Anda di halaman 1dari 26

Matakuliah Praktikum 2

ASSESSMENT, BERBASIS PADA KEKUATAN


A. PENDAHULUAN

Dalam praktek pekerjaan sosial terdapat sebuah paradigma


sederhana mengenai proses pemecahan masalah yang dalam
profesi pekerjaan sosial dikenal dengan pola :
assessment intervention evaluation and termination.
Dalam proses tersebut seringkali proses assessment dipahami
sebagai tahapan yang secara prosedural harus dilalui saja.
Padahal assessment merupakan tahap yang penting (mungkin
terpenting) dalam proses pekerjaan sosial.
Asesmen merupakan proses kritis dalam praktik
pekerjaan sosial. Penentuan tujuan dan intervensi amat
tergantung pada asesmen. Sehingga proses ini
merupakan proses penting bahkan krusial dalam
praktek pekerjaan sosial.
Hepworth and Larsen (1986) mengemukakan asesmen sebagai
berikut:
Asesmen adalah proses pengumpulan, penganalisaan dan
mensistesakan data kedalam suatu formulasi yang menekankan
dimensi vital sebagai berikut:
1)Sifat permasalahan klien;
2)Keberfungsian klien (kekuatan, keterbatasan, aset pribadi dan
kekurangan);
3)Motivasi klien untuk mengatasi masalah;
4)Relevansi faktor lingkungan yang turut mendukung timbulnya
masalah; dan
5)Sumber-sumber yang tersedia. (p.165)
Asesmen terkadang menunjukkan sebagai suatu
psychosocial diagnosis (Hollis, 1972). Namun istilah
diagnosis terlalu fokus pada kesalahan-kesalahan klien,
keluarga, atau kelompok yang didiagnosis, seperti
dianggap mengidap penyakit, mengalami masalah
disfungsional dan mental. Karena diagnosis cenderung
memiliki konotasi negatif, maka pekerja sosial
menggunakan istilah assessment.
Asesmen terkadang merupakan suatu hasil (product)
atau terkadang merupakan proses berjalan (an ongoing
process).

Sebagai suatu produk/hasil, asesmen merupakan


suatu formulasi berdasarkan waktu berkenaan dengan
sifat kesulitan dan sumber-sumber potensial klien.
Esensinya, assessment adalah suatu hipotesa kerja
(proposisi) mengenai kesulitan- kesulitan dan sumber-
sumber klien berdasarkan pada data terkini.
Assessment juga dapat dilihat sebagai proses yang
berjalan dari sejak mulai wawancara hingga fase
terminasi kasus. Lama waktu yang dibutuhkan untuk
menerima klien mungkin seminggu, sebulan, atau
setahun. Selama waktu tersebut, profesional bekerja
dengan kasus yang secara terus- menerus menerima
dan menganalisis informasi baru yang secara gradual
muncul. Hepworth dan Larsen (1986) mencatat bahwa
asesmen terus dilakukan bahkan hingga fase terminasi.
B. PERSPEKTIF PADA KEKUATAN (STRENGTHS
PERSPECTIVE)

Hal terpenting bahwa para pekerja sosial memasukan


kekuatan atau kelebihan klien dalam proses asesmen.
Dalam bekerja bersama dengan klien, para pekerja
sosial fokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien
guna membantu mereka mengatasi permasalahannya
sendiri. Untuk memanfaatkan kekuatan atau kelebihan
klien secara efektif, para pekerja sosial pertama-tama
harus mengidentifikasi kekuatan- kekuatan tersebut.
Perspektif kekuatan sangat erat kaitannya dengan
pemberdayaan (empowerment). Empowerment
sebagaimana didefinisikan oleh Barker (1995) sebagai
“the process of helping individuals, families, groups,
and communities to increase their personal,
interpersonal, socioeconomic, and political strength
and to develop influence toward improving their
circumstances” (p.20).
Perspektif ini berupaya mengidentifikasi,
memanfaatkan, membangun, dan memperkuat
kekuatan dan kemampuan yang mereka punya.
Perspektif kekuatan berguna untuk melihat lingkaran
kehidupan dan melintasi seluruh tahap proses
pertolongan—assessment, intervention, and
evaluation. Fokus tersebut menekan pada kemampuan
orang, nilai-nilai, minat, keyakinan, sumber-sumber,
prestasi dan aspirasi seseorang (Weick, Rapp, Sulivan,
& Kisthardt, 1989)
Menurut Saleebey (1997, pp. 12-15), terdapat
lima prinsip yang mengarahkan asumsi
perspektif kekuatan tersebut:

Pertama. Setiap individu, kelompok, keluarga


dan masyarakat memiliki kekuatan. Perspektif
kekuatan melihat sumber-sumber tersebut
Kedua. Trauma, siksaan, sakit, dan perjuangan dapat
membuat luka, tetapi hal tersebut dapat dijadikan
sumber tantangan dan kesempatan/peluang. Klien
yang telah menjadi korban dipandang sebagai individu
aktif dan berkembang, melalui trauma, mereka belajar
keterampilan dan atribut pengembangan diri yang
membantu mereka menghadapi persoalan yang sama
di masa mendatang.
Ketiga. Diasumsikan bahwa pekerja sosial sama sekali
tidak mengetahui batas atas dari kapasitas klien untuk
terus tumbuh dan berubah. Prinsip ini berarti bahwa
pekerja sosial harus memegang harapan yang tinggi
terhadap klien dan mengikatnya dengan visi, impian,
dan nilai-nilainya. Individu, keluarga, dan masyarakat
memiliki kapasitas untuk memantulkan dan
memulihkan persoalan.
Keempat. Kita lakukan pelayanan terbaik kepada klien
dengan berkolaborasi dengannya, yang lebih besar
akan dirinya sendiri. Seorang pekerja sosial akan lebih
efektif jika dilihat oleh klien sebagai kolaborator atau
konsultan.
Kelima. Setiap lingkungan penuh dengan sumber-
sumber. Dalam setiap lingkungan (tidak perduli
seberapa kerasnya) terdapat individu-individu,
kelompok-kelompok, asosiasi, dan institusi yang dapat
membantunya. Perspektif kekuatan berupaya
mengidentifikasi sumber- sumber tersebut dan
membuat keberadaan mereka bermanfaat bagi
individu, keluarga, dan kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut begitu esensial penerapannya,
khususnya berkaitan dengan proses awal pertolongan
pekerjaan sosial, yaitu assessment. Hasil dari
assessment ini akan ditentukan bersama (antara
pekerja sosial dan klien) mengenai rencana kegiatan
(plan of treatment) yang sekiranya tepat sesuai dengan
sumber—sumber dan potensi yang dimiliki klien dan
yang ada di sekitar klien.
Kerangka assessment, yang telah ada dan
berkembang baik yaitu asesmen dengan
kerangka bio-psiko-sosio-spiritual yang mencoba
untuk secara menyeluruh melihat beragam
dimensi dalam asesmen.
Kerangka Bio-Psiko-Sosio-Spiritual
Langkah pertama untuk melakukan asesmen
yang bermakna adalah dengan memperluas
cara pandangnya.
Semua manusia dipengaruhi oleh 4 dimensi
utama, biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Kebanyakan teori-teori praktik, bahkan dalam
pekerjaan sosial, menekankan pada dua dimensi
pertama, dan tidak menghiraukan dua dimensi terakhir.
Yang menarik adalah bahwa dalam dimensi sosial dan
spiritual tersebutlah substansi dari kehidupan individu
itu ditampilkan. Yaitu dimana makna dikonstruksi dan
hubungan dikembangkan.
Terutama dimensi sosiallah dimana individual
dapat berinteraksi dengan lingkungannya, dan
menemukan lingkungan tersebut sebagai
sumber yang berlimpah atau meningkatkan
perkembangan atau penuh tekanan dan
melemahkan.
Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual
Biological Basic need—food, clothing, shelter Comprehensive health
Physical attributes and abilities
Physical environment

Psychological Individual history Personality style and make up


Intelligence and mental abilities Self-concept and idenity

Sociocultural Family (through biology, choice, or circumstance)


Community Ethnicity
Social environment , Political environment
Economic environment

Spiritual Sense of self, in relation to the world


Sense of meaning and purpose
Value base
Religious life
Sumber: Graybeal, 2001
Kapan seorang klien menjadi seorang klien?
Ada 5 tipe individu yang dipandang pekerja sosial
sebagai klien: pengeluh, pengunjung, sasaran, pasien
dan klien (de Shazer, 1985; Pincus & Minahan, 1973)
 Pengeluh adalah orang dengan sebuah keluhan, dan
mereka ingin sesuatu atau lebih umum, seseorang
untuk berubah. Umumnya pada Terapi perkawinan
dan keluarga seringkali ditemukan satu atau lebih
keluhan
 Pengunjung adalah orang yang pada intinya sedang
melewati; mereka tidak mengeluh maupun tertarik
pada sesuatu. Pekerja sosial sekolah melihat banyak
anak yang paling tidak, diawalnya adalah sebagai
pengunjung.
 Sasaran adalah orang-orang yang diinginkan
berubah oleh orang lain. Banyak anak-anak yang
diterapi adalah sasaran, begitu juga dengan banyak
pasangan, dan klien yang disebut tidak kooperatif,
menolak dan dimandatkan.
 Pasien adalah penerima perawatan medis. Pekerja
sosial tidak memberikan pelayanan medis, dan
menyebut klien sebagai pasien menciptakan ruang
epistemologi dan prasangka yang tidak sesuai
dengan etika.
 Klien didefinisikan oleh dua kriteria yang sangat
penting: a) mereka mempunyai keluhan, dan b)
mereka masuk ke dalam kontrak dengan pekerja
sosial untuk melakukan sesuatu dengan keluhan
mereka.
Berlanjut…

Anda mungkin juga menyukai