Anda di halaman 1dari 17

SAKIT KEPALA: MIGRAINE DAN

CLUSTER
Migraine adalah sakit kepala
intenstas sedang sampai parah yang
berulang yang dihubungkan dengan
simtom saluran cerna, neurologik,
dan otonomik. Pada migraine dengan
aura, suatu kompleks simtom
neurologik focal mendahului atau
menemani serangan.
DIAGNOSA  Riwayat untuk sakit kepala adalah elemen
terpenting untuk mencapai diagnosa klinik migraine. 
Sakit kepala sekunder bisa dikenali atau dikeluarkan
dari diagnosa berdasar hasil pemeriksaan medis dan
neurologik umum.  Uji diagnostik dan laboratorium
bisa dijamin jika ada tampilan sakit kepala yang
mencurigakan atau temuan yang abnormal. Pencitraan
neural (computed tomography atau magnetic
resonance imaging) sebaiknya dipertimbangkan pada
pasien dengan temuan fisik neurologik yang tidak bisa
dijelaskan atau riwayat sakit kepala atipikal.
HASIL YANG DIINGINKAN  Terapi akut bisa memberikan
pengurangan nyeri dengan cepat dengan efek samping
dan serangan ulang seminimal mungkin, sehingga
pasien bisa kembali ke aktivitas normal. Idealnya, pasien
sebaiknya mampu menangani sakit kepala mereka
sendiri tanpa bantuan klinisi.  Klinisi dan pasien bisa
bekerja sama untuk merancang rencana penanganan
jangka panjang untuk mengurangi frekuensi dan
keparahan serangan, memperkecil ketidakstabilan
emosi, dan meningkatkan kualitas hidup.
Terapi Non Farmakologi  Kompres dengan es dan
istirahat atau tidur, biasanya di tempat gelap dan sunyi,
bisa bermanfaat.  Penanganan preventif sebaiknya
dimulai dengan pengenalan dan menghindari faktor
yang bisa merangsang serangan migraine (Tabel 50-1). 
Terapi tingkah laku (relaksasi, biofeedback
[=penggunaan pengawasan elektronik pada fungsi
tubuh yang normalnya otonom untuk mendapatkan
kendali atasnya], terapi kognitif) adalah pilihan preventif
untuk pasien yang memilih terapi non-obat atau ketika
terapi obat tidak efektif atau tidak bisa ditolerir.
Terapi Farmakologi untuk Migraine Akut  Terapi
migrain akut (Tabel 50-2) paling efektif jika diberikan
saat onset migraine.  Pretreatment dengan
antiemetik (seperti, prochlorperazine,
metoclopramide) 15-30 menit sebelum pemberian
terapi abortif atau penggunaan perawatan non-oral
(supositori rektal, semprotan hidung, injeksi) bisa
digunakan jika mual dan muntah parah. Sebagai
tambahan untuk efek antiemetik, agen prokinetik
metoclopramide meningkatkan absorpi medikasi oral.
 Terapi migraine akut sebaiknya dibatasi sampai 2
hari per minggu untuk menghindari sakit kepala
karena penyalahgunaan medikasi.
Analgesik dan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) 
Analgesik sederhana dan NSAID merupakan perawatan yang efektif
untuk migraine sedang sampai parah. Efikasi relatif dari beberapa NSAID
belum didapatkan.  NSAID tampaknya mencegah inflamasi yang
dimediasi secara neurogenik pada sisrem trigeminovascular dengan
inhibisi sintesis prostaglandin.  NSAID dengan onset cepat (seperti,
ibuprofen, naproxen, diclofenac) lebih disukai dari NSAID aksi lama
dengan pelepasan lambat. Supositoria rektal dan ketorolac IM adalah
pilihan untuk pasien dengan mual dan muntah yang parah.  Kombinasi
acetaminophen, asprin dan caffeine telah diterima penggunaannya di
AS untuk mengurangi nyeri migraine dan simtom terkait.  Aspirin dan
acetaminophen juga tersedia dalam bentuk kombinasi dengan
barbiturat aksi singkat (butalbital) atau suatu opioid (seperti, codeine).
 Midrin adalah kombinasi terdaftar untuk acetaminophen,
isometheptene mucate (suatu amine simpatomimetik), dan
dichloralphenazone (suatu turunan kloral hidrat) yang telah
menunjukkan efek ringan pada uji kontrol-plasebo. Obat ini bisa menjadi
alternatif untuk pasien dengan serangan migraine sedang sampai parah.
Alkaloid Ergot dan Turunannya  Alkaloid ergot
berguna untuk perawatan migraine sedang
sampai parah. Obat ini adalah agonis reseptor
5-HT1 non-selektif dengan efek konstriksi
pembuluh darah intrakranial dan menginhibit
terjadinya inflamasi neurogenik pada sistem
trigeminovaskular. Obat ini juga mempunyai
aktivitas pada reseptor α-adrenergik, β-
adrenergik, dan dopaminergik.
Ergotamine tartrate tersedia untuk pemberian oral, sublingual,
dan rektal. Sediaan oral dan rektal mengandung caffeine untuk
meningkatkan absorpsi dan memperkuat analgesia. Karena
ergotamine oral mengalami metabolisme lintas pertama yang
berlebih, pemberian rektal lebih disukai; sediaan rektal
menghasilkan konsentrasi darah 20-30 kali dari sediaan oral
yang sama. Dosis sebaiknya dititrasi untuk menghasilkan dosis
efektif tapi subnausea untuk serangan berikutnya. 
Dihydroergotamine (DHE) tersedia untuk pemberian intranasal
dan parenteral (IM, IV, SC). Pasien bisa dilatih untuk
penggunaan mandiri DHE melalui rute IM atau SC. Pasien
dengan sakit kepala yang sulit dikendalikan bisa ditangani
dengan efektif dengan pemberian DHE IV berulang selama 3-7
hari. Efikasi DHE intranasal dalam mengurangi nyeri bertahan
selama 4 jam.
Mual dan muntah adalah efek samping umum dari turunan ergotamine.
Ergotamine 12 kali lebih emetogenik dari DHE; pretreatmeant dengan
antiemetik bisa dipertimbangkan pada terapi ergotamine dan DHE IV.
Efek samping lain termasuk nyeri abdominal, kelemahan, fatigue
(=merasa sangat lelah), parestesis, nyeri otot, diare, dan dada
menegang. Simtom iskemi perifer paraf (ergotisme) termasuk demam,
numb, ekstremitas terasa sakit; parestesis berklanjutan; hilangnya
denyut perifer; dan claudication (=nyeri kejang pada kaki, umumnya
karena penyempitan arteri). Kematian jaringan pada ekstremitas, infark
miokardia, nekrosis hepatik, dan iskemi intestinal dan otak telah
dilaporkan meski jarang pada penggunaan ergotamine. Turunan
ergotamine dan triptan sebaiknya tidak digunakan bersamaan dalam 24
jam.
Kontraindikasi termasuk gangguan fungsi renal dan hepar; penyakit
koroner, serebral atau pembuluh perifer; hipertensi yang tidak
terkontrol; sepsis; dan wanita hamil atau menyusui.  DHE tampaknya
tidak menyebabkan serangan ulang, tapi pembatasan dosis untuk
ergotamine tartrate harus dipatuhi untuk mencegah komplikasi ini.
Agonis Reseptor Serotonin (Triptan) 
Sumatriptan, zolmitriptan, naratriptan,
rizatriptan, dan almotriptan adalah terapi
pilihan pertama yang sesuai untuk pasien
dengan migraine sedang sampai parah atau
sebagai terapi terakhir jika medikasi non-
spesifik tidak efektif.  Obat-obat ini adalah
agonis selektif reseptor 5-HT1B dan 5-HT1D.
Pengurangan nyeri migraine muncul dari (1)
vasokontriksi pembuluh darah intrakranial
melalui stimulasi reseptor 5-HT1B vaskular; (2)
inhibisi neuropeptide vasoaktif yang dilepaskan
dari saraf trigeminal perivaskular melalui
stimulasi reseptor 5-HT1D presinap; dan (3)
menghalangi transmisi sinyal nyeri pada batang
otak melalui stimulasi reseptor 5- HT1D. Obat-
obat ini juga mempunyai afinitas beragam
pada reseptor 5-HT1A, 5-HT1E dan 5-HT1F.
Sumatriptan tersedia untuk pemberian oral, intranasal, dan
SC. Injeksi SC dikemas sebagai alat injeksi otomatis untuk
penggunaan mandiri oleh pasien. Efikasi dosis 50 dan 100 mg
bisa dibandingkan. Jika dibandingkan dengan sediaan oral,
pemberian SC memberikan efikasi lebih kuat dan onset lebih
cepat (10 VS 30 menit). Sumatriptan intranasal juga
mempunyai onset lebih cepat (15 menit) dari sediaan oral
dan menghasilkan tingkat respon yang serupa. Sekitar 30-
40% pasien yang merespon sumatriptan mengalami
serangan ulang dalam 24 jam; dosis kedua yang diberikan
saat serangan ulang biasanya efektif. Tetapi, pemberian rutin
dosis oral atau SC kedua tidak meningkatkan efikasi awal
atau mencegah serangan ulang.  Agen generasi kedua
(seperti, zolmitriptan, naratriptan, rizatriptan) mempunyai
bioavalaibilitas oral lebih tinggi dan waktu paruh lebih
panjang dari sumatriptan oral, yang secara teori
meningkatkan konsistensi perawatan pasien dan mengurangi
serangan ulang. Tetapi, diperlukan uji klinik pembanding
untuk menentukan efikasi relatifnya.
Respon klinik untuk triptan bervariasi antar
individu, dan kurangnya respon terhadap satu
agen tidak berarti agen lain dari kelas yang
sama juga tidak efektif.  Efek samping triptan
termasuk parestesis, fatigue, pusing, sensasi
hangat, dan mengantuk. Reaksi minor pada
tempat injeksi dilaporkan pada penggunaan
SC, dan perubahan indra perasa dan gangguan
nasal bisa dilaporkan pada pemberian
intranasal. Sampai 15% pasien melaporkan
ketegangan pada dada, tekanan, nyeri pada
dada, leher, atau tenggorikan; meski
mekanisme simtom-simtom ini tidak diketahui,
kemungkinan bukan dari kardia. Kasus infark
miokardia dan vasospasme koroner dengan
iskemi telah dilaporkan.  Kontraindikasi
termasuk penyakit jantung iskemi, hipertensi
tak terkontrol, penyakit serebrovaskular, dan
migraine hemiplegic dan basilar. Triptan
sebaiknya tidak diberikan dalam 24 jam
pemberian turunan ergotamine. Pemberian
dalam terapi 2 minggu dengan inhibitor
monoamine oxidase tidak dianjurkan.
Opioid  Opioid dan turunannya (seperti,
meperidine, butorphanol, oxycodone,
hydromorphone) mengurangi sakit kepala tak
terkontrol dengan efektif tapi sebaiknya
disimpan untuk pasien dengan sakit kepala
parah tapi tidak sering dimana terapi
konvensional dikontraindikasikan atau sebagai
medikasi penyelamat setelah terapi
konvensional tidak direspon.  Butorphanol
intranasal bisa memberikan alternatif
kunjungan ke dokter untuk terapi migraine
dengan injeksi. Onset analgesia muncul dalam
15 menit pemberian. Efek samping termasuk
pusing, mual, muntah, mengantuk, dan
gangguan indra perasa. Agen ini termasuk
substan yang dikontrol penggunaannya karena
bisa menyebabkan ketergantungan dan
ketagihan.
Glukokortikoid  Penggunaan singkat
glukokortikoid oral atau parenteral (seperti,
prednisone,
dexamethasone, hydrocortisone) tampaknya
berguna untuk sakit kepala yang bertahan
selama beberapa hari. Profilaksis Farmakologi
untuk Migraine  Terapi profilaksi (Tabel 50-3)
diberikan setiap hari untuk mengurangi
frekuensi, keparahan, dan durasi serangan, dan
juga meningkatkan respon terhadap terapi
simtomatik akut. Skema perawatan untuk
penanganan profilaksi ditunjukkan pada
Profilaksis sebaiknya dipertimbangan pada
kondisi migraine yang berulang yang
mengganggu aktivitas; seringnya serangan
sehingga membutuhkan medikasi lebih dari
dua kali seminggu; terapi simtomatik yang
tidak efektif, kontraindikasi, atau menghasilkan
efek samping yang serius; dan varian migrain
tidak umum yang menyebabkan gangguan
dan/atau kerusakan neurologik.  Terapi
pencegahan juga bisa diberikan dalam interval
pada migraine yang muncul dengan pola yang
terduga (seperti, migraine saat menstruasi). 
Karena efikasi berbagai agen profilaksi
tampaknya serupa, pemilihan obat berdasar
pada profil efek samping dan kondisi morbid
yang menyertai pasien. Respon individual
terhadap suatu agen tidak bisa diduga, dan
diperlukan uji 2-3 bulan untuk menilai efikasi
tiap medikasi.
Profilaksis sebaiknya dimulai dengan dosis
rendah dan bertambah dengan lambat sampai
efek terapi tercapai atau efek samping tidak
bisa lagi ditolerir.  Profilaksis biasanya
dilanjutkan sampai paling tidak 3-6 bulan
setelah frekuensi dan tingkat keparahan sakit
kepala berkurang, dan lalu diperkecil secara
bertahap dan dihentikan, jika mungkin.
Antagonis β Adrenergik  β blocker
(propanolol, nadolol, tomolol, atenolol, dan
metoprolol) umumnya dianggap sebagai terapi
terpilih untuk pencegahan migraine. Β blocker
dengan aktivitas simpatomimetik intrinsik
adalah tidak efektif.  Efek samping termasuk
fatigue, gangguan tidur, mimpi yang sangat
nyata, gangguan ingatan, depresi, intoleransi
saluran cerna, disfungsi seksual, bradikardia,
dan hipotensi.
β blocker sebaiknya digunakan dengan hati-
hati pada pasien dengan gagal jantung,
penyakit vaskular perifer, gangguan konduksi
atrioventrikular, asma, depresi dan diabetes.
Antidepresan  Amitryptyline tampaknya menjadi tricyclic antidepresant (TCA)
terpilih, tapi
imipramine, doxepin, nortriptyline, dan protriptyline juga telah digunakan.  Efeknya
pada profilaksi migraine adalah independen dari aktivitas antidepresan dan bisa
terkait antagonisme reseptor 5-HT2 pada pembuluh serebral atau penekanan
aktivitas neuronal serotonergik pada batang otak.  TCA biasanya ditoleransi dengan
baik pada dosis rendah yang digunakan untuk profilaksis migraine, tapi efek
antikolinergik bisa membatasi penggunaan, terutama pada pasien dengan hiperplasia
prostat benign atau glaukoma. Dosis sore hari lebih disukai karena adanya efek sedasi.
 Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) belum dipelajari mendalam
penggunaannya sebagai profilaksis migraine. Ada data yang berlawanan untuk
fluoxetine, sedang data untuk evaluasi sertraline, paroxetine, fluvoxamine, dan
citalopram kurang banyak.  SSRI dianggap kurang efektif dari TCA untuk profilaksis
migraine dan sebaiknya tidak menjadi terapi pilihan pertama atau kedua. Tetapi, SSRI
bisa bermanfaat jika depresi merupakan kontributor signifikan untuk sakit kepala.

Anda mungkin juga menyukai