Kelompok 2
KELOMPOK 2
Ghita Sri Nita Unus Nur Saida
G70119005 G70119070
05
03 04 Mekanisme Obat
Patofisologi Penyakit Contoh Obat Mekanisme Obat Anti Asma dan
PPOK
Contoh Obat Anti Asma dan
Penyakit Anti Asma dan PPOK PPOK
Pengertian
01
Anti Asma dan PPOK
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas
yang melibatkan banyak sel dan elemnnya. Inflamasi
terus menerus menyebabkan hiperrosponsif yang
meningkat pada jalan napas sehingga timbul gejala
episodik berulang berupa sesak napas, dada terasa
berat, mengi, dan terutama malam dan atau siang hari.
-PengertiaAsma-
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit
paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkritis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang
– kurangnya dua tahun berturut turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
-Pengertian PPOK-
Hubungan
Penyakit dengan
Fisiologis
02
Anti Asma dan PPOK
Fisiologi Penyakit Asma
Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya
gejala klinis asma adalah penyempitan saluran napas yang
diikuti gangguan aliran udara. Pada asma eksaserbasi akut,
kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi secara
cepat, menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai
respons terhadap paparan berbagai stimulus termasuk alergen
atau iritan.
Fisiologi Penyakit PPOK
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan
fisiologi utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang
disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal,
perifer, parenkim, dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses
peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada
kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru.
Epidomelogi Penyakit Asma
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 mendapatkan angka
prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5%
dengan prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah (7,8%). Sementara itu,
angka kejadian asma di Sumatera Barat sebesar 2,7%. Kejadian asma
terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun, dan mulai menurun pada
kelompok umur ≥45 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan
cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki dan berdasarkan status pekerjaan,
kejadian asma lebih banyak pada petani, nelayan, dan buruh.
Epidomelogi Penyakit PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan
global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara
namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada
beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan
partikel berbahaya. Satu meta-analysis dari studi-studi yang dilaksanakan di
28 negara antara 1990 sampai 2004, menunjukkan bukti bahwa prevalensi
PPOK adalah lebih tinggi pada perokok dan bekas perokok dibanding pada
yang bukan perokok, pada mereka yang berusia diatas 40 tahun dibanding
mereka yang dibawah 40 tahun, dan pada pria lebih banyak dibanding
wanita. \
Patofisiologi
Penyakit
03
Patofisiologi Asma
Akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang
dikendalikan oleh limfosit T dan B. Asma diaktifkan
oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar
alergen yang menimbulkan asma bersifat airbone.
Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah
banyak dalam periode waktu tertentu agar mampu
menimbulkan gejala asma. Namun, pada lain kasus
terdapat pasien yang sangat responsif, sehingga
sejumlah
kecil alergen masuk ke dalam tubuh sudah dapat
mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Patofisiologi Asma
Obat yang sering berhubungan dengan induksi fase akut
asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis
beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom khusus pada sistem
pernafasan yang sensitif terhadap aspirin terjadi pada orang
dewasa,namun dapat pula dilihat dari masa kanak-kanak. Masalah
ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial lalu menjadi
rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal akhirnya diikuti oleh
munculnya asma progresif. Pasien yang sensitif terhadap aspirin
dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap hari.
Setelah pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi
gejalanya dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani
bentuk terapi ini, toleransi silang akan terbentuk terhadap agen anti
inflamasi nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh
aspirin ataupun obat lainnya belum diketahui, tetapi mungkin
berkaitan dengan pembentukan leukotrien
yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Patofisiologi Asma
Antagonis delta-agrenergik merupakan hal yang biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas
pada pasien asma, demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan
nafas. Oleh karena itu, antagonis beta-agrenergik harus dihindarkan oleh pasien tersebut.
Senyawa sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet dalam industri
makanan dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang
sensitif. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan
natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida. Pada umumnya tubuh akan terpapar setelah
menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa tersebut seperti salad, buah segar,
kentang, kerang dan anggur.
Faktor penyebab yang telah disebutkan di atas ditambah dengan sebab internal pasien akan
mengakibatkan reaksi antigen dan antibodi. Reaksi tersebut mengakibatkan dikeluarkannya
substansi pereda alergi yang merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan, yaitu
dikeluarkannya histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Sekresi zat-zat tersebut menimbulkan
gejala seperti berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan
sekresi mukus.
Patofisiologi PPOK
PPOK merupakan kombinasi antara penyakit bronkitis obstruksi kronis,
emfisema, dan asma. Menurut Black (2014), patologi penyakit tersebut adalah :
Beberapa bentuk dari emfisema dapat terjadi akibat rusaknya fungsi pertahanan normal
pada paru melawan enzim-enzim tertentu. Ekspirasi yang sulit pada penderita emfisema
merupakan akibat dari rusaknya dinding di antara alveolus (septa), kolaps parsial pada
jalan nafas, dan hilangnya kelenturan alveolus untuk mengembang dan mengempis.
Patofisiologi PPOK
Asma
Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema mukosa,
sekresi mukus, dan peradangan saluran nafas. Ketika orang dengan asma terpapar
alergen ekstrinsik dan iritan (misalnya : debu, serbuk sari, asap, tungau, obat-
obatan, makanan, infesi saluran napas) saluran napasnya akan meradang yang
menyebabkan kesulitan napas, dada terasa sesak, dan mengik.
Efek Samping
Penggunaan ipratropium bromide secara inhalasi dalam dosis yang dianjurkan akan
sangat dapat ditoleransi oleh tubuh, dan biasanya tidak menimbulkan efek sistemik.
Efek lokal yang biasa ditemukan adalah seperti kering di bagian mulut, gatal di
tenggorokan, hingga rasa tidak enak di mulut.
3. Teofilin
Theophylline atau teofilin adalah obat untuk meredakan gejala akibat
penyempitan saluran napas (bronkospame), seperti mengi atau sesak
napas. Penyakit yang bisa menyebabkan timbulnya gejala tersebut adalah
asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Agonis reseptor β-Adrenergik kerja lama merelaksasi otot polos saluran napas
dan menyebabkan bronkodilatasi melalui mekanisme yang sama dengan
agonis durasi singkat. Stimulasi reseptor β-adrenergik menghambat fungsi
banyak sel radang, termasuk sel mast, basofil, eosinofil, netrofil dan limfosit.
Pengobatan jangka panjang menggunakan agonis reseptor β-adrenergik kerja
lama telah menunjukkan adanya perbaikan fungsi paru-paru, penurunan gejala
asma, berkurangnya penggunaan agonis β 2 adrenergik inhalasi kerja singkat
dan berkurangnya asma nokturnal .
2. Metilxantin
Golongan bronkodilator kedua yang dipakai untuk asma adalah derivat metilxantin
yang mencakup teofillin, aminofillin dan kafein. Xantin juga merangsang sistem
syaraf pusat dan pernapasan, mendilatasi pembuluh pulmonar dan koronaria dan
menyebabkan diuresis. Karena efeknya terhadap respirasi dan pembuluh
pulmonar maka xantin dipakai untuk mengobati asma.
Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan
sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor β 2 dari sistem adrenergis
terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronkokontriksi.
Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergik di otot polos
bronki, hingga aktifitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan bronkodilatasi.
4. Glukokortikoid
Glukokortikoid anggota keluarga kortikosteroid dipakai untuk mengobati
banyak gangguan pernapasan, terutama asma. Obat-obat ini mempunyai
khasiat antiinflamasi dan diindikasikan jika asma tidak responsif terhadap
terapi bronkodilator. Anggota dari kelompok obat ini adalah beklometason,
triamsinolon, deksametason, hidrokortison dan prednison. Obat ini dapat
diberikan dengan inhaler aerosol (beklometason) atau dalam bentuk tablet
(triamsinolon, deksametason, prednison) atau dalam bentuk injeksi
(deksametason, hidrokortison).
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada reseptor
muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting antimuscarinic (SAMAS)
seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2, yang secara
potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting muscarinic antagonist (LAMAS)
seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai
ikatan dengan reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan
reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
4. Theophylline
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering digunakan, dimana
dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan
berupa peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan theophylline dengan
salmeterol memberikan efek perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya
pemberian salmeterol saja.
Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek yang
ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain termasuk sakit
kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan ini juga memiliki interaksi
yang signifikan dengan beberapa obat seperti digitalis dan coumadin.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
5. Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek perbaikan FEV1 dan gejala
dibandingkan diberikan secara tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium
inhaler memberikan efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan
status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian
kombinasi LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga
dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled
corticosteroid).
6. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu)
atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko
eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi bakteri
dan gangguan pendengaran.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
7. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.
TERIMAKASIH