Anda di halaman 1dari 5

Squalen Vol. 2 No.

1, Juni 2007

PROSPEK BIOTEKNOLOGI ROTIFER, Brachionus rotundiformis


Inneke F.M. Rumengan*)
ABSTRAK Rotifer telah lama digunakan di seluruh dunia sebagai pakan biokapsul bagi berbagai jenis larva ikan laut sejak 1960an, dan hingga saat ini masih merupakan sumber nutrisi utama dalam produksi benih di kebanyakan panti benih. Studi mengenai rotifer yang berasal dari Sulawesi Utara telah dilakukan sejak tahun 1994, yang sejauh ini difokuskan pada aspek bioekologis dan kemampuan reproduksi. Tulisan ini menyampaikan prospek untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi biologis yaitu kemampuan polimorfisme dan potensi molekuler dari rotifer dipandang dari sudut bioteknologi. Manipulasi dari kemampuan polimorfisme akan memungkinkan rotifer dijadikan biokapsul secara efektif. Hal ini dapat diimplementasikan melalui rekayasa lingkungan, termasuk pengkayaan alga, dan manipulasi genetik seperti hibridisasi dan mutasi. Prospek rekayasa biologi sangat mungkin dilakukan karena didukung oleh teknologi produksi massal yang telah berhasil diterapkan. Beberapa strategi yang dapat diambil adalah dengan melakukan pemberian pakan pada kultur klon dan kultur massal menggunakan beberapa jenis mikroalga seperti Nannochloropsis oculata, Tetraselmis sp., Heterocapa niei, Stichococcus sp., atau sejenis chlorella lokal. Kemampuan rotifer untuk memproduksi senyawa-senyawa bioaktif memunculkan ide untuk melakukan studi lebih lanjut, khususnya yang berkaitan dengan produksi protein penting seperti protein anti stress, enzim hidrolitik, kitin dari mastax atau protein semacam keratin dari lorica. Eksplorasi gen yang mengkode senyawa potensial dengan teknik molekuler merupakan studi yang menarik, dan kemungkinan membuka peluang baru aplikasi bioteknologi melalui kloning gen potensial pada bakteri atau mikroorganisme lain yang sesuai.

KATA KUNCI: rotifer, bioaktif, bioteknologi, rekayasa genetik

PENDAHULUAN Rotifer (Brachionus spp) telah dimanfaatkan oleh para operator pantai benih (hatchery) sejak 40 tahun yang lalu dengan manipulasi lingkungan hidup plankton melalui usaha budidayanya di darat, dan dianggap sebagai biokapsul hidup (Rumengan, 1997). Hal ini disebabkan oleh beberapa keunggulan biologi organisme ini, terutama kecepatan reproduksinya yang tinggi dan laju renangnya yang relatif lambat serta ukuran tubuhnya yang relatif kecil sehingga mudah ditangkap oleh mangsanya yang biasanya berupa larva fauna laut. Karakter yang terakhir ini ternyata berhubungan dengan kemampuan polimorfismenya, yaitu dapat mengubah bentuk tubuh sampai batas tertentu jika lingkungannya berubah. Dengan berbagai manipulasi lingkungan hidup dan genetikanya, maka ukuran rotifer dapat direkayasa, terutama untuk keperluan pembenihan beberapa spesies ikan komersial penting yang berukuran mulut relatif kecil seperti kerapu dan napoleon.

Rotifer mempunyai potensi molekuler yang unik, antara lain dikaitkan dengan kemampuan adaptasinya dalam lingkungan ekstrim. Sebagai zooplankton yang kosmopolitan, rotifer dapat beradaptasi pada

lingkungan laut yang berfluktuasi seperti estuari, karena memiliki suatu mekanisme pertahanan diri terhadap kondisi ekstrim di laut, yakni antara lain dengan mengubah pola reproduksinya menjadi reproduksi seksual yang menghasilkan telur dorman. Potensi dormansi ini diyakini mekanismenya secara biokimia, pasti berkaitan dengan adanya senyawa bioaktif tertentu yang berperan. Jadi diduga kuat bahwa rotifer memiliki semacam makromolekul tertentu yang produksi dan/atau aktifitasnya dirangsang oleh faktor lingkungan. Diduga molekul ini semacam temperature/salinity-shock protein, yakni suatu golongan protein yang diproduksi sebagai upaya pertahanan diri terhadap kondisi ekstrim suhu atau salinitas, sehingga dikategorikan pula sebagai protein anti stress. Selain itu rotifer mengandung enzim-enzim hidrolitik seperti protease alkali (Hara et al., 1984 a,b), dan senyawa unik lain seperti Glutathion S-transferase (Bowman et al., 1990) yang bermanfaat antara lain melindungi rotifer dari senyawa xenobiotic seperti peptida, pestisida dan polutan lain. Hal ini dilaporkan pada rotifer B. plicatilis dan B. calyciflorus dari negara bermusim empat, belum pernah dilaporkan hal yang sama pada rotifer tropis.

*)

Laboratorium Bioteknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi

17

I. F. M. Rumengan

Dari berbagai spesies rotifer yang pernah diisolasi di laboratorium bioteknologi kelautan, terbukti baru B. rotundiformis yang dapat dikultur massal. Berbagai strain spesies ini telah dikoleksi, namun sampai saat ini belum pernah dikaji apakah rotifer-rotifer tersebut mengandung senyawa-senyawa bioaktif, dan tipe senyawa bioaktif yang bagaimana yang dimiliki oleh rotifer-rotifer tersebut. Informasi menyangkut kajian biokimia plankton masih sangat terbatas dibandingkan dengan kajian aspek biologinya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh karena pemikiran praktis, bahwa untuk mendapatkan sampel rotifer untuk uji biokimia, relatif sulit mengingat ukuran plankton yang mikroskopis. Sebaliknya ukuran rotifer menjadi salah satu karakter unggulan yang menjadikan rotifer sebagai biokapsul bagi larva berbagai fauna laut.

lebih kecil dan lebih bulat dengan duri yang ramping dan tajam, sedangkan tipe L bentuk lorikanya lebih besar dan berbentuk agak lonjong dengan duri yang lebar dan tumpul (Rumengan, 1990). Namun kecurigaan telah lama muncul bahwa secara genetik kedua tipe rotifer ini berbeda, karena keduanya sebenarnya mempunyai banyak perbedaan lain, antara lain dalam hal respon terhadap lingkungan terutama suhu (Fu et al, 1990; Rumengan et al, 1991;). Rumengan et al (1993) kemudian berhasil memperlihatkan bukti bahwa kedua tipe ini memang mempunyai kariotipe yang berbeda dengan jumlah dan tipe-tipe kromosom yang berbeda. Dengan demikian ditambah bukti kuat adanya isolasi reproduksi antara keduanya, maka sejak tahun 1995 kedua tipe tersebut ditetapkan sebagai spesies yang berbeda. Rotifer tipe L tetap dinamakan sebagai B. plicatilis, sedangkan tipe S mendapat nama baru sebagai B. rotundiformis (Hagiwara et al., 1995).

Biologi dan Biokimia Rotifer Rotifer B. rotundiformis adalah salah satu spesies dari sekitar 2000 spesies dari filum Rotifer, dan merupakan anggota famili Brachionidae, ordo Ploima, kelas Monogononta (Nogrady et al.,1993). Keanekaragaman antar spesies belum ditinjau secara genetik, baru secara morfologi. Rotifer merupakan organisme holoplankton karena seluruh masa hidupnya sebagai plankton. Rotifer berasal dari dua gabungan kata dalam bahasa latin yaitu rota atau roda dan fera atau menyerupai (Brusca & Brusca, 1990). Bagian badan dilapisi dengan kutikula yang disebut lorika (Barnes, 1987). Wallace & Snell (1991) merangkum dari beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa integumen atau dinding tubuh rotifer ini mengandung semacam lapisan filamen dengan ketebalan yang bervariasi yang disebut lamina intrasitoplasmik. Hal ini mirip dengan selaput tubuh organisme pseudokulomata yang parasitik yaitu Acanthocephala menunjukkan ada hubungan filogeni antara rotifer dan filum ini. Rotifer mempunyai tubuh yang bilateral, tidak bersegmen dan terbagi atas tiga bagian yaitu bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki atau lebih tepat disebut ekor. Antara bagian kepala dan badan tidak terlihat jelas pemisahannya, bagian kepala terdapat semacam duri-duri. Menurut Fulks & Main (1991) umumnya rotifer dewasa mempunyai ukuran panjang 125-300mm. Ada dua tipe rotifer yang koeksis di negara sub tropis dan karena itu sering digunakan secara bersama-sama dalam pengoperasian panti benih, yaitu tipe S (small, 140-220 mm) dan L (large, 230-320 mm). Sampai tahun 1995, kedua tipe ini digolongkan sebagai Brachionus plicatilis, karena keduanya mempunyai persamaan antara lain ada 6 duri pada bagian korona kepala. Fenomena biologi yang paling unik yang dimiliki rotifer adalah menyangkut kemampuannya mengubah pola reproduksi. Dalam kondisi optimal, rotifer cenderung bereproduksi partenogenesis, dimana individu betina hanya dengan mitosis dapat menghasilkan telur diploid yang kemudian menetas menjadi betina amiktik. Jika kondisi lingkungan berubah, sering ditafsirkan sebagai kondisi ekstrim, betina amiktik diinduksi menjadi betina miktik yang mengalami meiosis, menghasilkan telur haploid. Telur ini jika dibuahi oleh jantan, akan membentuk telur dorman yang diploid, namun jika tidak dibuahi akan menetas menjadi jantan yang haploid. Rotifer betina ukurannya jauh lebih besar dari rotifer jantan, dan berumur panjang (beberapa hari sampai lebih dari sebulan) jauh lebih panjang dari jantan, tergantung kondisi media kultur, terutama suhu (Rumengan, 1990). King & Miracle dalam Korstad et al. (1989) menemukan rentang hidup rotifer berkisar 6 -13,5 hari. Untuk rotifer strain lokal yang sudah diteliti misalnya dari Manembo-nembo Bitung, rentang hidupnya 2 8 hari dengan pakan Tetraselmis sp. dan 2 15 hari dengan pakan Isochrysis sp. Rotifer jantan tidak tumbuh sejak ditetaskan, karena tidak mempunyai alat pencernaan sehingga tidak bisa makan. Tubuhnya lebih kecil dari rotifer betina dan rentang hidupnya singkat (Snell & Garman, 1986; Rumengan, 1990). Adapun fungsi rotifer jantan hanyalah untuk memproduksi sperma saja, ketika sudah membuahi rotifer betina maka rotifer jantan akan segera mati.

Perbedaan morfologi antara keduanya dulu diduga hanya bersifat temporer di mana tipe S lorikanya

Potensi dormansi rotifer B. rotundiformis strain lokal asal Manembo-nembo Sulawesi Utara, telah diteliti oleh Rumengan et al. (1998). Ketika salinitas turun drastis dan suhu air naik, maka rotifer betina amiktik menghasilkan telur yang akan menetas

18

Squalen Vol. 2 No. 1, Juni 2007

menjadi betina miktik. Betina miktik menghasilkan telur yang menetas menjadi jantan dan apabila jantan membuahi betina miktik, maka akan menghasilkan telur dorman. Jenis alga yang digunakan sebagai pakan dapat mempengaruhi morfometri dan potensi dormansi rotifer ini, dimana jenis alga yang lebih berpeluang meningkatkan proporsi betina miktik adalah Tetraselmis sp, walaupun belum dapat dikatakan yang terbaik untuk merangsang pembentukan telur dorman. Bororing (1998) selanjutnya mendapatkan bahwa Tetraselmis juga memberi pengaruh terbaik bagi pertumbuhan rotifer secara umum, namun alga Cyclotella sp dan Dunaliela sp lebih nyata pengaruhnya terhadap peningkatan dormansi rotifer. Telur dorman ini sangat tahan terhadap kondisi perairan yang kurang baik dan tahan terhadap kekeringan (Nogrady et al, 1993).

(1990) yang menemukan adanya suatu senyawa yang unik pada rotifer B. plicatilis dan B. calyciflorus, yaitu enzim gluthathion S-transferase. Senyawa ini bersifat multifungsional dan penting sekali bagi detoksifikasi senyawa-senyawa xenobiotik seperti peptida dan senyawa-senyawa polutan, karena membantu konyugasi substrat lipofilik yang mengandung pusat elektrofilik dengan tripeptida yang merupakan glutathion tereduksi. Glutathion adalah senyawa peptida, C10H17N306S, dari asam glutamat, sistein, dan glisin yang larut dalam air dan berbentuk kristal biasanya terdapat dalam darah dan dalam jaringan hewan dan tumbuhan dan penting dalam oksidasi jaringan dan aktivasi beberapa enzim (Webster, 1995). Kleinow (1993) selanjutnya menemukan pula adanya enzim-enzim hidrolitik terutama glikosidase dan proteinase juga pada B. plicatilis.

Pada umumnya dilaporkan bahwa pertumbuhan rotifer dipengaruhi oleh lingkungan terutama suhu. Dalam kisaran suhu tertentu, makin tinggi suhu makin cepat laju pertumbuhannya. Liao et al. (1983) mengemukakan bahwa B. plicatilis dapat berkembang baik pada suhu 1 oC sampai 35 oC dan pH antara 7,7 8,7. Mudjiman, (1989) mengemukakan rotifer berkembang dengan baik pada salinitas 10 sampai 20 ppt dan mampu hidup pada kisaran salinitas 5 40 ppt dan bersifat eurihalin. Hito dalam Nogrady et al., (1993) melaporkan bahwa rotifer dapat bertahan pada salinitas sampai 97 ppt dan ada yang bertahan hidup pada kondisi aerob dan anaerob.

Kajian menyangkut biokimia rotifer jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kajian biologinya, apalagi yang berorientasi pada pengungkapan potensi molekulernya. Bahwa rotifer dapat mengubah pola reproduksi dari aseksual menjadi seksual, diawali dengan adanya stimulus dari luar (Rumengan, 1990; Rumengan et al., 1998), kemungkinan dikendalikan oleh semacam protein penginduksi seks (sex induced protein), yakni sejenis heat shock protein yang dapat dikategorikan protein anti stress. Hal ini juga dapat terjadi pada banyak organisme tingkat rendah seperti Volvox. Gilbert (1991) menerangkan mekanisme mengubah pola reproduksi pada Volvox ini, dengan mengaitkannya pada sejenis protein penginduksi seks (sex inducing protein).

Hal lain mengenai biokimia rotifer dilaporkan oleh Bender & Kleinow (1988) juga pada spesies yang sama seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa integumen rotifer terdiri dari protein semacam keratin. Mereka meneliti komposisi lorika rotifer agak lebih rinci, yaitu bahwa dengan tes asam hidrolisat didapatkan penyusun utamanya adalah protein sebanyak 3% dari total protein rotifer. Komponen protein penyusun lorika ini ada 2-3 macam disamping komponen kecil lainnya. Komponen utama mempunyai berat molekul 43 53 kDa. Hal yang menarik dari komponen lorika ini adalah ketahanannya yang tinggi terhadap enzimenzim proteolitik, denaturan kuat seperti SDS 2% dan urea 8M atau guanidium khlorida 6M, bahkan dengan pemanasan sampai 1000C dalam larutan denaturan tersebut. Material lorika hanya dapat larut dalam reagen pemutus ikatan disulfida seperti ditiothreitol bersama-sama dengan denaturan tadi. Dalam tubuh rotifer, ada organ yang disebut mastax yang berfungsi sebagai gigi bagi rotifer. Dilaporkan bahwa mastax ini mempunyai semacam lapisan kitin di dalamnya, yang berkembang menjadi semacam rahang yang disebut trofi. Trofi inilah yang menggerus partikel yang ditelan rotifer (Wallace & Snell, 1991).

Adanya semacam protease yang dimiliki rotifer telah dilaporkan oleh Hara et al (1984a,b), yakni ada semacam protease yang bersifat alkali pada rotifer B. plicatilis. Selanjutnya ditemukan pula enzim-enzim hidrolitik berupa -1,3- glukanase yang dapat menghidrolisis -1,3- glukan, glikol khitin dan CMsellulosa. Tindak lanjut dari hasil penemuan mereka memang tidak dijumpai laporannya. Suatu kajian biokimia yang menarik dilakukan oleh Bowman et al.

Di lain pihak, dilaporkan bahwa rotifer kaya akan lipida berasam lemak tak jenuh. Ini yang menjadi daya tarik para operator panti benih menggunakan rotifer sebagai sumber nutrisi larva fauna laut. Olsen et al.(1993) menemukan antara lain tingginya kandungan asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA pada B. plicatilis, dan kehilangan lipida dan asam lemak tak jenuhnya lewat reproduksi dan respirasi pada suhu tinggi. Kandungan akan senyawa-senyawa penting dapat diatur dengan merekayasa lingkungan hidupnya.

19

I. F. M. Rumengan

Rekayasa Polimorfisme Rotifer Rotifer bersifat kosmopolitan dan sebagai konsekuensinya, organisme ini memiliki mekanisme pertahanan diri terhadap kondisi lingkungan yang berfluktuasi. Selain dengan mengubah pola reproduksi, rotifer juga mengalami fenomena polimorfisme yaitu mengalami perubahan bentuk jika kondisi lingkungan berubah. Namun perubahan bentuk dimaksud hanya sebatas elastisitas bagianbagian tubuh seperti bentuk duri pada bagian korona, pelonjongan atau membulatnya lorika, dan keluarnya ekor atau duri pada bagian posterio belakang. Fenomena ini menjadi salah satu karakteristik unggulan yang menjadikan rotifer memungkinkan digunakan sebagai pakan alami larva berbagai fauna laut.

Sampai sejauh ini penelitian mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi polimorfisme ini masih terbatas pada faktor eksternal, kondisi lingkungan alami yang berfluktuasi. Mengingat desakan kebutuhan akan pakan alami yang berukuran cocok dengan bukaan mulut larva terutama ikan-ikan karang ekonomis penting seperti kerapu dan napoleon, maka upaya memanipulasi bentuk rotifer agar mempunyai ukuran yang diinginkan menjadi kajian yang prospektif. Hal ini terutama dikaitkan dengan fungsi rotifer sebagai pentransfer nutrien, vitamin, antibiotik dari lingkungan ke larva yang memangsanya.

Strategi yang patut diterapkan dalam kajian ini pertama-tama penelusuran sampai sejauh mana polimorfisme dari seekor rotifer ke generasi-generasi berikutnya jika dikultur klon. Hal ini dimungkinkan dengan induksi partenogenesis. Kemudian dicobakan berbagai kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas dan jenis alga mikro, apakah memberi pengaruh yang signifikan. Selanjutnya upaya hibridisasi antar klon untuk mengetahui tingkat heritabilitas. Upaya lanjut berupa mutasi dengan cara pengeksposan telurtelur diploid baik telur amiktik atau telur dorman ke induktor mutasi (mutator).

mengekstrimkan lingkungan hidup dengan merendahkan salinitas dan menaikkan suhunya. Penelitian terdahulu terhadap rotifer ini mendapatkan, bahwa pada kondisi ekstrim yakni salinitas rendah (sekitar 4 ppt) dan suhu tinggi (sekitar 35 0 C), sebagian besar rotifer mengubah pola reproduksinya dengan bereproduksi seksual terlihat dengan tingginya proporsi rotifer jantan dan betina miktik. Jadi jika sejumlah besar rotifer dari dua macam kondisi lingkungan, yaitu kondisi optimal dan kondisi ekstrim dapat dikoleksi, maka diduga akan dapat dibandingkan keberadaan senyawa bioaktifnya. Hal mana akan mengindikasikan adanya protein anti stress seperti heat shock protein. Protein sejenis ini dilaporkan dapat berguna untuk terapi medis, karena mempunyai efek protektif terhadap macam-macam stress seperti hipertermia, hipertonik, dan terhadap macam-macam gejala sitotoksik. Itulah target jauh ke depan dari penelitian ini. Selain itu tidak menutup kemungkinan dapat ditemukan pula keberadaan senyawa-senyawa bioaktif lain yang mempunyai efek farmakologis seperti antiviral, antibiotik, antitumor, antikoagulan, hemolitik, analgesik dan sebagainya. Jika memang terbukti ada senyawa bioaktif yang berpotensi untuk dikembangkan ke arah industri farmasi misalnya, maka teknologi produksi massal rotifer ini akan sangat menentukan kesinambungan usaha tersebut. Namun jika ternyata upaya ini bersifat tidak efisien, suatu alternatif lain dapat ditempuh yakni merekayasa bakteri tertentu untuk memproduksi senyawa bioaktif rotifer dengan penerapan teknik pengklonan gen. Alternatif ini tentunya mesti didahului dengan serangkaian penelitian yang dimulai dengan isolasi gen senyawa bioaktif yang dimaksud yang dilanjutkan dengan aplikasi teknologi DNA rekombinan.

KESIMPULAN Walaupun telah banyak diperdagangkan protein alami yang diproduksi fitoplankton satu sel seperti Spirulina dan Chlorella, namun eksplorasi dan eksploitasi plankton produsen senyawa potensial belum banyak mendapat perhatian. Keadaan lingkungan perairan yang berfluktuasi secara musiman maupun menurut letak geografis mengindikasikan bahwa mikroba yang hidup di dalamnya mempunyai nilai genetika yang tinggi. Nilai ini hanya dapat diakui setelah melalui serangkaian riset dan uji coba.

Rotifer Sebagai Produsen Senyawa Bioaktif Rotifer Brachionus rotundiformis yang sudah sejak tahun 1994 didomestikasi di laboratorium bioteknologi kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, sudah teruji kemampuan reproduksinya yang tinggi, sehingga memungkinkan diproduksi dalam jumlah besar dengan penerapan bioteknologi pada media hidupnya. Sebagai langkah awal dalam mengungkapkan keberadaan senyawa-senyawa bioaktif pada rotifer, dapat ditempuh dengan ekstraksi kasar terhadap sejumlah rotifer hasil produksi massal. Strategi produksi massal rotifer ini dapat ditempuh dengan

Rotifer sebagai organisme multiseluler paling rendah (hanya sekitar 1000 sel) masih dieksploitasi sampai sebatas fungsi ekologisnya sebagai produsen sekunder. Dengan pengungkapan sekilas aspek biologi dan biokimia di atas, jelas nilai gunanya

20

Squalen Vol. 2 No. 1, Juni 2007

dapat terangkat lagi tidak hanya sebagai biokapsul bagi strata yang lebih tinggi dalam rantai makanan di laut, namun dapat menjadi donor gen-gen potensial untuk diklon.

DAFTAR PUSTAKA
Barnes, R. 1987. Invertebrate Zoology. W.B. Saunders Company. Philadelphia/ London. Bororing, W.M.R.1998. Pengaruh Jenis Mikroalga Terhadap Laju Pertumbuhan dan Laju Miksis Rotifer (Brachionus rotundiformis) Asal Tambak Minanga Belang. Skripsi. Universitas Sam Ratulangi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bender, K and Kleinow. W.1988. Chemical properties of the lorica and related parts from the integument of Brachionus plicatilis. Comp. Biochem. Physiol. 89B:483-487. Bowman, B.P., Snell, T.W and Cochrane, B.J. 1990. Isolation and purification of glutathione S-transferase from Brachionus plicatilis and B. calyciflorus (Rotifera). Comp.Biochem. Physiol. 95B(3):619-624. Brusca, R.C. and G.J. Brusca, 1990. Invertebrates. Sinayer Associates, inc. Publisher Sunderland, Massachusett. 922 pp. Fu, Y., Hirayama, K and Natsukari, Y. 1990. Strains of the rotifer Brachionus plicatilis having particular patterns of isozymes. In : Hirano and F. Hanyo (eds). The Second Asian Fisheries Society, Manila, Philippines: 37-40. Fulks, W and Main, K.L. 1991. Rotifer and microalgae culture system. Proceeding of US-Asia Workshop. The Oceanic Institute, Hawaii. 347 pp. Gilbert, S.F. 1991. Developmental Biology. 3rd ed. Sinauer Ass., Inc, USA. 891 pp. Hagiwara, A., Kotani, T., Snell, T.W. , Assava Aree, M and Hirayama, K. 1995. Morphology reproduction and genetics of the tropical minute marine Brachionus plicatilis strain. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 194: 25-37. Hara, K., Arano, H and Ishihara, T. 1984a. Purification of alkaline proteases of the rotifer Brachionus plicatilis. Bull.Jap.Soc.Sci.Fish. 50(9):1605-1609. Hara, K., Arano, H and Ishihara, T. 1984b. Some enzymatic properties of alkaline proteases of the rotifer Brachionus plicatilis. Bull.Jap.Soc.Sci.Fish. 50(9):1611-1616.

Kleinow, W. 1993. Biochemical studies on Brachionus plicatilis : hydrolytic enzymes, integument proteins and composition of trophi. Hydrobiologia (255/ 256):1-12. Korstad, J., Olsen, Y and Vadstein, O. 1989. Life history characteristic of brachionus plicatilis (rotiffera) fed different algae. Hydrobiologia (186/187): 43-50. Liao, I.C., Su, H.M and Lin, J.H. 1983. Larvae food for penaid prawns. In CRC and Book of Maricultur Vol I. Crustacea Aguacultur (J.P McKey and J.R Moore,eds). p. 43-96. Mudjiman, A. 1989. Makanan Ikan.Cet. III. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. 190 pp. Nogrady, T., Wallace, R.L and Sneel, T.W. 1993. Rotifera (1) Biology, Ecology and Systematic. SPB. Academic Publishing Netherland. 145 pp. Olsen,Y., Reitan, K.I and Vadstein, O.1993. Dependence of temperature on loss rates of rotifers, lipids and 3 fatty acids in starved Brachionus plicatilis cultures. Hydrobiologia 255/256:13-20. Rumengan, I.F.M. 1990. Studies of Growth Characteristic and Karyotype of S and L type rotifer Brachionus plicatilis. Dissertation. Nagasaki University Graduate School of Marine Science and Engineering. Rumengan, I.F.M, Kayano, H and Hirayama, K. 1991. Kariotypes of S and L Type Rotifer Brachionus plicatilis O.F. Muller. Journal Exp. Marine Biology and Ecology.154:171-176. Rumengan, I.F.M, Kayano, H and Hirayama, K.1993. Chrosomes and Isozymes of hypotriploid strains of rotifer Brachionus plicatilis. Hidrobiologia 225-256 : 213-217 Rumengan, I.F.M. 1997. Rotifer laut (Brachionus spp) sebagai bio-kapsul bagi larva berbagai jenis fauna laut. Warta-Wiptek 19:34-43. Rumengan, I.F.M., Warouw, V and Hagiwara, A.1998. Morphometry and resting egg production potential of the tropical ultra- minute rotifer Brachionus rotundiformis (Manado strain) Fed differrent algae. Bull. Fac. Fish. Nagasaki Univ., Nos 79:31-36. Snell, T.W. and Brian L. Garman. 1986. Encounter probabilities between male and female rotifer. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. : Elsevior, Vol. 97(221 230). Wallace, R.L. and Snell, T.W. 1991. Rotifer. Ecology and Classification of North American Freshwater Invertebrates. Academik Press. Inc. 187-207. Webster. 1995. Websters College Dictionary. Newly revised and updated. Random House, New York, 1568 pp.

21

Anda mungkin juga menyukai