Anda di halaman 1dari 3

Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Terbit Jenis Cover Kota Terbit Jumlah Halaman Teks

: Karunia Akal yang Disia-siakan : Moch. Syarif Hidayatulloh : Erlangga : 2010 : Hard Cover : Jakarta : 80 : Bahasa Indonesia

Buku ini disadur dari dari karya Ibdu Abid-Dunya yang berjudul AlAql wa Fadhluh. Penulis mengembangkannya dari beberapa sumber dan untuk memudahkan pembaca dikemas dan disajikan dalam Bahasa Indonesia sesuai konteks Indonesia pula. Buku ini mengajak kita untuk berpikir dengan memaksimalkan karunia akal yang sering kita sia-siakan. Penulis buku ini menuturkan bahwa hanya dengan berpikir dan memaksimalkan karunia akal, ayat Tuhan yang terbaca seperti di dalam Al-Quran dan Kitab Suci lainnya bisa dipahami. Ayat Tuhan yang terlihat seperti di alam raya ini juga bisa dikuak. Ujungnya, berpikir tentang ayat Tuhan di mana saja, akan mengantarkan kita menuju keimanan sejati. Di akhirat nanti kita tidak bisa berkelit karena tidak beriman selama di dunia, karena Tuhan telah memberi potensi akal kita untuk berpikir tentang ayat-ayat-Nya. Tidak heran bila berpikir kemudian bernilai ibadah. Bahkan, nilai ibadah dalam berpikir melampaui nilai ibadah yang lain. Dua makna akal berikut digunakan dalam Al-Quran dan sunah, serta dirujuk oleh para ahli makrifat. Dalam salahsatu kitab tafsir, diriwayatkan penjelasan tentang firman Allah SWT kepada Musa AS, Dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). (QS. Thaha [20]: 13). Maksudnya, pikirkanlah apa yang akan Aku firmankan kepadamu. Akal dalam pengertian yang pertama ini dimiliki oleh semua orang yang berakal, baik yang mendapat petunjuk maupun sesat. Ia juga dimiliki oleh ahli kitab yang mengklaim diri mereka sebagai ahli agama. Akal ini juga dipergunakan oleh orang yang beriman dan

orang sesat, orang yang taat dan orang yang maksiat, karena akal dalam pengertian ini hanya berwujud pemahaman tentang penjelasan yang diperoleh. Kedua, akal berarti Bashirah (pandangan mata batin) dan Marifah (pengetahuan) terhadap mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan baik di dunia maupun akhirat. Dengan pengertian yang kedua ini, akal diartikan sebagai perenungan terhadap Allah SWT. Bagaimana Nabi Muhammad SAW bisa menjadi Nabi? Pertanyaan ini bisa dengan melihat tahapan pengutusan Nabi SAW. Tahap-tahap akhir Nabi SAW sebelum terutus merupakan gambaran tentang suatu perenungan dan pemikiran yang mendalam. Mengenai hal ini, Aisyah RA meriwayatkan suatu hadis tentang awal penerimaan wahyu, Nabi lalu suka menyendiri. Beliau pergi ke Gua Hira untuk beribadah selama beberapa malam. Ibadah apa kiranya yang sudah diketahui Nabi sebelum beliau menjadi seorang Nabi terutus? Ibadah itu adalah ibadah berpikir tentang ciptaan Allah. Lihatlah bagaimana Allah SWT mengisahkan tentang Nabi Ibrahim berikut: Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan Bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin (QS. Al-Anam [6]: 75). Setiap kali kita berpikir, setiap itu pula keyakinan kita bertambah. Inilah ibadah Nabi Ibrahim AS. Akal merupakan naluri yang diberikan Allah kepada para hamba-Nya sebagai ujian. Dengan akal, Allah menetapkan hujah bagi orang-orang dewasa. Dia berbicara sesuai dengan akal mereka. Dengan akal pula, Allah berjanji dan mengancam, memerintah dan melarang, serta mendorong dan menganjurkan. Akal itu naluri. Akal hanya bisa diketahui dengan aktivitas hati dan anggota tubuh. Tidak ada seorang pun yang dapat menggambarkan akal yang ada, baik pada dirinya maupun pada orang lain, kecuali dengan menengok aktivitas hati dan tubuhnya. Akal juga tidak bisa disifati dengan bentuk tertentu, diukur dengan panjang atau pendek, dirasakan dengan perasaan atau penciuman, diraba, serta dilihat warnanya. Lubb termasuk sinonim dari kata akal. Allah SWT berfirman, Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (QS.

Al-Rad [13]: 19). Frase orang-orang yang berakal di ayat itu merupakan terjemahan dari Ulul al-Bab. Kata Al-bab sendiri merupakan bentuk plural dari lubb. Setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, yang mendapat perintah dan larangan dari Allah, yang memperoleh janji dan ancaman dengan diutusnya para Rasul dan diturunkannya bermacam Kitab Suci yang berisi ayatayat sebagai bahan renungan, maka ia berkewajiban menggunakan akalnya karena Allah telah menganugrahi akal dan pengetahuan tentang kebenaran. Allah SWT berfirman, Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah, Allah memberi petunjuk kepada mereka sampai dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8]: 42).

Anda mungkin juga menyukai