Anda di halaman 1dari 10

3 Kerentanan Terhadap Krisis Ekonomi

Indonesia sudah dua kali diterpa krisis ekonomi besar. Pertama, krisis keuangan Asia
1997 – 1998, dan Kedua, krisis ekonomi global 2008 – 2009 yang terjadi dan mempengaruhi
banyak negara. Dari kedua krisis itu ekonomi Indonesia mengalami goncangan yang
mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional mengalami perlambatan, laju
pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari yang diharapkan.
Suatu hal yang jelas dan dapat dijadikan suatu pelajaran penting dari pengalaman dua kali
terkena krisis ekonomi tersebut adalah, ternyata Indonesia sangat rentan terhadap setiap tipe
atau bentuk goncangan ekonomi, baik yang menurut sumbernya berasal dari dalam negeri
atau dari sumber-sumber eksternal. Oleh karena itu pemerintah pusat dan daerah memerlukan
suatu sistim pendeteksi dini krisis ekonomi dan sistim memonitor kerentanan ekonomi,
khususnya ditingkat provinsi dan kabupaten/kota terhadap suatu krisis ekonomi.
Faktor Penyebab Kerentanan Ekonomi Indonesia.
Ada sejumlah alasan kenapa perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap hampir semua
tipe krisis ekonomi, seperti berikut ini :
1. Ekonomi Indonesia semakin terbuka menuju liberalisasi – dalam sektor-sektor
perdagangan, perbankan, dan investasi, perekonomian Indonesia semakin terintegrasi
dengan ekonomi dunia. Konsekuensinya, ekonomi Indonesia menjadi semakin rentan
terhadap goncangan ekonomi dunia.
2. Indonesia masih tetap bergantung pada ekspor dari banyak komoditas primer –
yaitu pertambangan dan pertanian. Konsekuensinya, setiap ketidakstabilan permintaan
dunia terhadap komoditas-komoditas tersebut atau goncangan harga-harga dunia dari
komoditas-komoditas itu, khususnya pertanian (termasuk perkebunan) akan menjadi
sebuah goncangan serius bagi perekonomian Indonesia.
3. Indonesia semakin tergantung pada impor dari sejumlah produk makanan yang
penting – termasuk beras, gandum, jagung, kedele, daging, dan minyak. Konsekunsi
dari ketergantungan impor ini adalah kenaikan atau ketidakstabilan dari harga-harga
produk makanan tersebut di pasar internasional, atau gagal panen dari produk-produk
tersebut di negara-negara asal, jelas akan mempunyai suatu efek negatif yang signifikan
terhadap konsumsi rumah tangga bahkan akan mengancam keamanan pangan di dalam
negeri yang bisa berujung pada kerusuhan sosial.
4. Dalam 20 tahun belakangan ini semakin banyak tenaga kerja Indonesia (TKI)
yang bekerja di luar negeri – Bahkan semakin banyak desa di tanah air dimana
kehidupan masyarakatnya dan pembangunan ekonominya sangat tergantung pada
pengiriman uang dari TKI di luar negeri. Konsekuensinya jika negara tempat TKI
bekerja mengalami krisis ekonomi, yang memaksa banyak TKI berhenti bekerja, maka
jumlah uang yang rutin dikirim ke Indonesia juga akan berkurang, dan artinya akan
banyak desa di Indonesia mengalami kemiskinan.
5. Sebagai sebuah negara dengan jumlah populasi yang besar, yang artinya
tingkat konsumsi domestik yang sangat tinggi, akselerasi laju pertumbuhan output di
sektor pertanian di dalam negeri menjadi sangat krusial, dan ini tergantung pada
beragam faktor, termasuk cuaca yang merupakan sebuah faktor eksogen. Indonesia
sangat rentan terhadap perubahan-perubahan udara yang tidak normal yang sering
mengakibatkan gagal panen, dan jika kasusnya adalah padi maka masalahnya bisa
sangat serius. Bukan saja ketahanan pangan nasional terancam, tetapi juga bisa
berakibat pada inflasi yang sangat tinggi (hyperinflation) dan krisis keuangan
pemerintah karena harus mengimpor beras atau memberikan beras murah dalam
jumlah yang banyak ke rumah tangga-rumah tangga yang tidak mampu.
Menurut sebuah laporan dari Institute of Development Studies di Inggris (IDS,
2019) mengenai studi awalnya di Indonesia dan sejumlah Negara Berkembang
lainnya, disimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang paling rentan
terhadap tiga jenis goncangan yaitu makanan, minyak dan perdagangan.

Jenis Goncangan Tingkat Kerentanan


1. Makanan
- Permintaan Tinggi
- Penawaran Rendah
2. Minyak
-Permintaan Tinggi
-Penawaran Tinggi
3. Perdagangan Tinggi
4. Modal Rendah

3
Mengukur Tingkat Kerentanan Ekonomi
Definisi Kerentanan :
Secara umum, kerentanan merujuk kepada potensi kerugian atau kerusakan yang diakibatkan
oleh guncangan eksogen. Dibidang ekonomi, kerentanan ekonomi merujuk pada resiko-resiko
yang disebabkan oleh goncangan eksogen (bisa dari sumber-sumber internal maupun
eksternal) terhadap tiga sistim kunci dari ekonomi, yaitu produksi, distribusi, dan
konsumsi.
Adger, dkk (2004), dikatakan bahwa kerentanan dari, sebuah wilayah atau komunitas,
terhadap suatu goncangan berkaitan dengan kapasitas atau kemungkinannya untuk dirugikan
atau dirusak akibat goncangan itu.
Briguglio, dkk (2008), disebutkan bahwa kerentanan berhubungan erat dengan kondisi-
kondisi yang ada yang mempengaruhi besar kecilnya tingkat sensitivitas dari sebuah negara
atau daerah atau kelompok masyarakat terhadap goncangan-goncangan eksogen.
Guillaumon (2007), mendefinisikan kerentanan ekonomi dari sebuah negara dengan resiko
kehancuran ekonomi atau terhentinya pembangunan ekonomi yang dihadapi oleh negara
tersebut yang disebabkan oleh suatu goncangan eksogen. Menurutnya, ada dua jenis utama
dari goncangan eksogen, atau dua sumber utama dari kerentanan, yakni bencana alam dan
perdagangan.
Hoddinott dan Quisumbing (2003), mendefinisikan kerentanan sebagai kemungkinan pada
suatu waktu tertentu di masa depan kesejahteraan dari seorang atau rumah tangga akan
merosot ke suatu tingkat di bawah tingkat normal.

4
Indikator Kerentanan
Seperti telah dibahas sebelumnya tingkat kerentanan tergantung pada 3 faktor utama :
Derajat Sensitivitas, Derajat dari Ketahanan (kemampuan untuk pulih), dan
Sifat Alami dari Goncangan. Didalam literatur mengenai kerentanan terhadap krisis
ekonomi, diantara ketiga faktor tersebut, perhatian selama ini diberikan lebih kepada
kemampuan dari individu atau Rumah Tangga (RT) diwilyah/negara untuk pulih dari suatu
goncangan/krisis ekonomi.

Derajat Sensitivitas : Seberapa besar respon dari individu, RT, komunitas terhadap
suatu goncangan. Derajat Ketahanan : Kemudahan dan kecepatan individu, RT pulih
dari sebuah goncangan. Sifat Alami dari Goncangan : Bencana-bencana berskala besar
seperti kekeringan, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, pasar dunia yg tidak
stabil.

5
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah : indikator-indikator apa yang tepat untuk
merefleksikan tingkat kerentanan atau kemampuan individu, RT, komunitas atau provinsi
dalam menghadapi suatu krisis ekonomi ? Menurut para ahli :
Streeten, dkk (1981) menyatakan bahwa kemampuan individu atau RT untuk pulih dari
suatu goncangan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari prospek
mendapatkan suatu kehidupan layak, mendapatkan kesempatan kerja dengan
pendapatan yang layak, dan fasilitas-fasilitas pendidikan dan kesehatan (semua ini
termasuk kebutuhan dasar dari individu) hingga efek-efek sosial dan psikologi dari
tekanan dan pengucilan.
Moser (1998), dikatakan bahwa kapabilitas dari seseorang untuk pulih dari efek negatif dari
sebuah goncangan ekonomi bergantung kuat pada apa yang orang itu miliki, seperti
aset-aset dan hak-hak kepemilikan yang ia bisa mobilisasikan atau gunakan pada saat
menghadapi kesulitan akibat suatu goncangan. Oleh karena itu, kerentanan sangat
terkait dengan kepemilikan aset : semakin banyak aset seseorang miliki, semakin rendah
tingkat kerentanannya terhadap setiap krisis dan semakin besar berkurang aset yang ia
miliki, maka semakin besar ketidakpastian yang ia hadapi
Jika kerentanan ekonomi didefinisikan, dalam suatu arti yang umum yatiu sebagai suatu
penurunan kesejahteraan yang berasosiasi dengan kemiskinan, maka dalam
mengindentifikasi indikator-indikator kerentanan, determinan-determinan (langsung dan
tidak langsung) dari kesejahteraan atau pendapatan harus diidentifikasi terlebih dahulu.
Misalnya, jika kesempatan kerja dianggap sebagai suatu sumber atau penentu utama
kesejahteraan, maka kesempatan kerja harus dianggap sebuah indikator kerentanan.
Analisis Empiris
Menurut tingkat egregasi, kerentanan ekonomi dapat dikaji pada tingkat makro dan mikro
yang mengusulkan sejumlah rasio atau variabel yang dapat digunakan sebagai indikator-
indikator dari kerentanan ekonomi pada tingkat masing-masing makro dan mikro.

Indikator pada Tingkat Makro


No. Indikator Sifat

Ketahanan Sensitivitas

1 Luas Ekonomi / Pasar X

2. Kepadatan dan Struktur Penduduk X

3 Lokasi Geografi X X

4 Struktur Konsumsi Rumah Tangga (RT) X

5 Keterbukaan Ekonomi X

6 Ketergantungan dan diversifikasi ekspor X

7 Ketergantungan pada diversifikasi impor X

8 Diversifikasi Ekonomi X

9 Pendapatan riil Per kapita X


No. Indikator Sifat

Ketahanan Sensitivitas

10 Rumah Tangga (RT) menurut Kelompok X


Pendapatan
11 Kemiskinan X

12 Tingkat melek huruf dan rasio anak-anak X


yang terdaftar sekolah
13 Kondisi kesehatan X

14 Kemampuan teknologi X

15 Infrastruktur sosial dan ekonomi X

16 Modal sosial X

17 Partisipasi wanita dalam pasar tenaga X


kerja/kegiatan-kegiatan ekonomi
18 Stabilitas ekonomi makro X

19 Efisiensi pasar ekonomi mikro X


Indikator Mikro
Tipe Krisis Indikator Kunci

Krisis Produksi ─ Luas Ekonomi / Pasar


─Mis. Krisis Pangan ─ Kepadatan Penduduk
─ Ketergantungan Impor
─ Difersifikasi Ekonomi
─ Infrastruktur
─ Kemampuan Teknologi
Krisis Perbankan ─ Keterbukaan Ekonomi
─ Stabilitas Ekonomi Makro
─ Efisinesi Pasar Ekonomi Mikro
Krisis Nilai Tukar ─ Keterbukaan Ekonomi
─ Ketergantungan Impor
─ Stabilitas Ekonomi Makro
─ Efisinesi Pasar Pasar Ekonomi Mikro
Krisis Ekspor ─ Ketergantungan Ekspor
─Mis. Krisis Pendapatan / ─ Difersifikasi Ekspor
Permintaan Dunia
Krisis Energi ─ Ketergantungan Impor Energi
─ Kemampuan Teknologi
─ Luas Ekonomi (Total Populasi)
Bank Indonesia (BI) menilai di tengah optimisme terhadap prospek perekonomian
Indonesia, tantangan utama adalah bagaimana dapat meminimalisir risiko-risiko yang
dapat meningkatkan kerentanan terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi, terutama
yang bersumber dari defisit neraca transaksi berjalan. Masih ada beberapa masalah
yang membuat pertumbuhan ekonomi kita menjadi rentan yakni :
─ Pertama, risiko yang bersumber dari masih tingginya ketidakpastian pemulihan
ekonomi global dan harga komoditas yang dapat menganggu kinerja ekspor
Indonesia. Dalam kondisi itu, akan meningkatkan tekanan terhadap neraca transaksi
berjalan.
─ Kedua, konsumsi BBM yang terus meningkat ditengah semakin menurunya produki
minyak akan terus mendorong peningkatan impor minyak, sehingga semakin
memperbesar defisit transaksi berjalan.
─ Ketiga, ketergantungan impor yang tinggi menimbulkan tekanan terhadap transaksi
berjalan ketika kegiatan investasi terus mengalami peningkatan.
“Apabila risiko yang disampaikan tersebut tidak dikelola dengan baik, dapat menganggu
kestabilan makro, yang pada gilirannya menghambat keberlangsungan pertumbuhan
ekonomi yang telah dicapai selama ini”.

1
0

Anda mungkin juga menyukai