Anda di halaman 1dari 46

Sistem Respirasi

(Anti Asma dan PPOK)

Kelompok 2
KELOMPOK 2
Ghita Sri Nita Unus Nur Saida
G70119005 G70119070

Nurul Fatiah fitriana Jaya I. Madina


G70119018 G70119084

Mega Pratiwi Basri Moh. Syauqi


G70119044 G701190123

Azizah sabrina Dea Puspitasari


G70119057 G70119134

Moh. Rafli Hasan Tegar Krito Manoppo


G70119026 G70118011
Poin Pembahasan
01 02
Pengertian Hubungan Penyakit Dengan
Fisiologi
Pengertian Anti Asma dan PPOK
Penyakit Anti Asma dan PPOK

05
03 04 Mekanisme Obat
Patofisologi Penyakit Contoh Obat Mekanisme Obat Anti Asma dan
PPOK
Contoh Obat Anti Asma dan
Penyakit Anti Asma dan PPOK PPOK
Pengertian
01
Anti Asma dan PPOK
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas
yang melibatkan banyak sel dan elemnnya. Inflamasi
terus menerus menyebabkan hiperrosponsif yang
meningkat pada jalan napas sehingga timbul gejala
episodik berulang berupa sesak napas, dada terasa
berat, mengi, dan terutama malam dan atau siang hari.

-PengertiaAsma-
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit
paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya. Bronkritis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang
– kurangnya dua tahun berturut turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.

-Pengertian PPOK-
Hubungan
Penyakit dengan
Fisiologis
02
Anti Asma dan PPOK
Fisiologi Penyakit Asma
Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya
gejala klinis asma adalah penyempitan saluran napas yang
diikuti gangguan aliran udara. Pada asma eksaserbasi akut,
kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi) terjadi secara
cepat, menyebabkan penyempitan saluran napas sebagai
respons terhadap paparan berbagai stimulus termasuk alergen
atau iritan.
Fisiologi Penyakit PPOK
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan
fisiologi utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang
disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal,
perifer, parenkim, dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses
peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam
keadaan dan jumlah yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada
kondisi dan jumlah ini maka akan menyebabkan kerusakan di paru.
Epidomelogi Penyakit Asma
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 mendapatkan angka
prevalensi penyakit asma pada semua umur di Indonesia adalah 4,5%
dengan prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah (7,8%). Sementara itu,
angka kejadian asma di Sumatera Barat sebesar 2,7%. Kejadian asma
terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun, dan mulai menurun pada
kelompok umur ≥45 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, perempuan
cenderung lebih tinggi dari pada laki-laki dan berdasarkan status pekerjaan,
kejadian asma lebih banyak pada petani, nelayan, dan buruh.
Epidomelogi Penyakit PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan
global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara
namun secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada
beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan
partikel berbahaya. Satu meta-analysis dari studi-studi yang dilaksanakan di
28 negara antara 1990 sampai 2004, menunjukkan bukti bahwa prevalensi
PPOK adalah lebih tinggi pada perokok dan bekas perokok dibanding pada
yang bukan perokok, pada mereka yang berusia diatas 40 tahun dibanding
mereka yang dibawah 40 tahun, dan pada pria lebih banyak dibanding
wanita. \
Patofisiologi
Penyakit
03
Patofisiologi Asma
Akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang
dikendalikan oleh limfosit T dan B. Asma diaktifkan
oleh interaksi antara antigen dengan molekul IgE
yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar
alergen yang menimbulkan asma bersifat airbone.
Alergen tersebut harus tersedia dalam jumlah
banyak dalam periode waktu tertentu agar mampu
menimbulkan gejala asma. Namun, pada lain kasus
terdapat pasien yang sangat responsif, sehingga
sejumlah
kecil alergen masuk ke dalam tubuh sudah dapat
mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Patofisiologi Asma
Obat yang sering berhubungan dengan induksi fase akut
asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis
beta-adrenergik dan bahan sulfat. Sindrom khusus pada sistem
pernafasan yang sensitif terhadap aspirin terjadi pada orang
dewasa,namun dapat pula dilihat dari masa kanak-kanak. Masalah
ini biasanya berawal dari rhinitis vasomotor perennial lalu menjadi
rhinosinusitis hiperplastik dengan polip nasal akhirnya diikuti oleh
munculnya asma progresif. Pasien yang sensitif terhadap aspirin
dapat dikurangi gejalanya dengan pemberian obat setiap hari.
Setelah pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat dikurangi
gejalanya dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani
bentuk terapi ini, toleransi silang akan terbentuk terhadap agen anti
inflamasi nonsteroid. Mekanisme terjadinya bronkuspasme oleh
aspirin ataupun obat lainnya belum diketahui, tetapi mungkin
berkaitan dengan pembentukan leukotrien
yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Patofisiologi Asma
Antagonis delta-agrenergik merupakan hal yang biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas
pada pasien asma, demikian juga dengan pasien lain dengan peningkatan reaktifitas jalan
nafas. Oleh karena itu, antagonis beta-agrenergik harus dihindarkan oleh pasien tersebut.
Senyawa sulfat yang secara luas digunakan sebagai agen sanitasi dan pengawet dalam industri
makanan dan farmasi juga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang
sensitif. Senyawa sulfat tersebut adalah kalium metabisulfit, kalium dan
natrium bisulfit, natrium sulfit dan sulfat klorida. Pada umumnya tubuh akan terpapar setelah
menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa tersebut seperti salad, buah segar,
kentang, kerang dan anggur.

Faktor penyebab yang telah disebutkan di atas ditambah dengan sebab internal pasien akan
mengakibatkan reaksi antigen dan antibodi. Reaksi tersebut mengakibatkan dikeluarkannya
substansi pereda alergi yang merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi serangan, yaitu
dikeluarkannya histamin, bradikinin, dan anafilatoksin. Sekresi zat-zat tersebut menimbulkan
gejala seperti berkontraksinya otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan
sekresi mukus.
Patofisiologi PPOK
PPOK merupakan kombinasi antara penyakit bronkitis obstruksi kronis,
emfisema, dan asma. Menurut Black (2014), patologi penyakit tersebut adalah :

 Bronkitis Obstruksi Kronis


Bronkitis obstruksi kronis merupakan akibat dari inflamasi bronkus, yang
merangsang peningkatan produksi mukus, batuk kronis, dan kemungkinan
terjadi luka pada lapisan bronkus. Berbeda dengan bronkitis akut,
manifestasi klinis bronkitis kronis berlangsung minimal tiga bulan selama
satu tahun dalam dua tahun berturut-turut. Bila pasien memiliki resiko FEV1
(Forced expiratory volume in one.
Patofisiologi PPOK
Kemampuan pertahanan mukosilier paru berkurang, sehingga paru akan lebih
mudah terinfeksi. Ketika terjadi infeksi, produksi mukus akan menjadi lebih
banyak, serta dinding bronkus akan meradang dan menebal. Bronkitis kronis
awalnya hanya mengenai bronkus besar, namun pada akhirnya seluruh
saluran nafas akan terpengaruh. Mukus kental dan inflamasi bronkus akan
menghalangi jalan nafas, terutama saat ekspirasi. Jalan nafas yang tertutup
menyebabkan udara terjebak di bagian bawah paru. Obstruksi ini
menyebabkan ventilasi alveolus berkurang dan akhirnya mempengaruhi
terhadap turunnya PaO2. Selanjutnya akan terjadi polisitemia (produksi
eritrosit berlebih), sebagai kompensasi dari hipoksemia.
Patofisiologi PPOK
 Emfisema
Emfisema adalah gangguan yang berupa terjadinya kerusakan pada dinding alveolus.
Kerusakan tersebuat menyebabkan ruang udara terdistensi secara permanen. Akibatnya
aliran udara akan terhambat, tetapi bukan karena produksi mukus yang berlebih seperti
bronchitis kronis.

Beberapa bentuk dari emfisema dapat terjadi akibat rusaknya fungsi pertahanan normal
pada paru melawan enzim-enzim tertentu. Ekspirasi yang sulit pada penderita emfisema
merupakan akibat dari rusaknya dinding di antara alveolus (septa), kolaps parsial pada
jalan nafas, dan hilangnya kelenturan alveolus untuk mengembang dan mengempis.
Patofisiologi PPOK
 Asma
Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan edema mukosa,
sekresi mukus, dan peradangan saluran nafas. Ketika orang dengan asma terpapar
alergen ekstrinsik dan iritan (misalnya : debu, serbuk sari, asap, tungau, obat-
obatan, makanan, infesi saluran napas) saluran napasnya akan meradang yang
menyebabkan kesulitan napas, dada terasa sesak, dan mengik.

Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan


fisiologi utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang disebabkan
perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian proksimal, perifer, parenkim, dan
vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang
kronik dan perubahan struktural pada paru.
Patofisiologi PPOK
Contoh Obat
04
1. Salbutamol
Salbutamol bekerja dengan cara melemaskan otot-otot di sekitar
saluran pernapasan yang menyempit, sehingga udara dapat mengalir
lebih lancar ke dalam paru-paru. Efek obat ini bisa dirasakan dalam
beberapa menit setelah dikonsumsi dan bertahan selama 3-5 jam.
Salbutamol berpotensi menyebabkan efek samping.
Efek samping yang umum terjadi setelah menggunakan obat ini
adalah:
 Jantung berdebar.
 Tungkai, lengan, tangan, atau kaki gemetaran.
 Sakit kepala.
 Nyeri atau kram otot.
Salbutamol
Ada beberapa interaksi yang mungkin terjadi jika menggunakan
salbutamol bersamaan dengan obat-obatan tertentu, di antaranya:
• Meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada fungsi jantung,
bila digunakan bersama antidepresan golongan trisiklik, seperti 
amitriptyline, obat golongan MAOI.
• Menghambat efektivitas obat dan meningkatkan risiko sesak
napas, bila digunakan bersama obat golongan beta-blocker,
seperti propranolol.
• Meningkatkan potensi hipokalemia (kekurangan kalium), bila
digunakan bersama obat golongan diuretik, seperti furosemide.
2. Ipratropium bromide
Ipratropium bromide merupakan antagonis muskarinik (antikolinergik) yang
digunakan sebagai terapi lini pertama untuk mencegah dan mengontrol gejala dari
sesak napas atau mengi (wheezing) yang disebabkan oleh penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK), bronkhitis dan emfisema paru. Obat ini secara struktur mirip
dengan atropin tetapi memiliki tingkat keamanan yang lebih baik dan lebih efektif
pada penggunaan terapi inhalasi.

Efek Samping
Penggunaan ipratropium bromide secara inhalasi dalam dosis yang dianjurkan akan
sangat dapat ditoleransi oleh tubuh, dan biasanya tidak menimbulkan efek sistemik.
Efek lokal yang biasa ditemukan adalah seperti kering di bagian mulut, gatal di
tenggorokan, hingga rasa tidak enak di mulut.
3. Teofilin
Theophylline atau teofilin adalah obat untuk meredakan gejala akibat
penyempitan saluran napas (bronkospame), seperti mengi atau sesak
napas. Penyakit yang bisa menyebabkan timbulnya gejala tersebut adalah
asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Teofilin bekerja dengan cara mengendurkan otot di saluran pernapasan


sehingga udara dapat mengalir dengan lebioh lancar dan proses bernapas
juga bisa lebih mudah. Obat ini juga bisa mengurangi respon saluran napas
terhadap alergen.
Teofilin
Interaksi Teofilin dengan Obat Lain 
Interaksi antarobat yang dapat terjadi jika mengonsumsi teofilin bersamaan dengan
obat lain adalah:
• Peningkatan efektivitas teofilin jika digunakan bersama febuxostat, cimetidine,
fluvoksamin, interferon alfa, antibiotik golongan makrolid dan quinolone, pil KB, 
antagonis kalsium, atau penghambat beta
• Penurunan efektivitas teofilin jika digunakan bersama ritonavir, rifampicin
. phenobarbital, carbamazepine, atau ketamine
• Peningkatan risiko terjadinya hipotensi dan efek samping lainnya jika digunakan
bersama riociguat
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan tidur, muntah, dan gelisah, jika digunakan
bersama efedrin
• Peningkatan risiko terjadinya aritmia jika digunakan bersama halotan
• Peningkatan risiko terjadinya hipokalemia jika digunakan bersama kortikosteroid
atau diuretik
Teofilin
Berikut ini adalah efek samping yang mungkin muncul setelah
mengonsumsi teofilin:
• Mual
• Muntah
• Sakit kepala
• Diare
• Mudah tersinggung
• Peningkatan jumlah urine (diuresis)
• Insomnia
• Gelisah
• Tremor
4. Budesonide
Budesonide adalah obat kortikosteroid yang digunakan untuk mengatasi
berbagai kondisi peradangan, seperti asma, rhinitis alergi, croup, atau
penyakit Crohn. Obat ini tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, yaitu
inhaler, cairan nebulizer, semprotan hidung, dan kapsul. Budesonide inhaler
dan cairan nebulizer bekerja dengan cara meredakan  peradangan pada
saluran pernapasan, sehingga sering digunakan pada asma dan croup.

Beberapa efek samping yang dapat terjadi setelah menggunakan


budesonide kapsul adalah:
Pusing, Sakit kepala, Merasa lelah, Kulit menipis dan mudah memar, Sakit
perut, mual, muntah, kembung, atau konstipasi, Sakit saat buang air kecil,
Menstruasi tidak teratur, Hidung tersumbat, bersin, atau sakit tenggorokan,
Hilangnya gairah seksual pada pria
Budesonide
Interaksi Budesonide dengan Obat Lain
Ada beberapa efek interaksi antarobat yang mungkin terjadi jika budesonide
digunakan dengan obat-obatan tertentu, di antaranya:
• Menurunnya penyerapan budesonide jika digunakan dengan 
cholestyramine atau antasida
• Penurunan efektivitas vaksin
• Peningkatan risiko terjadinya hipokalemia jika digunakan dengan obat 
diuretik
• Peningkatan risiko terjadinya efek samping dari budesonide jika
digunakan dengan ketoconazole, itraconazole, clarithromycin, atau
cobicistat
• Penurunan efektivitas budesonide jika digunakan dengan 
carbamazepine atau rifampicin
5. Formoterol
Formoterol adalah obat untuk meredakan gejala penyempitan saluran
pernapasan akibat asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Obat
ini juga dapat digunakan untuk mencegah frekuensi kekambuhan serangan
asma dan PPOK.

Formoterol termasuk ke dalam golongan obat bronkodilator jenis agonis


beta kerja panjang. Obat ini bekerja dengan cara merelaksasi otot-otot di
saluran pernapasan. Dengan begitu, saluran pernapasan yang sebelumnya
menyempit dapat lebih melebar dan aliran udara dari dan ke dalam paru-
paru akan lebih lancar.
Formoterol
Interaksi Formoterol dengan Obat Lain
Ada beberapa efek interaksi yang mungkin terjadi jika formoterol digunakan
dengan obat-obatan tertentu, di antaranya:
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan irama jantung jika digunakan dengan 
quinidine, disopyramide, antihistamin, gas halothane, atau procainamide
• Peningkatan risiko terjadinya hipokalemia, yaitu rendahnya kadar kalium dalam
darah, jika digunakan dengan teofilin, obat kortikosteroid, atau furosemide
• Peningkatan efektivitas formoterol jika digunakan dengan dengan obat
antikolinergik, seperti ipratropium atau glycopyrronium
• Penurunan efektivitas formoterol jika digunakan dengan obat golongan 
penghambat beta
• Peningkatan risiko terjadinya gangguan jantung jika digunakan dengan obat
golongan MAOI, makrolid, atau antidepresan trisiklik
Formoterol
Beberapa efek samping yang umum terjadi setelah menggunakan obat ini
adalah:
• Tremor
• Mual
• Sakit kepala
• Sakit perut
• Susah tidur
• Mulut kering
• Suara serak
• Gelisah
Mekanisme Kerja
Obat
05
Mekanisme Kerja
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat asma
dapat dibagi dalam beberapa
 
kelompok yaitu zat-zat yang menghindari
degranulasi sel mast dan zat-zat yang meniadakan
efek mediator (bronkodilator, antihistamin dan
kortikosteroid).
Obat-obat yang efektif untuk asma:
1. β2 agonis
β2 agonis adalah bronkodilator yang sangat efektif yang bekerja dengan
meningkatkan aktifitas adenyl cyclase sehingga meningkatkan produksi
intraseluler siklik AMP (adenosine mono fosfat). Peningkatan siklik AMP
menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi sel mast dan stimulasi otot rangka.
Pemberian β2 agonis melalui aerosol akan meningkatkan bronkoselektivitas,
mempercepat efek yang timbul serta mengurangi efek samping sistemiknya.
Beberapa β2 agonis (terutama yang kurang selektiv) dapat merangsang reseptor
β1

 Agonis Reseptor β-Adrenergik Kerja Singkat


Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini antara lain albuterol,
levalbuterol, metaproterenol, terbutalin dan pributeril. Mekanisme kerja agonis
reseptor β-adrenergik kerja singkat sebagai anti asma berkaitan dengan
relaksasi langsung otot polos saluran napas dan bronkodilatasi yang
diakibatkannnya. Albuterol dan β2 agonis selektif inhalasi short acting
diindikasikan untuk terapi intermiten bronkospasme dan pilihan pertama untuk
asma akut
1. β2 agonis
 Agonis Reseptor β-Adrenergik Kerja Lama
Formoterol dan salmoterol suatu β2 agonis long acting diindikasikan sebagai
terapi tambahan pada pasien yang telah mendapatkan kortikosteroid untuk
mengontrol asma jangka panjang.Kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi
bersifat komplementer karena bekerja terhadap sistem sel berlainan sehingga
memiliki mekanisme kerja yang juga berlainan. Kombinasi ini juga bekerja
sinergis berdasarkan daya kerjanya yang positif terhadap masing- masing
reseptor.

Agonis reseptor β-Adrenergik kerja lama merelaksasi otot polos saluran napas
dan menyebabkan bronkodilatasi melalui mekanisme yang sama dengan
agonis durasi singkat. Stimulasi reseptor β-adrenergik menghambat fungsi
banyak sel radang, termasuk sel mast, basofil, eosinofil, netrofil dan limfosit.
Pengobatan jangka panjang menggunakan agonis reseptor β-adrenergik kerja
lama telah menunjukkan adanya perbaikan fungsi paru-paru, penurunan gejala
asma, berkurangnya penggunaan agonis β 2 adrenergik inhalasi kerja singkat
dan berkurangnya asma nokturnal .
2. Metilxantin
Golongan bronkodilator kedua yang dipakai untuk asma adalah derivat metilxantin
yang mencakup teofillin, aminofillin dan kafein. Xantin juga merangsang sistem
syaraf pusat dan pernapasan, mendilatasi pembuluh pulmonar dan koronaria dan
menyebabkan diuresis. Karena efeknya terhadap respirasi dan pembuluh
pulmonar maka xantin dipakai untuk mengobati asma.

Obat golongan metilxantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase


sehingga mencegah peruraian siklik AMP, sehingga kadar siklik AMP intrasel
meningkat. Hal ini akan merelaksasi otot polos bronkus dan mencegah pelepasan
mediator alergi seperti histamin dan leukotrien dari sel mast. Selain itu metilxantin
juga mengantagonis.bronkokontriksi yang disebabkan oleh prostaglandin dan
memblok reseptor adenosin
3. Antikolenergik
Ipatropium bromid dan atropin sulfat adalah inhibitor kompetitif yang dapat berefek
bronkodilatasi. Bronkodilatasi yang dihasilkan oleh ipratropium pada penderita
asma berkembang lebih lambat dan biasanya tidak sekuat bronkodilatasi yang
dihasilkan oleh agonis adrenergik. Beberapa pasien asma dapat mengalami
respons bermanfaat yang berlangsung hingga 6 jam. Pengobatan kombinasi
ipratropium dan agonis β2 adrenergik menghasilkan bronkodilatasi yang sedikit
lebih besar dan lebih lama dibandingkan jika masing-masing senyawa itu
diberikan sendiri dalam pengobatan asma dasar.

Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan
sistem kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor β 2 dari sistem adrenergis
terhambat, maka sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronkokontriksi.
Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergik di otot polos
bronki, hingga aktifitas saraf adrenergis menjadi dominan dengan bronkodilatasi.
4. Glukokortikoid
Glukokortikoid anggota keluarga kortikosteroid dipakai untuk mengobati
banyak gangguan pernapasan, terutama asma. Obat-obat ini mempunyai
khasiat antiinflamasi dan diindikasikan jika asma tidak responsif terhadap
terapi bronkodilator. Anggota dari kelompok obat ini adalah beklometason,
triamsinolon, deksametason, hidrokortison dan prednison. Obat ini dapat
diberikan dengan inhaler aerosol (beklometason) atau dalam bentuk tablet
(triamsinolon, deksametason, prednison) atau dalam bentuk injeksi
(deksametason, hidrokortison).

Glukokortikoid tidak merelaksasi otot polos saluran napas sehingga memiliki


efek yang kecil pada bronkokontriksi akut. Sebaliknya senyawa ini efektif
dalam menghambat radang saluran napas jika diberikan secara tunggal.
Mekanisme yang turut menyebabkan efek antiradang terapi glukokortikoid
pada asma meliputi modulasi produksi sitokin dan kemokin, penghambatan
sintesis eikosanoid, penghambatan akumulasi basofil, eosinofil dan leukosit
lain secara nyata di jaringan paru-paru serta penurunan permeabilitas
pembuluh darah.
5. Antagonis leukotrien
Pada pasien asma leukotrien turut menimbulkan bronkokontriksi dan sekresi
mukus. Tahun-tahun terakhir ini dikembangkan obat-obat baru yakni
antagonis leukotrien yang bekerja spesifik dan efektif pada terapi
pemeliharaan terhadap asma.
Ada beberapa obat yang bekerja sebagai antagonis LT yaitu :
• Zafirlukas (accolade) adalah LT reseptor antagonis yang menghambat
terbentuknya ikatan LT dengan reseptornya.
• Zileuton (Zyflo) adalah obat yang bekerja menghambat enzim 5-
lipooksigenase yang diperlukan untuk sintesis LT. Pemakaian yang terlalu
sering dapat meningkatkan enzim hepar (SGPT dan SGOT) sehingga
menyebabkan obat ini jarang digunakan (Priyanto, 2009).

Obat-obat pemodifikasi leukotrien bekerja baik sebagai antagonis kompetitif pada


reseptor leukotrien atau dengan menghambat sintesis leukotrien.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan atau mengubah
variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada saluran
pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan
dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan hiperventilasi
dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada
kasus PPOK ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk memprediksi perbaikan
FEV1 yang diukur saat istirahat.

Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang memberikan respon relatif pada


setiap kelas bronkodilator. Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik, khususnya
yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan efek positif pada episode akut, namun tidak
terlalu membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK diberikan sebagai dasar
untuk mencegah atau menurunkan gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan
bronkodilator dengan kerja pendek.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
2. Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada saluran pernafasan dengan
menstimulasi reseptor beta2-adrenergik, dimana akan meningkatkan siklus AMP dan
memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan bronkokonstriksi. Terdapat beta2-
agonist dengan kerja pendek (SABA) dan kerja panjang (LABA), dimana efek SABA
biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara regular dapat meningkatkan
FEV1 dan memperbaiki gejala

3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi asetikolin pada reseptor
muskarinik M3 pada otot polos saluran pernafasan. Short-acting antimuscarinic (SAMAS)
seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok reseptor neuronal M2, yang secara
potensial dapat memicu bronkokonstriksi. Long acting muscarinic antagonist (LAMAS)
seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium bromide dan umeclidinium, mempunyai
ikatan dengan reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat dibandingkan
reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang durasi efek bronkodilator.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
4. Theophylline
Theophylline merupakan jenis methylxantine yang paling sering digunakan, dimana
dimetabolisme oleh cytochrome P450 dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan
berupa peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan theophylline dengan
salmeterol memberikan efek perbaikan pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya
pemberian salmeterol saja.

Toksisitas methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek yang
ditimbulkan berupa palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain termasuk sakit
kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada. Pengobatan ini juga memiliki interaksi
yang signifikan dengan beberapa obat seperti digitalis dan coumadin.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
5. Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan efek perbaikan FEV1 dan gejala
dibandingkan diberikan secara tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan tiotropium
inhaler memberikan efek yang lebih besar terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan
status kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian
kombinasi LABA/LAMA, memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini juga
dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara LABA dan ICS (inhaled
corticosteroid).

6. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik secara regular dapat
menurunkan laju eksaserbasi. Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu)
atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun dapat menurunkan risiko
eksaserbasi. Azithromycin berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi bakteri
dan gangguan pendengaran.
Pengobatan PPOK menggunakan beberapa
golongan obat, seperti:
7. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen antioksidan
Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan kortikosteroid inhaler, terapi
regular dengan mukolitik seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat
menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai