Anda di halaman 1dari 28

SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Pertemuan 113: Ketaksaan, Metafora,


dan Eufemisme
Dra. Sudarmini, M.Pd.
PBSI FKIP Universitas Ahmad Dahlan
sudarminiak@gmail.com/ 081229410026
KETAKSAAN (AMBIGUITY)
Ketaksaan atau ambiguitas sering diartikan
kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas
dapat juga satuan gramatikal yang lebih
besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi
akibat penafsiran struktur gramatikal yang
berbeda.
Ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna
yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya
penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut.
Ambiguitas timbul di dalam berbagai variasi tuturan
atau tulisan. Sehubung dengan masalah ini
Kempson (Ullmann; 1976: 156-159) menyebut tiga
bentuk utama ambiguitas.
Umpamanya, frase ‘buku sejarah baru’ dapat
ditafsirkan sebagai
(1) buku sejarah itu baru terbit, atau
(2) buku itu berisi sejarah zaman baru.

Contoh lain, kalimat ‘Orang malas lewat di sana’


dapat ditafsirkan sebagai
(2) jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau
(2) yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas.
1. Ambiguitas pada tingkat fonetik

Ambiguitas pada tingkat fonetik timbul akibat


membaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dituturkan.
Kadang-kadang karena leksem yang membentuk
kalimat dituturkan cepat-cepat maka kita jadi ragu-
ragu tentang makna kalimat yang dituturkan.
2. Ambiguitas pada tingkat gramatikal
Ambiguitas pada tingkat gramatikal biasanya
muncul pada satuan kebahasaan yang disebut kalimat
atau kelompok leksem. Ambiguitas dapat dilihat dari
dua alternatif.
Pertama, ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa
pembentukan kata secara gramatikal.
Alternatif kedua, adalah ambiguitas pada frase yang
mirip.
3. Ambiguitas pada tingkat leksikal

Telah dijelaskan bahwa setiap leksem dapat saja


mengandung lebih dari satu makna (Lyons; l.
1977:38). Dapat saja sebuah leksem dapat merujuk
pada acuan yang berbeda sesuai lingkungan
pemakaiaannya.
c. Ambiguitas pada tingkat leksikal
 Sebuah kata bisa mengacu pada sesuatu yang berbeda
sesuai dengan lingkungan pemakainya.
 Contohnya saat seseorang mengujarkan bang yang
mungkin mengacu pada abang atau mengacu pada
bank.
 Bentuk tersebut dikenal dengan nama polivalensi
(polyvalency) yamg dapat dilihat dari dua segi.
 Segi pertama yang dikatakan breal (dalam Ullman
1972 : 159) polisemi. Pada BI kata mudah sebagai
adjektiva yang bermakna:
 dalam BI juga terdapat kata jarak • Segi kedua, ialah kata-kata yang
yang bermakna antara:
sama bunyinya tetapi maknanya
 Jarak Jakarta—Surabaya kira-kira 800
berbeda.
km,
• Kenyataan ini dikenal dengan
 sejenis tumbuhan yang bijinya
menghasilkan minyak. homonim.
 Oleh karena itu, untuk
• Pada kata barang yang maknanya
menghindarkan ambiguitas karena berbeda pada kalimat Berilah saya
polisemi ada baiknya ditelusuri lebih barang 1.000 rupiah.
dahulu konteks kalimat. • Makna kata barang pada kalimat
pertama, yakni benda yang
diperdagangkan, sedangkan
makna kata barang pada kalimat
yakni sejumlah atau sebanyak.
Untuk menghindari ambiguitas pada kata-kata homonim, ada
 Ambiguitas tingkat fonetik, seperti kata bakmi: apakah sejenis makanan,
baiknya ditelusuri jenis mi.
atau seperti berikut, yakni:
 Ambiguitas karena melekatnya imbuhan, misalnya kata bersepeda, apakah
bermakna mempunyai sepeda atau memakai sepeda.
 Ambiguitas pada kalimat, misalnya kalimat anak jaksa Ahmad meninggal.
 Ambiguitas pada frasa, misalnya urutan kata kambing Abdullah: apakah
kambing kepunyaan Abdullah, atau si Abdullah adalah kambing.
 Ambiguitas karena polisemi, misalnya kata barang
 Ambiguitas pada konteks, misalnya dalam kalimat baru pulang?
3. Permasalahan Ambiguitas yang dibahas
dalam farasa atau kalimat

 Frasa “Anak istri pak lurah yang  Frasa “ Anak pejabat yang gemuk
tinggal di desa” dapat itu berasal dari Surabaya”
menimbulkan kesan makna ganda: memiliki makna ganda:
1. Anak dan istri pak lurah yang 1. Yang gemuk adalah pejabata,
tinggal di desa, atau
2. Anak, istri, dan pak lurah yang 2. Yang gemuk adalah anak pejabat.
tinggal di desa, atau
3. Anak/ istri pak lurah yang tinggal
di desa.
• Frasa “Kucing makan tikus • Frasa “Mayat itu diloncati
mati” terdapat kesan makna kucing hidup” makna
ganda: gandanya adalah:
1. Kucing memakan tikus yang 1. Mayat diloncati oleh
mati, atau
kucing yang hidup, atau
2. Kucing memakan tikus yang
2. Mayat diloncati kucing
masih hidup lalu tikus itu
mati. kemudian hidup.

• Frasa “Mobil tetangga • Frasa “ Habib berenang di


laut mati” makna ambigunya
baru berwarna merah”
adalah:
menimbulkan makna ganda
1. Habib berenang di laut yang
yakni:
namanya laut mati, atau
1. Yang baru adalah
2. Habib berenag di laut
tetangga, atau
kemudian mati.
2. Yang baru adalah mobil.
• Frasa “Kuterima hadiah kedua • Frasa “Ibu guru baru datang
kakakku denagn senang hati” pukul 08.00” memiliki dua
kesan makna ganda dapat berarti : tafsiran yaitu:
1. Hadiah kedua dari kakakku, 1. Ibu guru yang masih baru itu
atau datang pukul 08.00, atau
2. Hadiah dari kedua kakakku. 2. Ibu guru (yang sudah lama) itu
baru datang pukul 08.00.
• Ambiguitas antarfrasa “Adi bersahabat dengan Dono” dan “Dia sangat
menyayangi adiknya” makna ganda yang ditimbulkan adalah tidak
diketahuinya secara jelas siapa yang menyayangi adik siapa, sehingga
kalimat tersebut mengandung ambiguitas. Tidak jelas siapa yang dimaksud
dengan :dia” dan “adiknya” dalam kalimat “Dia sanagat menyayangi
asiknya”. Kalimat tersebut akan menjadi jelas jika diubah menjadi “ Adi
bersahabat dengan Dono dan Adi sangat menyayangi adik Dono”.
2. EUFEMISME

Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemizen


yang berarti ‘berbicara dengan kata-kata yang jelas dan
wajar’; yang diturunkan dari eu ‘baik’ + phanai ‘berbicara’.
Jadi secara singkat eufemisme berarti ‘pandai berbicara;
berbicara baik’.
Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai
pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap
merugikan, atau yang tidak menyenangkan.
Contoh :

Pengangguran eufemismenya tunakarya


Gelandangan eufemismenya tunawisma
Pelacur eufemismenya tunasusila
Kakus eufemismenya toilet
Kelapaaran eufemismenya kekurangan makan
Utang eufemismenya pinjaman
Bunting eufemismenya hamil, berbadan dua
Diberhentikan eufemismenya dibebastugaskan
3. METAFORA

Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang


berarti ‘memindahkan’; dari meta ‘di atas; melebihi’ +
pherein ‘membawa’.
Metafora membuat perbandingan dari antara dua hal atau
benda untuk menciptakan suatu kesan mental yag hidup,
walaupun tidak dinyatakan secara implisit dengan
penggunakan kata-kata bak, seperti, laksana, ibarat,
umpama, sebagai seperti pada perumpamaan (Dale (et al),
1971 : 224).
Definisi

 Metaphore is one figurative language directly comparing one thingto another


with a particular purpose
 Ullmann: the thing we are taking about dan that to which we are comparing
it ( yang diperbincangkan dan yang diperbandingkan)
 Disebut tenor dan wahana
 Keraf (1987:139): semacam analogi yang membandingkan dua hal secara
langsung tetapi dalam bentuk yang singkat
 Badudu: gaya bahasa yang membandingkan sesuatu benda dengan benda yang
lain, tanpa menggunakan kata perbandingan
Kiasan atau metafora ialah perbandingan
yang implisit, jadi tanpa kata seperti atau
sebagai diantara dua hal yang berbeda
(Moelione, 1984 : 3).

Metafora adalah pemakaian kata-kata


bukan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan
persamaan atau perbandingan
(Poerwadarminta, 1976 : 648).
Metafora adalah sejenis majas
perbandingan yang paling singkat, padat,
tersusun rapi. Di dalamnya terlibat dua ide
: yang satu adalah suatu kenyataan,
sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi
obyek; dan yang satu lagi merupakan
perbandingan terhadap kenyataan tadi;
dan kita menggantikan yang belakang ini
menjadi yang terdahulu tadi (Tarigan;
1983 : 141).
Contoh :
Nani jinak-jinak merpati.
Perpustakaan gudang ilmu.
Mina buah hati Edi.
Kata adalah pedang tajam.
Kembang desa yang kesepian
Tikus kantor masih banyak di negeri ini.
Ibu itu memeluk sang buah hatinya.
Raja hutan mengaum dengan lantang di pagi hari.
Pemuda itu adalah tulang punggung keluarganya.
Perpustakaan adalah gudang ilmu.
Jenis metafora

Metafora

m.
Peminda
m. M
m. han
antropo sinesteti
binatang konkret
morfis k
>
abstrak
Metafora antromorfis

 Jenis metafora yang dinamai berdasarkan nama-nama bagian tubuh manusia


atau sebaliknya bagian tubuh manusia dinamai berdasarkan nama benda-
benda yang lain
 Misal kaki: kaki gunung
mulut: mulut gua, mulut sungai, mulut sumur
lidah: lidah buaya, lidah api
kepala: kepala burung, kepala sekolah, kepala kantor
yang lainnya: kendang telinga, bola mata, biji mata, bulu mata, batang
hidung, daun telinga, daun telinga, buah tangan, buah hati
Metafora binatang

 Metafora yang bersumber pada dunia binatang,


yang dibandingkan adalah sifat-sifat binatang
tertentu yang dikenakan pada manusia
 Misalnya : otak udang ‘bodoh’, kerbau ‘malas dan
bodoh’, buaya , macan atau singa ‘ganas’, lintah
darat ‘rentenir’, ekor kuda ‘rambut panjang’
Metafora sinestetik

 Metafora yang diciptakan berdasarkan pada pengalihan tanggapan yaitu


tanggapan berdasarkan indera manusia satu ke indera yang lain
 Misal: perkataannya pedas
(1) Kehidupan saya selama ini sangat pahit.
(2) Muka orang itu sangat asam.
(3) Warna tasnya manis.
(4) Ia sedang mengikuti rapat gelap.
Metafora karena pemindahan konkret ke
abstrak
 Metafora yang menggambarkan objek yang konkret dengan sesuatu yang
abstrak atau sebaliknya
 Misal
(1) Ia setan yang sulit ditaklukkan.
(2) kuanggap malaikat bagi keluargaku.
(3) ia adalah dewa penolong saat saya kritis.
Maksud dan Tujuan

 Sarana untuk memuji (engkau bidadariku, bintang kelas,


malaikatku)
 Untuk mengungkapkan rasa marah ( buaya darat, musang
berbulu domba, gadis bensin)
 Untuk mencela (buaya darat, kerbau, ular, mata
keranjang)
 Untuk menyatakan rasa kagum (wanita itu berhati salju,
berhati emas)
 Untuk menyatakan rasa putus asa dan sedih ( aku seperti
daun kering tertimpa angin)
Fungsi metafora

 Untuk memberi nama suatu benda


 Untuk memperjelas informasi
 Untuk memperoleh efek seni
Eufemisme

Anda mungkin juga menyukai