komplikasi

Sepsis, infeksi sekunder yang disebabkan


oleh penggunaan terapi immunosuppresisf
jangka panjang

(Suniti dkk, 2018).


32
12 prognosis

Dubia ad bonam Secara umum prognosis pasien baik, dan memiliki respon
yang baik terhadap obat

(Menaldi,2017)
33
13 profesionalisme

1. Membantu mengontrol kesembuhan pasien


dengan pemberian dosis, dan penjelasan tata
cara pengobatan dengan benar.
2. Kontrol jika ada keluhan lain rujuk ke dokter
spesialis kulit dan kelamin

(Menaldi,2017)
34
14 KESIMPULAN

1. DEFINISI salah satu bentuk pemfigus dengan gejala klinis yang lebih jinak, serta tidak memengaruhi
keadaan umum

2. Anamnesa:Pada anamnesa pasien didapatkan gambaran keadaan umum baik. Lesi biasanya
PENEGAKKAN memiliki keluhan rasa panas dan nyeri, gatal. lesi mula-mula sedikit, dapat berlangsung
DIAGNOSA berbulan-bulan dan mengalami remisi.
Pemeriksaan Fisik:
Lokalisasi :
Kedua sisi batang dan pipi, mirip gambar kupu-kupu; juga dada, punggung, kulit kepala dan
ekstremitas.
Efloresensi:
Eritema berbatas tegas dengan skuama tebal disertai eksudasi dan krusta yang berwarna
kuning kecoklatan.

3. TERAPI Kompres bagian tubuh yang terjadi lesi erosif dengan larutan asam salisilat 0,1% dan NaCl 0,9%
Kortikosteroid topical: fluosinolon asetonida 0,25 %, klobetason 0,01 % boleh diulang.

35
4. EDUKASI & 1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan penyakit yang
KOMUNIKASI dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat luka untuk
mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang harus dijalaninya
beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

5. KOMPLIKASI Sepsis, infeksi sekunder yang disebabkan oleh


penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang

6. PROGNOSIS Dubia ad bonam Secara umum prognosis pasien baik, dan memiliki respon yang baik terhadap
obat

36
pemfigus Folliaseus
1 Definisi

.
Adalah salah satu bentuk pemfigus yang
memberi gejala klinik berupa vesikel-
vesikel berdinding tipis yang mudah
pecah.

(Menaldi,2017)
38
2.
ETIOLOGI

Penyebab yang pasti belum diketahui


diduga berhubungan dengan autoimun.

.(Siregar,2014))
39
3.
EPIDEMIOLOGI

Laporan umumnya tidak menemukan


perbedaan terjadinya pemfigus Foliaseus
pada jenis kelamin.Pemfigus Foliaseus
lebih sering terjadi pada dewasa.

.(Rhakes,2018))
40
4
Faktor resiko

• SinarUltraviolet
• Usia

(Rhakes,2018)
5
CARA MENEGAKKAN DIAGNOSIS

I.ANAMNESIS II. PEMERIKSAAN FISIK

Gejalanya tidak seberat pemfigus Lokalisasi : Kulit kepala, wajah, dada, dan
vulgaris. Perjalanan penyakit daerah seboroik; bersifat simetris.
kronik, remisi terjadi temporer.
Penyakit mulai dengan timbulnya Efloresensi/sifat-sifatnyn a:
vesikel/bula, skuama dan krusta Eritema menyeluruh disertai skuama kasar.
serta sedikit eksudatif, kemudian Vesikel atau bula lentikular berdinding
memecah dan meninggalkan kendur hanya sedikit daerah erosif
erosi. generalisata.

(Siregar, 2014)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi
terdapatnya IgG Granuler dan C3
interselular

2. Pemeriksaan Histopatologi

Terdapat akantolisis di epidermis


bagian atas di stratum granulosum

43 (Hendri Tanojo,2016)
6 PATOGENESIS

Mekanisme kekebalan yang


menyebabkan hilangnya toleransi
terhadap desmoglein 1

menargetkan

domain ekstraseluler
desmoglein yang diperkirakan
membentuk antarmuka
transadesif antar sel (Menaldi, 2017)
44
7 PATOFISIOLOGI

adanya pensinyalan keratinosit


diaktifkan
protein kinase
seperti p38 mitogen
mengatur

dapat
berkontribusi pada patologi internalisasi permukaan sel
penyakit desmoglein

(Menaldi, 2017)
45
8 DIAGNOSIS BANDING

Eritroderma:seluruhpermukaantubuhme
njadi merah tanpa adaeksudasi;skuama
halus sampai sedang. Penderita selalu
mengeluh kedinginan.

Pemfigus vulgaris: biasanya bula


berdinding tegang (tense) dan bertahan
lama; keadaan umum buruk.

(Menaldi, 2017)
46
9 Penatalaksanaan

FARMAKOLOGI
NON-FARMAKOLOGI
• Terapi Topikal
Kompres bagian tubuh Kortikosteroid topical: fluosinolon asetonida
yang terjadi lesi erosif 0,25 %, klobetason 0,01 % boleh diulang.
• Terapi Sistemik
dengan larutan asam
 Sulfonamide ¨
salisilat 0,1% dan NaCl  Dosis dewasa: 4–8 gram per hari, dibagi
0,9% menjadi 4–6 dosis.
 Dosis anak-anak >2 bulan: 75 mg/kgBB per
hari, dibagi menjadi 4–6 dosis
 Minosiklin dosis yang dapat diberikan yaitu
50-100 mg  per oral terbagi dalam 2 dosis
perhari
 Prednisone 60-120 mg perhari sampai lesi-
lesi berkurang. Setelah penyembuhan klinis,
(Didona dkk, 2019) dosis diturunkan
10 Komunikasi dan edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan


penyakit yang dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat
luka untuk mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang
harus dijalaninya beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

(PERDOSKI,2017)
48
11 Komplikasi

Sepsis, infeksi sekunder yang disebabkan oleh


penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang

(Suniti , 2018).
49
12 prognosis

Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik


seperti pada tipe pemfigus yang lain. Penyakit akan
berlangsung kronik

(Siregar,2014)
50
13 profesionalisme

1. Membantu mengontrol kesembuhan pasien


dengan pemberian dosis, dan penjelasan tata
cara pengobatan dengan benar.
2. Kontrol jika ada keluhan lain rujuk ke dokter
spesialis kulit dan kelamin

51
14 KESIMPULAN

1. DEFINISI Adalah salah satu bentuk pemfigus yang memberi gejala klinik berupa vesikel-vesikel berdinding
tipis yang mudah pecah.

2. Anamnesa:Gejalanya tidak seberat pemfigus vulgaris. Perjalanan penyakit kronik, remisi terjadi
PENEGAKKAN temporer. Penyakit mulai dengan timbulnya vesikel/bula, skuama dan krusta serta sedikit
DIAGNOSA eksudatif, kemudian memecah dan meninggalkan erosi.
Pemeriksaan Fisik
:Lokalisasi : Kulit kepala, wajah, dada, dan daerah seboroik; bersifat simetris.
Efloresensi/sifat-sifatnyn a:
Eritema menyeluruh disertai skuama kasar. Vesikel atau bula lentikular berdinding kendur
hanya sedikit daerah erosif generalisata.

3. TERAPI Kompres bagian tubuh yang terjadi lesi erosif


• Terapi Topikal
Kortikosteroid topical: fluosinolon asetonida 0,25 %, klobetason 0,01 % boleh diulang

52
4. EDUKASI & 1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan penyakit yang
KOMUNIKASI dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat luka untuk
mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang harus dijalaninya
beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

5. KOMPLIKASI Sepsis, infeksi sekunder yang disebabkan oleh


penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang

6. PROGNOSIS Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik seperti pada tipe pemfigus yang lain.
Penyakit akan berlangsung kronik

53
pemfigus Vegetans

1 Definisi

Pemfigus vegetans ialah varian jinak


pemfigu vulgaris dan sangat jarang
ditemukan

(PERDOSKI,2017)
54
1.1 klasifikasi

1. Tipe Neumann
Biasanya menyerupai pemfigus vulgaris, kecuali
timbulnya pada usia lebih muda.Tempat predileksi di muka,
aksila, genitalia eksterna, dan daerah Intertrigo yang
lain.Yang khas pada penyakit ini ialah terdapatnya bula-
bula yang kendur, menjadi erosidan kemudian menjadi
vegetatif dan proliferatif papilomatosa terutama di daerah
intertrigo.

2. Tipe Hallopeau (pyodermite vegetante)


Lesi permulaan sama dengan tipe Neumann, terdapat
akantolisis suprabasal, mengandung banyak eosinofil, dan
terdapat hiperplasi epidermis dengan abses eosinofilik
pada lesi yang vegetatif. Pada keadaan lebih lanjut akan
tampak papilomatosis dan hiperkeratosis tanpa abses

(Menaldi,2017)
55
2 Etiologi

Pemfigus Vegetans diduga berkaitan dengan proses autoimun

(PERDOSKI,2017)
56
3.
EPIDEMIOLOGI

Lebih banyak menyerang usia muda.


Frekuensi yang sama pada pria dan
wanita

.(Siregar,2014))
57
4
Faktor resiko

disebabkan oleh obat (drug-induced pemphigus),


misalnya D-penisilamin

(Windi, 2016)
5 CARA MENEGAKKAN DIAGNOSIS

I.ANAMNESIS II. PEMERIKSAAN FISIK

pasien mengeluhkan Lokalisasi : Mulut, wajah, ketiak, kelamin,


terdapatnya bula-bula yang intertrigo, perineum, umbilikus, hidung,
kendur, menjadi erosi . ekstremitas dan kulit kepala.

Efloresensi/sifat-sifatnya : Bula kendur,


erosi, vegetatif, proliferatif papilomatosa,
sehingga permukaan tampak menjadi kasar.

(Siregar, 2014)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Imunofloresensi
Terdapat IgG dan interseluler

2. Pemeriksaan Histopatologi
Terdapat akantolisis
suprabasal,mengandung banyak
eosinofil, dan terdapat hiperplasi
epidermis dengan abses eosinofilik pada
lesi yang vegetatif.

60 (Hendri Tanojo,2016)
6 PATOGENESIS

Menyebabkan Adanya antibodi lgG


Hilangnya kohesi sel-sel terhadap antigen
determinan
epidermis (akantolisis).
Kemudian

keratinosit
berdiferensiasi.

(Andriana,2019)
61
7 PATOfisiologi

Menyebabkan Perubahan transmembran


reaksi autoimun terhadap glikoprotein dengan berat pada
molekul 130 kD
antigen Pemfigus Vulgaris
Kemudian

Akan menyebabkan reaksi


lepuh

(Andriana,2019)
62
8 DIAGNOSIS BANDING

Karena tergolong penyakit kulit berlepuh


maka bisa didiagnosis banding dengan,
pemfigus vulgaris, dermatitis herpetiformis

PV DH
(Menaldi, 2017)
63
9
PENATALAKSANAAN

II. Farmakologi
I. Non Farmakologi

A. Sistemik
Dapat dikompres dengan • kortikosteroid, prednison 60-150
nacl 0,9 % pada lesi yang mg/hari Setelah ada perbaikan dosis
mengalami erosi
diturunkan secara logaritmik.
• Antibiotik spektrum luas untuk
melindungi terhadap infeksi

(Siregar,2014)
64
10 Komunikasi dan edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan


penyakit yang dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat
luka untuk mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang
harus dijalaninya beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

(PERDOSKI,2017)
65
11 Komplikasi

Sepsis, akibat lesi erosif

(Schulze,2017).
66
12 prognosis

Tipe Hallopeau, prognosisnya lebih baik karena


cenderung sembuh.

(Menaldi,2017)
67
13 profesionalisme

1. Membantu mengontrol kesembuhan pasien


dengan pemberian dosis, dan penjelasan tata
cara pengobatan dengan benar.
2. Kontrol jika ada keluhan lain rujuk ke dokter
spesialis kulit dan kelamin

68
14 profesionalisme

1. DEFINISI Pemfigus vegetans ialah varian jinak pemfigu vulgaris dan sangat jarang ditemukan

2.
Anamnesa:Dari anamnesis biasanya pasien akan mengeluhkan nyeri disertai rasa gatal dan
PENEGAKKAN
DIAGNOSA juga terdapat riwayat penyakit yang sama sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik:Lokalisasi : Mulut, wajah, ketiak, kelamin, intertrigo, perineum, umbilikus,
hidung, ekstremitas dan kulit kepala.

Efloresensi/sifat-sifatnya : Bula kendur, erosi, vegetatif, proliferatif papilomatosa, sehingga


permukaan tampak menjadi kasar.

3. TERAPI • kortikosteroid, prednison 60-150 mg/hari Setelah ada perbaikan dosis diturunkan secara
logaritmik.
• Antibiotik spektrum luas untuk melindungi terhadap infeksi

69
4. EDUKASI & 1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang perjalanan penyakit yang
KOMUNIKASI dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bagaimana cara merawat luka untuk
mencegah infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang pengobatan yang harus dijalaninya
beserta komplikasi dan pemakaian obat tersebut.

5. KOMPLIKASI Sepsis, akibat lesi erosif

6. PROGNOSIS Tipe Hallopeau, prognosisnya lebih baik karena cenderung sembuh.

70
Pemfigoid Bulosa
1
DEFENISI

penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh


adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan
imunopatologik ditemukan C3 (Komponen
komplemen ke 3) pada epidermal basement zone

.(Menaldi,2017)
72
2 ETIOLOGI

Etiologi nya adalah autoimun, tetapi penyebab


yang menginduksi produksi autoantibodi pada pemfigoid bulosa
masih belum diketahui secara pasti.

(Menaldi 2017)

73
3 EPIDEMIOLOGI

1 2
Sering terjadi pada usia. usia Predileksi sama pada setiap etnis, ras,

lanjut (>60 tahun) sekitar atau jenis kelamin yang memiliki

45%, dewasa 30% dan anak- kecenderungan terkena penyakit

anak 25%. pemfigoid bulosa.

(Wolf K, 2017)

74
4 faktor risiko

2.

1. Sinar ultraviolet
3.

Obat-obatan seperti Beberapa faktor fisik


furosemide,sulphasalazine, termasuk suhu panas, trauma lokal,
Penicillamine dan captopril. dan radioterapi.

(Fenella W, 2016)

75
5 CARA PENEGAkKAN
DIAGNOSIS

I. ANAMNESIS II. PEMERIKSAN FISIK

Lokalisasi : Ketiak, lengan bagian


Dari anamnesis biasanya
fleksor, lipat paha dan mulut.
pasien akan mengeluhkan
Efloresensi/sifat-sifatnya : Bula
nyeri disertai rasa gatal dan berisi cairan jernih dengan dinding
juga terdapat riwayat tegang, terkadang hemoragik
penyakit yang sama
sebelumnya.

(Siregar,2014)
76
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi

Ditemukan adanya endapan IgG dan


C3 tersusun seperti pita di BMZ
(Base Membrane Zone).

2. Pemeriksaan Histopatologi

Ditemukan celah di perbatasan


dermal-epidermal, bula terletak di
subepidermal, sel infiltrat yang 77 (William H, 2016).
6 PATOGENESIS

Terdapat antigen pemfigoid bulosa Menyebabkan Terbentuknya bula


protein yang terdapat pada
hemidesmosom sel basal,diproduksi Kemudian

oleh sel basal dan Merupakan bagian


B.M.Z ( Basal Membrane Zone) Akan dikeluarkan enzim yang merusak
jaringan sehingga terjadi pemisahan
epidermis dan dermis

Menyebabkan

Autoantibodi pada pemfigoid bulosa


terutama IgG1 (Imunoglobulin,1)
(Menaldi, 2017)
78
7 PATOFISIOLOGI

Bula di bentuk oleh reaksi kekebalan yang Dipicu


oleh pembentukan IgG autoantibodi

Kemudian

Serangkaian muncul imunomodulator


gelombang sel imun yang bervariasi
Selanjutnya

Mengakibatkan pemisahan di sepanjang


sambungan dermoepidermal  dan akhirnya
meregangkan bula. (Menaldi 2017)
79
8
DIAGNOSIS BANDING

2
Pemvigus vulgaris

1 3
Pemfigoid Bulosa Dermatitis Herpetiformis

80
ETIOLOGI SUBJEK PREDILEKSI EFLORESENSI
PEMFIGOID BULOSA Autoimun Gatal dan Aksila; paha bagian Bula berisi cairan jernih
nyeri medial, perut, fleksor dengan dinding tegang
lengan bawah, tungkai
bawah

PEMFIGUS VULGARIS Autoimun Gatal dan Generalisata Bula berdinding kendur,


nyeri eritema, krusta, erosi, dan
hipo- /hiperpigmentasi.

Dermatitis Herpetiformis Autoimun Sangat Pada siku, lutut, Berupa eritema, papulo-
gatal bokong, punggung, atau vesikei, vesikel atau bula
kulit kepala. Wajah yang berkelompok
dan selangkangan simetris. Dinding tegang,
berisi cairan jernih.

(Siregar,2014)
9
PENATALAKSANAAN

I. Non Farmakologi II. Farmakologi


a.Topical
Pada lesi lokalisata dapat diberikan
kortikosteroid topikal. kortikosteroid
jika terjadi lesi erosi topikal potensi tinggi, seperti
clobetasol propionate cream 0,05%
dapat dikompres nacl dua kali sehari
0,9%
b. Sistemik
1. kortikosteroid prednison40-60 mg Pada
lesi generalisata
2. Loratadine dosis dewasa :1 x 10 mg/hari
dosis anak dengan bb <30 kg :1 x5
mg/hari dosis anak BB >30 kg :1 x 10
mg/hari (Obat kategori B ,aman untuk
ibu hamil)
(Menaldi,2017) 82
10
Komunikasi dan
edukasi
Menghindari paparan sinar matahari khususnya pada area
1 kulit yang terkena pemfigoid bulosa.

Menghindari cedera yang bisa membuat kulit menjadi rapuh


2 dan bula menjadi pecah.

Lindungi bula yang pecah dengan menggunakan pelapis yang


3 kering dan steril agar terhindar dari infeksi.

(Fenella W, 2016).
11
KOMPLIKASI

1. Jika tidak segera diobati, bula yang pecah dapat menjadi


terinfeksi.
2. Ketika pemfigoid bulosa muncul pada membran mukosa di area
mulut atau mata, komplikasi yang muncul adalah jaringan parut
pada area tersebut

(Beers M H, 2016)
12 PROGNOSIS

Pemfigoid Bulosa ialah penyakit kulit kronis


yang bisa menetap selama beberapa bulan
atau beberapa tahun, namun secara umum
prognosisnya baik.Walaupun mayoritas
pasien yang mendapatkan terapi akan
mengalami remisi spontan

(Siregar,2014).
13
PROFESIONALISME

1. Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan


pemberian dosis, dan penjelasan tata cara
pengobatan dengan benar.
2. Kontrol jika ada keluhan lain rujuk ke dokter spesialis
kulit dan kelamin
14 Kesimpulan

1. DEFINISI penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (Komponen
komplemen ke 3) pada epidermal basement zone

2.
Anamnesa:Dari anamnesis biasanya pasien akan mengeluhkan nyeri disertai rasa gatal dan
PENEGAKKAN
DIAGNOSA juga terdapat riwayat penyakit yang sama sebelumnya.

Pemeriksaan Fisik:Lokalisasi : Ketiak, lengan bagian fleksor, lipat paha dan mulut.
Efloresensi/sifat-sifatnya : Bula berisi cairan jernih dengan dinding tegang, terkadang
hemoragik

3. TERAPI 1. Sistemik kortikosteroid prednison40-60 mg Pada lesi generalisata


2. Loratadine dosis dewasa :1 x 10 mg/hari
dosis anak dengan bb <30 kg :1 x5 mg/hari dosis anak BB >30 kg :1 x 10 mg/hari (Obat
kategori B ,aman untuk ibu hamil)

87
4. EDUKASI & 1. Menghindari paparan sinar matahari khususnya pada area
KOMUNIKASI kulit yang terkena pemfigoid bulosa.
2. Lindungi bula yang pecah dengan menggunakan pelapis yang
kering dan steril agar terhindar dari infeksi.

5. KOMPLIKASI 1. Jika tidak segera diobati, bula yang pecah dapat menjadi terinfeksi.
2. Ketika pemfigoid bulosa muncul pada membran mukosa di area mulut atau mata,
komplikasi yang muncul adalah jaringan parut pada area tersebut

6. PROGNOSIS Pemfigoid Bulosa ialah penyakit kulit kronis yang bisa menetap selama beberapa bulan atau
beberapa tahun, namun secara umum prognosisnya baik.Walaupun

88
Dermatitis Herpetiformis
1
DEFENISI

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit


bulosa autoimun yang bersifat kronik
berulang,

.(Menaldi,2017)
90
2 ETIOLOGI

Etiologi DH secara pasti belum diketahui.Diduga


berhubungan dengan autoimun Karena adanya deposit IgA pada
kulit ,yang biasnya dicetuskan oleh alergi terhadap gluten

(Menaldi 2017)

91
3.
EPIDEMIOLOGI

Beberapa penelitian di populasi Asia telah menunjukkan


bahwa DH adalah sangat langka di antara kelompok ini dan
bahkan jarang jika dibandingkan dengan Amerika Afrika.
Bahkan, begitu sedikitnya kasus yang dimiliki telah
dijelaskan bahwa tidak ada yang lebih besar studi berbasis
populasi telah dilaporkan dalam grup entis

.(Siregar,2014))
92
4
Faktor resiko

Etnis : etnis putih memiliki insiden lebih tinggi


Jenis Klemin : laki-laki memiliki faktor risiko terjadi
dermatitis herpetiformis daripada perempian
dengan rasio 5:1

Usia : kejadian Dermatitis Herpetiformis, insiden


pada anak-anak serta antara usia 30 sampai 40
tahun

(Windi, 2016)
5 CARA PENEGAkKAN
DIAGNOSIS

I. ANAMNESIS II. PEMERIKSAN FISIK

Pada anamnesa pasien Lokalisasi : Pada siku, lutut, bokong,


punggung, atau kulit kepala. Wajah
didapatkan gambaran sangat
dan selangkangan
gatal terasa terbakar,
Efloresensi : Hiperpigmentasi,
gambaran lesi melepuh
vesikel papula eritema dan plak
umumnya dikenal sebagai menyerupai urtikaria, pustule
penyakit celiac

(Siregar,2014)
94
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi

Didapatkan deposit IgA granular


pada papila dermis atau tautan
dermoepidermal.

2. Pemeriksaan Histopatologi
Pada daerah eritem disekitar vesikel yang
baru muncul terdapat akumulasi netrofil
dan beberapa eosinofil pada ujung papila
dermis yang semakin lama semakin
bertambah besar membentuk
mikroabses. 95 (William H, 2016).
6 (Reunala dkk, 2018)
(Antigan dkk, 2019).
PATOGENESIS

IgA yang mengandung


Produksi autoantibodi IgA Fenomena transglutaminase
terhadap eTG terjadi di penyebaran epitope mengendap di dalam
usus Akibat dari Kemudian dermis

Lalu

Masuk ke sirkulasi
pemuluh darah

Kemudian

Mengendap di
Dermatitis Reaksi imunologi persimpangan dermal-
Herpetiformis epidermal
Terjadilah Memicu
7
PATOFISIOLOGI

Produksi autoantibodi IgA menyebabkan


terhadap eTG terjadi di
Akibat dari Fenomena penyebaran Peningkatan pelepasan IL-
usus epitope 8

Menyebabkan

Kompleks eTG / IgA ada


Down-regulasi sel Treg juga sebagai kompleks
terjadi, mendukung Sehingga mengakibatkan Penumpahan eTG ke
kekebalan yang beredar, persimpangan dermal-
pemeliharaan yang dapat menyimpan
mikroenvironment pro- epidermal
baik di persimpangan
inflamasi pada kulit DH dermal-epidermal

(Antigan dkk, 2019).


8 DIAGNOSIS BANDING

Dermatosis Pustulosa Subkorneal Eruption


Dermatosis pustular subkornea (SPD) adalah dermatosis rekuren
yang jarang terjadi, bersifat kronis, yang ditandai dengan pustula
steril dan mudah terjadi erupsi.
 

Dermatitis Psoriasis
Psoriasis pustulosa adalah salah satu bentuk klinis dari psoriasis
yang ditandai adanya erupsi pustul yang bersifat steril (non
infectious pus) dengan dasar eritematosa..
 
 
(Menaldi, 2017)
(Menaldi, 2017)
98
9
PENATALAKSANAAN
1 Nonfarmakologi
2.
Diet bebas gluten (DBG): menghindari makanan yang mengandung gandum
(roti, sereal, mie)..

2.2 Farmakologi

a. Topikal: kortikosteroid topikal poten.


b. Sistemik:
 Dapson: dosis awal dewasa 50 mg/hari, dapat ditingkatkan hingga 200 mg/hari. Dosis pada anak 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis pemeliharaan 0,5-1 mg/kg/hari.
 Sulfasalazin 1-2 g/hari.
 Antihistamin generasi ke-2 (nonsedatif) dapat mengontrol pruritus.
 Kortikosteroid sistemik: metilprednisolon 28 mg/hari selama 7 hari lalu tapering off.

(Siregar, 2017)
(PERDOSKI, 2017)
10
KOMUNIKASI DAN EDUKASI

1. Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai penyakit, terapi,


serta prognosis
2. Memberi edukasi cara merawat lepuh, menghindari penggunaan obat-
obat tanpa sepengetahuan dokter.
3. Menghindari diet yang mengandung gluten (diet bebas gluten).

(Stachurska dkk, 2019)


11
KOMPLIKASI

Saluran pencernaan: kanker tenggorokan,


kerongkongan atau usus besar;

Sistem saraf: epilepsi, migrain, depresi, ataxia


Sistem hematopoietik: limfoma non-Hodgkin, hiposplenisme

Sistem muskuloskeletal: osteoporosis dan osteomalacia, fraktur patologis


Sistem genito-urinary: gangguan kesuburan, keguguran berulang

(Stachurska dkk, 2019)


12
PROGNOSIS

Dermatitis Herpetiformis merupakan penyakit seumur hidup


yang membutuhkan manajemen jangka panjang. Pasien
dapat memiliki gejala DH yang memburuk dengan asupan
gluten; remisi spontan telah dilaporkan dengan pengurangan
dietnya. Dalam satu studi kecil, enam dari delapan pasien
menunjukkan remisi spontan dengan perkiraan asupan gluten
harian di bawah 12 gram. Prognosis baik jika penatalaksanaan
adekuat.

(Carol Rees Parrish, 2016)


13
PROFESIONALISME

Membantu pemantauan pasien dengan cermat


terhadap kemungkinan efek samping
pengobatan yang diberikan serta penghindaran
faktor pencetus
14 kesimpulan

1. DEFINISI Dermatitis herpetiformis adalah penyakit bulosa autoimun yang bersifat kronik berulang,

2.
Anamnesa:Pada anamnesa pasien didapatkan gambaran sangat gatal terasa terbakar,
PENAGAKKAN
DIAGNOSA gambaran lesi melepuh umumnya dikenal sebagai penyakit celiac
Lokalisasi : Pada siku, lutut, bokong, punggung, atau kulit kepala. Wajah dan selangkangan

Efloresensi : Hiperpigmentasi, vesikel papula eritema dan plak menyerupai urtikaria, pustule

3. TERAPI a. Topikal: kortikosteroid topikal poten.


b. Sistemik:
 Dapson: dosis awal dewasa 50 mg/hari, dapat ditingkatkan hingga 200 mg/hari. Dosis pada
anak 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis pemeliharaan 0,5-1 mg/kg/hari.
 Sulfasalazin 1-2 g/hari.
 Antihistamin generasi ke-2 (nonsedatif) dapat mengontrol pruritus.
 Kortikosteroid sistemik: metilprednisolon 28 mg/hari selama 7 hari lalu tapering off.

104
4. EDUKASI & 1. Penjelasan kepada pasien dan/atau keluarga mengenai penyakit, terapi, serta prognosis
KOMUNIKASI 2. Memberi edukasi cara merawat lepuh, menghindari penggunaan obat-obat tanpa
sepengetahuan dokter.
3. Menghindari diet yang mengandung gluten (diet bebas gluten).

5. KOMPLIKASI
Sistem saraf: epilepsi, migrain, depresi, ataxia
Sistem hematopoietik: limfoma non-Hodgkin, hiposplenisme
Sistem muskuloskeletal: osteoporosis dan osteomalacia, fraktur patologis
Sistem genito-urinary: gangguan kesuburan, keguguran berulang

6. PROGNOSIS Dermatitis Herpetiformis merupakan penyakit seumur hidup yang membutuhkan manajemen
jangka panjang. Pasien dapat memiliki gejala DH yang memburuk dengan asupan gluten; remisi
spontan telah dilaporkan dengan pengurangan dietnya. Dalam satu studi kecil, enam dari delapan
pasien menunjukkan remisi spontan dengan perkiraan asupan gluten harian di bawah 12 gram.
Prognosis baik jika penatalaksanaan adekuat.

105
Chronic Bullous Disease Of Childhood (C.B.D.C)
1
DEFENISI

ialah dermatosis autoimun yang


biasanya mengenai anak usia kurang
dari 5 tahun, ditandai dengan
adanya bula dan terdapatnya deposit
lgA linier yang homogen pada
epidermal basement membrane.

.(Menaldi,2017)
107
2 ETIOLOGI

Belum diketahui secara pasti. Namun disebutkan


berhubungan dengan adanya reaksi auto imun

(Menaldi 2017)

108
3.
EPIDEMIOLOGI

Sering mengenai anak-anak usia <5


tahun,dengan persentase Sampai 90%
Angka kejadian pada anak laki-laki sama
dengan perempuan

.(Siregar,2014))
109
4
Faktor resiko

Terdapat faktor pencetus pada


penyakit ini diantaranya penggunaan
antibiotik, yang sering seperti
penisilin.

(Windi, 2016)
5 CARA PENEGAkKAN
DIAGNOSIS

I. ANAMNESIS II. PEMERIKSAN FISIK

Predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia,


Awitan penyakit pada usia perianal dan bokong. Keterlibatan
sebelum sekolah, rata-rata mukosa terjadi pada 70% kasus.
berumur 4 tahun. Keadaan Efloresensi :vesikel dan bula tegang di
umum baik, tidak begitu atas dasar eritematosa berukuran miliar
hingga lentikular, berkelompok tersusun
gatal. Timbul mendadak,
mirip rosette (cluster of jewel) atau
dapat mengalami remisi disebut juga string of pearls
dan eksaserbasi.
.
.
(Siregar,2014)
111
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi
Ditemukan deposisi IgA dan C3
berbentuk pita di sepanjang taut
dermo-epidermal

2. Pemeriksaan Histopatologi
Ditemukan celah subepidermal dengan
neutrofil sepanjang basal membran

112 (William H, 2016).


6 PATOGENESIS

faktor-faktor eksogen seperti


mempengaruhi
infeksi, obat-obatan, vaksinasi, haplotipe autoimun HLA-B8, Cw7,
radiasi ultraviolet, atau dan DR3,

keganasan . menyebabkan

Kelainan BMZ

(Menaldi, 2017)
113
7 PATOfisiologi

mengakibatkan penyebaran epitop yang mana


Antigen 97-kDA (LABD97) merupakan proses autoimun
utama
dan 120-kDA (LAD-
menyebabkan
1) ,mempertahankan struktur
elemen intraseluler dan aktivasi plasminogen oleh
keratinosit dan aktivasi neutrofil
ekstraseluler yang terlibat
dalam adhesi epidermal

Terbentuknya bula
(Menaldi, 2017)
114
8 DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis adalah kondisi ruam gatal
yang berkaitan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE).
Ini terjadi ketika sistem kekebalan imun tubuh bereaksi
dengan gluten yang dicerna oleh tubuh 

Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang
ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan
berdinding tegang

(Menaldi, 2017)
115
9
PENATALAKSANAAN
1 Nonfarmakologi
2.
Kompres dengan NaCl 0,9%. .

2.2 Farmakologi

Dapson merupakan pilihan pertama pada terapi Linear IgA


dermatosis, adapun cara kerja dari dapson yaitu menekan
aktivitas penyakit tetapi tidak dapat menyembuhkan penyakit dan
gejala dapat kambuh dalam 24-72 jam bila terapi dihentikan.
Dapson pada anak-anak dapat diberikan dengan dosis awal 25
mg hingga 100 mg per hari. Durasi pengobatan dapson
bervariasi tergantung pada respon individu berkisar 3 sampai
(Siregar, 2017)
21  bulan (PERDOSKI, 2017)
10
KOMUNIKASI DAN EDUKASI

1. Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien terhadap


penyakit dan kepatuhan berobat. Beberapa penderita dapat
mengalami remisi spontan
2. Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis obat dan
mencapai dosis pemeliharaan.
3. Pemantauan efek samping sulfone antara lain terhadap kemungkinan
terjadi methemoglobinemia (pemeriksaan kadar G6PD)..

(Stachurska dkk, 2019)


11
KOMPLIKASI

Pasien dengan keterlibatan mukosa yang parah, terutama


pada mata, dapat memiliki masalah yang menetap dengan
pembentukan simblefaron dan menimbulkan masalah
struktural dengan kelopak mata dan kornea, meskipun
setelah bula aktif mengalami remisi. Keterlibatan okular
yang tidak diobati dapat mengakibatkan sikatrik dan
hilangnya Penglihatan

(Stachurska dkk, 2019)


12
PROGNOSIS

Prognosis pada Linear IgA dermatosis umumnya


baik, Lesi akan mengalami remisi spontan dalam
beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah
onset penyakit

(Carol Rees Parrish, 2016)


13
PROFESIONALISME

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien


tentang perjalanan penyakit yang dialaminya.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien
bagaimana cara merawat luka untuk mencegah
infeksi sekunder.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien
tentang pengobatan yang harus dijalaninya
beserta komplikasi dan pemakaian obat
tersebut
14 Kesimpulan

1. DEFINISI ialah dermatosis autoimun yang biasanya mengenai anak usia kurang dari 5 tahun, ditandai
dengan adanya bula dan terdapatnya deposit lgA linier yang homogen pada epidermal basement
membrane.

2. Anamnesa:
PENEGAKKAN Awitan penyakit pada usia sebelum sekolah, rata-rata berumur 4 tahun. Keadaan umum baik,
DIAGNOSA tidak begitu gatal. Timbul mendadak, dapat mengalami remisi dan eksaserbasi.
Pemeriksaan Fisiik:Predileksi: wajah, tangan, kaki, genitalia, perianal dan bokong. Keterlibatan
mukosa terjadi pada 70% kasus.
Efloresensi :vesikel dan bula tegang di atas dasar eritematosa berukuran miliar hingga
lentikular, berkelompok tersusun mirip rosette (cluster of jewel) atau disebut juga string of
pearls

3. TERAPI Dapson merupakan pilihan pertama pada terapi Linear IgA dermatosis, adapun cara kerja dari
dapson yaitu menekan aktivitas penyakit tetapi tidak dapat menyembuhkan penyakit dan gejala
dapat kambuh dalam 24-72 jam bila terapi dihentikan. Dapson pada anak-anak dapat diberikan
dengan dosis awal 25 mg hingga 100 mg per hari. Durasi pengobatan dapson bervariasi
tergantung pada respon individu berkisar 3 sampai 21  bulan

121
4. EDUKASI & 1. Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien terhadap penyakit dan kepatuhan
KOMUNIKASI berobat. Beberapa penderita dapat mengalami remisi spontan
2. Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis obat dan mencapai dosis
pemeliharaan.
3. Pemantauan efek samping sulfone antara lain terhadap kemungkinan terjadi
methemoglobinemia (pemeriksaan kadar G6PD)..

5. KOMPLIKASI Pasien dengan keterlibatan mukosa yang parah, terutama pada mata, dapat memiliki masalah
yang menetap dengan pembentukan simblefaron dan menimbulkan masalah struktural dengan
kelopak mata dan kornea, meskipun setelah bula aktif mengalami remisi. Keterlibatan okular
yang tidak diobati dapat mengakibatkan sikatrik dan hilangnya Penglihatan

6. PROGNOSIS Prognosis pada Linear IgA dermatosis umumnya baik, Lesi akan mengalami remisi spontan
dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah onset penyakit

122
Pemfigoid Sikatrisial
1
DEFENISI

kelainan lepuh autoimun kronis langka


yang dapat menyebabkan jaringan parut.

.(Menaldi,2017)
124
2 ETIOLOGI

Kelainan genetik dimana seseorang sudah memiliki


antibodi yang terdeteksi terhadap antigen pemfigoid 180-
kD (BP180), laminin 332 (sebelumnya dikenal sebagai
epiligrin atau laminin-5),  beta-4-integrin,  dan antigen
lainnya
(Mathew,2020)

125
3 EPIDEMIOLOGI

Pemfigoid cicatricial adalah kelainan langka. Prevalensi dan


insiden yang tepat tidak diketahui. Insiden pemfigoid
sikatrikial yang diperkirakan dalam sebuah penelitian di
Prancis adalah 1,16 per juta per tahun.  Insiden pemfigoid
sikatrikial yang diperkirakan dalam penelitian di Jerman
adalah 0,87 per juta per tahun. 

(Tolaymat,2020)

126
4
Faktor resiko

Seks
sebagian besar penelitian menunjukkan rasio wanita :
pria sekitar 2: 1
Usia
kebanyakan pasien dengan pemfigoid membran
mukosa adalah lansia, dengan usia rata-rata 62-66
tahun.

((Yancey,2011)
)
5 CARA PENEGAkKAN
DIAGNOSIS

I. ANAMNESIS II. PEMERIKSAN FISIK

Mulut merupakan lokasi yang paling


Pasien biasanya sering terlibat pada pasien
menggambarkan onset  pemfigoid  pemfigoid sikatrisial,
penyakit berupa mulut juga lokasi lesi yang sering
 pembentuka paling awal dan sering tunggal
 pembentukan blister terkena. Lesi sering melibatkan
blister dan atau lesi erosif gingiva, mukosa bukal, dan  palatum.
yang sangat nyeri pada Keterlibatan okular pada pasien
satu atau  beberapa per dengan pemfigoid sikatrisial
 beberapa permukaan umumnya dapat mengancam
mukosa. mukaan mukosa.. pengelihatan
.

(Matthew,2020)
128
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi
disekitar lesi pemfigoid sikatrisial
menunjukkan deposit dari
imunoreaktan pada epitel membran
basal. Imunoreaktan yang paling
sering dideteksi adalah IgG dan C3

2. Pemeriksaan Histopatologi
Lepuh subepidermal dengan infiltrat
limfohistiositik dermal dengan jumlah
neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Ini
tidak spesifik dan dapat dilihat pada
kelainan imunobulosa lainnya termasuk
pemfigoid bulosa.

129 (Hendri Tanojo,2016)).


6 PATOGENESIS

Kolagen VII mengalami perlekatan


untuk fibril mengamankan membran
Laminin 332 adalah protein
membentuk basal ke dermis. Laminin 332 membantu
transmembran yang menghubungkan memperkuat perlekatan epidermis ke
dermis dari kekuatan pemotongan. ,
integrin alfa-6-beta-4 dari
hemidesmosom keratinosit ke
membentuk
domain kolagen VII non-kolagen 1
(NC1). 
komponen dari hemidesmosom
sel epitel

(Leila Toilamat,2020)
130
7 PATOfisiologi

BP180 menjangkau lamina lucida. (C- menargetkan C-terminus.


terminus) menjangkau lamina lucida
dan
dan memproyeksikan ke dalam lamina
densa. Target C-terminus akan
menghasilkan pemisahan yang
lebih dalam, yang kemungkinan
besar akan menimbulkan bekas
luka, seperti yang terlihat pada
pemfigoid sikatrikial

131 Leila Toilamat,2020


8 DIAGNOSIS BANDING

sindrom steven john m steven Johnson


Sindrom Stevens-Johnson (SSJ )adalah reaksi mukokutaneus yang
mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis
yang ekstensif. Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian
keparahan dari proses yang serupa, karena adanya kesamaan
temuan klinis dan histopatologis. Perbedaan terdapat pada
keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area permukaan kulit
yang terkena
 
Epidermolisis bulosa akuisisi (EBA)
kelainan lepuh subepidermal autoimun yang langka. Presentasi
klinis yang paling umum adalah bula tegang non-inflamasi yang
terbentuk pada permukaan ekstensor yang biasanya dipicu oleh
gesekan atau trauma.  (Menaldi, 2017)
132
9
PENATALAKSANAAN
1 Nonfarmakologi
2.
Pasien yang mengalami komplikasi okular dengan trikiasis dapat dilakukan epilasi

2.2 Farmakologi

● Sistemik

Sejumlah laporan telah menunjukkan bahwa dapson (50 sampai 200 mg oral setiap harinya) harinya)
dapat efektif

Glukokortikoid sistemik saja dapat diberikan (20 sampai 60 mg  prednisone  prednisone)


● Topikal
Lesi ringan dari mukosa oral dan kulit sering dapat diobati secara efektif dengan glukokortikoid
glukokortikoid topikal (kals topikal (kalsineurin ineurin inhibitor inhibitor seperti seperti takrolimus)
takrolimus) dalam sediaan gel atau salep yang digunakan dua sampai empat kali sehari. Agen ini
terutama efektif sebelum tidur karena sekresi mukosa oral berkurang  pada malam hari.
(Siregar, 2014)
(PERDOSKI, 2017)
KOMUNIKASI DAN EDUKASI
10

1. Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien


terhadap penyakit dan kepatuhan berobat. Beberapa
penderita dapat mengalami remisi spontan
2. Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis
obat dan mencapai dosis pemeliharaan.
3. Pemantauan efek samping sulfone antara lain
terhadap kemungkinan terjadi methemoglobinemia
(pemeriksaan kadar G6PD).

. (Yancey,2011)
11
KOMPLIKASI

(Stachurska dkk, 2019)


12
PROGNOSIS

Pemfigoid cicatricial adalah penyakit kronis


progresif yang menyebabkan jaringan
parut. Pasien memerlukan tindak lanjut jangka
panjang untuk memantau komplikasi akibat
jaringan parut dan kemungkinan kambuh. Karena
komplikasi yang berpotensi serius yang dapat
timbul dengan pemfigoid sikatrikial, terapi
dianjurkan dimulai sejak dini dan secara agresif. 

136
(Carol Rees Parrish, 2016)
13
PROFESIONALISME

1. Dilakukan pengobatan yang efektif, jika


keluhan tidak membaik.
2. lakukan rujukan ke spesialis kulit dan
kelamin
14 Kesimpulan

1. DEFINISI kelainan lepuh autoimun kronis langka yang dapat menyebabkan jaringan parut.

2. Anamnesa:
PENEGAKKAN Pasien biasanya menggambarkan onset penyakit berupa  pembentuka  pembentukan blister
DIAGNOSA blister dan atau lesi erosif yang sangat nyeri pada satu atau  beberapa per  beberapa
permukaan mukosa. mukaan mukosa..
Pemeriksaan Fisik:

3. TERAPI Sistemik
Sejumlah laporan telah menunjukkan bahwa dapson (50 sampai 200 mg oral setiap
harinya) harinya) dapat efektif
Glukokortikoid sistemik saja dapat diberikan (20 sampai 60 mg  prednisone  prednisone)
Topikal
Lesi ringan dari mukosa oral dan kulit sering dapat diobati secara efektif dengan
glukokortikoid glukokortikoid topikal (kals topikal (kalsineurin ineurin inhibitor inhibitor
seperti seperti takrolimus) takrolimus) dalam sediaan gel atau salep yang digunakan dua
sampai empat kali sehari. Agen ini terutama efektif sebelum tidur karena sekresi mukosa
oral berkurang  pada malam hari.
138
4. EDUKASI & 1. Edukasi dan konseling: diperlukan pengertian pasien terhadap penyakit dan kepatuhan
KOMUNIKASI berobat. Beberapa penderita dapat mengalami remisi spontan
2. Kontrol teratur setiap 1 bulan untuk penurunan dosis obat dan mencapai dosis
pemeliharaan.
3. Pemantauan efek samping sulfone antara lain terhadap kemungkinan terjadi
methemoglobinemia (pemeriksaan kadar G6PD).

5. KOMPLIKASI Pemfigoid cicatricial adalah penyakit kronis progresif yang menyebabkan jaringan parut.

6. PROGNOSIS Pasien memerlukan tindak lanjut jangka panjang untuk memantau komplikasi akibat jaringan
parut dan kemungkinan kambuh. Karena komplikasi yang berpotensi serius yang dapat timbul
dengan pemfigoid sikatrikial, terapi dianjurkan dimulai sejak dini dan secara agresif. 

139
Pemfigoid Gestasionis
1
DEFENISI

Pemfigoid getationis , adalah


dermatosis autoimun dengan
ruam polimorf yang berkelompok
dan gatal.

.(Menaldi,2017)
141
2 ETIOLOGI

Etiologinya ialah autoimun. Sering bergabung dengan


penyakit autoimun yang lain, misalnya penyakit Grave,
vitiligo, dan alopesia areta

(Menaldi 2017)

142
3 EPIDEMIOLOGI

Insiden pemfigoid gestasionis diperkirakan bervariasi, satu kasus per 2000


hingga 60.000 kehamilan. Ini lebih sering terjadi pada orang dengan kulit
cerah daripada kulit gelap. Pemfigoid gestasionis terutama terjadi pada akhir
kehamilan dengan 60% kasus terjadi antara minggu ke 28 dan minggu ke
32 amenore. 

(.Michel fong,2020))

143
4
Faktor resiko

1. Seseorang yang mengalami Pemfigoid gestasionis pada


kehamilan sebelumnya lebih beresiko terkena lagi
dimana dapat terjadi pada kehamilan berikutnya
2. Pengobatan dengan estrogen dan kontrasepsi oral
yang mengandung progesterone juga berpengaruh
pada penyakit ini

(.( Michel fong,2020))


5 CARA PENEGAkKAN
DIAGNOSIS

I. ANAMNESIS II. PEMERIKSAN FISIK

Biasanya pasien mengeluhkan Biasanya terlihat banyak papulo-


gejala prodromal berupa demam, vesikel sangat gatal dan
malese, mual, nyeri kepala dan rasa berkelompok. Lesinya polimorf
panas dingin silih berganti. terdiri atas eritema, edema,
Beberapa hari sebelum timbul papul, dan bula tegang. Bentuk
erupsi dapat didahului dengan intermediate juga dapat
perasaan sangat gatal seperti ditemukan, misalnya vesikel kecil,
terbakar. plakat mirip urtika, vesikel
serangan timbul paling sering pada berkelompok, erosi dan krusta.
trimester kedua (bulan ke-5) .

(Siregar,2014)
145
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Imunofloresensi

imunofluoresensi langsung dari kulit


sekitar-lesi, menunjukkan deposisi
linier komplemen (C3) di sepanjang
BMZ (X40)

2. Pemeriksaan Histopatologi
Menunjukkan pada tahap pra-bulosa
edema papiler dengan infiltrasi dermis,
yang terdiri dari limfosit dan histiosit dan
sejumlah variabel eosinofil, itu
mengungkapkan dalam lepuh sub
epidermal tahap bulosa

146 (Hendri,Tanojo, 2016).


6 PATOGENESIS

lgG subklas lgG1 yang lgG subklas lgG1 yang mengendap


selanjutnya
pada membran basal akan
mengendap pada membran basal mengaktifkan sistem komplemen,
akan mengaktifkan sistem
komplemen

(Menaldi, 2017)
147
7 PATOFisiologi

faktor pencetus timbulnya kelainan di


B.M.Z. berkaitan dengan HLA-B8, HLA-
Pada Pemfigoid gestasionis terjadi sebagai
DR3, dan HLA-DR. lgG
ekspresi abnormal antigen M.H.C.
kelas II

selanjutnya

terbentuknya lepuh Pemfigoid Gestasional.

(Menaldi, 2017)
148
8 DIAGNOSIS BANDING

DH

PB
(Menaldi, 2017)
149
9
PENATALAKSANAAN
1 Nonfarmakologi
2.
Kompres Nacl 0,9%

2.2 Farmakologi

● Topikal
PG Sering diobati dengan kortikosteroid topical Clobetasole propionate 0,05% pemberian 2x sehari
● Sistemik
pemberian prednison 20- 40 mg per hari dalam dosis terbagi rata. Takaran ini perlu dinaikkan atau
● imunoglobulin intravena (IVIG) telah berhasil digunakan dalam beberapa kasus. Dalam satu kasus
pemfigoid kehamilan kronis yang resisten terhadap berbagai pengobatan (kortikosteroid, dapson,
azathioprine, IVIG), penyakit ini telah berhasil dikendalikan dengan antibodi rituximab-anti-CD20.
● Kasus PG yang terisolasi telah berhasil diobati dengan dapson atau sulfapyridine.

(Siregar, 2017)
(PERDOSKI, 2017)
KOMUNIKASI DAN EDUKASI
10

1. Menjaga bekas lesi tetap tidak basah dan


kebersihannya agar tidak terjadi infeksi
2. Hindari menyentuh atau menggaruk lesi

(Jeff K,2015)
11
KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul pada ibu hanyalah rasa gatal dan


infeksi sekunder. Jika penyakit timbul pada masa akhir
kehamilan maka akan lama sembuh dan seringkali timbul
pada kehamilan berikutnya

(Menaldi,2017)
12
PROGNOSIS

Tidak ada peningkatan morbiditas atau mortalitas


maternal telah didokumentasikan

(Siregar,2014)
153
13
PROFESIONALISME

Membantu mengontrol kesembuhan pasien


dengan pemberian obat dan dosis yang tepat dan
bila ada keluhan tambahan dalam pengobatan
kemungkinan di rujuk ke dokter spesialis Kulit
kelamin.
14 KESIMPULAN
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal
Pemfigoid getationis , adalah dermatosis autoimun dengan ruam polimorf yang berkelompok dan
1. DEFINISI yang besar dan berdinding tegang. Etiologinya disebabkan karena autoimun
1. DEFINISI gatal.
Anamnesis : Umumnya pasien datang dengan keluhan gatal dan terasa nyeri
2. PENEGAKAN Anamnesis
Pemeriksaan fisik ::Biasanya
Ditandaipasien mengeluhkan
oleh perkembangan gejala
vesikel danprodromal berupa
bula pada kulit demam, malese,
normal
DIAGNOSIS mual, nyeri kepala dan rasa panas dingin silih berganti. Beberapa hari sebelum timbul erupsi dapat
2. PENEGAKAN didahului dengan perasaan sangat gatal seperti terbakar.
DIAGNOSIS serangan timbul paling sering pada trimester kedua (bulan ke-5) .
Pemeriksaan Fisik Biasanya terlihat banyak papulo-vesikel sangat gatal dan berkelompok. Lesinya
polimorf terdiri atas eritema, edema, papul, dan bula tegang. Bentuk intermediate juga dapat
ditemukan, misalnya
Pemeriksaan vesikel
penunjang kecil, plakat
: Imunologi mirip urtika, vesikel berkelompok, erosi dan krusta.
dan histopatologi

Non Farmakologi :Kompres nacl 0,9%


Topikal
Non Farmakologi : Tidak ada
3. TERAPI PG Sering diobati dengan kortikosteroid topical Clobetasole propionate 0,05% pemberian 2x se-
3. TERAPI hariFarmakologi : Terapi sistemik : Diberikan kortikosteroid prednisolon 40-60 mg
Sistemik Topikal : Clobetasol propionate cream 0,05%
pemberian prednison 20- 40 mg per hari dalam dosis terbagi rata. Takaran ini perlu dinaikkan atau
imunoglobulin intravena (IVIG) telah berhasil digunakan dalam beberapa kasus. Dalam satu kasus
pemfigoid kehamilan kronis yang resisten terhadap berbagai pengobatan (kortikosteroid, dapson,
azathioprine, IVIG), penyakit ini telah berhasil dikendalikan dengan antibodi rituximab-anti-CD20.
Kasus PG yang terisolasi telah berhasil diobati dengan dapson atau sulfapyridine.
1. Menjaga bekas lesi tetap tidak basah dan kebersihannya agar
4. EDUKASI & tidak terjadi infeksi
KOMUNIKASI 2. Hindari menyentuh atau menggaruk lesi

Komplikasi yang timbul pada ibu hanyalah rasa gatal dan infeksi sekunder. Jika penyakit timbul pada
5. KOMPLIKASI
masa akhir kehamilan maka akan lama sembuh dan seringkali timbul pada kehamilan berikutnya

6. PROGNOSIS Tidak ada peningkatan morbiditas atau mortalitas maternal telah didokumentasikan
THANKS!

157

Anda mungkin juga menyukai