Anda di halaman 1dari 11

Aplikasi Cryogenic Untuk Pembekuan Produk Pangan

Sumber: KamuS Topik: Teknologi Tags: mikroorganisme, pembekuan produk pangan, teknologi kriogenik, teknologi pembekuan Pembekuan memberikan berbagai manfaat dalam penyimpanan produk pangan terutama bagi industri pangan, misalnya untuk menghambat penurunan kadar nutrisi, menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak pangan dan bahkan pada beberapa produk pangan memberikan manfaat organoleptik (rasa pangan yang lebih enak). Kebutuhan pembekuan ini juga sangat dirasakan pada pengiriman dan transportasi produk-produk pangan dari produsen ke tangan konsumen. Pada umumnya pembekuan produk pangan menggunakan teknologi pembekuan (refrigerant) konvensional berbahan pendingin amonia atau di masa lalu menggunakan freon-CFC (chloroflurocarbon) yang ternyata terbukti menjadi gas-gas penyebab kerusakan ozon. Teknologi pembekuan seperti ini juga telah ditemukan memiliki kelemahan karena tingkat pendinginan yang kurang rendah suhunya dan relatif tidak stabil sehingga tidak menjamin keawetan produk pangan yang dibekukan. Pada penggunaan ammonia sebagai bahan pendingin, suhu terdingin yang dapat dicapai untuk refrigeran produk pangan yaitu antara -1 derajat Celsius sampai dengan -46 derajat Celsius. Kriogenik (cryogenic) merupakan salah satu teknologi pembekuan yang sebetulnya bukan tergolong ide yang baru. Metode pembekuan pada teknologi ini menggunakan gas yang dimampatkan menjadi cairan (liquid) misalnya nitrogen (N2) dan karbon dioksida (CO2). Nitrogen cair sebagaimana telah diketahui sejak lama, dipergunakan sebagai pembeku bahan-bahan organik untuk keperluan penyimpanan dan ekstraksi bahan-bahan penelitian bidang biologi terapan. Karbon dioksida cair pun telah sejak lama dipergunakan untuk pengisi tabung pemadam kebakaran. Nitrogen cair memiliki titik didih pada suhu -195,8 derajat Celsius, sedangkan karbon dioksida cair -57 derajat Celsius. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu tersebut, nitrogen dan karbon dioksida akan berbentuk gas volatil, sehingga umumnya nitrogen cair dan karbon dioksida cair berada pada suhu lebih rendah daripada titik didihnya. Dengan suhu yang sedemikian dingin, baik nitrogen cair maupun karbon dioksida cair mempunyai kemampuan membekukan bahan organik yang relatif lebih efektif daripada pendingin berbahan amonia ataupun freon.

Suntory, sebuah perusahaan minuman di Jepang mengunakan metode cryogenic ini sebagai metode baru untuk produksi minuman sehingga kualitas kesegaran minuman terjaga. Dalam kondisi suhu -195 derajat celcius buah dihancurkan menjadi tepung kemudian dibuat minuman. Di negara-negara maju, studi mengenai aplikasi teknologi kriogenik untuk pembekuan produk pangan telah dimulai sejak dekade 1990-an. Beberapa kelebihan teknologi kriogenik untuk pembekuan produk pangan dibandingkan teknologi pembekuan konvensional telah ditemukan, di antaranya yaitu : 1) teknologi kriogenik mempunyai kemampuan mencegah rusaknya adenosintrifosfat (ATP) pada produk pangan laut segar selama periode penyimpanan. 2) mampu mempercepat pembekuan produk pangan seperti daging dan telur. 3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak produk pangan lebih baik. 4) mencegah rusaknya nutrisi produk pangan lebih baik. Pada saat ini studi mengenai aplikasi teknologi kriogenik untuk pembekuan produk pangan lebih diarahkan pada perancangan kontainer atau jaket pendingin, mengingat gas cair seperti nitrogen cair dianggap terlalu berbahaya untuk dibawa seenaknya dalam transportasi produk pangan. Selain itu studi juga diarahkan kepada stabilitas suhu disertai perancangan pengontrolnya, dan selanjutnya variasi produk pangan yang dapat dibekukan secara efektif dengan teknologi kriogenik. Dan yang paling mutakhir saat ini yaitu upaya menggunakan teknologi nano material dalam rangka mencari bahan terbaik untuk digunakan sebagai kontainer atau jaket pendingin kriogenik termasuk pipa vakum kriogeniknya.

Perkembangan Terkini Teknologi Refrigerasi/Pengkondisian Udara (3)


Sumber: Berita Iptek Topik: Mesin Tags: Adsorpsi Padatan, Diagram Clapeyron, Efek Magnetokalorik, Siklus Absorpsi Setelah mengulas tantangan kontemporer yang dihadapi oleh teknologi refrigerasi/pengkondisian udara serta beberapa alternatif sistem yang telah dikembangkan untuk menghadapi tantangan tersebut, bagian ke-3 dari seri tulisan tentang refrigerasi ini mengulas perkembangan teknologi di bidang refrigeran (fluida kerja mesin refrigerasi) dan teknologi mesin refrigerasi itu sendiri. Perkembangan Teknologi di Bidang Refrigeran

Refrigeran adalah fluida kerja yang bersirkulasi dalam siklus refrigerasi. Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena dialah yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Seperti telah dijelaskan pada Bagian 1, masalah kontemporer yang menghadang refrigeran adalah munculnya lubang ozon dan pemanasan global. ASHRAE (2005) mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja di dalam mesin refrigerasi, pengkondisian udara, dan sistem pompa kalor. Refrigeran menyerap panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui mekanisme evaporasi dan kondensasi. Calm (2002) membagi perkembangan refrigeran dalam 3 periode: Periode pertama, 1830-an hingga 1930-an, dengan kriteria refrigeran apa pun yang bekerja di dalam mesin refrigerasi. Refrigeran yang digunakan dalam periode ini adalah ether, CO2, NH3, SO2, hidrokarbon, H2O, CCl4, CHCs. Periode ke-dua, 1930-an hingga 1990-an menggunakan kriteria refrigeran: aman dan tahan lama (durable). Refrigeran pada periode ini adalah CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons), NH3, H2O. Periode ke-tiga, setelah 1990-an, dengan kriteria refrigeran ramah lingkungan. Refrigeran pada periode ini adalah HCFCs, NH3, HFCs, H2O, CO2. Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs, dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua refrigeran utama yang dijadwalkan untuk dihapuskan masingmasing pada tahun 1996 dan 2030 untuk negara-negara maju (United Nation Environment Programme, 2000). Sedangkan untuk negara-negara berkembang, kedua refrigeran utama tersebut masing-masing dijadwalkan untuk dihapus (phased-out) pada tahun 2010 (CFCs) dan 2040 (HCFCs) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs (United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005). Powell (2002) menerangkan bebeapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran pengganti, yakni: 1.Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak digantikannya, utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan

refrigeran lama yang ber-klorin. 2.Tidak mudah terbakar. 3.Tidak beracun. 4.Bisa bercampur (miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin refrigerasi. 5.Setiap refrigeran CFC hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah lingkungan. Setelah periode CFCs, R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak digunakan di dalam mesin refrigerasi dan pengkondisian udara. Saat ini beberapa perusahaan pembuat mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22 dalam produk-produk mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis HCFCs lainnya, dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju), namun beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif, misalnya Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin refrigerasi baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan penggunaan HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999 (Kruse, 2000). Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan refrigeran lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon. Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun terakhir, penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini meyakini akan terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak secara jelas merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab pulihnya lapisan ozon. Powell (2002) menyebutkan bahwa adanya kerjasama yang sangat baik antara produser refrigeran dan perusahaan pengguna refrigeran telah memungkinkan terjadinya transisi mulus dari era penggunaan CFCs secara besar-besaran di 1986 hingga penghapusan dan penggantiannya dengan R134a di tahun 1996. Banyak kalangan menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional di bidang lingkungan yang paling berhasil diterapkan. Saat ini, HCFCs (yang pada dasarnya merupakan pengganti transisional untuk CFCs) telah memiliki 2 kandidat pengganti, yakni R410A (campuran dengan sifat mendekati zeotrop) dan R407C (campuran azeotrop) (Kruse, 2000). Hidrokarbon Propana (R290) juga berpotensi menjadi pengganti R22 (Kruse, 2000). R407C merupakan campuran antara R32/125/132a dengan komposisi 23/25/52, sedangkan R410A adalah campuran R32/125 dengan komposisi 50/50 (ASHRAE, 2005). Saat ini, beberapa perusahaan terkemuka di bidang refrigerasi dan pengkonsian udara telah menggunakan R410A dalam produk mereka.

Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain refrigeran alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen refrigeran yang mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global (ASHRAE, 2006). Beberapa refrigeran alami yang sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3), hidrokarbon (HC), karbondioksida (CO2), air, dan udara (Riffat dkk., 1997). Kata alami menekankan keberadaan zat-zat tersebut yang berasal dari sumber biologis atapun geologis; meskipun saat ini beberapa produk refrigeran alami masih didapatkan dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, misalnya hidrokarbon yang didapatkan dari oil-cracking, serta amonia dan CO2 yang didapatkan dari gas alam (Powell, 2002). Penggunaan karbondioksida, air, dan udara pada refrigerator komersial masih memerlukan riset yang mendalam, sedangkan penggunaan amonia dan hidrokarbon, meskipun sudah cukup banyak dilakukan, masih memiliki peluang riset yang cukup banyak (Riffat dkk., 1997). Amonia bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang sangat mudah terbakar; oleh karena itu refrigeran tersebut secara umum sulit digunakan pada sistem ekspansi langsung. Sistem refrigerasi tak-langsung bisa digunakan untuk mengatasi kelemahan kedua refrigeran tersebut. Beberapa peneliti berusaha menekan tingkat keterbakaran refrigeran hidrokarbon dengan cara mencampurkannya bersama refrigeran lain yang tak mudah terbakar (Pasek dkk., 2006; Sekhar dkk., 2004; Dlugogorsky dkk., 2002). Granryd (2001) menekankan bahwa pada dasarnya sudah tersedia teknologi untuk meningkatkan keamanan pada sistem refrigerasi yang menggunakan refrigeran hidrokarbon, namun cara yang ekonomis untuk membuat sistem tersebut aman dan terbukti dapat digunakan dalam skala luas masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Teknologi Refrigerasi Alternatif Munculnya beberapa permasalahan pada refrigerasi siklus kompresi uap dalam dekade belakangan ini membuat beberapa peneliti berusaha memunculkan sistem refrigerasi alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa. Teknologi alternatif tersebut diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi padatan (solid adsorption), dan efek magnetokalorik. Sistem absorpsi dan adsorpsi padatan tidak menggunakan refrigeran yang merusak ozon dan menimbulkan pemanasan global, serta bisa memanfaatkan panas matahari ataupun panas buangan; sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan refrigeran primer. Refrigerasi Siklus Absorpsi

Refrigerasi absorpsi merupakan siklus yang digerakkan oleh energi termal. Berbeda dengan sistem refrigerasi konvensional, energi mekanik yang diperlukan oleh refrigerasi absorpsi sangat kecil. Diagram refrigerasi absorpsi efek tunggal dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:

Gambar 1 Diagram siklus refrigerasi absorpsi efek tunggal Pada Gambar 4, QA adalah perpindahan panas dari absorber, WPump kerja yang diperlukan pompa, QG adalah perpindahan panas yang diperlukan oleh generator, QC adalah perpindahan panas dari kondenser, dan QE adalah panas yang diserap oleh evaporator. Penukar kalor yang terdapat di dalam siklus absorpsi berfungsi untuk meningkatkan temperatur larutan sebelum memasuki generator, sehingga bisa menghemat energi. Seperti halnya siklus refrigerasi kompresi uap, efek pendinginan pada siklus absorpsi juga terjadi pada sisi evaporator. Untuk menggantikan kompresor seperti yang digunakan di dalam siklus kompresi uap, digunakan tiga komponen di dalam siklus absorpsi; yakni absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi untuk menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur menjadi larutan. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksotermik (mengeluarkan panas), maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber. Tanpa dilakukannya proses pembuangan panas, maka kelarutan (solubility) uap refrigeran ke dalam absorben akan rendah. Selanjutnya, larutan tersebut dipompa ke generator. Dalam perjalanan menuju generator, larutan dilewatkan di dalam penukar kalor untuk meningkatkan temperatur (preheating). Daya pompa yang diperlukan sangat kecil, sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya

diabaikan. Di dalam generator, larutan dipanaskan hingga terjadi pemisahan refrigeran dari larutan. Selanjutnya, uap refrigeran tersebut akan memasuki kondensor. Proses selanjutnya tidak berbeda dengan siklus kompresi uap, yakni kondensasi, penuruan tekanan (melalui mekanisme penghambat aliran flow restrictor), dan evaporasi. Dua keuntungan utama penggunaan siklus absorpsi adalah: (1) Siklus ini tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan global, dan (2) Siklus ini bisa menggunakan panas buangan, sehingga sangat cocok digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan panas/termal. Siklus kombinasi ini sangat berpotensi menghemat energi. Sistem pemanas dan pendingin di Shinjuku, Jepang, diklaim oleh operatornya (Tokyo Gas) bisa menghasilkan penghematan energi pendinginan sebesar 20% (Tokyo Gas, 2002). Performansi sistem ini bisa didefiniskan dengan cara yang sama seperti halnya dalam siklus kompresi uap, yakni:

(3) Namun karena daya pompa siklus ini umumnya sangat kecil dibandingkan dengan komponen yang lain, maka WPump seringkali dihilangkan dari Persamaan (3). Dalam aplikasinya, performa (COP) siklus absorpsi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan siklus kompresi uap. Dalam artikel reviewnya, Shrikhirin (2001) menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi siklus absorpsi. Holmberg dan Berntsson (1990) menerangkan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yakni: 1.Perbedaan titik didih antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama (boiling elevation) haruslah sebesar mungkin. 2.Refrigeran perlu memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi di dalam absorben untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan generator per-satuan kapasitas pendinginan. 3.Memiliki sifat-sifat transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan

koefisien difusi, yang baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa yang juga baik. 4.Baik refrigeran dan absorbennya harus bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan murah. Kriteria lain untuk fluida kerja sistem absorpsi serupa dengan kriteria untuk refrigeran siklus kompresi uap, seperti stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan tidak mudah meledak. Hingga saat ini, fluida kerja yang paling banyak digunakan di dalam sistem refrigerasi absorpsi adalah Air/NH3 dan LiBr/Air (Srikhirin dkk., 2001). Refrigerasi Adsorpsi Padatan (solid adsorption) Efek pendinginan pada siklus solid adsorption menggunakan prinsip yang sama dengan sistem refrigerasi lainnya: bahwa proses evaporasi memerlukan suplai energi (menyerap energi). Proses adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari cairan dan pengakumulasiannya pada permukaan sebuah zat padat. Zat yang menguap dari fasa cair disebut sebagai adsorbat, sedangkan zat padat yang menyerap adsorbat disebut sebagai adsorben. Molekul-molekul yang diserap oleh adsorben bisa dilepaskan kembali dengan cara memanaskan adsorben; dengan demikian proses ini bersifat reversibel. Terdapat dua macam adsorben, yakni hydrophilic seperti gel silika, zeolit dan alumina aktif atau alumina berpori; dan hydrophobic seperti karbon aktif, polimer dan silikat (Sumathy dkk., 2003). Adsorben hydrophilic memiliki kemampuan ikat yang tinggi dengan zat yang bersifat polar (seperti air), sedangkan adsorben hydrophobic dengan zat yang bersifat non-polar (seperti minyak).

Gambar 2 Diagram Clapeyron untuk siklus adsorpsi ideal

Siklus adsorpsi dasar bisa dilihat pada Gambar 5. Siklus ideal dimulai dari titik A: adsorben berada pada temperatur rendah, TA, dan tekanan rendah, PE (tekanan evaporasi). A B menunjukkan pemanasan adsorben bersamaan dengan adsorbat. Pada saat ini, wadah adsorben (kolektor) dihubungkan dengan kondensor. Pemanasan lanjut pada adsorben dari B ke D menyebabkan sebagian adsorbat mengalami desorpsi dan selanjutnya uapnya terkondensasi di kondensor (titik C). Pada saat adsorben mencapai temperatur maksimum, TD, proses desorpsi berhenti. Selanjutnya cairan adsorbat dikirimkan ke evaporator dari C ke E; kemudian kolektor ditutup dan mendingin. Penurunan temperatur dari D ke F menyebabkan penurunan tekanan dari PC ke PE. Setelah kolektor dihubungkan dengan evaporator; evaporasi dan adsorpsi terjadi pada saat adsorben didinginkan dari temperatur F ke A. Efek pendinginan muncul pada saat terjadinya evaporasi adsorbat. Dibandingkan dengan siklus kompresi uap, prestasi siklus adsorpsi jauh lebih kecil. Sumathy dkk. (2003) menjelaskan beberapa modifikasi yang perlu dilakukan pada siklus adsorpsi untuk meningkatkan prestasi siklus tersebut. COP tertinggi siklus adsorpsi yang didata oleh Sumathy dkk. (2003) adalah 1,06. Beberapa peneliti telah menyelidiki aplikasi siklus adsorpsi di berbagai bidang, seperti pengkondisian udara di dalam kabin masinis (Lu dkk., 2004; Wang dkk., 2006a), refrigerator tenaga surya untuk gedung (Lemmini dan Errougani, 2005), pendingin air (Liu dkk., 2005), dan pembuat es (ice maker) untuk kapal nelayan (Wang dkk., 2006b). Refrigerasi Efek Magnetokalorik Efek magnetokalorik, yang merupakan sifat intrinsik seluruh material magnetik, menyebabkan material yang bersifat magnetik akan membuang panas dan tingkat entropi magnetiknya turun pada saat dikenai medan magnet secara isotermal. Efek yang berkebalikan akan terjadi manakala medan magnet dihilangkan. Dengan demikian, efek magnetokalorik ini bisa digunakan untuk mendinginkan suatu zat. Prinsip ini telah digunakan dalam refrigerasi kriogenik sejak tahun 1930-an (Yu dkk., 2003). Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap. Efisiensi refrigerasi magnetik bisa mencapai 30 60% terhadap siklus Carnot, sedangkan siklus kompresi uap hanya mencapai 5 10% terhadap siklus Carnot (Yu dkk., 2003). Oleh karena itu, refrigerasi magnetik diperkirakan memiliki potensi yang bagus di masa mendatang. Siklus dasar refrigerasi magnetik adalah siklus Carnot magnetik, siklus Stirling magnetik, siklus Ericcson magnetik, dan siklus Brayton magnetik. Mekanisme kerja siklus refrigerasi magnetik, misalnya siklus Ericcson magnetik, dijelaskan

di bawah ini (lihat juga Gambar 6). 1.Proses magnetisasi isothermal (A-B). Pada saat terjadi kenaikan medan magnet (dari H0 ke H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator untuk menjaga refrigeran dalam keadaan isotermal. Note: yang dimaksud dengan refrigeran adalah material magnetik itu sendiri. 2.Proses pendinginan pada medan-konstan (B-C). Pada keadaan medan magnet konstan (H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator. 3.Proses demagnetisasi isotermal (C-D). Pada saat medan magnet diturunkan (dari H1 ke H0), panas diserap dari fluida regenerator ke refrigeran magnetik untuk menjaga kondisi isotermal pada refrigeran. 4.Proses pemanasan pada medan-konstan (D-A). Temperatur akhir refrigeran magnetik kembali ke kondisi semula (A).

Gambar 3 Diagram siklus Ericcson magnetik. Pada gambar tersebut, S dan T masing-masing adalah entropi dan temperatur. Beberapa peneliti mengeksplorasi kemungkinan penggunaan refrigerasi magnetik sebagai pengganti sistem refrigerasi konvensional. Pada 1976, di Lewis Research Center of American National Aeronautics and Space Administration, Brown menggunakan logam tanah jarang (rare-earth metal) gadolinium (Gd) sebagai refrigeran magnetik untuk refrigerasi pada temperatur ruang (Yu dkk., 2003). Dengan menambahkan berbagai variasi silika dan germanium ke latis (lattice) kristal gadolinium, Vitalij Pecharsky dan Karl Gschneidner dari the Ames Laboratory di Iowa State University menemukan jenis material baru yang bisa mendinginkan dua hingga enam kali lebih banyak dalam siklus magnetik tunggal, yang berarti bahwa mesin refrigerasi ini bisa menggunakan medan magnet yang lebih lemah atau material yang lebih kecil (Glanz, 1998).

Dengan memadukan refrigeran magnetik Gd5Ge2Si2 dan sejumlah kecil besi, Provenzano dkk. (2004) melaporkan bahwa mereka bisa mengurangi kehilangan histerisis (yang menyebabkan refrigeran magnetik kurang efisien) hingga 90%. Selain menggunakan paduan berbasiskan gadolinium, Tegus dkk. (2002) menggunakan refrigeran magnetik berbasiskan logam transisi, MnFeP0.45,As0.55, untuk refrigerasi pada temperatur ruang dengan hasil refrigerasi yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan Gd5Ge2Si2. Namun demikian, saat ini pengembangan refrigerasi magnetik pada temperatur ruang masih belum matang. Yu dkk. (2003) menekankan bahwa kesulitan utama dalam pengembangan refrigerasi magnetik adalah: (1) Diperlukannya material magnetik dengan efek magnetokalorik yang besar, (2) Diperlukannya medan magnet yang kuat, dan (3) Diperlukannya sifat regenerasi dan perpindahan panas yang istimewa.

Anda mungkin juga menyukai