Anda di halaman 1dari 27

!"#"$ &'()*'+,&-'+. !"#"$ &'()*'+,&-'+. !"#"$ &'()*'+,&-'+. !"#"$ &'()*'+,&-'+. !"#"$ &'()*'+,&-'+.

/ // //+.+$ #-'0.&# #)1)'(&'2+' )# +.+$ #-'0.&# #)1)'(&'2+' )# +.+$ #-'0.&# #)1)'(&'2+' )# +.+$ #-'0.&# #)1)'(&'2+' )# +.+$ #-'0.&# #)1)'(&'2+' )#-'-$& -'-$& -'-$& -'-$& -'-$&
')2+*+ 3)*#)$3+'2 /+' ')2+*+ $+4" ')2+*+ 3)*#)$3+'2 /+' ')2+*+ $+4" ')2+*+ 3)*#)$3+'2 /+' ')2+*+ $+4" ')2+*+ 3)*#)$3+'2 /+' ')2+*+ $+4" ')2+*+ 3)*#)$3+'2 /+' ')2+*+ $+4"
Hikmahanto Juwana
PDATO UPACARA PENGUKUHAN SEBAGA
GURU BESAR TETAP DALAM LMU HUKUM NTERNASONAL
PADA FAKULTAS HUKUM UNVERSTAS NDONESA
Depok, 10 November 2001
Yang terhormat,
Rektor Universitas Indonesia
Ketua Senat Akademik Universitas Indonesia
Para Wakil Rektor Universitas Indonesia
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan Universitas Indonesia
Para Guru Besar
Para Pejabat Tinggi Negara
Rekan-rekan Pengajar
Para Mahasiswa
Sanak saudara dan para sahabat sekalian
Assalamu`alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Pertama-tama perkenankanlah saya mengucap puji dan syukur ke
hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat sekaligus amanah
kepada saya untuk mengemban jabatan mulia sebagai guru besar tetap
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam ilmu hukum
internasional. Hanya karena perkenan-Nya jualah saya dapat berdiri di
mimbar ini.
Hadirin sekalian
Berbicara tentang masyarakat internasional apabila dikaitkan
dengan kepentingan ekonomi maka masyarakat internasional terbagi
dalam kategori negara-negara berkembang (selanjutnya disebut 'Negara
Berkembang) dan negara-negara maju (selanjutnya disebut 'Negara
Maju).
1
Negara Berkembang yang tergabung dalam Kelompok-77
(Group-77) dapat dicirikan sebagai negara yang memperoleh
kemerdekaan setelah tahun 1945, sedang dalam proses membangun,
dan kebanyakan berada di Benua Asia, AIrika dan sebagian Benua
Amerika (Amerika Latin). Sementara Negara Maju yang tergabung
dalam Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD) dapat dicirikan sebagai negara yang telah berdiri sebelum
tahun 1945, memiliki industri yang kuat dan kebanyakan berada di
Benua Eropa atau memiliki tradisi Eropa seperti Amerika Serikat,
Kanada dan Australia. Negara Maju, kecuali Jepang, juga diistilahkan
sebagai negara Barat (Western states).
Hukum Internasional yang Lebih Mengakomodasi Kepentingan
Ekonomi Negara Maju
Negara Berkembang kerap mengargumentasikan bahwa hukum
internasional merupakan produk dari negara Barat yang saat ini menjadi
Negara Maju. Argumentasi ini didasarkan pada Iakta bahwa hukum
internasional pada awalnya merupakan hukum yang berlaku antar
negara di Benua Eropa.
2
Oleh karenanya tidak heran apabila hukum
1
Istilah yang juga sering digunakan, antara lain, adalah Utara (North) dan Selatan (South),
Negara Ketiga (Third World) dan Negara Pertama (First World). Lihat: Clarence Clyde
Ferguson, Jr., 'Redressing Global Injustices: The Role oI Law, Dalam: Frederick E.
Snyder dan Surakiart Sathiratai (eds.), Third World Attitudes Toward International Law
An Intoduction, (The Netherlands: Martinus NijhoII Publishers, 1987), 365. Stephen Gill
dan David Law mengatakan, 'The terms North` and South` are crude and contestable
labels. By the North is usually meant the industrialised countries oI the West, Japan and
the Soviet bloc. By the South is usually meant the countries oI Asia (except Japan) AIrica
and Latin America. Australia and New Zealand may be southern in location but are
counted as part oI the aIIluent West. Lihat: Stephen Gill dan David Law, The Global
Political Economy: Perspectives, Problems, and Policies, (Baltimore: The John Hopkins
University Press, 1988), 280.
2
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi dan ditandatanganinya perjanjian perdamaian
Westphalia, raja-raja di Benua Eropa mengklaim kedaulatan negara mereka. Sebagai
konsekuensi hubungan antarnegara tidak dapat lagi dilakukan berdasarkan hukum administrasi
1 2
internasional sangat terpusat pada apa yang terjadi di Eropa (Euro-
centric).
3
Merekalah yang menentukan bentuk dan jalannya hukum
internasional.
Munculnya Negara Berkembang setelah Perang Dunia II telah
membawa perubahan. Keinginan Negara Berkembang untuk terbebas
secara politik dan ketergantungan ekonomi dari mantan negara jajahan
mereka telah membawa pengaruh pada hukum internasional pada
umumnya. Dalam menyikapi eksistensi hukum internasional, mereka
menganggap bahwa hukum internasional yang ada tidak mencerminkan
nilai-nilai yang mereka anut. Negara Berkembang mengargumentasikan
bahwa pembentukan hukum internasional sebelum Perang Dunia II
sama sekali tidak melibatkan mereka.
4
Bahkan berbagai lembaga
internasional yang dibentuk setelah berakhirnya Perang Dunia II lebih
banyak diperuntukkan bagi kepentingan Negara Maju.
5
Negara
Berkembang berpendapat bahwa hukum internasional lebih banyak
mengakomodasi kepentingan Negara Maju daripada kepentingan
mereka.
Kepentingan ekonomi Negara Maju lebih dominan dan mewarnai
wajah hukum internasional. Perjanjian-perjanjian internasional yang
terkait dengan masalah ekonomi lebih banyak mengakomodasi prinsip-
prinsip yang dianut oleh Negara Maju. Bahkan para pelaku usaha
Negara Maju banyak mendapat perlindungan dari perjanjian internasional
yang dinegosiasikan antara Negara Maju dan Negara Berkembang.
Perbedaan Sikap Negara Maju dan Negara Berkembang
terhadap Hukum Internasional
Seorang ahli hukum internasional, Antonio Cassase, dalam bukunya
yang berjudul International Law in a Divided World` menulis bahwa
negara Barat memiliki sikap (attitude) yang berbeda dengan Negara
Berkembang dalam memandang hukum internasional. Berdasarkan
tradisi hukum yang mereka miliki, negara Barat memiliki sikap sangat
menghormati hukum internasional dan menjadikannya aturan yang harus
dipatuhi dalam interaksi antarnegara.
6
Hanya saja Cassase mengingat-
negara melainkan hukum antarnegara yang saat ini dikenal sebagai hukum internasional.
Oleh karenanya Verzijl mengatakan, '(I)nternational Law as it stands is essentially the
product oI the European mind and has been received lock, stock and barrel by American
and Asiatic States. Lihat: JH Verzijl, International Law in Historical Perspective, (Ley-
den: SijthoII, 1968), 442. Untuk pengetahuan mendalam tentang awal mula hukum
internasional baca: Arthur Nussbaum, A Concise History oI the Law oI Nations, edisi
revisi, (New York: The MacMillan Co., 1958).
3
Sebagai contoh dalam textbook standar hukum internasional ketika membicarakan tentang
topik wilayah negara selalu disebutkan cara-cara mendapatkan wilayah berupa pendudukan
(occupation), penaklukan (conquest), aneksasi (annexation), akresi (accretion), daluwarsa
(prescription) dan sesi (cession). Cara perolehan wilayah ini hanya berlaku pada masa
kerajaan di Eropa dan tidak begitu relevan dalam membicarakan perolehan wilayah oleh
Negara Berkembang. Lihat: JG Starke, Introduction to International Law, 11
th
ed.
(dipersiapkan oleh IA Shearer), (London: Butterworth & Co. Ltd., 1994), 144-154;
Rebecca MM Wallace, International Law, 2
nd
ed. (London: Sweet & Maxwell, 1992), 89-
97; Werner Levi, Contemporary International Law, 2
nd
ed. (Boulder: Westview Press1991),
129-132;MN Shaw, International Law, 3
rd
ed. (Cambridge: Grotius Publications Ltd., 1991),
284-294.
4
Henkin et. al mengatakan '., criticisms were leveled at the traditional law oI state
responsibility by representatives oI a variety oI developing states that objected to being
bound by rules Iormulated without their participation, in many cases, beIore they emerged
as independent states. Lihat: Louis Henkin et. al., International Law: Cases and Mate-
rials, 3
rd
. ed. (Minnesota: West Publishing Co., 1993) 683.
5
Abdulqawi mengatakan, 'The network oI international organizations created at the end
oI the Second World War were mainly concerned, during the early years oI their exist-
ence, with the economic interests oI the developed countries, and their Iunctions were
geared towards the solution oI their problem. The developed countries who mostly con-
tributed to the draIting oI the charters oI these organizations took little account oI the
problems oI the developing countries. This was particularly true oI the GATT, IMF and
IBRD. Lihat: Abdulqawi YusuI, Legal Aspects oI Trade PreIerences Ior Developing
States: A Study in the InIluence oI Development Needs on the Evolution oI International
Law, (The Hague: Martinus NijhoII Publishers, 1982), 10.
6
Cassese berpendapat, 'There are several reasons why in the West law was regarded as a
highly esteemed value to be cherished and respected per se. Law was among the driving
Iorces behind the moulding oI modern States in Europe in the Iourteenth and IiIteenth
centuries. . Furthermore, the two primary uniIying Iactors leading to the creation oI the
State in England and France between the late 1200s and the Iourteenth century, were the
3 4
kan agar kita tidak berlebihan (overemphasi:e) dalam melihat sikap
negara Barat terhadap hukum internasional karena dalam kata-kata
Cassese,
'. law was moulded by Western countries in such a way as to suit
their interests; it was thereIore only natural Ior them to preach law-
abidance and to attempt to live up to legal imperatives which had
been Iorges precisely to reIlect and protect their interests.
7
Di sisi lain, Cassese mengungkapkan bahwa bagi Negara Ber-
kembang,
'. international law is relevant to the extent that it protects them
Irom undue interIerence by powerIul States and is instrumental in
bringing about social change, with more equitable conditions
stimulating economic development (kursiI dari penulis).
8
Pengamatan Cassese ini sungguh sangat tepat dalam mencermati
keberadaan hukum internasional dalam konIlik kepentingan ekonomi
antara Negara Berkembang dan Negara Maju.
Untuk melindungi kepentingan ekonominya, Negara Maju meng-
hendaki agar hukum internasional tidak dikutak-katik. Mereka cenderung
mempertahankan apa yang sudah ada dalam hukum internasional (sta-
tus quo). Sementara Negara Berkembang mempunyai sikap reIormis,
menghendaki adanya perubahan-perubahan mendasar dalam hukum
internasional sehingga betul-betul mencerminkan nilai-nilai yang dianut
oleh mayoritas penduduk dunia.
!"#$#%&' )*+&' ,$-.#*/: Teori untuk Memahami Sikap Negara
Berkembang untuk Mengubah Wajah Hukum Internasional
Teori dikemukakan oleh para ahli untuk mempermudah kita
memahami gejala yang ada dalam masyarakat. Demikian juga untuk
memahami masyarakat internasional dan hukum internasional para
pemikir telah mengungkapkan berbagai teori. Teori yang saat ini dikenal,
antara lain, adalah hukum alam, teori positivis, functionalism, realisme,
teori yang berorientasi pada kebijakan (policv oriented approach),
dan lain-lain.
9
Salah satu Ienomena masyarakat internasional yang banyak
dibicarakan para ahli adalah keinginan Negara Berkembang untuk
mengubah wajah hukum internasional. Dalam membicarakan Ienomena
ini, masalah yang terkait tidak semata-mata hukum tetapi juga politik.
Sayangnya berbagai teori yang telah diungkap oleh para ahli banyak
yang tidak memadai apabila politik bercampur dengan hukum. Teori-
teori yang ada tersebut dianggap sangat statis dan a-politik.
Dari berbagai teori yang ada, menurut saya ada satu teori yang
dapat digunakan. Teori yang saya maksud adalah Critical Legal Stud-
ies (selanjutnya disingkat 'CLS). CLS merupakan aliran modern dalam
teori hukum. Teori ini diperkenalkan pada tahun 1970-an di Amerika
administration oI justice by central courts and the levying oI taxes by national authori-
ties. . Another signiIicant consideration is that law played an important role in the birth
oI capitalism. The economic system evolving in the Iourteenth and IiIteenth centuries
was based on Iree enterprise and Iree competition. One oI the social mechanisms neces-
sary Ior the new system was a body oI predictable and ascertainable standards oI behaviour
allowing each economic Iactor to maintain a set oI relatively saIe expectations as to the
conduct oI other social actors. Thus law became one oI the devices permitting economic
activities and consolidating and protecting the Iruits oI such action. . A Iurther consid-
eration is that a large section oI law in Western States was the Iruit oI political struggles
between contending groups. Lihat: Antonio Cassese, International Law in a Divided
World, (OxIord: OxIord University Press, 1986), 106-107.
7
Ibid., hlm. 108.
8
Ibid., hlm. 119.
9
Oleh Chen dikatakan bahwa, '(I)nternational law has its origin in the natural law school
and has been inIluenced in varying degrees by all major school oI jurisprudence. Lihat:
Lung-Chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law: A Policy Oriented
Perspective, 2
nd
.ed (New Haven: Yale University Press, 2000), 11. Lebih lanjut Chen
yang mengklaim dirinya sebagai pengikut dari aliran policv oriented approach mengatakan
tentang aliran ini sebagai, '(I)t seeks not only to demolish the traditional approaches to
rigid rule orientation, unrealistic as they oIten are, but also to provide a constructive
jurisprudence oI problem solving. Lihat: ibid., 13.
5 6
Serikat.
10
Esensi pemikiran CLS terletak pada kenyataan bahwa hukum
adalah politik.
11
Doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya
lebih berpihak pada mereka yang mempunyai kekuatan (power).
12
Teori yang dikemukakan oleh para pemikir CLS sungguh sangat
tepat untuk menjelaskan upaya Negara Berkembang dalam mengubah
wajah hukum internasional. Hukum internasional adalah produk politik
dan sebagian merupakan hasil tarik ulur Negara Berkembang dengan
Negara Maju. Kekuatan sering digunakan oleh Negara Maju. Bahkan
Negara Maju kerap menggunakan kekuatan yang dimilikinya tanpa
sadar sebagaimana dikatakan oleh White,
Domination oI the system, ., by the rich and powerIul States is not
necessary carried out in a conscious Iashion by the representatives
oI those Statesthey simply assume that the imposition oI West-
ern values and the extension oI the market philosophy to the inter-
national plane is a natural and perIectly legitimate exercise. Indeed,
since the Western way claims to be the only true path to Iollow, all
others deemed to be wrong hence illegitimate.
13
Oleh karenanya White mengatakan, '(I)t is the aim oI the critical
lawyers to delegitimate this claim to the truth, to reveal it as an exer-
cise oI power and domination, and to reveal a Iairer and more equi-
table system.
14
Sehingga doktrin-doktrin hukum yang telah terbentuk
dapat direkonstruksi untuk mencerminkan pluralisme nilai yang ada.
Untuk melakukan proses de-legitimasi terhadap doktrin hukum yang
telah terbentuk, aliran CLS menggunakan metode trashing,
deconstruction dan genealogv. Trashing adalah teknik untuk mema-
tahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk.
15
Teknik
trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang
bersiIat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
16
Deconstruction
adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk.
17
Dengan
melakukan pembongkaran maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikirin
hukum. Sementara genealogv adalah penggunaan sejarah dalam
menyampaikan argumentasi.
18
Genealogv digunakan karena inter-
pretasi sejarah kerap didominasi oleh mereka yang memiliki kekuatan.
Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat
suatu konstruksi hukum.
10
Howard Davies dan David HoldcroIt, Jurisprudence: Texts and Commentary, (London:
Butterworth & Co., 1991), 471.
11
Sebagaimana diungkapkan oleh Hari Chand dalam menggambarkan CLS dengan
mengatakan bahwa bagi aliran CLS, 'Law is simply politics, dress in diIIerent garb.
Lihat: Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: International Law Book Se-
ries, 1994), 240.
12
Sebagai akibat dari cara berpikir yang demikian, para sarjana yang masuk dalam aliran
CLS banyak ditentang dan dianggap sebagai kekiri-kirian, bahkan para pengkritik aliran
ini menganggap pemikiran CLS sebagai a form of class treacherv.` Lihat: John Arthur
dan William H. Shaw (eds.), Reading in the Philosophy oI Law, 2
nd
ed., (New Jersey:
Prentice-Hall, Inc, 1984), 184.
13
N.D. White, The Law oI International Organisations, (Manchester: Manchester Uni-
versity Press, 1996), 20.
14
Ibid.
15
Dalam kata-kata Arthur dan Shaw, '. a big miscellaneous grab bag oI techniques
designed to dent the complacent message embedded in legal discourse, that the system has
Iigured out the arrangements that are going to make social liIe about as Iree, just, and
eIIicient as it ever can be. Lihat: John Arthur dan William H. Shaw (eds.), Reading in
the Philosophy oI Law, 179.
16
Ibid.
17
Dalam kaitan ini Arthur dan Shaw mengatakan 'The Crits do not believe, however,
that their trashing reveals a random chaos or that what lies behind the seeming order oI
legal decisions is just pure power (or personal whim). There is patterned chaos, and the
aim oI Critical scholarship is in part to uncover the patterns. Some oI their best work is
a Iamiliar kind oI leIt-wing scholarship, unmasking the oIten unconscious ideological bias
behind legal structures and procedures, which regularly makes it easy Ior business groups
to organize collectively to pursue their economic and political interests but which makes
it much more diIIicult Ior labor, poor people, or civil rights group to pursue theirs.
Lihat: Ibid., 180.
18
Arthur dan Shaw mengatakan, 'Still another way to heighten awareness oI the transi-
tory, problematic, and manipulable ways legal discourses divide the world is to write their
history. The Crits have turned out a lot oI history oI legal categories. Lihat: Ibid., hlm.
180-181.
7 8
Dengan menggunakan teori CLS, berikut akan dipaparkan keber-
hasilan, pengupayaan dan kegagalan dari Negara Berkembang dalam
mengubah wajah hukum internasional, utamanya agar kepentingan
ekonomi mereka terakomodasi.
Keberhasilan Negara Berkembang dalam Mengubah Wajah
Hukum Internasional: Prinsip !01102 3*"#$&+* 04 5'' 6&27#2.
Dalam hukum internasional ada suatu wilayah yang merupakan
wilayah yang berada di luar yurisdiksi negara, yang dalam bahasa
Inggris disebut sebagai commonage (selanjutnya disebut 'Wilayah
Bersama). Wilayah Bersama pada dimensi laut terletak pada sea-
bed dan ocean floor yang dikenal dengan istilah Area,
19
sementara
pada dimensi ruang angkasa, ruang angkasa secara keseluruhan
dinyatakan sebagai Wilayah Bersama. Di Wilayah Bersama negara
dilarang mengklaim kedaulatan walaupun tidak menutup kemungkinan
bagi mereka untuk mengambil keuntungan.
Dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi Wilayah Bersama
secara tradisional prinsip yang berlaku adalah prinsip res communis.
Prinsip res communis harus dibedakan dengan res nullius. Perbedaan
mendasar terletak pada tidak diakuinya pemilikan pada Wilayah Bersama
dalam res communis. Res communis hanya memperkenankan proses
eksploitasi bagi siapa saja tanpa didahului dengan klaim kedaulatan.
20
Hanya saja prinsip res communis mengasumsikan bahwa semua pihak
mempunyai kemampuan yang sama, baik dibidang teknologi, modal
dan keahlian. Dalam prakteknya prinsip res communis akan memberi
keuntungan bagi mereka yang memiliki kemampuan bila dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan. Pada akhirnya first
come first serve akan berlaku pada Wilayah Bersama.
Bagi Negara Berkembang, menggunakan prinsip res communis
sama saja dengan tidak dapat menikmati keuntungan (benefit) apa pun
dari Wilayah Bersama. Negara Berkembang yang tidak mempunyai
kemampuan dari segi teknologi, modal dan keahlian tidak akan mungkin
mengeksploitasi Wilayah Bersama. Padahal Negara Berkembang
menghendaki agar keuntungan yang didapat dari Wilayah Bersama
dapat dirasakan juga oleh mereka. Untuk itu Negara Berkembang
memperkenalkan prinsip common heritage of all mankind atau warisan
umat manusia bersama sebagai pengganti dari prinsip res communis.
21
Dalam prinsip common heritage of all mankind yang berlaku adalah
siapa yang dapat mengeksploitasi Wilayah Bersama maka ia wajib
untuk membagi keuntungan yang didapat kepada yang lain.
22
19
Area dideIinisikan dalam Pasal 1 angka (1) paragraI (1) Konvensi Hukum Laut 1982
sebagai '. the sea-bed and ocean Iloor and subsoil thereoI, beyond the limits oI national
jurisdiction.
20
Henkin menerangkan kedua konsep ini sebagai berikut, 'For some, the seas were res
nullius, nobody`s. In principle, thereIore, the seas were subject to occupation and acqui-
sition, like land that was nobody`s. . The resources oI the sea, too, were res nullius and
thereIore available Ior the taking so that all states were Iree to Iish at will. For others,
the seas were not res nullius but res communis, not nobody`s but everybody`s. Bering
everybody`s, they were not open to appropriation by any state, but being everybody`s,
they were open to common use. Lihat: Louis Henkin, International Law: Politics and
Values, (Dordrecht: Martinus NijhoII Publishers, 1995), 79.
21
Prinsip ini disampaikan untuk pertama kali oleh Duta Besar dari Malta, Dr. Avid Pardo,
pada tahun 1967 pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengusulkan
untuk dibuat 'Declaration and Treaty concerning the reservation exclusively Ior peaceIul
purposes oI the sea-bed and ocean Iloor underlying the seas beyond the limits oI national
jurisdiction, and the use oI their resources in the interests oI mankind. Usulan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum 2574 pada tahun
1969 yang didukung oleh mayoritas Negara Berkembang dimana untuk wilayah sea-bed
dan dasar laut diadakan moratorium untuk tidak dieksplorasi dan eksploitasi. Pada tahun
1970 dikeluarkan Resolusi Majelis Umum 2749 yang berjudul 'Declaration oI Principles
Governing the Sea Bed and Ocean Floor, and the Subsoil ThereoI, beyond the Limits oI
National Jurisdiction. dan diadopsi dengan komposisi 108 mendukung, tidak ada yang
menentang dan 14 abstain. Dalam resolusi tersebut diungkapkan bahwa, '(1) The sea bed
and ocean Iloor, and the subsoil thereoI, beyond the limits oI national jurisdiction ., as
well as the reources oI the Area, are the common heritage oI all mankind. .
22
Williams mencirikan CHM sebagai berikut, '(a) that the areas constituting CHM are
not subject to appropriation; (b) that such areas call Ior a managemnt system where all
States participate, (c) that the concept in question implies an active sharing oI the
9 10
Dengan menyatakan keuntungan yang didapat dari Wilayah
Bersama sebagai warisan umat manusia bersama maka Negara
Berkembang akan ikut merasakan apa pun keuntungan yang didapat.
Di sini terlihat bahwa Negara Berkembang lebih menginginkan
pemanIaatan Wilayah Bersama untuk kepentingan sosial (social inter-
est) daripada kepentingan komersial (commercial interest). Keinginan
Negara Berkembang untuk mengubah prinsip res communis menjadi
common heritage of all mankind telah diakomodasi dalam perjanjian
internasional, seperti Agreement Governing the Activities of States
on the Moon and Other Celestial Bodies (selanjutnya disebut
'Perjanjian tentang Bulan)
23
dan United Nations Convention on
the Law of the Sea (selanjutnya disebut 'Konvensi Hukum Laut
1982).
24
Sayangnya keberhasilan Negara Berkembang dalam mengubah
wajah hukum internasional di atas masih dalam tataran konsep, tidak
pada tataran implementasinya.
25
Secara tidak sadar apa yang dilakukan oleh Negara Berkembang
dalam mengubah prinsip res communis menjadi common heritage of
all mankind telah menggunakan tiga metode yang diperkenalkan oleh
para pemikir CLS. Pertama, Negara Berkembang telah melakukan
trashing dengan mengatakan bahwa prinsip res communis bukanlah
prinsip yang universal yang diikuti oleh masyarakat internasional mo-
dern. Prinsip res communis hanya berpihak pada Negara Maju yang
notabene adalah negara yang memiliki modal, keahlian dan teknologi.
26
Selanjutnya Negara Berkembang melakukan deconstruction
terhadap prinsip res communis dengan mengatakan bahwa prinsip
tersebut hanya menguntungkan Negara Maju saja. Dalam argumentasi
Negara Berkembang manIaat dari Wilayah Bersama seharusnya tidak
dinikmati terbatas pada mereka yang mempunyai kemampuan untuk
mengeksploitasi saja, melainkan oleh seluruh umat manusia. Oleh
karenanya prinsip res communis sudah selayaknya ditinggalkan.
Teknik genealogv juga diterapkan dengan mengungkapkan bahwa
Negara Maju dalam sejarah telah banyak mengeksploitasi sumber daya
alam yang terdapat dalam Wilayah Bersama tanpa memperhatikan
kepentingan dari negara lain di dunia. Oleh karenanya sudah saatnya
prinsip tradisional tersebut diganti sehingga tidak diskriminatiI terhadap
negara yang tidak memiliki teknologi, modal dan keahlian.
Pengupayaan Negara Berkembang dalam Mengubah Wajah
Hukum Internasional: Pengaturan di Bidang Perdagangan
Internasional
Dalam tiga dekade terakhir ini konIlik kepentingan ekonomi antara
Negara Berkembang dan Negara Maju telah terpusat pada masalah
perdagangan antarnegara. KonIlik ini dipicu oleh pandangan yang
berbeda antara Negara Berkembang dan Negara Maju.
Di satu sisi Negara Berkembang cenderung mengambil kebijakan
yang menghambat masuknya barang dan jasa dari pelaku usaha asing,
utamanya dari Negara Maju. Sebagai negara berdaulat Negara
beneIits derived Irom the exploration and exploitation oI those areas; (d) that these areas
be used exclusively Ior peaceIul purposes. Lihat: Sylvia Maureen Williams, 'The Law oI
Outer Space and Natural Resources, 36 International and Comparative Law Quarterly,
(1987): hlm. 144.
23
Dalam Pasal 11 ayat (1) Moon Agreement disebutkan bahwa, 'The moon and its
natural resources are the common heritage oI all mankind, .
24
Dalam Pasal 136 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa, 'The Area and its
resources are the common heritage oI mankind.
25
Henkin mengatakan, 'Exploitation oI the seabed is an unlikely prospect Ior decades
ahead, and the economic political institutions that had been negotiated are not likely to
materialize as planned. Lihat: Louis Henkin, International Law: Politics and Values, 155.
26
Dalam bukunya Churchill dan Lowe mengatakan bahwa, '(A)s soon as it was realised
that sea-bed mining was a commercial possibility, ., it was recognised that as interna-
tional law then stood the main beneIit oI mining, would accrue to handIul oI developed
States. Lihat: R.R. Churcuill and AV Lowe, The Law oI the Sea, 3
rd
ed. (Manchester:
Manchester University Press, 1999), 224.
11 12
Berkembang, tentunya, sah-sah saja apabila menerapkan berbagai
hambatan` tersebut. Alasan yang sering dikemukakan adalah untuk
melindungi lapangan kerja, sebagai sarana untuk memproteksi industri
bayi, dalam rangka memperkuat pelaku usaha nasional, hingga
mendapatkan devisa.
Disisi lain, Negara Maju menghendaki agar tidak ada hambatan
yang diberlakukan oleh Negara, termasuk yang diberlakukan oleh
Negara Berkembang. Tidak adanya hambatan diidentikkan dengan
perdagangan bebas (free trade) yang berarti tidak adanya diskriminasi
dari mana barang atau jasa berasal.
27
Pasar menjadi penting karena
produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha dari Negara Maju harus
dibeli. Pasar yang potensial bagi barang dan jasa dari pelaku usaha
Negara Maju ada di Negara Berkembang. Ada beberapa alasan
mengapa demikian. Pertama konsumen di Negara Berkembang
biasanya belum terbentuk.
28
Konsumen di Negara Berkembang sangat
senang dengan barang-barang yang berasal dari Negara Maju. Kedua
dari segi jumlah penduduk, Negara Berkembang sangat potensial. Jumlah
penduduk Negara Berkembang sangat Iantastis bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk di Negara Maju. Hanya saja kelemahan konsumen di
Negara Berkembang adalah rendahnya daya beli mereka.
Dari dua perspektiI di atas, terjadi tarik ulur kepentingan. Bagi
Negara Berkembang mereka dengan mudah menentukan hambatan
dengan cara memberlakukan perundangan nasional. Sementara bagi
Negara Maju, pertanyaan muncul bagaimana cara mereka dapat
menghapuskan berbagai hambatan yang dibuat oleh Negara
Berkembang? Sudah pasti Negara Maju tidak mungkin memerintahkan
Negara Berkembang untuk mencabut berbagai hambatan tersebut
layaknya hubungan antara negara penjajah dan negara jajahan. AlternatiI
yang paling mungkin adalah dengan membuat kesepakatan-kesepakatan
yang untuk kemudian dituangkan dalam perjanjian internasional. Apabila
Negara Berkembang turut serta dalam perjanjian internasional dimaksud
maka mereka akan terikat untuk melaksanakannya yang pada gilirannya
mereka akan menghapuskan berbagai hambatan atas barang dan jasa
dari luar negeri. Negara Maju tidak jarang memberi pemanis berupa
hibah, pinjaman dan lain sebagainya bagi Negara Berkembang agar
mereka mau ikut dalam suatu perjanjian internasional.
29
Perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang
telah diupayakan oleh Negara Maju di antaranya adalah General Agree-
ment on Tariffs and Trade ('GATT), Agreement Establishing the
World Trade Organisation (WTO), Agreement on Agriculture, Agree-
ment on Trade-Related Investment Measures (TRIMs), dan Agree-
ment on Trade-Related Aspects of Intellectual Propertv Rights
(TRIPs), dan lain-lain.
27
Esensi dari perdagangan bebas adalah perdagangan antarnegara diharapkan bisa sama
seperti perdagangan antarpropinsi dimana tidak dipermasalahkan dari mana suatu barang
atau jasa berasal.
28
Maksud terbentuk disini adalah taste atau preIerensi dari konsumen atau masyarakat.
Pada konsumen atau masyarakat Negara Maju mereka biasanya sudah memiliki taste
maupun preIerensi tersendiri sehingga sulit untuk memenetrasi barang atau jasa yang
diproduksi oleh Negara Maju lainnya.
29
Dalam tulisan Tony Clarke disebutkan bahwa, 'In the 1980s, the World Bank and the
IMF used debt renegotiations as a club to Iorce the developing nations into implementing
structural adjustment programs (SAPs) in their economies. Each SAP package called Ior
sweeping economic and social changes designed to channel the country`s resources and
productivity into debt repayments and to enhance transnational competition. . In eIIect
the SAPs have become instruments Ior the recolonization oI many developing countries
in the South in the interests oI TNCs and banks. Lihat: Tony Clarke, 'Mechanisms oI
Corporate Rule, Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case Against the
Global Economy and Ior a Turn Toward the Local, (New York: Sierra Club Books, 1996),
301. Goldsmith juga mengatakan bahwa, 'Lending large sums oI money to the compliant
elite oI a nonindustrial country is the most eIIective method oI controlling it and thereby
obtaining access to its market and natural resources. . Once in debt, they inevitably
become hooked on Iurther and Iurther borrowing rather than cutting down on expenditure
and thus Iall under the power oI the lending countries. Lihat: Edward Goldsmith, 'De-
velopment as Colonialism, Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case
Against the Global Economy and Ior a Turn Toward the Local, (New York: Sierra Club
Books, 1996), 261.
13 14
Upaya Negara Maju untuk meneguhkan prinsip perdagangan
internasional yang mereka yakini mendapat reaksi dari Negara
Berkembang. Sudah sejak lama Negara Berkembang memperjuangkan
diubahnya prinsip tradisional perdagangan internasional. Bagi Negara
Berkembang yang umumnya sedang bergulat dengan masalah
pertumbuhan ekonomi, mereka tidak setuju apabila ekonomi pasar
diberlakukan begitu saja dalam perdagangan internasionl.
30
Untuk itu
pada sidang United Nations Conference on Trade and Develop-
ment ('UNCTAD) pertama tahun 1964, dikemukakan tentang perlunya
prinsip perlakuan preIerensi (preferential treatment) dan non-
resiprositas untuk diberlakukan.
31
Sebenarnya apa yang dikehendaki
oleh Negara Berkembang telah dibicarakan dalam perundingan GATT
pada tahun 1954-55. Ketika itu dibicarakan dan disetujui amandemen
terhadap Pasal XVIII yang dianggap sebagai permulaan dari differ-
ential treatment` bagi Negara Berkembang.
32
Perlakuan yang berbeda
untuk Negara Berkembang ditindaklanjuti pada tahun 1965 dengan
memasukkan pasal-pasal yang dikelompokkan dalam Bagian IV
GATT.
33
Upaya Negara Berkembang untuk mengubah wajah hukum
internasional di bidang perdagangan internasional, disadari atau tidak,
telah menggunakan metode CLS. Pertama Negara Berkembang
melakukan trashing dengan mengatakan bahwa prinsip perdagangan
internasional yang dianut, seperti Most Favoured Nations ('MFN)
yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) GATT,
34
mengasumsikan bahwa
setiap negara mempunyai kesetaraan.
35
Fakta menunjukkan bahwa di
antara negara-negara tidak ada kesetaraan.
36
Sehingga apabila prinsip
MFN tetap diberlakukan hal ini akan bertentangan dengan tujuan GATT
30
Hans van Houtte, The Law oI International Trade, (London:Sweet & Maxwell, 1995),
51.
31
Dalam prinsip ini disebutkan bahwa '. Developed countries should grant concessions
to all developing countries and extend to developing countries all concessions they grant
to one another and should not, in granting these or other concessions, require any
concessions Irom developing countries. Bahkan disebutkan bahwa, 'New preIerential
concessions, both tariII and non-tariII, should be made to developing countries as a whole
and such preIerences should not be extended to developed countries.
32
Dalam Pasal XVIII ayat (2) disebutkan bahwa, 'The contracting parties recognize
Iurther that it may be necessary Ior those contracting parties, in order to implement
programmes and policies oI economic development designed to raise the general standard
oI living oI their people, to take protective or other measures affecting imports, . (garis
miring dari penulis).
33
Bagian IV memuat ketentuan prinsip non-resiprositas dalam negosiasi perdagangan
antara Negara Maju dan Negara Berkembang. Bagian IV kemudian dirinci lebih lanjut pada
tahun 1979 yang kemudian dikenal dengan nama 'Enabling Clause. Ada empat katagori
perlakuan yang berbeda, yaitu '(a) PreIerential tariII treatment accorded by developed
contracting parties to products originating in developing countries in accordance with the
Generalized System oI PreIerences; (b) DiIIerential and more Iavourable treatment with
respect to the provisions oI the GATT concerning non-tariII measures governed by the
provisions oI instruments multilaterally negotiated under GATT (now WTO) auspices; (c)
Regional and global arrangements entered into amongst less-developed contracting parties
Ior the mutual reduction or elimination oI tariIIs and, in accordance with criteria or
conditions which may be prescribed by the GATT contracting parties (now the WTO
Ministerial ConIerence), Ior the mutual reduction or elimination oI non-tariII measures,
on products imported Irom one another; (d) Special treatment oI the least-developed
among the developing countries in the context oI any general or speciIic measures in
Iavour oI developing countries. Lihat: 'Special and DiIIerential Treatment http://
www.wto.org/english/thewtoe/whatise/eol/e/wto01/wto01/wto117.htm diakses pada
tanggal 25 Oktober 2001.
34
Esensi dari prinsip MFN adalah sebuah negara tidak boleh membuat kebijakan yang
diskriminatiI terhadap pelaku usaha yang berasal dari negara yang berbeda.
35
Ketentuan tentang MFN dan Prinsip Resiprositas yang dikenal dalam GATT, sebagaimana
dikatakan oleh Abdulqawi YusuI, '. have come under attack Irom the developing coun-
tries because, in their view, although such rules might serve the expansion and liberaliza-
tion oI trade among the developed countries, they were Irustating the eIIorts oI the
developing countries to use international trade as a means oI economic development.
Lihat: Abdulqawi YusuI, Legal Aspects oI Trade PreIerences Ior Developing States: A
Study in the InIluence oI Development Needs on the Evolution oI International Law, , 4.
36
Hal ini tercermin dalam laporan untuk persiapan sidang UNCTAD pertama dimana
dikatakan bahwa, 'By the very nature oI its philosophy, which is based on liberalism,
GATT inevitably shows a marked lack oI understanding oI the interest oI the underdevel-
oped and developing countries. This is primarily due to the inequality between the indus-
trialized and developing countries in the matter oI bargaining power. Article I oI the
General Agreement is based on the Iiction that there is complete equality among Con-
tracting Parties. There is however no equality treatment except among equals.
Sebagaimana dikutip oleh Abdulqawi, dalam: Ibid., 14.
15 16
itu sendiri, yaitu tercapainya 'mutuallv advantageous arrange-
ments.
37
Negara Berkembang bahkan menunjukkan ketidaksetujuan-
nya mereka atas perluasan masalah perdagangan internasional yang
diusulkan oleh beberapa Negara Maju pada Pertemuan Para Menteri
WTO di Doha, seperti perburuhan, eco-labelling, dan transparansi
dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.
38
Selanjutnya Negara Berkembang melakukan deconstruction
dengan mengargumentasikan bahwa prinsip perdagangan internasional
yang ada saat ini merupakan ciptaan`, dan hanya berpihak pada,
Negara Maju. Prinsip tersebut sangat menguntungkan pelaku usaha
dari Negara Maju, tetapi tidak bagi Negara Berkembang. Keinginan
untuk memberlakukan preferential treatment, differential treatment,
non-resiprositas, enabling clause merupakan upaya untuk mere-
konstruksi prinsip perdagangan internasional dalam hukum interna-
sional.
39
Metode genealogv juga digunakan oleh Negara Berkembang.
Mereka mengemukakan berbagai prinsip perdagangan internasional yang
diIormulasikan oleh para pemimpin negara Barat pada KonIerensi
Bretton Woods tahun 1944, dirasakan sebagai tidak mencerminkan
aspirasi Negara Berkembang. Hal ini karena pada saat itu banyak di
antara Negara Berkembang belum memperoleh kemerdekaan. Harus
diakui banyak prinsip-prinsip perdagangan internasional yang berawal
dari Eropa dan mulai dipraktekkan sejak abad ke-12.
40
Kegagalan Negara Berkembang dalam Mengubah Wajah Hukum
Internasional: Membatasi Gerak 6-'$#2&$#02&' !0"80"&$#02
Dalam konIlik kepentingan ekonomi Negara Berkembang dan
Negara Maju, masalah lain yang mengemuka adalah kegiatan yang
dilakukan oleh Transnational Corporation (TNC) atau Multinational
Corporation (selanjutnya disingkat 'MNC). MNC adalah perusahaan
yang mempunyai jaringan kerja yang mendunia. Keberadaan MNC
sebenarnya bukan hal baru. Pada masa Negara Berkembang masih
menjadi negara jajahan MNC sudah melakukan kegiatan.
41
Salah satu masalah yang muncul sehubungan dengan keberadaan
MNC adalah kekhawatiran Negara Berkembang atas kekuatan dominan
MNC yang dapat mengancam kedaulatan dan eksistensi Negara
37
Ada dua paragraI yang terdapat dalam Preambul GATT. ParagraI pertama secara lengkap
berbunyi, 'Recognizing, that their relations in the Iield oI trade and economic endeavour
should be conducted with a view to raising standards oI living, ensuring Iull employment
and a large and steadily growing volume oI real income and eIIective demand, developing
the Iull use oI the resources oI the world and expanding the production and exchange oI
goods. ParagraI kedua berbunyi, 'Being desirous oI contributing to these objectives by
entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substan-
tial reduction oI tariIIs and other barriers to trade and to the elimination oI discrimina-
tory treatment in international commerce.
38
Dalam masalah perburuhan, misalnya, pemerintahan Negara Berkembang beranggapan
bahwa, '. attempts to introduce this issue into the WTO represent a thinly veiled Iorm
oI protectionism which is designed to undermine the comparative advantage oI the lower-
wage developing countries. Lihat: 'Doha WTO Ministerial 2001: BrieIing NotesTrade
and Labor StandardsA DiIIicult Issue Ior many Governments. http://www-svca.wto-
ministerial.org/english/thewtoe/ministe/min01e/brieI16e.html diakses pada tanggal 25
Oktober 2001.
39
Secara tepat Bulajic menggambarkan argumentasi Negara Berkembang sebagai berikut,
'., iI we accept that the main purpose oI the NIEO is to reequlibrate international
economic relations, or rather the international economic system, in order to make it a
more congenial environment Ior, and more conducive in its mechanism, to the develop-
ment oI Third World countries, then positive discrimination or preIerential treatment Ior
developing countries would in one way or another be at the bass oI all corrective action,
whether remedial or aIIirmative . Lihat: Milan Bulajic, Principles oI International
Development Law, 2
nd
ed., (Dordrecht: Martinus NijhoII, 1992), 287.
40
John Jackson mengatakan bahwa, 'The MFN obligation has a long history which is
easily traced back to the twelIth century, although the phrase seems to have Iirst ap-
peared in the seventeenth century. John Jackson, The World Trading System and the
Policy oI International Economic Relations, (Cambridge: The MIT Press, 1991), 104;
Di bagian lain Jackson mengatakan, 'A national treatment obligation can be Iound in
some treaties, dating back to earlier centuries. Ibid., 120.
41
Menurut Muchilinski MNC sudah ada sejak tahun 1850. Lihat: Peter Muchilinski,
Multinational Enterprises and the Law, (OxIord: Blackwell Publishers Ltd., 1995), 20.
17 18
Berkembang.
42
Sebagai contoh, MNC kerap memaksa` Negara
Berkembang agar peraturan perundang-undangan yang dibuat berpihak
dan menguntungkan mereka.
43
Untuk mencapai tujuan ini tidak segan-
segan MNC mengancam akan memindahkan usaha mereka.
44
Bahkan
MNC dapat mempengaruhi pemerintah negaranya, termasuk juga
lembaga-lembaga internasional, untuk melakukan suatu tindakan
terhadap pemerintah Negara Berkembang yang merugikan mereka.
45
Disamping itu MNC dapat meminta pemerintahnya untuk mem-
perjuangkan kepentingan mereka dalam Iorum internasional. Salah
satunya adalah dalam pembentukan perjanjian internasional.
Perjanjian internasional yang dibuat untuk melindungi kepentingan
MNC dapat dikelompokkan paling tidak menjadi tiga kategori. Pertama,
perjanjian-perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi MNC
dari tindakan sepihak pemerintah setempat.
46
Selanjutnya, perjanjian-
perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi produk,
termasuk hak atas kekayaan intelektual, yang dihasilkan oleh MNC.
47
Ketiga, perjanjian-perjanjian internasional yang memberi jalan keluar
(remedv) bagi perselisihan yang terjadi antara MNC dengan pemerintah
Negara Berkembang.
48
Menghadapi kekuatan besar yang dimiliki oleh MNC, Negara
Berkembang telah lama mengupayakan agar hukum internasional dapat
membatasi aktivitas MNC. Hasil maksimal yang dapat dicapai oleh
Negara Berkembang adalah pembentukan UN-Draft Code of Con-
duct on Transnational Corporations (selanjutnya disebut 'Code of
42
Muchilinski menggambarkan sebagai berikut, 'The MNC began to be described as a
challenge to the national state, a creature with no loyalties except to itselI, an entity that
caused economic, social and political disruption in both the host and home countries, and
aimed at global dominance. Lihat: Ibid., hlm. 7. Demikian juga Sornarajah yang
mengatakan, 'Multinational corporations, . became the principal instruments oI Ioreign
direct investment and exerted power and inIluence akin to and sometimes exceeding
those oI states. Lihat: M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 2.
43
Hal ini sangat bergantung pada posisi tawar (bargaining position) antara MNC dengan
negara penerima (host state). Muchilinski mengatakan, 'The relationship between the
host state and a MNC will be the outcome oI a bargaining process between them. In this
regard the Iormal content oI the host state`s law and regulations should be viewed as a
starting point Ior negotiation, as an initial statement oI the host`s regulatory goals. How
Iar that system is actually applied in a given case will depend on the outcome oI bargain-
ing at the stage oI entry. This, in turn, depends on the relative bargainning strength oI
the host state and the MNE. Lihat: Peter Muchilinski, 104; Bahkan Goldsmith
mengatakan, 'TNCs will now have the power to Iorce national governments to deIend
corporate interests whenever such interests are in conIlict with those oI the people whose
interest the government have been elected to protect. Lihat: Edward Goldsmith, 'De-
velopment as Colonialism, Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith, The Case
Against the Global Economy and Ior a Turn Toward the Local, (New York: Sierra Club
Books, 1996), 266. Demikian juga Sornarajah mengatakan, 'Multinational corporations
wild signiIicant power to shape the law on Ioreign investment to their advantage.
Lihat:: M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment, 52.
44
Goldsmith mengatakan, 'II a country passes a law that TNCs regard as hindrance to
their Iurther expansion, they merely threaten to leave and establish themselves else-
where, which under the new conditions, they can do at the drop oI a hat. Lihat: Edward
Goldsmith, 'Development as Colonialism, Dalam: Jerry Mander dan Edward Goldsmith,
The Case Against the Global Economy and Ior a Turn Toward the Local, 265.
45
Sornarajah mengungkapkan, 'Back by its own immense Iinancial resources as well as
the power oI its home state, it may inIluence the political course oI the host states in
which it seeks to invest. Lihat: M. Sornarajah, The International Law on Foreign
Investment, 51. Lebih lanjut ia mengatakan, 'The power oI multinational corporation to
ensure that their home states maintain stance Iavourable to the protection oI their global
investments is very clear. . they are also helped by their home states through interna-
tional agencies which they control to ensure that states which are hostile to multinational
corporations are denied priviliges conIerred by the agencies. The examples given in the
literature are oI the International Monetary Fund and the World Bank. Lihat: Ibid., 53.
46
Contoh perjanjian internasional yang masuk dalam katagori ini adalah Convention
Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agencv, dan Agreement on Trade
Related Investment Measures.
47
Contoh perjanjian internasional yang masuk dalam katagori ini adalah Convention for
the Protection of Industrial Propertv, Agreement concerning International Registration of
Marks, Agreement for Protection of Appellations of Origin and their International Regis-
tration, Convention concerning International Deposit of Industrial Designs, Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Propertv Rights, including Trade in Counterfeit
Goods.
48
Contoh perjanjian internasional yang masuk dalam katagori ini adalah Convention on
the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States.
19 20
Conduct).
49
Code of Conduct hingga sekarang tidak pernah di-
tetapkan menjadi resolusi PBB, apalagi perjanjian internasional. Oleh
karenanya saya berpendapat, Negara Berkembang mengalami
kegagalan dalam usahanya membatasi kegiatan MNC. Ada paling tidak
empat alasan mengapa demikian. Pertama, bagaimanapun tidak disukai
kegiatan yang dilakukan oleh MNC, Negara Berkembang membutuhkan
kehadirannya, baik dalam rangka pemasukan devisa, alih teknologi,
penyerapan tenaga kerja dan lain-lain. Kedua, pembatasan aktivitas
MNC bukan sekedar perdebatan dalam tataran konsep, melainkan
harus berhadapan dengan kenyataan dan praktek yang sudah lama
terbentuk. Ketiga, dengan kekuatan yang dimiliki oleh MNC, mereka
dapat memastikan bahwa ide untuk membatasi mereka akan gagal.
Terakhir, suka atau tidak suka, krisis ekonomi yang melanda berbagai
negara di Asia dan resesi ekonomi dunia, membuat ketergantungan
Negara Berkembang terhadap MNC semakin tinggi.
Upaya Negara Berkembang untuk membatasi gerak MNC telah
menggunakan metode trashing, deconstruction dan genealitv. Negara
Berkembang melakukan trashing terhadap asumsi Negara Maju bahwa
Negara Berkembang melakukan tindakan sepihak terhadap kepentingan
MNC. Pertanyaannya adalah apakah memang Negara Berkembang
melakukan tindakan sepihak secara semena-mena? Negara Berkembang
merasa bahwa tindakan sepihak dilakukan karena ada kebutuhan yang
mendasar untuk itu.
50
Tanpa tindakan sepihak, Negara Berkembang
tidak mungkin melakukan pembangunan segera setelah mendapat
kemerdekaannya dan terbebas dari masalah-masalah ekonomi yang
dihadapinya.
Selanjutnya, Negara berkembang melakukan deconstruction
terhadap pemikiran Negara Maju untuk melindungi MNC. Dalam
pemikiran Negara Maju perlindungan diberikan karena seolah MNC
tidak berdaya dalam menghadapi tindakan Negara Berkembang.
Padahal, menurut Negara Berkembang, justru MNC yang abusive
terhadap Negara Berkembang.
51
Pendapat demikian menjadi dasar
untuk mengatakan bahwa, '. Transnational corporation shall not
intervene in the internal affairs of a host State, sebagaimana
tertuang dalam Charter of Economic Rights and Duties of States.
52
Dengan demikian perlindungan yang diberikan oleh hukum internasional
seharusnya tidak diberikan kepada MNC melainkan kepada mereka.
53
49
Pembatasan ruang gerak dari MNC yang tercantum dalam Code oI Conduct tersebut, di
antaranya, respect for national sovereigntv and observance of domestic laws, regulations
and administrative practices, adherence to economic goals and development obfectives,
policies and priorities, adherence to socio-cultural obfectives and values, respect for
human rights and fundamental freedoms, non-interference in internal affairs of host
countries. Lihat: UN Doc. E/1988/39/Add. 1 tertanggal 1 Februari 1988.
50
Dalam laporan UN Center and Commission on Transnational Corporations pada tahun
1985 terungkap bahwa Negara Berkembang (the emergence of new States) tidak menyetujui
konsep tradisional yang berlaku untuk tanggung jawab negara terhadap nasionalisasi karena,
'. the application oI those principles to the newly independent States was seen as
perpetuating an exploitative system beneIicial to the developed market economies.
Lihat: Henkin, Louis et. al., International Law: Cases and Materials, 686.
51
Misalnya sebagaimana diungkap oleh Samuel Asante, sebagaimana dikutip oleh Sidney
Dell, 'Under the concession, the transnational corporation made a direct equity invest-
ment Ior the purpose oI exploiting a particular natural resource. In many cases, the
concession amounted to a virtual assumption of sovereigntv bv transnational corpora-
tions over the host countrvs natural resourcesan example of the old international
economic order, (kursip dari penulis) Lihat: Sidney Dell, The United Nations and
International Business, (Durham: Duke University Press, 1990), 38.
52
Pasal 2 ayat (2) huruI (b) kalimat ke-2 Charter oI Economic Rights and Duties.
Charter oI Economic Rights and Duties terdapat dalam Resolusi Majelis Umum PBB A/
3281 (XXIX) tertanggal 12 Desember 1976. Dalam: 28 Year Book oI United Nations
(1974), 403.
53
Schacter, misalnya, ketika mendiskusikan tentang tindakan Negara Berkembang
melakukan tindakan pengambilalihan aset MNC mengatakan, 'Pervading the political
atmosphere in these cases were ideological and emotional reactions to Ioreign domina-
tion. Memories oI past abuses by colonial rulers had not disappeared. The sense oI
continued dependency oI Ioreign sources oI capital and on Ioreign markets intensiIied the
desire Ior greater economic independence. The strongly worded resolutions in the United
Nations demanding Iull sovereign rights over resources and Ioreign business were a politi-
cal reIlection oI these sentiments. Lihat: Oscar Schachter, International Law in Theory
and Practice, (Dordrecht: Martinus NijhoII Publishers, 1991), 303.
21 22
Pemikiran inilah yang dipakai dalam Code of Conduct yang esensinya
adalah merekonstruksi prinsip-prinsip dan pemikiran tradisional. Tidak
heran apabila ketentuan yang terdapat dalam Code of Conduct sangat
berpihak pada kepentingan Negara Berkembang.
54
Teknik genealitv digunakan oleh Negara Berkembang dengan
mengatakan bahwa pemberian perlindungan bagi MNC oleh Negara
Maju didasarkan pada Iakta sejarah yang menunjukkan Negara
Berkembang kerap melakukan tindakan sepihak terhadap kepentingan
MNC.
55
Sementara sejarah yang menunjukkan bahwa Negara
Berkembang justru dieksploitasi oleh MNC seolah diabaikan, kalau
tidak dapat dikatakan dihilangkan. Apabila sejarah ini yang diungkap
maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Negara Berkembang
sudah sepantasnya mendapat perlindungan hukum internasional dari
aktivitas dan tindakan MNC.
Demikianlah telah saya utarakan bagaimana eksistensi hukum
internasional dalam konIlik kepentingan antara Negara Berkembang
dan Negara Maju. Kalau di permulaan pidato ini saya kemukakan
pengelompokan Negara Berkembang dan Negara Maju, saat ini saya
ingin mengatakan bahwa negara yang masuk dalam kelompok Negara
Berkembang apabila kelak masuk dalam kelompok Negara Maju maka
negara tersebut akan menghadapi pilihan yang dilematis. Apakah negara
tersebut akan bertindak sebagaimana layaknya Negara Maju atau
memperjuangkan idealisme semasa negara tersebut masih menjadi
Negara Berkembang. Biarlah waktu yang menjawabnya.
Perancang dan Negosiator Perjanjian Internasional yang Handal:
Tantangan Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia
Untuk memperkuat Negara Berkembang, termasuk Indonesia,
dalam mengubah wajah hukum internasional maka diperlukan perancang
dan negosiator yang handal. Kelihaian para juru runding dan perancang
tidak bisa lain selain dihadapi dengan kelihaian pula. Kelihaian di sini
memegang peran yang penting mengingat dalam alam pikiran CLS,
'Law is not, oI couse uniquely the tool oI the powerIul. Everyone
invokes the authority oI law in everyday interactions, and the con-
tent oI laws registers many concessions to groups struggling Ior
change Irom below, as well as to the wishes oI the politically and
economically dominant. But to be able to wield legal discourses
with Iacility and authority or to pay others (lawyers, legislatiors,
lobbyists, etc.) to wield them on your behalI is a large part oI what
it means to possess power in society.
56
54
Sebagai contoh ketentuan angka (7) dari Code of Conduct disebutkan bahwa
'Transnational corporations shall respect national sovereignty oI the countries in which
they operate . mengingat aktivitas MNC yang kerap mengancam kedaulatan Negara
Berkembang; Kemudian ketentuan angka (8) menentukan bahwa, 'An entity oI a
transnational corporation is subject to the laws, regulations and established administrative
practices oI the country in which it operates karena aktivitas MNC justru banyak yang
tidak menghormati peraturan perundang-undangan Negara; Ketentuan angka (10)
menyebutkan bahwa, 'Transnational corporations should carry out their activities in
conIormity with the development policies, objectives and priorities set out by the
Governments oI the countries in which they operate . Transnational corporations
should co-operate with the Governments oI the countries in which they operate with a
view to contributing to the development process ., thereby establishing mutually beneIi-
cial relations with this countries mengingat kerap terjadi pemerintahan Negara Berkembang
justru yang mengikuti apa yang dikehendaki oleh MNC; Ketentuan dalam angka (16)
menentukan bahwa, '. transnational corporation shall not interIere in the internal
aIIairs oI host countries karena MNC seringkali mempengaruhi jalannya pemerintahan
Negara Berkembang; Bahkan ketentuan angka (17) menyebutkan bahwa, 'Transnational
corporations shall not interIere in intergovernmental relations. mengingat MNC tidak
segan-segan memanIaatkan negara asalnya yang notabene adalah Negara Maju untuk
berhadapan dengan Negara Berkembang demi kepentingannya.
55
Sejarah yang menunjukkan hal ini lebih banyak terjadi setelah berakhirnya Perang
Dunia II, kecuali di negara-negara Amerika Latin. Padahal keberadaan MNC sudah lama
ada, jauh sebelum Negara Berkembang memperoleh kemerdekaannya. Alasan Negara
Berkembang melakukan tindakan sepihak, seperti nasionalisasi, lebih dikarenakan kondisi
ekonomi mereka yang menuntut demikian.
56
Robert W. Gordon, 'Critical Legal Studies, Dalam: John Arthur dan William H. Shaw
(eds.), 177-178.
23 24
Oleh karenanya pendidikan hukum di Indonesia perlu dirancang
untuk menghasilkan para sarjana hukum yang tidak saja paham dalam
masalah teori tetapi mampu mempraktekkan pengetahuan mereka.
57
Kelemahan para juru runding dan perancang perjanjian internasional
dari Indonesia adalah kelihaian untuk melakukan perundingan dan
perancangan itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan rekan-rekan
mereka dari luar negeri, jelas mereka jauh tertinggal. Di sinilah arti
penting memotivasi dan menekankan pada para mahasiswa untuk
memiliki kelihaian yang dibutuhkan. Selanjutnya, kurikulum pendidikan
hukum di Indonesia harus diorientasikan untuk menghasilkan sarjana
hukum yang memiliki percaya diri yang tinggi. Pengajar harus
meninggalkan proses belajar mengajar dengan metode hapalan dan
menggantinya dengan metode legal reasoning yang didasarkan pada
penelitian. Dari pengalaman saya mengajar perancangan kontrak,
sungguh sangat memprihatinkan lulusan sarjana hukum dalam
menerapkan ilmunya ke dalam pembuatan kontrak. Mereka kurang
mampu dalam menerapkan ilmu yang didapat dibangku kuliah, apalagi
melakukan riset sebelum kontrak dibuat.
Lebih lanjut saya ingin menekankan pentingnya penguasaan bahasa
Inggris. Bagi para mahasiswa, bahasa Inggris merupakan suatu
keharusan. Penguasaan bahasa Inggris dewasa ini tidak cukup sekedar
digunakan untuk membuka wawasan tetapi harus sudah berada dalam
tahap digunakan untuk mengartikulasi pendapat dalam bernegosiasi
dan membuat perjanjian internasional. Penguasaan bahasa Inggris yang
demikian bukan hal yang mustahil. Dengan adanya kemajuan teknologi,
seperti satelit dan internet para mahasiswa dapat membiasakan diri
untuk menggunakan bahasa Inggris layaknya native speaker. Peran
universitas dan Iakultas adalah memIasilitasi para mahasiswa agar
diberi kesempatan dalam menggunakan bahasa Inggris yang mereka
kuasai. Contohnya adalah apa yang telah dirintis oleh Fakultas Hukum
UI dengan mengadakan kuliah bersama melalui video conferencing
dengan University oI South Carolina di Amerika Serikat. Fakultas
Hukum UI juga telah merintis dan kemudian menjadikannya kegiatan
tetap untuk mengirim mahasiswa ke Iorum-Iorum kompetisi peradilan
semu (moot court competition) di luar negeri. Para mahasiswa sudah
tiga kali berpartisipasi dalam Asia Cup di Jepang dan satu kali mengikuti
Phillip Jessup Moot Court Competition di Amerika Serikat.
Para Undangan yang Terhormat
Sampailah saya pada penghujung pidato saya. Dalam kesempatan
ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih ke berbagai pihak.
Pertama tentunya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para
guru sejak saya mulai menjalani taman kanak-kanak hingga ke jenjang
perguruan tinggi yang telah membukakan wawasan saya terhadap
berbagai hal. Terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Ibu
Sri Rahayu guru Kimia saya pada waktu di SMA yang melihat potensi
saya yang tidak sesuai dengan penjurusan saya namun terus mendorong
saya walaupun tahu bahwa nilai yang saya dapatkan selalu jelek. Harus
saya akui secara jujur bahwa pada masa menjalani SMA di Jakarta
nilai yang saya peroleh pasti merah` dan bagi mereka yang mengenal
saya di SMA tentunya tidak akan percaya dengan apa yang saya
57
Sebenarnya hal ini disebabkan perbedaan pendidikan hukum yang mendasar antara
Indonesia dengan Amerika Serikat. Di Amerika, pendidikan hukum disebut sebagai 'school
karena di sana pendidikan hukum dianggap sebagai professional school. Sebagai profes-
sional school maka pendidikan ditujukan untuk melahirkan lulusan yang mahir
menggunakan hukum. Persyaratan untuk masuk ke law school adalah calon mahasiswa
harus memiliki ilmu yang dipelajari di universitas, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu
teknik (biasanya lulus dengan bachelor degree). Sementara di Indonesia seperti kebanyakan
negara di Eropa memperlakukan pendidikan hukum sebagai ilmu sehingga yang
menyelenggarakan pendidikan hukum disebut 'Iakultas atau 'Iaculty. Lulusan Iakultas
hukum tidak diharuskan untuk memasuki proIesi-proIesi tradisional hukum. Menurut hemat
saya pendidikan hukum di Indonesia sedang berada di dalam persimpangan. Apakah akan
mejadi professional school atau tempat untuk mendalami ilmu hukum.
25 26
capai hari ini. Apa yang saya alami sebenarnya merupakan kelemahan
terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Pertama adalah murid terlalu
cepat untuk dijuruskan (mengingat saya murid pindahan dari luar negeri).
Kedua sistem pengajaran yang sangat menekankan pada pemberian
materi secara sepihak oleh guru. Murid tidak dirangsang dan dimotivasi
untuk menyukai pengetahuan yang diajarkan.
Selanjutnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para
pihak yang telah mendorong karier saya sebagai dosen di Fakultas
Hukum UI. Saya sungguh bersyukur karena selama meniti karier di
Fakultas Hukum saya bertemu dengan banyak pihak yang sangat
memperhatikan dan mau mengeksploitasi potensi yang saya miliki. Tanpa
mereka potensi yang saya miliki hanyalah potensi. Untuk itu perkenankan
saya mengenang dan mengucapkan terima kasih kepada almarhum Ibu
Estiana Hermina atau yang lebih dikenal dengan Ibu Dhenok. Beliau
adalah pendorong saya diawal karier sebagai pengajar. Saya belajar
banyak dari Ibu Dhenok, utamanya disiplin Belandanya dalam bekerja
dan melakukan pekerjaan.
Saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada
ProI. Erman Rajagukguk yang saya biasa panggil dengan sebutan
'Abang. Pertama kali saya bertemu dengan Bang Erman adalah
sewaktu beliau kembali dari belajar di Amerika Serikat pada tahun
1988. Bang Erman-lah yang tidak henti-hentinya mengingatkan untuk
mengutamakan penyelesaian pendidikan akademis dalam berkarier
sebagai pengajar. Sewaktu saya berada di Jepang, Abang yang satu ini
sempat berkunjung dan meminta saya untuk meneruskan studi ke jenjang
yang lebih tinggi, walaupun dari saya ada kekhawatiran perkuliahan di
Indonesia akan terganggu. Kekhawatiran itu beliau sanggah dengan
mengatakan, 'Iakultas hukum tidak akan runtuh dengan tidak adanya
kamu. Selanjutnya, Bang Erman pula yang mengingatkan saya agar
segera menyelesaikan program S-3 saya dengan kata-kata yang selalu
saya ingat, 'anvone can be a lawver, but not everv lawver can be a
Doctor. Setelah akhirnya mendapatkan gelar Doktor, kembali Bang
Erman memanas-manasi saya dengan mengatakan 'anvone can be a
Doctor, but not everv Doctor can be a professor. Bahkan ketika
saya ragu dan hampir putus asa untuk dicalonkan sebagai guru besar,
beliau mengatakan bahwa, 'jangan pikir guru besar untuk dirimu sendiri
tetapi pikir untuk institusi. Memang benar ungkapan beliau itu, kita
menjadi guru besar selain ada kebanggaan bagi diri sendiri tetapi jauh
lebih penting adalah bagi institusi. Sebagai institusi, Fakultas Hukum UI
akan dilihat dari berapa jumlah dosen yang berpendidikan S-2, S-3 dan
jumlah pengajar dengan jabatan guru besar. Apalagi kalau kita mene-
tapkan Iakultas hukum di luar negeri sebagai saingan UI. ProI. Erman
tidak saja mendorong dan memotivasi saya, tetapi lebih dari itu, beliau
memberi kesempatan bagi saya untuk tampil sebagai pembicara dalam
berbagai seminar, meminta saya untuk menjadi pengajar dan instruktur
dalam berbagai perguruan tinggi dan lembaga pendidikan, sehingga
selain kum (angka kredit) terkumpul, dapur pun mengepul. Bahkan
ProI. Erman memantau karier saya secara langsung dan dekat hingga
saya sampai pada mimbar yang terhormat ini. Untuk segala yang telah
Abang berikan, saya tidak mungkin bisa membalas budi Abang, kecuali
berjanji untuk ikut dalam ajakan Abang untuk menghasilkan gihik (nama
kecil saya)-gihik baru.
Perkenankanlah saya di sini mengucapkan terima kasih saya
kepada ProI. Mochtar Kusuma Atmadja yang pada suatu ketika saya
diberi kesempatan untuk berhubungan secara dekat dengan beliau.
Beliaulah yang menasehati saya untuk mempunyai rencana hidup karena
manusia hidup hanya sekali.
Saya juga ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada Bapak Rektor, ProI A. Budi Santoso yang telah membantu dan
mendorong penyelesaian studi S-3 saya dan memberi kesempatan yang
27 28
luas kepada saya dalam berbagai hal. Demikian pula dengan para
mantan rektor, ProI. Sujudi dan ProI. M.K. Tadjudin yang telah memberi
kesempatan kepada saya untuk melanjutkan studi S-2 di Jepang.
Saya ingin menyampaikan terima kasih saya kepada ProI. Sidik
Suraputra, ProI Sri Setianingsih Suwardi dan Bapak Suwardi, senior-
senior saya di bagian hukum internasional.
Selanjutnya saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada
para mantan dekan, ProI. Mardjono Reksodiputro, ProI. Charles
Himawan, dan ProI. Girindro Pringodigdo. Kepada dekan, Bapak Abdul
Bari Azed, saya tak lupa menyampaikan penghargaan saya karena
telah berani` mengusulkan saya sebagai guru besar semoga saya
tidak mengecewakan Bapak. Beliau-beliau sangat membantu kemajuan
karier saya di Iakultas. Bahkan sebagai staI ProI. Mardjono sewaktu
beliau mejadi dekan, saya mendapat pengalaman untuk bekerja secara
teliti dan memahami rumitnya mengelola Iakultas. Beliau juga yang
mengirim saya belajar ke Jepang, kata beliau ketika itu'sehingga staI
kita tidak berorientasi hanya pada Amerika dan Eropa. Sementara
ProI. Charles telah banyak memberi pandangan-pandangan beliau pada
saya sebagai akademisi sejati.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih saya
kepada ProI. Tahir Azhary yang secara diam-diam mengikuti
perkembangan saya dan memberi kesempatan bagi kemajuan karier
saya di Iakultas.
Kepada Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Dr. JuIrina Rizal, Mas Adijaya
YusuI, Bang Akhiar Salmi dan Adik saya Melda Kamil ucapan terima
kasih saya tujukan kepada mereka. Melalui diskusi dan hubungan kakak-
adik, saya telah mendapat berbagai keuntungan dari mereka hingga
saya bisa berada di mimbar yang terhormat ini. Demikian pula dengan
senior saya yang dahulu pernah menjadi penasehat akademis saya
ketika mahasiswa, Mbak Retno Murniati, dan senior yang mendorong
saya untuk berkarier sebagai dosen, Ibu Sri Mamudji, saya sampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih. Tak lupa saya ucapkan terima
kasih secara khusus kepada rekan Kurnia Toha yang mempunyai visi
jangka panjang dalam mengembangkan Fakultas Hukum UI.
Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mendalami dunia
praktek. Kepada Bapak Kaligis saya sungguh berterima kasih atas
kesempatan yang diberikan untuk menyelami kehidupan pengacara.
Kepada para senior partners Lubis, Ganie, Surowidjojo Law Firm
saya juga ingin menyampaikan terima kasih, utamanya kepada Mas
ArieI T. Surowidjojo yang ketika saya bekerja di situ, beliau menjadi
atasan langsung saya. Kelihaian dan proIesionalisme beliau sebagai
lawver menjadi teladan bagi saya untuk menyelami kehidupan sebagai
konsultan hukum. Selanjutnya perkenankanlah saya mengenang dan
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Parulian Sidabutar, mantan
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang telah
membuka kesempatan dan memberikan kepercayaan pada saya untuk
menduduki jabatan penting dalam birokrasi.
Selanjutnya saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya
kepada para sahabat dekat saya. Kepada rekan saya Gatot Subagio,
Mirza Karim, Hendri DS Budiono, Heri Fuad dan Ahmad Fikri AssegaI
saya mengucapkan terima kasih anda atas persahabatan selama ini
dan di masa yang akan datang.
Terakhir saya ingin mengucapkan terima kasih kepada keluarga
saya. Pertama tentunya kepada kedua orang tua saya, Juwana dan Siti
Aisjah Juwana. Kepada Ibu yang telah melahirkan saya dan kepada
ayah yang telah meyakinkan pentingnya makna pendidikan. Di suatu
malam saya masih teringat akan cerita ayah saya bahwa jangan sampai
putaran roda berlaku di keluarga. Anak-anak diminta untuk
mempertahankan apa yang telah dicapai oleh generasi pendahulu.
29 20
Memang dalam keluarga yang sudah mapan, mempertahankan apa
yang sudah ada lebih sulit. Apabila tidak hati-hati kemapanan cenderung
mengarah pada kejatuhan. Beliau juga yang mengarahkan secara
persuasiI agar saya mengambil ilmu hukum sebagai ilmu yang saya
geluti dan ternyata arahan tersebut tidak salah. Bahkan, beliau tidak
terlalu antusias dengan keinginan saya bekerja di Departemen Luar
Negeri, karena 'kalau baik akan dikira karena ada Bapak di situ, tapi
kalau jelek akan merusak nama Bapak. Ternyata saran beliau benar,
justru saya dengan menjadi dosen dapat mengekspresikan diri saya
tanpa beban ketergantungan pada nama besar beliau.
Hidup sederhana juga menjadi pelajaran yang sangat berharga.
Sebagai anak seorang diplomat, bahkan duta besar, status tersebut
tidak berdampak pada cara hidup anak-anaknya. Ayah selalu memantau
setiap kemajuan hidup yang dicapai oleh anak-anaknya. Ia tidak pernah
jemu-jemu berperan sebagai lawan diskusi. Bahkan pada saat penulisan
pidato pengukuhan ini, beliau masih sempat mengatakan, 'bawa sini
biar saya periksa dulu, suatu pernyataan dari seorang ayah yang tidak
menghendaki kegagalan dari anaknya. Terus terang saya mendambakan
prosesi ini untuk terjadi, karena bagi saya tidak ada barang di dunia ini
yang mampu saya beli yang ayah saya tidak mampu membelinya.
Perkenankanlah saya mempersembahkan upacara kebesaran ini untuk
Ayah saya sebagai ungkapan rasa terima kasih saya. 'Pak, terima
kasih.
Selanjutnya, ucapan terima kasih juga ingin saya sampaikan kepada
kedua mertua saya Bapak Soemarno dan Ibu Iim Halimah. Demikian
pula kepada para kakek dan nenek saya. Bapak Soedjalmo yang pada
usia 97 tahun menyempatkan datang ke Jakarta walaupun tidak dapat
menghadiri upacara hari ini dan almarhum Ibu Suripni. Demikian pula
dengan almarhum Bapak Roeslan Tjakraningrat, yang pernah menjadi
Gubernur pertama untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Ibu
Hatimah. Sungguh saya bangga mempunyai mereka semua.
Kepada istri tercinta, Nenden Esty Nurhayati, saya mengucap
syukur ke hadirat illahi karena mempertemukan saya dengan dia. Saya
ucapkan terima kasih atas kesabarannya dan kepercayaannya agar
suaminya dapat menjalani proIesi sebagai pengajar. Pengorbanan istri
saya tidak hanya terbatas pada kesabaran tetapi secara nyata telah
menggantikan peran saya sebagai pencari naIkah di kala saya tidak
mempunyai penghasilan yang berarti karena menjalani sekolah di luar
negeri. Istri saya dapat diibaratkan sebagai penambang. Pada waktu
bertemu untuk pertama kali dengan saya dan kemudian melanjutkan ke
jenjang pernikahan ia saya anggap telah mengambil risiko yang sangat
besar. Sebagai dosen banyak gadis yang tidak melihat suatu kehidupan
yang menjanjikan. Sekarang saya telah membuktikan padanya bahwa
risiko yang diambil ternyata tidak sia-sia. Demikian juga kepada anak-
anakku, Ogi Pratama Juwana, Tannia Meisa Juwana dan AIira Diara
Juwana, Papa sangat berterima kasih atas pengertian kalian karena
waktu kalian sering Papa ambil untuk mengajar, menulis dan melakukan
penelitian. Pernah Ogi, si sulung, pada usia 3 tahun bertanya pada
saya, 'Papa ngapain kok sibuk banget? Jawaban saya ketika itu
'Mencari uang. Lalu ia jawab, 'Memangnya hilang dimana Pa?
seolah ingin ikut membantu mencarikan karena tidak rela ditinggal
ayahnya. Kepada anak-anakku Papa dan Mama tentunya berharap
kalian bertiga dapat menjadi anak-anak yang saleh, taat pada agama
dan berguna bagi bangsa dan negara. Semoga papa dan mama berhasil
mendidik kalian seperti Grandpa dan Meme.
Para Hadirin sekalian
Akhirul kata, tidak lupa saya mengucapkan beribu terima kasih
atas kehadiran para hadirin sekalian dalam prosesi ini. Apa yang saya
capai di sini bukanlan life time achievement bagi saya. Saya harus
31 32
membuktikan pada para hadirin dan masyarakat luas bahwa saya mampu
mengemban jabatan mulia ini dengan terus mengajar, meneliti dan
menghasilkan karya-karya ilmiah saya. Untuk itu saya mohon do`a dan
restu para hadirin sekalian.
Wabillahi al-TauIiq wal-Hidayah
Wassalamu`alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku dan 1urnal
Arthur, John dan William H. Shaw (eds.), Reading in the Philosophy oI
Law, 2nd ed. (New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1984).
Bulajic, Milan, Principles oI International Development Law, 2
nd
ed.
(Dordrecht: Martinus NijhoII, 1992).
Allot, Philip, Theory and International Law: An Introduction (London:
The British Institute oI International and Comperative Law).
Cassese, Antonio, International Law in a Divided World (OxIord:
OxIord University Press, 1986).
Chand, Hari, Modern Jurisprudence (Kuala Lumpur: International Law
Book Series, 1994).
Chen, Lung-Chu, An Introduction to Contemporary International Law:
A Policy Oriented Perspective, 2
nd
.ed. (New Haven: Yale Univer-
sity Press, 2000).
Churchill, R.R. dan AV Lowe, The Law oI the Sea, 3rd ed. (Manches-
ter: Manchester University Press, 1999).
Davies, Howard dan David HoldcroIt, Jurisprudence: Texts and Com-
mentary (London: Butterworth & Co., 1991).
33 34
Dell, Sidney, The United Nations and International Business (Durham:
Duke University Press, 1990).
Gill, Stephen dan David Law, The Global Political Economy: Perspec-
tives, Problems, and Policies (Baltimore: The John Hopkins Uni-
versity Press, 1988).
Henkin, Louis et. al., International Law: Cases and Materials, 3
rd
ed.
(Minnesota: West Publishing Co., 1993).
, International Law: Politics and Values (Dordrecht:
Martinus NijhoII Publishers, 1995).
Houtte, Hans van, The Law oI International Trade (London: Sweet &
Maxwell, 1995).
John Jackson, The World Trading System and the Policy oI Interna-
tional Economic Relations (Cambridge: The MIT Press, 1991).
Levi, Werner, Contemporary International Law, 2
nd
ed. (Boulder:
Westview Press, 1991).
Mander, Jerry dan Edward Goldsmith, The Case Against the Global
Economy and Ior a Turn Toward the Local (New York: Sierra
Club Books, 1996).
Muchilinski, Peter, Multinational Enterprises and the Law, (OxIord:
Blackwell Publishers Ltd., 1995).
Nussbaum, Arthur, A Concise History oI the Law oI Nations, edisi
revisi (New York: The MacMillan Co., 1958).
Shaw, MN, International Law, 3
rd
ed. (Cambridge: Grotius Publications
Ltd., 1991).
Snyder, Frederick E. dan Surakiart Sathiratai (eds.), Third World Atti-
tudes Toward International LawAn Introduction, (The Nether-
lands: Martinus NijhoII Publishers, 1987).
Sornarajah, M., The International Law on Foreign Investment (Cam-
bridge: Cambridge University Press, 1994).
Starke, JG, Introduction to International Law, 11
th
ed. (dipersiapkan
oleh IA Shearer), (London: Butterworth & Co. Ltd., 1994).
Trebilcock, Michael J. dan Robert Howse, The Regulation oI Interna-
tional Trade, 2
nd
ed., (New York: Routledge, 1999).
Verzijl, JH, International Law in Historical Perspective (Leyden: SijthoII,
1968).
Wallace, Rebecca MM, International Law, 2
nd
ed. (London: Sweet &
Maxwell, 1992).
White, N.D., The Law oI International Organisations, (Manchester:
Manchester University Press, 1996).
Williams, Sylvia Maureen, 'The Law oI Outer Space and Natural
Resources, 36 International and Comparative Law Quarterly,
(1987).
YusuI, Abdulqawi, Legal Aspects oI Trade PreIerences Ior Develop-
35 36
ing States: A Study in the InIluence oI Development Needs on the
Evolution oI International Law (The Hague: Martinus NijhoII Pub-
lishers, 1982).
Bahan Internet
'Doha Ministerial Meeting 2001: Trade and Labour StandardsA
DiIIicult Issue Ior many WTO Governments http://www-svca.wto-
ministerial.org/english/thewtoe/ministe/min01e/brieI16e.html
'Doha Ministerial Meeting 2001: Transparency in Government Pro-
curement, http://www-scva.wto-ministerial.org/English/thewtoe/
ministe/min01/brieI14htm
'Doha Ministerial Meeting 2001: Trade and Services, http://www-
scva.wto-ministerial.org/English/thewtoe/ministe/min01/
brieI106htm
'Doha Ministerial Meeting 2001: Transparency in Government Pro-
curement, http://www-scva.wto-ministerial.org/English/thewtoe/
ministe/min01/brieI14htm
'Special and DiIIerential Treatment, http://www.wto.org/english/
thewtoe/whatise/eol/e/wto01/wto01/wto117.htm
Dokumen
Agreement Establishing the World Trade Organisation
Agreement on Agriculture
Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs)
Agreement on Trade-Related Aspects oI Intellectual Property Rights
(TRIPs)
Agreement on Trade Related Aspects oI Intellectual Property Rights,
including Trade in CounterIeit Goods
Agreement Ior Protection oI Appellations oI Origin and their Interna-
tional Registration
Agreement Governing the Activities oI States on the Moon and Other
Celestial Bodies.
Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency,
dan Agreement on Trade Related Investment Measures
Convention Ior the Protection oI Industrial Property, Agreement con-
cerning International Registration oI Marks
Convention concerning International Deposit oI Industrial Designs
Convention on the Settlement oI Investment Disputes between States
and Nationals oI Other States
General Agreement on TariIIs and Trade
United Nations Convention on the Law oI the Sea
Charter oI Economic Rights and Duties terdapat dalam Resolusi Majelis
Umum PBB A/3281 (XXIX) tertanggal 12 Desember 1976
Declaration oI Principles Governing the Sea Bed and Ocean Floor, and
the Subsoil ThereoI, beyond the Limits oI National Jurisdiction, Resolusi
Majelis Umum PBB No. 2749
UN-DraIt Code oI Conduct on Transnational Corporations dalam UN
Doc. E/1988/39/Add. 1 tertanggal 1 Februari 1988.
37 38
RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama : Hikmahanto Juwana
Tempat dan Tangal Lahir: Jakarta, 23 November 1965
Nomor Induk Pegawai : 131 796 086
Jabatan : Guru Besar Fakultas Hukum UI
Pangkat : Penata Tingkat I
Golongan : III/d
Istri : Nenden H. Juwana
Anak : 1. Ogi Pratama Juwana
2. Tannia Meisa Juwana
3. AIira Diara Juwana
Alamat : Perumahan Graha Mutiara
Blok I No. 7 Pengasinan,
Bekasi Timur (17115)
II. Latar Belakang Pendidikan
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
a. SD
Sekolah Indonesia di Phnom Penh, Kamboja (1971-
1973).
Sekolah Indonesia di Bangkok, Thailand (1973-1974).
SD Katholik Krida Dharma, Blora, Jawa Tengah
(1974-1975).
SD Tegal Parang Pagi, Jakarta (1975-1976).
b. SMP
Sekolah Indonesia Singapura, Singapura (1976-1978).
Russel Sage Junior High School, New York (1978-
1980).
c. SMA
Hillcrest High School, New York (1980-1981).
SMA VI, Jakarta (1981-1983).
2. Pendidikan Tinggi
a. Sarjana Hukum (SH) dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (1983-1987).
b. Master oI Law (LL.M) dari Keio University, Jepang
(1990-1992).
c. Mengikuti satu semester pada Program Pascasarjana
S-3 Universitas Indonesia (1992).
d. Doctor oI Philosophy (Ph.D) dari University oI Not-
tingham, Inggris (1993-1997).
e. Mengikuti satu semester dari tiga Semester Master in
Public Policy pada National University oI Singapore,
Singapura (1998).
3. Pendidikan Tambahan
a. Pendidikan Bahasa Jepang pada International Center, Keio
University, Jepang (April 1989-April 1990).
b. Pendidikan dan Pelatihan bagi ProIesi Penunjang untuk
Konsultan Hukum Pasar Modal Angkatan V (Juni 1996).
c. Pelatihan 'Legislative DraIting yang diselenggarakan oleh
International Legislative Institute, The Public Law Cen-
ter, New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat, Juni 2000.
d. Workshop on Competition Law yang diselenggarakan oleh
USAID, Juni 1998.
e. Workshop on Competition Law and Policy: Cross Coun-
try Approaches and Experiences yang diselenggarakan
oleh World Bank Institute dan Singapore Cooperation
Programme, Ministry oI Foreign AIIairs, Singapore di
Singapura 14-20 Mei 2000.
39 40
III. Pengalaman Kerja
Akademis
1. 1enjang S-1
Pengajar pada Fakultas Hukum UI untuk mata kuliah (a)
Hukum Internasional dan (b) Hukum Udara dan Angkasa
dengan jenjang jabatan sebagai berikut:
a. Asisten Ahli (1988-1992)
b. Asisten Ahli Madya (1992-1994)
c. Lektor Muda (1996-1998)
d. Lektor (loncat jabatan) (1998- 2001)
e. Lektor Kepala (inpassing) (1 Januari 2001)
I. Guru Besar (loncat jabatan) (Juli 2001- )
Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI
untuk mata kuliah Hukum Internasional.
Ko-Pengajar dengan ProI. David Linnan dalam kuliah
bersama melalui video conference pada University oI
South Carolina Law School, Amerika Serikat untuk mata
kuliah Public International Law.
Pengajar pada Akademi Ilmu Imigrasi untuk mata kuliah
Hukum Internasional.
Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Uni-
versitas Moestopo untuk mata kuliah Hukum Internasional.
2. 1enjang S-2
Program Ilmu Hukum
Pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
UI untuk mata kuliah (a) Teori Hukum, (b) Hukum
Perdagangan Internasional dan (c) Perancangan Kontrak
Bisnis.
Pengajar pada Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro (Kelas Khusus Departemen Kehakiman)
untuk mata kuliah Perbandingan Hukum Acara Arbitrase
Internasional (UNCITRAL, ICC, AAA, LCIA Rules).
Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pro-
gram Pascasarjana Universitas Jayabaya untuk mata
kuliah (a) Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi
(sampai dengan 2000) dan (b) Hukum Dagang Interna-
sional.
Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pro-
gram Pascasarjana Universitas Islam Indonesia untuk
mata kuliah Hukum Perdagangan Internasional.
Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pro-
gram Pascasarjana Universitas Surabaya untuk mata
kuliah Kontrak Bisnis Internasional.
Pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Pro-
gram Pascasarjana Universitas Pancasila untuk mata
kuliah Teori Hukum.
Pembimbing dan Penguji pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Program Non-Ilmu Hukum
Pengajar pada Program Studi Ilmu Administrasi Program
Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah
Hukum Bisnis dan Hukum Perdagangan Internasional.
Pengajar pada Program Studi Ilmu Teknik Program
Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah (a)
Hukum dalam Manajemen Proyek dan (b) Hukum
Konstruksi dan Hukum Kontrak.
Pengajar pada Program Studi MM Program Pascasarjana
untuk Universitas Bina Nusantara untuk mata kuliah
Legal Environment dan Corporation Law.
41 42
3. 1enjang S-3
Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Indonesia untuk mata kuliah
Teori Hukum pada Program Pascasarjana S-3 Universi-
tas Indonesia.
Ko-promotor dan penguji pada Program S-3 Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Salah satu Pengajar untuk mata kuliah Teori Hukum pada
Program Pascasarjana S-3 Universitas Islam Indonesia.
4. Pendidikan Lanjutan/Pelatihan
Instruktur untuk Perancangan Kontrak (Contract DraIt-
ing) pada berbagai lembaga pendidikan lanjutan di
lingkungan universitas maupun lembaga pendidikan
swasta.
Narasumber Hukum Persaingan pada berbagai lembaga
yang terkait dengan hukum persaingan.
Non-Akademis
1. Asisten Pengacara pada Kantor Pengacara OC Kaligis,
SH & Associates (1986-1987).
2. StaI pada Sekretariat Pimpinan Fakultas Hukum UI (1987-
1988).
3. Guru SMP dan SMA (paruh waktu) pada Sekolah
Republik Indonesia Tokyo (SRIT) (1991-1992).
4. StaI Peneliti pada Pusat Studi Wawasan Nusantara (Mei
1992-September 1993).
5. Anggota Dewan Redaksi Majalah Hukum dan
Pembangunan (1992-2000).
6. Konsultan Hukum pada Law Firm Lubis, Ganie,
Surowidjojo (Oktober 1994-Januari 1997).
7. Pembantu Asisten (eselon II/a) urusan Hak Atas
Kekayaan Intelektual pada Asisten Menko Ekuin III,
Kantor Menko Ekuin (16 Agustus 1999-Juli 2000).
8. StaI Ahli Menteri (eselon I/b) Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Bidang Hukum dan Kelembagaan (Juli
2000- Februari 2001).
9. Ketua Program Kekhususan Pascasarjana Fakultas
Hukum UI (2001-sekarang).
10. Wakil Ketua Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi (1999-
sekarang).
11. Ketua Partnership for Business Competition (PBC)
(1999-sekarang).
12. Anggota Dewan Pakar Departemen Kehakiman (2001-
sekarang).
III. Penguasaan Bahasa Asing
1. Inggris
2. Jepang
IV. Tulisan yang Dipublikasikan
Dalam Bentuk Buku
1. 'The Liberalization oI Foreign Trade and Investment, and the
Competition Law and Policy in Indonesia, dalam Competi-
tion Law and Policy in Indonesia and Japan, Joint Research
Project on Supporting Economic Structural ReIorms in Asian
43 44
Countries, Institute oI Developing Economies Japan External
Trade Organization, Maret 2001.
2. 'A Survey on the InIluence oI International Economic Policy
on Indonesian Laws: Implementation and Problems, dalam
Naoyuki Sakumoto dan Koesnadi Hardjasomantri (ed.) Cur-
rent Development oI Laws in Indonesia, Institute oI Develop-
ing Economies Japan External Trade Organization, 1999.
3. 'Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indo-
nesia, editor bersama Ayudha D. Prayoga, Hamid Chalid,
Laode SyariI, SyariIuddin dan Ningrum Natasya Sirait, 2000.
4. 'Pertahanan Negara dalam PerspektiI Hukum Internasional
diterbitkan oleh Badan Penerbit Fakultas Hukum UI (segera
terbit).
Dalam Bentuk 1urnal/Majalah/Koran
1urnal Internasional
1. 'Japan`s DeIence Conception and Its Implication Ior South-
east Asia, dimuat dalam majalah The Indonesian Quarterly,
Vol. XXI. No. 4, Fourth Quarter, Centre Ior Strategic and
International Studies, 1993.
2. 'Intelectual Property Protection in Asia, bersama Asti
Soekanto dimuat dalam Asia Business Law Review, No. 10,
Oktober 1995.
3. 'An Overview oI Indonesia`s Antimonopoly Law dalam
Jurnal Hukum Washington University at St. Louis, Amerika
Serikat (segera terbit).
4. 'Foreign Intervention dalam Jurnal Hukum Transnational Law
and Business University, Korea (segera terbit).
1urnal/Majalah Nasional
1. 'Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Pembentukan
Hukum Angkasa, dimuat dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan, No. 5 Tahun XVIII, Oktober 1988.
2. 'Masalah PenaIsiran terhadap Pasal 9 Konstitusi Jepang,
dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 3
Tahun XXII, Juni 1992.
3. 'Tinjauan Hukum Organisasi Internasional terhadap Perbedaan
Status Subsidiary Organs dan Specialized Agencies Perseri-
katan Bangsa-Bangsa, Majalah Pro Justitia, Tahun X Nomor
4, Oktober 1992.
4. 'Studi Awal tentang Perjanjian Internasional yang Berten-
tangan, dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan,
Nomor 6 Tahun XXII, Desember 1992.
5. 'Perilaku Pengusaha Jepang terhadap Hukum, dimuat dalam
Majalah Newsletter, No. 11/III, Desember 1992.
6. 'Perluasan Ruang Lingkup Hukum Angkasa, dimuat dalam
Majalah UNISA, Nomor 18, Tahun XIII Triwulan 3, 1993.
45 46
7. 'Dampak dari KonIlik Perdagangan antara Amerika Serikat
dan Jepang terhadap Tatanan Perdagangan Internasional:
Analisa Hukum Berdasarkan Kesepakatan GATT/WTO,
dimuat dalam Majalah Newsletter, No. 22/VI, September 1995.
8. 'Masalah Status BUMN pada Persero yang telah Go Pub-
lic`, dimuat dalam Majalah Newsletter, Nomor 31/Tahun VIII,
Desember 1997.
9. 'Analisa Ekonomi atas Hukum Perbankan, dimuat dalam
Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 1-3 Tahun XXVIII,
Januari-Juni 1998.
10. 'Sekilas tentang Hukum Persaingan dan Undang-undang No.
5/1999, dimuat dalam Jurnal Magister Hukum, Vol. 1 No. 1,
September 1999.
11. 'Mahkamah Pidana Internasional, dimuat dalam Jurnal
Hukum, Nomor 11 Vol. 6/1999.
12. 'Menyambut Berlakunya UU No. 5 Tahun 1999: Beberapa
Harapan dalam Penerapannya oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, dimuat dalam Majalah Hukum dan
Pembangunan, No. 4 Tahun XXXIX, Oktober-Desember 1999.
13. 'Merjer, Konsolidasi dan Akuisisi dalam PerspektiI Hukum
Persaingan dan UU No. 5 Tahun 1999, dimuat dalam Majalah
Newsletter, No. 38/X, September 1999.
14. 'Beberapa Masalah Hukum Internasional dari Dugaan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur, dimuat
dalam Majalah Mimbar Hukum, No. 34/II/2000.
15. 'Kontrak Bisnis yang berdimensi Publik, dimuat dalam Jurnal
Magister Hukum, Vol. 2 No. 1, Februari 2000.
16. 'Hukum Telematika dan Perkembangan E-Commerce di In-
donesia, dimuat dalam Majalah Newsletter, No. 44, Maret
2001.
Majalah Populer/Koran
1. 'Masyarakat Jepang Tak Perlu Hukum? dimuat dalam
Majalah Forum Keadilan, Nomor 28, Maret 1991.
2. 'Renungan terhadap Eksistensi Hukum Kita, dimuat dalam
Koran Media Indonesia, 24 Juni 1992.
3. 'Eksklusivitas vs Persaingan dalam UU Telekomunikasi,
dimuat dalam Majalah dotNET, Edisi 2, 25 Juli 7 Agustus
2000.
4. 'Memorandum oI Understanding, dimuat dalam Majalah Fo-
rum Keadilan, No. 38, 24 Desember 2000.
5. 'Menolak Peradilan Internasional, dimuat dalam Majalah
GARDA, No. 47/Th. II, 24-30 Januari 2000.
6. 'Intervensi Pihak Asing, dimuat dalam Harian Suara
Pembaharuan, 8 Maret 2000.
47 48
7. 'Peradilan Nasional bagi Pelaku Kejahatan Internasional,
dimuat dalam Harian Kompas, 17 Februari 2000.
8. 'Urgensi Pengaturan Arbitrase dalam UU Pasar Modal
dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, vol. 15, September 2001.
9. 'Aspek Penting Pembentukan Hukum Teknologi InIormasi,
dimuat dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 17, November 2001.
V. Pertemuan Ilmiah (selaku pembicara)
Internasional
1. The Ideal Philosophv of Education in Indonesia and The
Present Situation, disampaikan pada The Asia-PaciIic Edu-
cation ConIerence, yang diselenggarakan The Asia-PaciIic
Educational ConIerence, Tokyo, 7 Agustus 1991.
2. The UN Peacekeeping Operations Experience from Indo-
nesia, disampaikan pada Seminar on Legal Aspect oI Peace-
keeping Operations, yang diselenggarakan oleh The Japan
Institute oI International AIIairs, 20-22 Februari 1996.
3. Developing Business Curricula at the Facultv of Law.
The Indonesian Experience, disampaikan pada Cambodia
Law and Business Curriculum ConIerence, yang
diselenggarakan oleh The University oI San Francisco Law
School, Cambodian Law and Democracy Project, The Public
AIIairs OIIice: U.S. Embassy, The National Institute oI Man-
agement oI Cambodia and The Faculty oI Law and Econom-
ics oI Cambodia, di Phnom Penh 15-17 Desember 1999.
4. Economic Legal Infrastructure and Corporate Governance.
The Indonesian Experience, disampaikan pada Symposium
on Corporate Governance and Economic Legal InIrastructure
in the 21
st
Century: Is Corporate Governance Delivering
Value?, yang diselenggarakan oleh Jetro dan Insead, di
Singapura, 12 Juni 2001.
5. An Overview of Indonesias Antimonopolv Law, yang
diselenggarakan oleh APEC Competition Policy and Economic
Development bekerjasama dengan Center Ior Global Partner-
ship dan the Institute oI Comparative Law in Japan, Chuo
University di Tokyo, Jepang 5-7 Juli 2001.
6. International Law Teaching in Indonesia, disampaikan pada
ConIerence on the Teaching & Research oI International
Law in Asia, diselenggarakan oleh Singapore International
Law Society dan Development oI International Law in Asia,
di Singapura, 30-31 Juli 2001.
7. The Legal Infrastructure for Trade and Investment in In-
donesia, disampaikan pada ASEAN International Law Con-
Ierence, yang diselenggarakan oleh Asia-Europe Institute, Uni-
versity oI Malaya di Kuala Lumpur, Malaysia, 3-4 September
2001.
Ilmiah Nasional (sebagian)
1. Distributionship and Intellectual Propertv Rights Consid-
eration in Investing in Indonesia, disampaikan pada Semi-
nar on Joint Ventures in Indonesia, diselenggarakan oleh Cen-
ter Ior Management Technology, 3 Maret 1997.
49 50
2. Pemikiran Jepang tentang Pertahanan dan Implikasinva
bagi Asia Tenggara, disampaikan pada Seminar Sehari
mengenai Peningkatan Pembelian Senjata, ZOPFAN dan
Stabilitas Politik di Asia Tenggara, diselenggarakan oleh Center
Ior Strategic and International Studies (CSIS) bekerjasama
dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar
Negeri Departemen Luar Negeri, 13 April 1993.
3. Perlunva Undang-undang Antimonopoli. Agenda Men-
desak untuk Tatanan Masa Depan Indonesia, disampaikan
pada Simposium Universitas Indonesia dengan tema
'Kepedulian Universitas Indonesia terhadap Tatanan Masa
Depan Indonesia, diselenggarakan oleh Universitas
Indonesia, 1 April 1998.
4. Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan, disampaikan
pada Seminar Nasional 'Pendekatan Ekonomi Dalam
Pengembangan Sistem Hukum Nasional dalam rangka
Globalisasi, diselenggarakan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional bekerjasama dengan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, 30 April 1998.
51

Anda mungkin juga menyukai