Anda di halaman 1dari 4

Kritik berwawasan Humor dalam karikatur

*Pramono R Pramoedjo Suatu opini, misalnya yang biasa kita baca dalam media massa, setidaknya akan berisi selain pokok-pokok pikiran yang merupakan tanggapan tentang suatu masalah, juga kritik dan saran. Dengan demikian, kritik dan saran akan merupakan elemen penentu yang melengkapi adonan yang dinamakan opini atau pendapat tersebut, baik dan berhasil mempengaruhi pola pemikiran tertentu ata gagal dalam misinya. Opini yang baik pun bukan jaminan akan berhasil membawa misinya, karena beberapa hal yang dirasakan sebagai hambatan dari luar. Misalnya situasi dan kondisi yang kurang tepat dan pas untuk dapat menerima suatu pendapat, pemikiran yang dimuati dengan kritik yang agak secara relatif dirasa peda (meskipun proporsional, logis dan mengandung kebenaran). Oleh karena itu, dalam melontarkan opini harus pula disertai pertimbanganpertimbangan ke dalam maupun ke luar, demikian pula pertimbangan tekhnis cara melontarkannya. Biasanya bagi masyarakat timur, suatu opini atau pendapat yang dilontarkan harus dikemas sedemikian halus, sehingga kepedasan yang terkandung dalam elemen kritik yang ada di dalamnya, akan terasa manis. Artinya, ia tidak sampai membuat pihak lain tersinggung, melainkan tersungging. Tersenyum meskipun kecut! Sebab, bagaimana pun baiknya suatu kritik, namun apabila yang dituju menjadi tersinggung, apalagi marah, maka boleh dikatakan misi opini yang dirasa positif tersebut boleh jadi akan mengalami kegagalan secara total. Misi tidak sampai, bahkan bagi media massa, hal yang demikian bisa mendatangkan bencana. Kritik Apakah sebenarnya kriti itu? Beberapa pendapat mengatakan, kritik itu perlu, merupakan cambuk untuk memperbaiki kekeliruan. Namun, kelihatannya orang lebih suka mengkritik, dan sangat tidak suaka dikritik. Mengapa? Merupakan salah satu sifat buruk manusiakah? Atau justru merupakan tanda-tanda sakit jiwa? Kritik dalam bahasa Yunani Kritikos secara harafiahnya mempunyai arti: Medium untuk melihat/meneliti sesuatu materi dan menilainya. Tetapi ia juga dapat diartikan sebagai: Sensor, pencari kekeliruan. Di pihak lain, kritik diartikan sebagai pencatat/disposisi untuk mencari dan menekankan adanya kekeliruan-kekeliruan dan ketidak-sempurnaan dari suatu materi, misalnya terhadap hasil kerja seni atau pengamatan perilaku. Karena itu, seorang kritikus adalah seoran yang menggunakan keprofesionalannya dalam menganilisis dan mengevaluasi suatu materi, setelah menimbang bobot nilainya, kebenarannya dalam bidang seni ditambah: nilai artistik dan tekhniknya kemudian menginterpretasikan. Oleh sebab itu, suatu kritik tak dapat dilontarkan demikian saja, tanpa didasari/didukung suatu fakta, analisis dan penelitian yang lumayan dalamnya. Sebab, kalau tidak demikian suatu kritik dapat diartikan sebagai fitnah. Meskipun bukan rahasia lagi, yang namanya kebenaran/benar, fakta dapat saja direkayasa, sehingga menjadi salah, atau tak terbantah lagi kebenarannya. Sebaliknya, yang keliru dan salah menjadi 100% benar. Di dunia timur, suatu opini yang mengandung kritik terlalu banyaka akan membuat sasaran yang dituju menjadi eneg, dicap menggurui, dan lain sebagainya. Karenanya, seorang pembuat opini akan dihadapkan berbagai persyaratan. Ia boleh bebas tetapi bertanggungjawab.

Ada istilah banyak jalan menuju Roma, yang juga menjadi resep yang dipakai ole seorang pembuat opini. Jadi kreativitas sangat diperlukan, agar pesan mengena di sasaran, tanpa terasa menghakimi. Dan, tak dipungkiri lagi, Sang Pembuat Opini dengan demikian mencari selamat, meski tidak terus terang mengakuinya. Karikatur Karikatur yang sering kita jumpai di media massa adalah opini dalam bentuk gambar. Ia adalah Opinion Cartton yang berisi pesan, pendapat tentang suatu masalah atau materi. Sama dengan tulisan opini (Tajuk rencana/editorial) karikatur pun mengandung pendapat analisis, pesa, kritik dan saran. Namun terlebih dari hal tersebut, suatu keharusan untuk mengimbuhkan unsur humor. Dengan demikian, kalau kita ibaratkan kendaraan, karikatur adalah sebuah mobil yang beroda empat. Ia menjadi timpang bila salah satu rodanya hilang. Keempat roda tersebut adalah: 1. Pendapat/pesan 2. Kritik 3. Saran 4. Humor Keempat roda tersebut, sebenarnya harus Balance atau seimbang. Namun dalam praktiknya, bisa saja humor terpaksa diperbanyak, agar kritiknya tidak terlalu pedas, bahkan membuat terasa segar dan tersadar. Karikatur sebenarnya bukan sekadar humor kartun, yang asal tokohnya digambar pletat-pletot/excacgerated/distorsif, namun dari arti sebenarnya, karikatur adalah gambar wajah yang dilebih-lebihkan atau yang diberi muatan lebih. Memeletotkan wajah ternyata memerlukan pengamatan yang mendalam terhadap obyeknya, sehingga tercapai suatu olahan gambar ekspresi wajah yang karikatural, yang menyiratkan karakter Si Empunya wajah secara total, namun lucu. Di Amerika Serikat, seorang pejabat merasa sangat terhormat bila wajahnya muncul di media massa dalam bentuk karikatural. Tidak merasa terhina, karena tahu Si Empunya wajah bakal terkenal, lebih cepat bila hanya dalam bentuk pas Photo biasa. Bagaimana di Indonesia? Dari pengamatan Ngamen di Pasar Ancol, Jakarta selama hampir 6 tahun, saya berkesempatan membuat analisis tentang fenomena tersebut. Melalui kios kedai Senyum berdatangan pasien dari berbagai penjuru dunia, untuk mempercantik wajah (istilah GM Sudarta) yang artinya memesan karikatur wjah. Orang Jepang (rata-rata) tidak menyukai wajah mereka yang distorsif, bahkan sampai yang paling detil, kepersisan sangat dituntut oleh pemesan. Dipercantik dalam arti yang sebenarnya pun mereka kurang menyukai. Demikian pula Pakistan, India, Muangthai, Malaysia, Singapura dan kawasan Asia Tenggara lainnya, termasuk orang Indonesia. Namun, kelihatannya, berbeda dengan pemesan dari bangsa lain, orang Indonesia rata-rata menyukai wajah karikatural yang distorsif, memesan dan membayar mahal. Tetapi yang dipesan tersebut wajah orang lain, bukan wajahnya sendiri. Orang Eropa, Inggris dan Amerika agaknya mempunyai selera sama, menyenangi yang dipeletotkan. Justru makin peletot, makin dihargai. Jadi, untuk memvisualkan wajah karikatural kelihatnnya harus pula mengamati asal bangsa obyek yang hendak digambar. Namun, kalau dalam media massa, kelihatnnya hal tersebut tidak perlu diberlakukan. Tergantung dari kemauan Si Karikaturisnya belaka dan agaknya belum pernah ada yang komplain, kecuali yang berkait dengan masalah yang diungkapkan.

Namun hal tersebut, dimana Si Karikaturis boleh mengekspresikan wajah secara distorsif atau realistis, di kawasan Asia Tenggara, ternyata hanya di Indonesia dan Philipina dengan catatan karikaturis Indonesia lebih merdeka menggarap wajah sejumlah wajah pejabat tinggi, termasuk Preside. Bahkan di antaranya mengoleksinya dan dipajang di ruang kerjanya tanpa merasa risih. Karikaturis Philipina, misalnya Roni Santiago, karikaturis The Manilla Bulletin menyatakan, karikaturis Philipina belum sampai hati untuk mengkritik pejabat tertentu dan mengkarikaturkan wajah mereka secara terang-terangan. Mereka lebih suaka memilih medium lain, yaitu memvisualkan wajah Sang tokoh yang dimaksud dengan figur-figur binatang. Misalnya badak, ular kingkong dan lain sebagainya. Atau, tokoh-toko hero dalam komik. Misalnya, Cat Woman, Batman, Frakenstein, Drakula dan lain sebagainya, menjadi tokoh sentral kartun opininya tersebut. Sedang karikaturis Singapura, samasekali tidak boleh mengkarikaturkan pejabat-pejabat negara Negeri Singa tersebut, pejabat-pejabat negara sahabat terutama tetangga, untuk menjaga nama baik negara, katanya. Karikaturis Malaysia, sperti Nan atau Lat berpendapat sama, bahwa kecuali pejabat negara, Yang Dipertuan Agung dan mereka yang dituankan di negeri itu, mereka bebas mengekspresikan wajah tokoh lain, sama seperti yang dilakukan oleh karikaturis Mungthai. Lantas pertanyaannya adalah, bagaimana mereka menyampaikan pesan mereka melalui karikatur? Ternyata jawabannya hampis sama, Banyak Jalan Menuju Roma memakai Ilmu tendangan pisang, Arah Angin, adopsi dan lain-lainnya. Yang pada prinsip dasarnya adalah, mengurangi resiko. Itulah sebabnya, pengamat karikatur Jepang mengatakan bahwa karya kariaktur Indonesia/Asia Tenggara pengungkapannya seperti di Jepang pada jaman Edo. Untuk mencapai sasaran ynag dituju, memakai jalan berputar dan melintir, sehingga hanya bangsa itu yang memahami artinya, bangsa lain kurang memahaminya. Demikian pula beberapa karikaturis Barat yang mengamati kehidupan karikaturis di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa karikatur Indonesia sehalus sutra, yang tentu saja berbeda dengan karikatur Barat yang liberal itu. Karikatur Barat, boleh dikatakn sangat bebas, blak-blakan terkadang kasar. Ibarat gunting, ia bermata dua. Kontrol Sosial Eksistensi sebuah karikatur dalam media massa makin dirasa perlu kehadirannya. Ia dikatakan merupakan bumbu yang menyedapkan penyuguhannya ke khalayak pembaca. Namun, tak urung bisa jadi sebuah karikatur menjadi racun bagi surat kabar atau manjalah yang memuatnya, jikalau tak ada sinkronisasi antara gari kebijakan surat kabar, dengan pesan yang tersirat dalam karikatur tersebut. Sementara, dalam suatu situasi dan kondisi sosial yang kepekaannya perlu dicermati, tiba-tiab saja karikatur demikian dapat menjadi bumerang terhadap suarat kabar itu sneidir. Fungsi karikatur sebenarnya adalah sebagai sarana kontrol sosial (Social control) yang secara tidak langsung membantu meluruskan yang bengkok dan mengangkat masalah ke proporsi yang sebenarnya, secara satiristik dan humoristik. Ia harus bermuatan kritik (membangu) yang berwawasan humor cerdas (tidak vulgar), namun komunikatif. Karena itu, sebenarnya tugas karikaturis banyak dibebani dengan berbagai persyaratan yang tidak ringan. Ketekunannya untuk mau mempelajari suatu masalah secara cepat namun lengkap, kemudian menganalisanya dengan segera, lalu menuangkannya

dalam rupa gambar satiristik, sering pula Sang Karikaturis memiliki indera ke-6. apakah benar demikian? Sebenarnya tidak demikian, sebab modal dasar untuk menjadi kariakturis, pertama memang bakat namun masih harus diimbuhi ketekunan dengan daya nalar. Sedang untuk menciptakan yang dianggap masterpiece, tergantung bagaimana ia mampu mengkosentrasikan segala kemampuannya tersebut, yang semula hanya di angang-angan lalu menjadi kenyataan secara visual. Selebihnya adalah tergantung waktu dan Si Kon yang tepat. Suatu kariaktur dikatakan berhasil apabila ia menggambarkan secara gamblang permaslahannya, yang diolah menjadi gagasan baru dan segar serta komunikatif. Ia dikatakan berhasil juga apabila pesannya mengenai sasaran, yang kelanjutannya mengubah pola pikir menjadi lurus, tanpa ada yang merasa menang atau kalah. Jakarta, September 1992 *Wartawan Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai