Inklusif Disabilitas di
Indonesia
Disampaikan oleh : HARI KURNIAWAN,SH. (Komisioner Pengaduan
Komnas HAM RI
(Disampaikan Dalam Sekolah PRB UPN Veteran Yogyakarta)
Yogyakarta, 11 November 2023
Tentang Komnas HAM
Komnas HAM didirikan Pada 1999, Komnas
dengan Keputusan HAM dikukuhkan
Presiden Nomor 50 sebagai lembaga mandiri
Tahun yang kedudukannya
1993 tentang setingkat dengan lembaga
Komisi Nasional Hak negara lainnya melalui
Asasi Manusia Undang-Undang No. 39
tahun 1999
SALING
MENGHARGAI
TANPA HAMBATAN
SETIAP
PERBEDAAN
Mengapa perlu paham dan peka
Terhadap disabilitas/difabel?
Pemikiran
Disabilitas
RAGAM PENDEKATAN
• Disabilitas dianggap problem yang harus disembuhkan /
dihilangkan,
MODEL MEDIS • Masalah ada pada individu difabel,
• Pendekatan selalu khusus / segregasi
MODEL HAK • Disabilitas adalah bagian dari keberragaman setiap manusia, dan
karenanya tidak menjadi alasan untuk mengurangi penikmatan hak
AZASI MANUSIA azazi setiap orang, oleh siapapun.
HAMBATAN
TERBESAR
PARTISIPA
SI
REHABILITASI DAN
PERUBAHAN SIKAP
PEMENUHAN ALAT AKSESIBILITAS
DAN PEMIKIRAN
BANTU
KONDISI YANG IDEAL
BERDASARKAN CRPD DAN UU 8/2016
PERUBAHAN
TERINTEGRASI
PERLINDUNGAN
PARTISIPASI KOLABORATIF
Berbasis Hak
Praktik-praktik Tidak Inklusi di Sektor
Kebencanaan Bagi Disabilitas
• Pertama, telah tersedia UU Penanggulangan Bencana (PB) dan PP No. 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP Penyelenggaraan PB) serta Peraturan Kepala BNPB
No. 14 tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan, dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam
Penanggulangan Bencana (Perka BNPB No.14/2014). Dalam implementasinya, masih ditemui
sejumlah hambatan, yakni: minimnya partisipasi penyandang disabilitas dalam forum dan kegiatan
penanggulangan bencana di Indonesia. Penyandang disabilitas seringkali ditinggalkan dalam proses
pembahasan pengkajian risiko bencana, proses penyusunan rencana kontinjensi, pembahasan
rencana aksi daerah hingga respon darurat bencana. Selain itu, hambatan lainnya yakni hingga saat
ini belum ada skema yang dapat dirujuk terkait rehabilitasi yang komprehensif dalam perlindungan
penyandang disabilitas pascabencana yang memastikan adanya pemulihan hak kesehatan, ekonomi,
sosial serta hak lainnya. Hambatan berikutnya adalah keterlibatan penyandang disabilitas
pascabencana dalam dampak covid bagi penyandang disabilitas disusun oleh mitra pembangunan,
organisasi lokal dan pemerintah belum melibatkan penyandang disabilitas sehingga belum
sepenuhnya memotret realita kebutuhan kelompok penyandang disabilitas. Hambatan terakhir yang
teridentifikasi adalah partisipasi penyandang disabilitas di FPRB (termasuk destana) masih
dikelompokkan sebagai kelompok rentan.
Praktik-praktik Tidak Inklusi di Sektor
Kebencanaan Bagi Disabilitas
• Kedua, ketersediaan regulasi seperti Peraturan Pemerintah 42 Tahun 2020 Tentang
Aksesibilitas Terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan Dari Bencana Bagi
Penyandang Disabilitas (PP 42/2020). Hambatannya saat ini adalah di dalam situasi bencana,
penyandang disabilitas bergerak atas upaya mandiri dan tidak bermitra dengan pemerintah.
• Ketiga, ketersediaan data terpilah penyandang disabilitas korban bencana yang memuat jenis
kedisabilitasan dan Join Need Assessment. Hambatan yang dihadapi adalah tidak adanya
data terpilah terkait penyandang disabilitas korban bencana. Kemudian pelaksanaan Join
Need Assessment (JNA) yang dilakukan saat bencana Seroja belum melibatkan penyandang
disabilitas atau organisasi penyandang disabilitas mulai dari awal rencana persiapan kajian,
pelaksanaan kajian dan analisis kajian tersebut. Keempat, Adanya mekanisme respon.
Namun pelaksanaan mekanisme respon ini terdapat hambatan, seperti penyandang
disabilitas tidak dilibatkan dalam rencana kontijensi, walaupun saat ini sudah ada panduan
pembuatan rencana kontijensi 5.0. Untuk direkomendasikan agar perlu pelibatan
penyandang disabilitas dalam mekanisme respon termasuk dalam rencana kontijensi.
REKOMENDASI
• Pemerintah merevisi UU PB dan seluruh Aturan turunannya. Kemudian pemerintah
perlu segera menyusun dan mengembangkan SOP di tingkatan BNPB dan BPBD.
Kemudian perlu dilakukan menyusun SOP di tingkatan internal BNPB dan BPBD;
membentuk ULD; dan membentuk FPRB Inklusi dan terintegrasinya sampai ke
dalam Desa Inklusi
• Pemerintah dan para stakeholder bencana perlu melibatkan penyandang disabilitas
pada pra, ketanggapdaruratan, dan pascabencana termasuk dalam rencana
kontijensi.
• pemerintah agar menggunakan pertanyaan singkat kelompok WGQ (Washington
Group Question) dalam melakukan pendataan baik pada saat sensus penduduk
maupun pendataan korban bencana sehingga bisa menjadi solusi agar kita tidak
fokus pada jenis disabilitas seseorang tetapi pada hambatan yang ditemui orang
tersebut.
TERIMA KASIH